• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengamatan Analisis Prolin dan Gula Total (Fisiologi) Analisis Prolin dan Gula Total (Fisiologi)

BAHAN DAN METODE

3. Pengamatan Analisis Prolin dan Gula Total (Fisiologi) Analisis Prolin dan Gula Total (Fisiologi)

Analisis prolin dilakukan menggunakan metode Bates et al. (1973). Bahan tanaman yang dipergunakan adalah daun bendera yang telah berkembang maksimal pada tanaman mutan dan kontrol pada umur kurang lebih 2.5 bulan. Daun ditimbang 0.5 g, digerus dan dihomogenisasi dengan 9 ml asam sulfosalisilat 3 %. Volume supernatan ditera dengan asam sulfosalisilat hingga 10 ml, disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit, supernatan yang diperoleh dipisahkan dari larutan. Sebanyak 2 ml supernatan ditambah dengan 2

ml larutan asam ninhidrin dan asam asetat glacial dalam tabung reaksi dan dipanaskan pada suhu 100 0C selama 60 menit. Selanjutnya larutan reaksi ini diinkubasi dalam es batu selama 5 menit. Hasil reaksi diekstraksi dengan 4 ml toluen kemudian diaduk selama 15-20 detik sehingga terbentuk klomoform. Kromoform yang mengandung toluen dipisahkan dari fase cairnya pada suhu ruangan. Kromoform yang terbentuk diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Toluen digunakan sebagai larutan blanko (standar). Kadar prolin ditentukan berdasarkan kurva standar, dan menghitung konsentrasi prolin dengan rumus: [(µg proline/ml × ml toluene) / 115.5 µg/µmole]/[(g sample)/5] = µmoles proline/g berat segar daun. Kadar prolin dinyatakan sebagai µg/g bobot daun segar.

Analisis gula total menggunakan metode Smogy Nelson (1982). Bahan tanaman yang digunakan adalah daun bendera yang telah berkembang maksimal dari tanaman mutan dan kontrol. Daun ditimbang 2.0 – 2.5 g, dioven pada suhu 40-45 0C selama 2 hari, ditimbang bobot keringnya dan digiling sampai halus. Daun halus ditimbang 200 mg dan dimasukkan dalam Erlenmeyer, ditambahkan 20 ml etanol absolut 80 %, dipanaskan selama 20 menit dalam water bath dengan suhu 60-70 0C, disentrifugasi dan didiamkan hingga terbentuk endapan (residu). Cairan diambil dan ditempatkan dalam cawang datar. Ekstrak ditambah 20 ml etanol, dan dipanaskan pada suhu 60-70 0C dalam water bath, disentrifugasi dan didiamkan hingga terbentuk residu cairan dan diambil untuk disatukan dengan cairan sebelumnya (prosedur ini diulangi tiga kali). Cairan absolut dalam cawang datar diuapkan dalam water bath hingga tersisa 1-2 ml. Sisa cairan disaring dengan kertas saring dalam labu ukur 100 ml + (±50 ml akuades) + 5 ml Ba(OH)2

5% + 5 ml ZnSO4 5 %, sehingga terjadi endapan protein. Larutan ditera dengan

akuades (100 ml), dikocok lalu disaring menggunakan kertas saring. Hasil saringan ini merupakan gula reduksi. Analisis gula total dilakukan dengan prosedur: 5ml larutan ekstrak dalam tabung reaksi + 5 ml H2SO4 1,4 N dipanaskan

(10 menit) dalam water bath, lalu didinginkan. Larutan dinetralkan dengan NaOH 1 N, sehingga terbentuk warna merah jambu. Larutan ditera hingga 20 ml dan dikocok (ekstrak II). Proses reduksi/pewarnaan: 2 ml contoh etanol II dalam tabung reaksi 25 ml + 2 ml pereaksi Cu, dipanaskan selama 10 menit dalam water bath. (Disiapkan deret standar 5, 10, 15, 20, 25 ppm), lalu didinginkan dan ditambahkan dengan 2 ml pereaksi Nelson, kocok hingga CO2 hilang dan warna

berubah menjadi bening. Larutan tersebut ditera (20-25 ml), lalu dikocok dan didiamkan selama 30 menit. Larutan tersebut diukur dengan spektrofotometer panjang gelombang 500 nm lalu dibandingkan dengan deret ukur yang telah dibuat sebelumnya.

