• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Regenerasi Kalus Hasil Seleksi In Vitro.

Regenerasi kalus gandum sangat sulit untuk mendapatkan tunas dalam jumlah banyak. Satu kalus hanya menghasilkan 1-2 tunas. Untuk 2 tunas sering tidak sampai menjadi planlet, biasanya terjadi persaingan dan hanya satu tunas saja yang dapat menjadi planlet dan bertahan hidup sampai aklimatisasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Sears dan Dekers (1982); Hassan et al. (2009) bahwa kultur jaringan tanaman monokotil famili Gramine relatif lebih sulit untuk diregenerasikan dibandingkan tanaman dikotil. Shah et al. (2009), melaporkan bahwa eksplan monokotil sulit diregenerasikan karena tidak memiliki kambium atau jaringan seperti kambium. Biasanya pembentukan tunas dari kalus pada media regenerasi dimulai dengan terbentuknya spot-spot warna hijau pada kalus yang menandakan terbentuknya klorofil. Spot hijau muncul pada media regenerasi RG0, RG1, RG2 dan RG3 kecuali pada RG4, RG5 dan RG6. Perubahan warna kalus menjadi kehijauan (terbentuknya spot) adalah merupakan tanda dari kalus tersebut dapat diregenerasikan.

Menurut Wattimena (1992) dan George (1993), perubahan warna tersebut merupakan tanda adanya morfogenesis pada kalus. Morfogenesis kalus tergantung kepada keseimbangan auksin dan sitokinin di dalam media tumbuh dan interaksi antara zat pengatur tumbuh di dalam tanaman (endogen) dan zat pengatur tumbuh yang diserap dari media tumbuh (eksogen). Spot hijau muncul pada kalus dimulai seminggu setelah ditanam pada media regenerasi. Adanya spot hijau mengindikasi bahwa kalus bersifat embriogenik dan dapat menghasilkan tanaman lengkap. Spot hijau ini setelah dua minggu menghasilkan tunas selanjutnya menjadi tanaman lengkap setelah 12 minggu dan siap diaklimatisasi. Persentase tumbuh tunas dan akar bervariasi antar genotipe dan media regenerasi yang digunakan (Gambar 18 dan 19). Pembentukan tunas pada kalus Selayar berkisar antara 0-36%. Jumlah tunas tertinggi pada kalus varietas Selayar berjumlah 36% pada media RG2.

Gambar 18. Persentase tumbuh tunas dan tumbuh akar pada kalus Selayar di berbagai macam media umur 2 bulan.

Gambar 19. Persentase tumbuh tunas dan tumbuh akar pada kalus Dewata di berbagai macam media umur 2 bulan.

Penelitian ini menunjukkan respon regenerasi terbaik adalah menggunakan media RG2 untuk varietas Selayar maupun Dewata. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa formulasi media berpengaruh nyata terhadap pembentukan tunas dan pembentukan akar baik pada varietas Selayar maupun Dewata. Persentase tumbuh tunas varietas Selayar dan Dewata tertinggi dihasilkan pada media RG2 (MS + BA 0.1 ml/l + kinetin 2 mg/l + tyrosin 0.05 gr/l + sorbitol 6% + sukrosa 3%) yaitu 36 dan 44%. Berikutnya diikuti oleh media RG3 20 dan 28%, media RG0 16 dan 24%, media RG1 12 dan 20% (Gambar 18 dan 19). Jumlah kalus yang berakar paling banyak dihasilkan oleh varietas Selayar dan Dewata adalah pada media RG3 (MS+BA 0.5 ml/l + kinetin 1 mg/l + tyrosin 0.05 g/l + sorbitol 6%+ sukrosa 3% yaitu 72 dan 80%.

