• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi dan Asal Tanaman Gandum

Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan spesies yang berasal dari divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, subkelas Monocotyledone, famili Gramineae (Poaceae), genus Triticum. Genus Triticum dikelompokkan ke dalam tiga kelas ploidi berdasarkan jumlah kromosom yaitu diploid (2n=2x=14) terdapat 7 spesies, tetraploid (2n=4x= 28) terdapat 12 spesies dan heksaploid (2n=6x=42) terdapat 7 spesies. Spesies T. turgidum tetraploid berasal dari kombinasi genom A dari T. uratu dan genom B dari spesies liar (Ae. spetoides). T. aestivum hexaploid berasal dari kombinasi genom AB dari T. turgidum dam genom D dari T. tauschi (Fehr 1987, Wittenberg 2004, Poehlman dan Sleper 2006, Shewry PR. 2009, Carver 2009) (Gambar 2). Gandum adalah tanaman subtropis namun daerah asal tanaman gandum ini tidak diketahui secara pasti. Diduga tanaman ini berasal dari daerah luas yang membentang dari Asia Tengah ke Timur. Bukti tertua bagi penanaman gandum berasal dari Syria, Turki, dan Irak. Tanaman gandum pertama kali dibudidayakan di Asia Barat Daya sejak 10.000 tahun yang lalu, sejak tahun 1800an kemudian menyebar ke wilayah beberapa penjuru dunia (Poehlman dan Sleper 2006, Wikipedia 2011).

Gambar 2. Hubungan evolusi gandum hexaploid, spesies T.turgidum tetraploid berasal dari T.uratu dan Ae.speloides, sedangkan T.aestivum berasal dari T.speta yang sudah dibudidaya (Shewry 2009; Carver 2009).

Pada tahun 1529 Spanyol memperkenalkan gandum di Amerika dan pada tahun 1966 Spanyol juga menanamnya di Filipina. Semenjak itu mulai dilakukan perbaikan kualitas bulir, peningkatan hasil, peningkatan ketahanan kekeringan, masa simpan, hama dan penyakit (Poehlman dan Sleper 2006). Tanaman gandum diintroduksi di Indonesia sekitar tahun 1784 ditanam secara terbatas di beberapa pegunungan di Jawa dan Timor. Pada tahun 1969 melaksanakan program kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan Amerika Serikat dengan nama PL480. PL (Public Low) 480 adalah kebijakan pemerintah Amerika Serikat untuk memberikan produk pangan kepada negara-negara berkembang. Pada tahun yang sama dimulailah impor gandum untuk membantu pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Seiring dengan berjalannya waktu, Amerika menghentikan hibah gandum ke Indonesia. Penghentian tersebut telah sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam PL 480. Untuk memenuhi kebutuhan gandum di dalam negeri dilakukan impor dari Australia dan Amerika (Nur et al. 2013).

Namun karena iklim di Indonesia tidak sesuai dengan pertumbuhan tanaman gandum dan belum adanya usaha pemerintah untuk mengembangkan budidaya gandum maka tanaman gandum tidak berjalan dengan baik (Wiyono 1980; Sastrosumarjo 1987). Saat ini, setelah uji coba adaptasi multilokasi di berbagai daerah, tanaman gandum dapat tumbuh dan berproduksi tinggi di Indonesia tetapi hanya terbatas pada dataran tinggi (>1000 m dpl).

Morfologi dan Budidaya Tanaman Gandum

Tanaman gandum termasuk tanaman herba setahun/semusim dengan karakteristik menyerbuk sendiri (self-polinated), penyerbukan silang hanya 1-4%. Gandum memiliki batang beruas sebanyak 6 ruas, berongga seperti tanaman padi. Semua spesies Triticum mempunyai morfologi yang hampir serupa, seperti pada Gambar 3. Daun pertama (koleoptil), berbentuk silinder, diselaputi plumula yang terdiri dari dua sampai tiga helai daun. Daun gandum terdiri dari tangkai pelepah, helai daun, dan ligula dengan dua pasang telinga pada dasar helai daun dengan tulang daun sejajar dan memanjang. Daun tanaman gandum tumbuh tegak/melengkung berbentuk pita dan daun yang sudah tua menjadi kuning dan melengkung ke bawah (Wiyono 1980).