Analisis Data

Analisis data dilakukan menggunakan rancangan pembesaran (Augmented Design) dan analisis korelasi antar karakter. Menurut Petersen (1994), pada Augmented Design sebelum data dianalisis perlu dilakukan penyesuaian untuk perbedaan setiap baris. Penyesuaian ini didasarkan pada nilai rata-rata genotipe mutan putatif dalam baris tertentu dan nilai rata-rata genotipe kontrol seluruh percobaan. Untuk mengestimasi standar error digunakan Kuadrat Tengah Harapan/MSE/Middle Square Error.

Nilai Kuadrat Tengah Harapan didapat dari penghitungan analisis ragam. Selanjutnya standar error digunakan untuk mengestimasi nilai LSI (Least Significant Increase). Nilai LSI digunakan untuk membandingkan antara varietas kontrol dengan populasi M3. Model analisis ragam Augmented Design disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Model analisis ragam Augmented Design

Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah Ulangan/chek/kontrol Genotipe Galat r-1 c-1 (r-1)(c-1) SSR SSC SSE SSR (r-1) SSC (c-1) MSE Keterangan : r = ulangan, c= genotipe, SSR = Jumlah kuadrat tengah ulangan, SSC = Jumlah kuadrat tengah genotipe, SSE=Kuadrat tengah galat dan

MSE=Kuadrat tengah harapan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama penelitian di lokasi BIOTROP Bogor (±250 m dpl) memiliki rata- rata curah hujan 359.88 mm, hari hujan sebanyak ±15 hari, suhu 26.88 °C, kelembaban udara 84.2 %, lama penyinaran matahari 59.8% dan intensitas radiasi matahari sebesar 290.6 Cal/Cm2 (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa suhu lebih tinggi dari 25 °C, merupakan ambang batas suhu (threshold) bagi tanaman gandum. Threshold adalah satu suhu satu derajat di atas nilai batas tersebut yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak berfungsi (Sopandie 2013). Kenaikan suhu 1 °C, menyebabkan gandum mengalami penghambatan pertumbuhan. Penghambatan pertumbuhan tanaman gandum adalah suhu udara, artinya setiap penurunan elevasi menyebabkan terjadi kenaikan suhu udara. Kenaikan suhu dapat mengakibatkan cekaman selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman gandum (Handoko 2007). Menurut Wiyono (1980); Van Ginkel dan Villareal (1996), gandum memerlukan suhu bagi pertumbuhannya sekitar 15 – 25 °C dan tidak dapat tumbuh pada daerah hangat dan suhu tinggi.

Curah hujan tinggi pada bulan Mei sebanyak 654 mm (bulan basah) mengakibatkan pertumbuhan tanaman gandum lebih cepat karena tersedianya air cukup untuk pertumbuhan. Kadar air yang cukup dapat mengoptimalkan laju fotosintesis sehingga proses pertumbuhan optimal.

Sebanyak 21 dari 144 genotipe (Lampiran 6 dan 7) yang diuji dipilih secara acak berdasarkan persentase pertumbuhan awal gandum, memberikan hasil hampir sama dengan persentase pertumbuhan waktu panen (Tabel 13). Genotipe yang terpilih adalah 16 Dewata, 2 Selayar dan 3 Alibey, yaitu: Dw-1-13-2, Dw-1- 15-1, Dw-1-22-3, Dw-2-13-2, Dw-1-21-2, Dw-1-27-2, Dw-2-13-3, Dw-2-17-3, Dw-6-17-1, Dw-7-1-1, Dw-7-10-1, Dw-2-4-1, Dw-4-8-1, Dw-4-12-1, Dw-6-18-1, Dw-6-21-1, Sl-2-14-2, Sl-3-2-2, Ab-2-14-1, Ab-3-3-2, dan Ab-3-16-1.