Formulasi media RG2 diduga memiliki konsentrasi optimum untuk pembentukan tunas. Penelitian ini sesuai dengan hasil Sarker dan Biswas (2002) bahwa formulasi media optimal untuk regenerasi kalus gandum dari eksplan immature embrio menjadi tunas yaitu media MS+ 0.5 mg/l BAP + 0.5 mg/l kinetin + 25 mg/l tyrosin. Penelitian Noor et al. (2009) menunjukkan bahwa formulasi media terbaik untuk regenerasi kalus menjadi tunas adalah MS + 0.5 mg/l BAP + 0.5 mg/l kinetin + 0.1 mg/l IAA. Berbeda dengan penelitian Rashid et al. (2009) bahwa kombinasi BAP dan Kinetin tidak berpengaruh pada kalus gandum varietas Tatara dan Manthar. Respon terjadi pada media MS ditambahkan kinetin 0.4 mg/l + 0.1 mg/l IAA. Sedangkan Malik et al. (2004) melaporkan respon persentase regenerasi gandum terbaik didapatkan pada media MS+ 0.5 mg/l BAP + 0.1 mg/l IAA. Berbeda pula dengan penelitian Shah et al. (2003) regenerasi tertinggi pada kalus gandum varietas LU-26S didapat pada media MS+ 4 mg/l BAP dan MS+ 2 mg/l BAP + 1 mg/l IAA.

Perbedaan hasil penelitian ini diduga karena perbedaan respon terhadap zat pengatur tumbuh yang berbeda tiap-tiap genotipe. Sementara itu penelitian Bohorova et al. (2001) mendapatkan jumlah tunas tinggi yaitu sekitar 5-20 tunas pada media MS + 0.5 mg/l IAA + 1 mg/l BA. Berbeda pula pada penelitian Sisharmini et al. (2010) yang menghasilkan jumlah tunas 2.8 pada media MS + 0.5 mg/l 2,4-D + 2 mg/l picloram. Menurut Bahieldin et al. (2000) dan Rashid et

al. (2002), kemampuan regenerasi suatu tanaman dan keberhasilan perbanyakan secara in vitro sangat dipengaruhi oleh genotipe, eksplan, media dan ZPT, dalam hal ini sitokinin dan auksin.

Pada penelitian ini penambahan kinetin 2 mg/l pada media regenerasi lebih baik dibandingkan 1 mg/l, karena memiliki respon lebih tinggi terhadap jumlah tunas pada kalus. Penambahan BAP 0.1 mg/l pada media regenerasi lebih baik dibandingkan 0.5 mg/l, karena memiliki respon lebih baik terhadap pembentukan jumlah tunas. Menurut Sarker dan Biswas (2002), Shah et al. (2003), melaporkan bahwa zat pengatur tumbuh kinetin yang ditambahkan pada media regenerasi memberikan respon tinggi terhadap tingkat regenerasi tunas.

Penelitian ini menghasilkan jumlah tunas paling sedikit pada media RG1 dibandingkan media RG2, RG3 bahkan pada RG0 (kontrol). Media RG1 hanya mengandung zat pengatur tumbuh Kinetin (tunggal) tanpa kombinasi dengan BAP. Pada penelitian ini, media regenerasi yang optimal pada varietas Selayar dan Dewata adalah media yang mengandung kombinasi kinetin dan BAP dengan konsentrasi seperti pada media RG2. Menurut Gunawan 1988, keberadaan BAP dalam jaringan tanaman lebih memacu proliferasi tunas, sedangkan kinetin lebih mengarah kepada pemanjangan sel. Zat pengatur tumbuh BA paling banyak digunakan untuk memacu proliferasi tunas karena mempunyai respon lebih kuat dibandingkan dengan kinetin. BA mempunyai struktur dasar yang sama dengan Kinetin tetapi lebih efisien karena BA mempunyai gugus benzil (George dan Sherington, 1984). Begitu pula jumlah tunas pada media RG0 (kontrol) lebih tinggi yaitu 24% dibandingkan dengan media RG1 yaitu 20%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Satyavathi et al. (2004), yang melaporkan bahwa kalus gandum berhasil merespon menjadi tunas tanpa penambahan zat pengatur tumbuh pada media kontrol.

