• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Induksi Pembentukan Kalus Embriogenik.

Bahan tanaman yang digunakan adalah embrio belum masak yang diisolasi dari biji gandum berumur sekitar 3 minggu setelah anthesis. Embrio belum masak yang diisolasi dari biji gandum berhasil membentuk kalus pada media MS dengan penambahan 2.4-D 3 mg/l. Kalus yang terbentuk berasal dari skutelum (posisi menghadap ke atas) yang merupakan lapisan sel di dalam embrio (He dan Lazzer 2001). Kalus yang dihasilkan pada 2 varietas dan 4 genotipe rata-rata berbentuk proglobular (berbentuk nodul-nodul kecil) dan bersifat friable (remah). Hal ini menunjukkan bahwa media dengan konsentrasi 2.4-D 3 mg/l dapat digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus embriogenik. Hal ini terjadi karena penggunaan auksin dengan daya aktivitas kuat seperti 2.4-D umumnya digunakan untuk menginduksi kalus embriogenik pada tanaman serealia (Gambar 7, 8, 9) (Wattimena 1991).

Konsentrasi 2.4-D yang digunakan dalam penelitian ini hampir sama dengan penelitian Shah et al. (2003) yaitu mengevaluasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang paling optimal untuk induksi kalus gandum adalah 2.4-D 3.5 dan 3 mg/l (Sharma et al. 2005). Penelitian ini juga dibuktikan pada varietas Kohsar

bahwa media 2.4-D 3 mg/l dapat menginduksi kalus sebesar 83.3% sedangkan pada varietas Khiber-87 dengan 2.4-D 3.5 mg/l dapat menginduksi kalus sebesar 77.7% (Noor et al. 2009). Tanaman lain seperti padi IR64, Towuti dan Gajahmungkur dapat menginduksi kalus secara optimal dengan penambahan 2.4- D 3 mg/l + CH 3 g/l (Lestari 2005).

Menurut Purnamaningsih (2002) dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk menginduksi kalus embriogenik. Sedangkan menurut Meneses et al. (2005) zat pengatur tumbuh 2.4-D merupakan golongan auksin yang sering digunakan untuk menginduksi kalus embriogenik pada tanaman serealia, karena pada tanaman monokotil 2.4-D pada konsentrasi 1-10 mg/l dapat menghambat proses diferensiasi sel sehingga pembelahan sel selalu dalam fase mitosis dengan demikian kalus dapat dihasilkan secara optimal.

Gambar 7. Bahan tanaman empat genotipe (Alibey, Rabe, Oasis, HP1744) dan dua varietas (Dewata, Selayar) yang digunakan untuk induksi kalus.

Waktu pembentukan kalus terjadi pada hari ke 7 setelah di inkubasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan pengamatan Satyavathi et al. (2004) yang menggunakan embrio muda dari gandum varietas Ben, Munich, Lebsock dan Maier pada berbagai media induksi kalus membutuhkan waktu antara 3 sampai dengan 7 hari setelah induksi. Sedangkan menggunakan embrio dewasa pada media dengan penambahan 2.4-D 2 mg/l + berbagai konsentrasi sorbitol menghasilkan waktu pembentukan kalus antara 4 - 8 hari (Hasan et al. 2009).

Pengamatan dilakukan pada minggu ke dua untuk menghasilkan kalus yang optimal yang dapat beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Hal ini sesuai dengan penelitian Sharma et al. 2005 yang mengatakan bahwa induksi kalus pada tanaman barley pada umur kurang lebih 2 minggu dapat menghasilkan kalus embriogenik. Menurut Fiuk dan Rybczyński (2007), sifat potensi morfogenik yang tinggi dan optimal hanya dimiliki pada kalus embriogenik sehingga lebih mudah beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Kalus yang dihasilkan pada penelitian ini adalah kalus embriogenik, karena mempunyai proembrio (sebelum terbentuk globular) yang merupakan tahap awal perkembangan dari dua sel

sampai dengan delapan sel (Feher et al. 2003). Menurut beberapa penelitian tentang induksi kalus pada gandum secara in vitro, konsentrasi dan jenis zat pengatur tumbuh yang digunakan mempunyai peranan penting terhadap kemampuan eksplan untuk membentuk kalus (Baheldien et al. 2000; Rashid et al. 2002; Satyavathi et al. 2004). Menurut penelitian Gonzales et al. (2001); Kilinc (2004); Hassan et al. (2009); Noor et al. (2009) kemungkinan keragaman yang terjadi selama induksi kalus dapat disebabkan oleh dua hal penting yaitu jenis varietas dan media kultur untuk induksi kalus.