Tabel 13. Karakter agronomi pertumbuhan pada gandum mutan Dewata, Selayar dan Alibey yang di tanam di Kebun Percobaan SEAMEO-BIOTROP, Bogor, Tahun 2013 (± 250 m dpl). Genotipe TA TP BGA MSK PNN PTM PM TT Dewata (K) 40.82 27.50 69.10 84.78 89.52 9.29 7.47 54.40 Dw-1-13-2 69.45* 39.29* 49.76 67.68 75.40 15.62* 7.72* 57.41* Dw-1-15-1 37.93 29.07* 44.06 63.68 74.70 13.32* 7.72* 55.81* Dw-1-22-3 62.63* 39.74* 44.06 69.68 77.40 17.12* 7.52* 61.31* Dw-2-13-2 72.23* 49.84* 48.06 67.68 74.40 13.12* 8.32* 65.61* 2Dw-1-21-2 47.12* 25.06 32.07 55.10 61.80 15.17* 8.28* 60.44* 2Dw-1-27-2 75.69* 33.00* 35.77 57.10 61.80 12.87* 8.68* 62.64* 2Dw-2-13-3 54.26* 31.58* 31.77 54.10 58.80 16.17* 7.98* 59.14* 2Dw-2-17-3 62.12* 47.29* 32.77 57.40 61.80 1.67 7.98* 61.44* 2Dw-6-17-1 49.56* 27.30 55.96 74.43 83.08 12.96* 7.93* 59.11* 2Dw-7-1-1 85.27* 52.19* 55.96 73.13 80.78 13.76* 9.03* 72.61* 2Dw-7-10-1 74.56* 24.95 52.54 76.23 85.37 12.23* 7.21 62.37* 3Dw-2-4-1 72.12* 49.95* 50.84 77.23 87.37 15.73* 8.21* 72.67* 3Dw-4-8-1 76.31* 54.12* 50.84 77.23 86.37 16.63* 8.81* 77.07* 3Dw-4-12-1 41.67* 25.35 46.87 68.90 74.60 14.30* 6.99* 57.20* 3Dw-6-18-1 59.86* 34.44* 46.87 68.90 75.60 13.70* 7.59* 62.20* 3Dw-6-21-1 48.22* 34.62* 46.87 68.90 75.60 11.20* 6.59 57.90* Selayar (K) 72.82 53.80 79.90 107.07 116.02 6.55 10.63 73.55 Sl-2-14-2 42.89 46.29 61.61 87.32 94.84 3.02 6.75 46.37 Sl-3-2-2 50.38 59.18* 61.61 87.32 93.84 1.82 6.75 41.37 Alibey (K) 50.15 53.00 79.40 102.06 109.78 5.26 9.86 66.51 Ab-2-14-1 37.89 21.29 54.61 82.32 89.14 5.52* 7.15 51.37 Ab-3-3-2 48.89 49.29 54.61 77.32 86.84 6.52* 7.95 55.07 Ab-3-16-1 26.22 30.46 54.61 77.32 87.54 3.82 8.25 52.77 Keterangan: * = Berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol, TA=Persentase hidup awal,

TP=Persentase hidup panen, BGA=Umur berbunga, MSK=Umur masak, PNN=Umur panen, PTM=Panjang tangkai malai, PM=Panjang malai, TT=Tinggi tanaman.

Pada Tabel 13 (nomor terakhir pada setiap genotipe menyatakan nomor malai yang di panen) malai yang sering dipanen adalah malai dengan nomor malai ke-1 yaitu sebanyak 11 genotipe yaitu Dw-1-15-1, Dw-6-17-1, Dw-7-1-1, Dw-7- 10-1, Dw-2-4-1, Dw-4-8-1, Dw-4-12-1, Dw-6-18-1, Dw-6-21-1, Ab-2-14-1, dan Ab-3-16-1. Malai ke-2 sebanyak 7 genotipe (Dw-1-13-2, Dw-2-13-2, Dw-1-21-2, Dw-1-27-2, Sl-2-14-2, Sl-3-2-2, dan Ab-3-3-2. Malai ke-3 sebanyak 3 genotipe yaitu Dw-1-22-3, Dw-2-13-3, dan Dw-2-17-3. Hal ini menunjukkan bahwa tidak harus malai pertama yang mempunyai potensi untuk di panen, tetapi bisa malai kedua dan ketiga, selebihnya nomor malai ke empat dan seterusnya tidak berpotensi untuk dipanen (metode seleksi pedigree). Potensi untuk layak panen adalah genotipe yang mempunyai karakter panjang tangkai malai dan panjang malai lebih tinggi dari kontrol serta mempunyai biji yang bernas.