Tunas mulai tumbuh, pada penelitian ini pada minggu ke 3 setelah muncul spot hijau pada minggu ke 1. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hassan et al. (2009), bahwa pada gandum varietas Inwafaq-2001, Inqilab-91 dan Auqab- 2002 dapat menghasilkan tunas kurang dari 4 minggu pada media MS yang mengandung sorbitol, sedangkan pada media tanpa sorbitol memerlukan waktu lebih dari 4 minggu. Penambahan sorbitol telah memberikan energi untuk regenerasi tanaman sehingga hanya tanaman toleran yang dapat beregenerasi. Media yang ditambahkan sorbitol berfungsi untuk meningkatkan regenerasi tanaman dan meningkatkan efesiensi penggunaan media MS. Penambahan sorbitol di dalam media regenerasi digunakan untuk menseleksi tanaman yang toleran dan dapat beradaptasi sehingga tumbuh menjadi tanaman lengkap yang siap diaklimatisasi. Pada media RG2 dihasilkan jumlah tunas tertinggi kemudian tumbuh menjadi tanaman lengkap. Seperti pada penelitian Sharma et al. 2005, media regenerasi di tambahkan manitol 6% dapat menghasilkan tunas dengan tinggi 5-10 cm, selain konsentrasi tersebut tinggi tunas tumbuh hanya 1- 5 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang toleran optimal pada media dengan menggunakan sorbitol atau manitol sebesar 6%.

Penambahan sukrosa dan sorbitol dalam media regenerasi diperlukan untuk memperbanyak dan mempercepat regenerasi tunas. Fenomena ini menunjukkan bahwa kalus gandum memiliki persyaratan osmotik untuk pembentukkan tunas (Hassan et al. 2009). Menurut Hsissou dan Bouharmont (1994), perlunya menerapkan induksi stress osmotik dengan penambahan manitol

atau sorbitol 4-6% pada tahap regenerasi tampaknya menjadi efisien dan optimum dalam mendapatkan mutan. Penambahan sorbitol 3% untuk tahap regenerasi tidak menimbulkan stress karena proliferasi kalus sangat tinggi sebesar 80% pada tanaman gandum varietas Rawal 87 (Rashid et al. 2002).

Pada media RG3 kalus cenderung membentuk akar dibandingkan tunas, sehingga tidak terjadi keseimbangan antara tunas dan akar. Bila akar muncul terlebih dahulu maka tunas menjadi terhambat. Hal ini diduga berkaitan erat dengan interaksi antara genotipe dan macam zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media regenerasi ini. Jika kalus diinduksi pada media regenerasi dan membentuk tunas terlebih dahulu akar akan menjadi tanaman lengkap. Sebaliknya apabila kalus yang diinduksi di media regenerasi yang membentuk akar terlebih dahulu maka tidak akan menjadi tanaman lengkap namun hanya terbentuk kalus rhizogenik (Gambar 20). Menurut Purnamaningsih dan Mariska (2005) kalus rhizogenik adalah kalus yang lebih cepat membentuk akar daripada tunas. Rhizogenesis terjadi pada kombinasi perlakuan media yang mengandung auksin lebih tinggi dibandingkan sitokinin (George dan Sherington, 1984). Dari penelitian ini, walaupun tidak ada penambahan auksin dalam media RG3 kalus tetap membentuk akar lebih cepat dan semakin lama semakin banyak sampai memenuhi permukaan kalus. Hal ini diduga karena auksin endogen dalam tanaman gandum sangat tinggi sehingga dapat menginduksi pertumbuhan akar yang sangat cepat.

Gambar 20. Rhizogenesis pada media regenerasi RG3.