Gambar 8. Kalus pada genotipe Dewata (A), Selayar (B), Alibey (C), Oasis (D), Rabe (E) dan HP 1744 (F) pada media kalus MS + 2.4-D 3 mg/l umur 2 minggu.

Gambar 9. Pertumbuhan diameter kalus beberapa genotipe pada media MS+ 2.4-D 3 mg/l umur 2 minggu.(A. Dewata, B. Selayar, C. Rabe, D. Alibey, E. HP1744, F. Oasis).

Pembentukan kalus embriogenik dari dua varietas dan empat genotipe yang digunakan sangat bervariasi. Pembentukan kalus terendah pada umur 2 minggu adalah HP1744 36% tidak berbeda nyata dengan Alibey 52%, Rabe 42% dan Oasis 46%. Pembentukan kalus tertinggi adalah Dewata 78% tidak berbeda nyata dengan Selayar 70% (Gambar 10). Dari hasil tersebut dipilih dua materi genetik yang mempunyai persentase tumbuh kalus embriogenik terbaik yaitu varietas Dewata 78% dan Selayar 70% (Gambar 10). Hal ini sesuai dengan penelitian induksi kalus dari gandum varietas Durum (Ozgen et al. 1996) dan regenerasi kalus dari gandum lokal (Sarker dan Biswas 2002) yang melaporkan bahwa asal eksplan dari embrio belum masak mempunyai persentase pembentukan kalus dan regenerasi tunas tanaman tertinggi dibandingkan eksplan dari embrio masak. Hal ini dikarenakan kalus-kalus yang diperoleh dari embrio belum masak sangat potensial digunakan untuk regenerasi tunas menjadi tanaman lengkap. Begitu juga dengan penelitian Yasmin et al. 2009, yang menggunakan embrio belum masak pada varietas Khirman yang menghasilkan induksi kalus tertinggi. Sehingga hasil persentase tertinggi pada penelitian ini dipilih dua varietas yang mempunyai persentase tumbuh kalus embriogenik terbaik yaitu genotipe Dewata sebesar 78% dan Selayar sebesar 70% (Gambar 10).

Gambar 10. Persentase pertumbuhan kalus dari beberapa genotipe gandum di media MS+ 2.4-D 3 mg/l umur 2 minggu.

Kemampuan genotipe Dewata paling tinggi dalam membentuk kalus dibandingkan dengan yang lainnya yaitu sebesar 78%, sedangkan HP 1744 mempunyai kemampuan paling rendah yaitu 36% (Gambar 10). Keberhasilan pembentukan kalus tiap varietas berbeda-beda akibat perbedaan eksplan, genotipe, asal genotipe dan adaptasi di lingkungan target (Sarker dan Biswas 2002). Selain itu berbedanya kemampuan membentuk kalus pada Dewata dan Selayar dengan genotipe lainnya disebabkan karena sudah beradaptasi di Indonesia dan kedua genotipe tersebut mempunyai respon yang tinggi terhadap media induksi (MS+ 3 mg/l 2.4-D).

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata terhadap diameter kalus pada pengamatan umur 2 minggu. Diameter kalus tertinggi

dihasilkan dari Dewata (0.66 cm) dan terendah dari Oasis (0.18 cm) (Gambar 11). Perbedaan ukuran diameter kalus terjadi karena kemampuan tiap genotipe berbeda dalam membentuk sel-sel yang membelah diri secara terus menerus sehingga semakin besar diameter kalus maka semakin tinggi aktifitas dan jumlah sel-sel yang membelah diri. Kalus terbentuk karena terjadinya penumpukkan sel-sel yang mengembang akibat masuknya air, unsur hara dan ZPT ke dalam sel. Semua bahan tersebut tidak dapat ditransportasi ke seluruh tubuh tanaman seperti akar, batang, daun sehingga berkumpul di satu tempat membentuk sel amorf. (Amien et al. 2007; Hidayat 2007). Keragaman ini menghasilkan dua varietas yang memiliki diameter kalus tinggi yaitu Dewata sebesar 0.66 cm dan Selayar sebesar 0.50 cm (Gambar 11). Media yang digunakan untuk memperoleh diameter kalus terbaik adalah media MS + 3 mg/l 2.4 D. Konsentrasi tersebut sama dengan penelitiaan Lestari dan Yusnita (2008) yang mengatakan bahwa pada media dengan pemberian 2.4-D 3 mg/l menghasilkan diameter kalus tanaman padi yang lebih besar yaitu 0.83 cm.