Batang gandum tegak, berbentuk silinder, ruas-ruas pendek dan buku- bukunya berongga. Tinggi tanaman gandum dipengaruhi oleh sifat genetik dan lingkungan tumbuh. Tipe varietas yang baik adalah tipe varietas yang pendek, berbatang kuat dan daun tidak saling melindungi serta berproduksi banyak. Tanaman dewasa rata-rata terdiri atas enam ruas, ruas terbawah ditumbuhi akar adventif. Ruas selanjutnya makin panjang dan yang terpanjang adalah berujung dengan malai yang mengecil diameternya. Adapun akar tanaman gandum terdiri atas akar kecambah serta akar adventif. Akar kecambah merupakan akar pertama yang tumbuh dari embrio sampai umur 2 minggu kemudian diambil alih oleh akar adventif. Akar adventif adalah akar yang tumbuh dari buku dasar. Anakan primer dari buku batang utama terus berkembang menjadi anakan sekunder dan tersier sehingga membentuk rumpun. Perakaran gandum serabut sama seperti tanaman padi tetapi akar gandum tidak tahan tergadap genangan air (Van Ginkel dan Villareal 1996, Wiyono1980).

Gambar 3. Morfologi tanaman gandum (1.benih, 2&3.akar adventif, 4.daun, 5. ekor gabah gandum, 6.malai, 7.bulir, 8.pelepah daun, 9.tangkai malai, 10 &11.batang utama, 12.anakan, 13.ruas, 14.daun telinga, 15.lidah daun,16.buku) (Wiyono 1980).

Pembungaan pada gandum bersifat majemuk dan berbentuk malai terdiri atas bulir-bulir. Pembungaan dimulai pada sepertiga bagian tengah malai kemudian menyebar secara bersamaan ke arah ujung dan pangkal malai. Bunganya bermekaran pada pertengahan pagi. Biasanya untuk varietas musim semi, digolongkan ke dalam varietas hari pendek, sedangkan varietas musim dingin digolongkan ke dalam varietas hari panjang. Kemampuan reseptif stigma berkisar antara 4-13 hari sedangkan viabilitas pollen sekitar 30 menit. Bulir yang berada pada bagian tengah malai dan bagian proksimal dari floret cenderung membesar. Kondisi masak fisiologis dicapai apabila kandungan kelembaban dari keseluruhan bulir yang terbentuk telah menurun antara 25-35%. Pada dasar spikelet terdapat glume yang halus dan beberapa varietas ada yang mempunyai glume berambut pendek. Tiap spikelet menghasilkan 2-3 biji (kernel), dan terdapat kulit ari (lemma dan palea) yang di dalamnya terdapat 3 anther dan 2 stigma dengan 1 ovarium. Lemma dan palea lazim disebut sekam (Gambar 4) (Stoskoff 1985; Phoelman dan Sleper 2006; Carver 2009).

Biji gandum berbentuk oval dengan panjang 6–8 mm dan diameter 2–3 mm serta memiliki tekstur yang keras. Biji gandum terdiri dari atas tiga bagian yaitu kulit (bran), endosperma, dan lembaga (germ). Bagian kulit sebenarnya tidak mudah dipisahkan karena merupakan satu kesatuan dari biji gandum tetapi

bagian kulit ini dapat dipisahkan melalui proses penggilingan. Kulit merupakan bagian terluar dari biji gandum yang mempunyai fungsi untuk melindungi biji pada saat tumbuh dengan persentase terhadap biji gandum 15%. Endosperm adalah bagian terbesar dari biji sekitar 82.5% dan biasanya diproses menjadi tepung terigu. Germ adalah bakal biji gandum yang mempunyai persentase terhadap biji sekitar 2.5% (Gambar 5) (Haryati 2000 ;Welirang 2008).

Gambar 4. Malai, bulir dan bunga gandum (1. malai, 2. bulir, 3. gabah atas, 4. Gabah bawah, 5. bunga (2-5 buah), 6. kotak sari, 7. kepala putik, 8. tangkai sari, 9. putik, 10. palea, 11. lemma, 12. bunga gandum) (Wiyono 1980).