Kalus yang ditumbuhkaan pada media RG4, RG5 dan RG6 tidak menghasilkan tunas maupun akar baik pada Dewata dan Selayar (Gambar 21 dan 22). Pada media tersebut kalus berubah warna menjadi putih, tidak terjadi pertumbuhan tunas, sampai umur 12 minggu. Pada media RG4, RG5 dan RG6 tidak ditambahkan sukrosa yang telah diganti dengan sorbitol. Tidak adanya pertumbuhan pada kalus disebabkan karena tidak adanya sukrosa didalam media, walau terdapat sorbitol (gula alkohol). Sukrosa merupakan sumber karbohidrat untuk tanaman sehingga dapat tumbuh dan berkembang, tanpa sukrosa tidak terdapat energi. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa gula tetap dibutuhkan dalam media untuk pertumbuhan tanaman. Sukrosa lebih mudah diserap oleh

tanaman dibandingkan gula alkohol (sorbitol). Menurut George & Sheringtom (1984) sukrosa merupalan sumber karbon penting yang digunakan sebagai penyusun sel, seperti untuk pembelahan sel, pembesaran sel dan diferensiasi sel.

Gambar 21. Pertumbuhan regenerasi kalus Selayar menjadi planlet pada berbagai macam media. A)RG0. B)RG1. C) RG2. D) RG3. E)RG4. F) RG5.G) RG6

Gambar 22. Regenerasi kalus Dewata menjadi planlet pada berbagai macam media. A)RG0. B)RG1. C) RG2. D) RG3. E)RG4. F) RG5.G) RG6.

Empat minggu pada media regenerasi tunas berkembang dan akar mulai tumbuh, sehingga membentuk planlet. Pada umur 12 minggu planlet dapat dikeluarkan ke rumah kaca (aklimatisasi). Tahap regenerasi secara in vitro setelah perlakuan induksi mutasi dan seleksi in vitro merupakan tahap yang sangat

A G F E D C B E D C B A G F

penting karena dapat digunakan sebagai penanda bahwa induksi mutasi telah mengakibatkan perubahan pada sel atau jaringan.

Daya regenerasi kalus membentuk tunas sangat ditentukan oleh waktu pemindahan kalus ke media regenerasi. Rata-rata pemindahan kalus varietas Dewata dan Selayar ke media regenerasi adalah 36 hari, lebih dari 60 hari rata- rata kalus tidak bertunas. Menurut Purnamaningsih (2006) setiap varietas memiliki kepekaan yang berbeda-beda untuk bertahan di media induksi kalus, seperti varietas Cisadane, Ciherang dan T-309 dapat bertahan sampai 60 hari. Varietas IR64 hanya dapat bertahan sampai 40 hari. Jumlah hari sejak kalus diinduksi sampai dipindahkan ke media regenerasi sangat menentukan frekuensi regenerasi (Chung et al. 1992).

Tabel 3. Jumlah akar varietas Dewata dan Selayar pada berbagai macam media No

Media Jumlah Akar Selayar Jumlah Akar Dewata

1 RG0 6-10 6-10 2 RG1 0 1-5 3 RG2 1-5 1-5 4 RG3 >11 >11 5 RG4 0 0 6 RG5 0 0 7 RG6 0 0

Keterangan: 0 = tidak ada akar, 1-5 = akar sedikit, 6-10 = akar sedang, >11 = akar banyak.

SIMPULAN

Pembentukan kalus embriogenik tertinggi diperoleh pada Dewata dan Selayar dikarenakan varietas tersebut mempunyai respon tinggi dalam pembentukan kalus dan diameter kalus tertinggi pada media MS + 2.4-D 3 mg/l. Peningkatan dosis EMS dan waktu perendaman pada kalus embriogenik menghambat pertumbuhan kalus. Semakin tinggi dosis EMS dan semakin lama waktu perendaman, maka semakin sedikit kalus yang bertahan hidup. Seleksi in vitro yang menghasilkan kalus tertinggi adalah pada suhu 27°C sedangkan pada suhu 35°C tidak terdapat kalus yang bertahan hidup. Formulasi media terbaik untuk regenerasi kalus hasil mutasi dan seleksi in vitro adalah RG2 (MS + BA 0.1 ml/l + kinetin 2 mg/l + tyrosin 0.05 g/l + sorbitol 6% + sukrosa 3%) yaitu 44% (Dewata) dan 36% (Selayar).