Gambar 11. Diameter kalus dari beberapa genotipe gandum pada media MS+ 2.4-D 3 mg/l umur 2 minggu.

Menurut Yoshida (1995) kemampuan kalus untuk menghasilkan tunas dipengaruhi zat pengatur tumbuh dan ukuran kalus yang dipindahkan ke media regenerasi. Kultur anther kalus yang berukuran 2-3 mm merupakan kalus yang terbaik untuk dipindahkan ke media regenerasi, sedangkan kalus yang berukuran kurang dari 2 mm sulit beregenerasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa ukuran kalus terbesar adalah pada varietas Dewata dan Selayar sehingga dapat diasumsikan kalus ini sebagai kalus terbaik dan dapat diregenerasikan. Berbedanya diameter kalus varietas Dewata disebabkan karena Dewata sudah beradaptasi di Indonesia. Dewata dan Selayar mempunyai diameter kalus tertinggi karena dua varietas tersebut sudah dilepas dan beradaptasi di tropis. Hasil pengukuran diameter berbanding lurus dengan pembentukan kalus dimana kedua parameter tersebut menghasilkan hasil yang sama yaitu varietas Dewata dan Selayar mempunyai nilai tertinggi.

Kalus ke enam genotipe ini secara umum berwarna putih kekuningan berbentuk bulatan kecil dan mudah dipisahkan (Dewata, Selayar, Oasis), putih (Rabe, Alibey) dan kuning (HP 1744) (Tabel 1). Warna kalus yang berbeda-beda dihasilkan dari jaringan eksplan yang berbeda pula, meskipun terdapat warna sama pada eksplan berbeda. Hal ini disebabkan karena kalus berasal dari lapisan luar sel-sel korteks pada eksplan dengan cara membelah secara berulang yang dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh terutama auksin pada media tersebut (Yuwono 2006). Menurut George dan Sherington (1984) bahwa zat pengatur tumbuh auksin menghambat pembentukan klorofil pada kalus sehingga kalus tidak berwarna hijau. Hal ini terbukti dari zat pengatur tumbuh yang digunakan pada media ini adalah auksin 2.4-D, sehingga warna kalus yang terbentuk putih kekuningan, putih dan kuning (Tabel 1).

.

Tabel 1. Hasil skor dan warna kalus gandum pada media MS+2.4D 3mg/l.

No Genotipe Skor Warna Kalus

1 Dewata 2 Putih kekuningan

2 Selayar 2 Putih kekuningan

3 Alibey 1 Putih

4 Oasis 2 Putih kekuningan

5 Rabe 1 Putih

6 HP 1744 3 Kuning

Menurut Peterson dan Smith (1991) kalus embriogenik adalah kalus yang berwarna putih kekuningan, mengkilat dan mudah dipisahkan (remah), sedangkan kalus non embriogenik pada umumnya berwarna kuning kecoklatan, agak pucat dan lunak banyak air sehingga sukar dipisahkan. Hasil penelitian ini serupa dengan pengamatan Satyavathi et al. (2004) yang menghasilkan kalus berwarna putih pada media MS + 2.4-D. Penelitian lainnya juga diperoleh kalus embriogenik tanaman gandum berwarna putih, kompak dan nodular pada media MS + 2.4-D (Sarker dan Biswas, 2002; Malik et al. 2004; Hassan et al. 2009; Noor et al. 2009). Selain kalus embriogenik juga terdapat kalus non embriogenik berwarna coklat, agak pucat, tidak bernodul dan banyak air (Malik et al. 2004). Selain zat pengatur tumbuh berperan dalam warna kalus, tempat inkubasi kalus juga berperan penting. Bila kalus diinkubasi pada ruang tanpa cahaya dihasilkan kalus tidak berwarna hijau karena tidak berfotosintesis. Pada penelitian ini kalus diinkubasikan pada ruang gelap, sehingga warna kalus tidak berwarna hijau.