Gandum dibudidayakan dengan cara menanam benihnya secara alur maupun tugal. Penanaman secara alur sering digunakan untuk menghindari kerebahan dan tujuan komersial. Sedangkan penanaman secara tugal digunakan untuk tujuan menghemat benih, memperoleh tingkat perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, dan biasanya menghasilkan angka produksi yang lebih tinggi. Gandum menghendaki suhu bagi pertumbuhannya, yaitu sekitar 15 – 25 oC. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, suhu tersebut terdapat di dataran tinggi >800 m dpl (Wiyono 1980, Acquaah 2007). Gandum tidak toleran terhadap kekeringan, sensitif terhadap salinitas tanah, dan tidak dapat tumbuh pada daerah yang hangat dan suhu tinggi (Van Ginkel dan Villareal 1996). Pengaruh suhu tinggi terhadap perkembangan bulir pada serealia meliputi laju perkembangan bulir yang lebih cepat, penurunan berat bulir, biji keriput, berkurangnya laju akumulasi pati dan perubahan komposisi lipid dan polipeptida (Stone 2001).

Karakter Morfo-Fisiologis

Karakter morfo-fisiologis di dalam seleksi tanaman dapat digunakan untuk pemecahan masalah yang dihadapi pada setiap tanaman yang diteliti, seperti tanaman gandum yang dapat beradaptasi di dataran rendah. Analisis keragaman genetik menggunakan karakter morfologi dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, oleh karena itu untuk menghasilkan data yang lebih baik harus di dukung dengan karakter fisiologi. Karakter morfologi juga dapat terjadi perubahan pada pertumbuhan tanaman bila terjadi cekaman lingkungan. Sebagai contoh cekaman suhu tinggi, dapat menyebabkan perubahan daun menjadi lebih tipis, dan keragaan biji menjadi keriput. Pengaruh cekaman lingkungan terhadap pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh besarnya tingkatan cekaman yang dialami tanaman tersebut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat dari cekaman lingkungan menyebabkan penghambatan pertumbuhan tanaman dan penurunan laju fotosintesis. Penurunan laju fotosintesis berkaitan dengan beberapa faktor seperti penutupan stomata, dehidrasi kutikula dan membran sel mengurangi permiabilitasya terhadap CO2. Penurunan nyata biasanya terjadi pada tinggi

tanaman, luas tanaman, jumlah ruas pertanaman dan jumlah polong per ruas (Hoogenboom et al. 1987), penurunan jumlah bunga dan penurunan jumlah biji pertanaman (Korte et al. 1983). Respon pertama pada tanaman yang mendapat cekaman adalah terjadinya hambatan pembukaan stomata daun. Mekanisme pembukaan stomata daun pada tanaman dikontrol oleh terjadinya perubahan potensial air di daun (Pennypacker et al. 1990, Watanabe et al. 1991).

Proses fisiologi dan metabolisme pada tanaman memerlukan adaptasi terhadap lingkungan yang mencekam seperti suhu tinggi. Adaptasi yang ditemukan pada tanaman yang mengalami cekaman adalah adanya penimbunan bahan organik seperi asam amino yang stabil seperti prolin. Prolin merupakan salah satu metabolit yang terbentuk dan terakumulasi di daun dalam jumlah banyak jika tanaman tersebut mengalami cekaman pada tanaman yang toleran (mutan) (Kirkham 1990; Delauney dan Verma 1993; Yoshiba et al. 1997). Fungsi prolin adalah untuk memelihara keseimbangan air antara vakuola, sitoplasma dan dengan lingkungannya (Yang dan Kao 1999). Akumulasi prolin sebagai respon terhadap cekaman lingkungan telah umum diketahui. Banyak peneliti mengemukakan tanaman yang terkena cekaman mengakumulasi prolin dalam

jumlah tertentu dan bervariasi tergantung pada varietas tanaman yang digunakan dan umur tanaman (Hamim 2004).

Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Suhu Tinggi

Adaptasi tanaman adalah kemampuan tanaman untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan yang spesifik seperti kondisi suhu, cahaya, dan ketersediaan mineral dan hara (Dubey 1996). Toleransi cekaman suhu didefinisikan sebagai kemampuan tanaman untuk tumbuh dan menghasilkan secara ekonomi pada suhu tinggi (Peet dan Willits 1998). Menurut Rao (2001) bahwa perbaikan adaptasi tanaman terhadap lingkungan dapat dicapai dengan perubahan lingkungan pertumbuhan dan pengembangan genotipe tanaman, tetapi yang paling efektif adalah gabungan antara keduanya. Peningkatan hasil panen disebabkan oleh perubahan agronomi melalui perbaikan adaptasi genetik untuk mengatasi kendala biotik dan abiotik dalam produksi tanaman serta meningkatkan potensial hasil genetik tetuanya dalam lingkungan yang sama. Untuk meningkatkan adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik yaitu dengan cara menyeleksi genotipe pada lingkungan cekaman suhu tinggi untuk mendapatkan galur-galur yang toleran dan karakter tanaman yang diinginkan seperti berproduksi tinggi (Blum 1983; Hall 1992). Indonesia sebagai daerah tropis yang mempunyai kisaran suhu dan kelembaban yang cukup bervariasi, yaitu sekitar 22- 33 °C dan 55-97 % (BMKG 2013). Hal ini menjadi kekhawatiran apabila tanaman gandum ditanam pada dataran rendah sampai sedang, karena gandum membutuhkan suhu tidak lebih dari sekitar 15-25 °C untuk periode pembungaannya.

Stres suhu tinggi atau kombinasi dengan kekeringan, adalah kendala umum selama tahapan pengisian biji dan pembungaan pada banyak tanaman sereal pada daerah yang beriklim tropis. Sebagai contoh, stres suhu tinggi memperpanjang waktu pengisian biji-bijian, menurunkan berat kernel gandum hingga 7% pada musim semi (Gambar 6) (Wahid et al. 2007; Guilioni et al. 2003). Pengurangan serupa terjadi pada pati, protein dan isi minyak kernel jagung (Wilhelm et al. 1999) dan kualitas biji-bijian sereal lain (Maestri et al. 2002). Pada gandum, berat biji dan jumlah biji gandum tampaknya peka terhadap stres suhu tinggi, seperti jumlah butir per malai menurun dengan meningkatnya suhu (Ferris et al. 1999).

Terdapat dua komponen adaptasi tanaman terhadap suhu tinggi yaitu penghindaran (avoidance) panas, dan toleransi panas. Avoidance adalah untuk memelihara potensial air jaringan agar tetap tinggi. Toleransi panas adalah kemampuan untuk menjadikan metabolisme tetap berlangsung normal walaupun kekurangan air melalui pengaturan OA (osmotic adjustment). fungsi tanaman esensial dipertahankan ketika jaringan menjadi panas. Suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pra-dan pasca-panen, terbakar matahari pada semua jaringan tanaman, penuaan daun, absisi, perubahan warna buah dan mengurangi hasil produksi (Guilioni et al. 1997; Ismail dan Hall 1999; Vollenweider dan Gunthardt 2005). Di daerah beriklim sedang, heat stress telah dilaporkan sebagai salah satu penyebab paling penting dalam pengurangan hasil panen dan produksi bahan kering dalam banyak tanaman, termasuk jagung (Giaveno dan Ferrero 2003).

Gambar 6. Keragaan biji gandum: A. Biji yang normal, B. Biji akibat cekaman suhu tinggi.

Peningkatan suhu dapat menyebabkan perubahan distribusi geografis dan musim pertumbuhan tanaman pertanian dengan membiarkan ambang suhu untuk awal musim dan kematangan tanaman lebih awal (Porter 2005). Suhu yang sangat tinggi, menyebabkan kerusakan parah bahkan kematian sel dapat terjadi dalam beberapa menit, yang dapat dikaitkan sebagai keruntuhan organisasi selular (Schoffl et al. 1999). Menurut laporan dari Inter Panel Climate Change (IPCC), suhu global akan naik 0.3 °C per dekade (Jones et al. 1999) mencapai sekitar 1 dan 3 °C di atas nilai sekarang pada tahun 2025 dan 2100, dan menyebabkan pemanasan global.

Memahami mekanisme fisiologis tanaman dengan perubahan-perubahan kondisi lingkungan sangat penting untuk menciptakan strategi yang efisien untuk mengembangkan kultivar unggul tahan cekaman. Untuk memahaminya perlu adaptasi tanaman tersebut terhadap cekaman seperti perubahan suhu terutama pada suhu tinggi. Mekanisme respons tanaman terhadap cekaman juga bervariasi pada setiap jenis tanaman. Mekanisme respons tumbuhan terhadap cekaman dan peranan mekanisme toleransi terhadap cekaman merupakan informasi dasar dalam perbaikan tanaman (Wahid et al. 2007). Mekanisme pertahanan antioksidan adalah bagian dari adaptasi terhadap cekaman suhu tinggi, yang berkorelasi dengan akuisisi termotoleransi (Maestri et al. 2002).

Mekanisme termotoleransi yang paling sering diteliti adalah induksi HSPs (Heat Shock Proteins). Pada kondisi stres panas (suhu tinggi), tanaman memberikan respon dengan cara mensintesa satu set protein pelindung yaitu HSPs. Mekanisme toleransi terhadap suhu tinggi terkait ketahanan sitoplasma dengan adanya HSPs, perubahan komposisi lipid bilayer pada membran biologis, dan regulasi hormon. HSPs merupakan kelompok – kelompok protein yang toleran cekaman panas. Protein ini melibatkan beberapa famili protein yang terkonservasi dan memiliki mekanisme aktifitas penghantaran yang khas (Wahid et al. 2007). Struktur primer HSPs terkonservasi hampir pada seluruh organisme mulai dari prokariot sampai eukariot tingkat tinggi seperti hewan dan tanaman. HSPs berperan mencegah agregasi protein yang terdenaturasi oleh suhu tinggi dan mendorong renaturasi molekul protein yang sudah teragregasi (Iba 2002).

Pemulian Mutasi Tanaman Gandum melalui Mutagenesis Menggunakan EMS

Pemuliaan secara mutasi dapat diinduksi dengan mutagen fisik dan mutagen kimia. Umumnya mutagen fisik dapat menyebabkan mutasi pada tahap kromosom, sedangkan mutagen kimia umumnya menyebabkan mutasi pada tahapan gen atau basa nitrogen (Aisyah 2006). Awalnya, para pemulia tanaman menganggap bahwa induksi mutasi merupakan suatu teknik pemuliaan yang kurang meyakinkan. Namun, seiring dengan berkembangnya bioteknologi, keberhasilan regenerasi sel berdasarkan teori totipotensi, dan terbentuknya variasi somaklonal, maka induksi mutasi merupakan teknik dalam pemuliaan tanaman yang diharapkan. Teknik tersebut dapat menunjang perolehan varietas mutan baru yang bermanfaat bagi perkembangan gandum di Indonesia.

Pemuliaan tanaman dengan induksi mutasi bertujuan untuk perbaikan tanaman sehingga menghasilkan varietas unggul dengan hasil produksi lebih tinggi dari tetuanya dan mempunyai bentuk yang berbeda pula. Menurut Chopra (2005) perbaikan varietas tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan mutagen fisik atau kimia untuk meningkatkan keragaman genetik. Mutasi adalah suatu perubahan baik terhadap gen tunggal, terhadap sejumlah gen dan terhadap susunan kromosom atau perubahan urutan (sequence) nukleotida DNA kromosom, yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada protein yang dihasilkan. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel seperti meristem.

Gandum bukan merupakan tanaman asli Indoneia maka keragaman genetik gandum yang terdapat di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa varietas gandum di introduksi dari International Maize and Wheat Improvement Center, Mexico (CIMMYT) dan dari beberapa negara seperti India, Pakistan dan Turki yang kondisi iklimnya kurang lebih sama dengan Indonesia dibandingkan dengan varietas asal Eropa. Setelah melalui proses pengujian adaptasi dan daya hasil selama beberapa generasi kemudian beberapa varietas introduksi dilepas oleh KEMTAN menjadi varietas unggul nasional seperti Dewata (galur DWR 162 dari India) dan Selayar (galur HHAHN/2 dari CIMMYT) (Dahlan et al. 2003). Varietas – varietas tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan pada lahan pertanian di Indonesia hanya saja terbatas pada dataran tinggi. Sedangkan dataran tinggi di Indonesia umumnya telah ditanami dengan sayur mayur dan hortikultura lainnya yang mempunyai nilai ekonomis lebih tinggi. Oleh karena itu program pemuliaan tanaman gandum di Indonesia diarahkan untuk merakit varietas unggul yang dapat beradaptasi pada dataran rendah (< 400 m dpl). Poehlman dan Sleper (2006) menyatakan bahwa kegiatan pemuliaan gandum ditujukan untuk memperoleh varietas unggul berproduksi tinggi, meningkatkan kualitas produk, meningkatkan stabilitas hasil berkaitan dengan upaya untuk mendapatkan varietas yang seragam, dan mampu beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan.

Induksi mutasi dengan menggunakan mutagen merupakan salah satu metode dalam pemuliaan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman untuk mendapatkan ideotipe tanaman yang diharapkan. Kombinasi pemuliaan tersebut lebih efektif apabila dilakukan dengan menggunakan bahan tanaman yang bersifat

meristematik (Maluszynski 1995; Ahloowalia 1995). Kalus bersifat meristematik sehingga lebih responsif terhadap mutagen dibandingkan dengan sel-sel dewasa.

Penggunaan mutagen dalam kultur in vitro dapat meningkatkan keragaman genetik sehingga dapat menghasilkan mutan baru. Proses mutasi alami (spontan) biasanya sangat lambat (10-6 s/d 10-7) sehingga perlu mutagen untuk menginduksi frekuensi, dan kecepatan mutasi tanaman. Salah satu mutagen yang paling potensial (Chopra 2005), paling efektif dan banyak digunakan (Medina et al. 2005) serta digunakan pada berbagai jenis organisme mulai dari virus sampai mamalia (Sega 1984) adalah mutagen kimia yaitu EMS. EMS sering digunakan dalam penelitian karena mudah diperoleh, murah dan tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (Van Harten 1998; Natarajan 2005). Mutagen kimia dapat diintroduksi ke dalam jaringan tanaman dan bahkan sel sehingga dapat menyebabkan jumlah mutasi tinggi dibandingkan dengan cara lain tetapi tergantung dari konsentrasi bahan kimia, waktu perlakuan, suhu, dan kadar air bahan eksplan (Nasir 2002).

EMS pada umumnya menyebabkan mutasi titik yaitu terjadinya delesi pasangan basa tertentu dalam kromosom. Senyawa EMS merupakan senyawa alkali yang efektif sebagai mutagen untuk tanaman tingkat tinggi (Van Harten 1998; Greene et al. 2003) dan dapat mengubah lokus tertentu tanpa menginduksi sejumlah besar mutasi yang terpaut dekat dengan lokus tersebut. Gugus alkil bereaksi dengan DNA dengan cara mengalkilasi basa purin dan pirimidin. Alkil dapat terjadi pada atom O-6 dari basa guanin sehingga berakibat perubahan pasangan dari sitosin menjadi berpasangan dengan timin yang mengakibatkan perubahan kode genetik dari GC menjadi AT pada generasi sel berikutnya (Sega 1984). Penggunaan EMS untuk meningkatkan terjadinya mutasi telah banyak dilaporkan, diantaranya untuk menghasilkan mutan pada tanaman kedelai melalui mutagenesis in vitro (Grabau et al. 1995), menghasilkan tanaman gandum yang cepat berbunga dan masaknya biji (Vismanathan dan Reddy 1996), dan memperoleh tanaman cabai tahan ChiVMV (Manzila et al. 2010).

Kultivar mutan gandum yang dilepas di berbagai negara, adalah 1 mutan (Argentina, Chili, Finlandia, Hongaria, dam Swiss), 2 mutan ( Brazil, Bulgaria, Jepang, Jerman dan Itali), 3 mutan ( Amerika dan Mongolia), 4 mutan ( India ), 6 mutan ( Pakistan), 36 mutan (Rusia), 60 mutan (Irak), 124 mutan (Cina) (Cheng et al. 1990 dalam Soedjono 2003).

Seleksi in vitro

Induksi mutasi secara in vitro pada tanaman sangat efektif dan efisien karena perubahan lebih terarah kepada sifat yang diinginkan dan mempercepat seleksi in vitro yang dikehendaki dan meningkatkan keragaman tanaman dalam waktu singkat tanpa mengubah karakteristik tetuanya. Pada berbagai tanaman, seleksi in vitro telah terbukti dapat menghasilkan varietas baru tahan penyakit dan sifat tersebut dapat diwariskan pada generasi berikutnya (Van den Bulk 1991; Maluszynski et al. 1995; Nagotomi 1996). Mutagenesis in vitro yang dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro untuk ketahanan terhadap suhu tinggi dan telah menghasilkan mutan toleran suhu tinggi sudah dilakukan pada tanaman bawang putih (Zhen 2001), tanaman kentang (Das et al. 2000; Gosal et al. 2001) dan mendapatkan 16 tunas tanaman purwoceng yang tahan pada suhu 32 °C (Ajijah

2009). Seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi pada tanaman kentang lebih tinggi 8 °C dari suhu optimum untuk pembentukan umbi mikro yaitu 20 °C menjadi 28 °C kemudian di uji lapang beriklim panas. Hasil dari evaluasi tersebut diperoleh beberapa mutan toleran suhu tinggi. Sedangkan pada bawang putih mendapatkan umbi mutan secara in vitro pada suhu 32 °C.

Seleksi in vitro sangat efisien karena tempat yang dibutuhkan relatif sedikit, kondisi seleksi dapat homogen dan terkendali serta menghasilkan efektifitas seleksi tinggi. Penggunaan seleksi in vitro pada tingkat sel dengan menggunakan agen penyeleksi diharapkan dapat dihasilkan karakter yang diinginkan. Menurut Ali (2006) teknik induksi mutasi dikombinasikan dengan seleksi in vitro seringkali digunakan untuk membentuk keragaman genetik baru dan meningkatkan kemungkinan diperolehnya varian baru yang beradaptasi dengan lingkungan tertentu. Tanaman hasil regenerasi dari jaringan yang dapat mengatasi kondisi seleksi in vitro, diharapkan mempunyai fenotipe toleran suhu tinggi dan dapat beradaptasi pada dataran rendah. Beberapa hasil penelitian seleksi in vitro untuk mendapatkan galur baru antara lain pada tanaman gandum tahan kekeringan (Bajji et al. 2004) dan tanaman barley tahan suhu beku (Tantau et al. 2004).

Seleksi in vivo

Induksi mutasi dan seleksi in vitro (seleksi di laboratorium) diharapkan dapat menghasilkan keragaman genetik yang diinginkan. Oleh karena itu untuk memperoleh genotipe-genotipe dengan karakter yang diinginkan maka perlu dilakukan seleksi in vivo (seleksi di lapangan). Seleksi di lapangan merupakan salah satu kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman yaitu menyeleksi sejumlah individu dari suatu populasi dan membiarkannya membentuk generasi baru. Menurut Falconer dan Mackay (1996) seleksi ini merupakan salah satu cara untuk mengubah frekuensi gen dengan memilih karakter yang diinginkan dan tidak mengambil karakter yang tidak diinginkan.

Seleksi pada tanaman menyerbuk sendiri seperti pada tanaman gandum dapat dibagi menjadi tiga metode, yaitu seleksi silsilah (pedigree), Seleksi bulk dan seleksi turunan biji tunggal (single seed descent/SSD) (Chahal dan Gosal 2003; Poehlman dan Sleper 2006). Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah pedigree. Prinsip seleksi pedigree adalah dilakukan pada generasi awal dengan tingkat segregasi tinggi (M2 atau M3), berulang dilaksanakan terhadap individu terbaik dari famili terbaik pula sampai tercapai tingkat homozigositas tinggi dan turunan setiap genotipe di catat secara lengkap. Syarat yang berlaku