Hasil analisis ragam augmented karakter agronomi pertumbuhan menunjukkan adanya pengaruh nyata lebih tinggi dibandingkan tanaman kontrol dengan mutan pada karakter persentase tumbuh awal (15 mutan), persentase

tumbuh panen (13 mutan), panjang tangkai malai (17 mutan), panjang malai (14 mutan), dan tinggi tanaman (16 mutan). Sementara karakter yang tidak berpengaruh nyata terdapat pada karakter waktu berbunga, waktu masak dan panen (Tabel 13). Pengaruh nyata mengindikasikan adanya perbedaan antara tanaman kontrol dan mutan. Penelitian ini sejalan dengan hasil laporan Setyowati et al. 2009, yang menyatakan bahwa pada 65 aksesi plasma nutfah gandum terdapat tiga karakter yang berpengaruh nyata pada tanaman gandum yaitu jumlah anakan, jumlah malai dan panjang tangkai malai.

Hasil analisis ragam augmented karakter agronomi komponen hasil, menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap karakter jumlah malai (1 mutan), jumlah biji per malai (2 mutan), bobot biji pengamatan (8 mutan), bobot biji 100 butir (4 mutan), bobot biji per genotipe (12 mutan), luas daun (4 mutan) dan kehijauan daun (3 mutan) (Tabel 14).

Umur berbunga mempunyai nilai lebih rendah jika dibandingkan dengan semua tanaman kontrol Dewata, Selayar maupun Alibey. Penelitian di beberapa daerah lainnya di Indonesia membuktikan bahwa gandum dataran rendah tropis dapat berbunga lebih cepat yaitu 35 – 51 HST dibandingkan dengan gandum dataran tinggi (Aqil et al. 2011). Tanaman-tanaman yang sensitif terhadap perubahan suhu seperti gandum, penurunan hasil panennya sangat tajam jika tanaman tersebut ditanam pada ketinggian lebih rendah dengan suhu yang lebih tinggi dan akan mempengaruhi penurunan nyata pada penurunan jumlah bunga dan penurunan jumlah biji per tanaman (Korte et al.1983; Handoko 2007).

Korelasi yang dinyatakan dalam analisis korelasi adalah mengukur derajat keeratan hubungan lebih dari dua karakter. Analisis korelasi antar karakter pertumbuhan dan komponen hasil gandum mutan menunjukkan bobot biji per genotipe berkorelasi positif terhadap persentase tumbuh panen, waktu masak, waktu panen, panjang malai, tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah malai, jumlah biji per malai, bobot biji 100 bulir, bobot biji pengamatan, tetapi tidak berkorelasi positif terhadap waktu berbunga dan panjang tangkai malai (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan nilai pada karakter-karakter tersebut maka mempengaruhi peningkatan pada bobot biji per genotipe. Bobot biji per genotipe ini selanjutnya digunakan sebagai seleksi untuk generasi M4.

Analisis korelasi antar karakter komponen hasil gandum mutan Dewata, Selayar dan Alibey dapat dilihat pada Tabel 15. Jumlah anakan berkorelasi positif terhadap jumlah malai, jumlah biji per malai, bobot biji pengamatan, bobot biji 100 bulir, bobot biji per genotipe dan kehijauan daun, kecuali pada karakter luas daun berkorelasi negatif. Hal ini menyatakan semakin tinggi karakter-karakter tersebut maka meningkatkan jumlah anakan. Jumlah anakan pada Dewata tertinggi terdapat pada genotipe 2Dw-1-27-2, sedangkan pada Selayar terdapat pada genotipe Sl-3-2-2 dan Alibey terdapat pada genotipe Ab-3-16-1.

Tabel 14. Karakter agronomi komponen hasil pada gandum mutan Dewata, Selayar dan Alibey yang di tanam di SEAMEO-BIOTROP, Bogor (± 250 m dpl).

Genotipe JA JM JBM BBP BB100 BBG LD KD Dewata (K) 8.40 3.37 30.41 0.68 3.73 8.37 24.92 47.82 Dw-1-13-2 2.23 2.99 12.47 0.41 3.08 2.631 21.32 41.68 Dw-1-15-1 1.56 2.33 18.8 0.52 2.78 4.461 19.03 36.75 Dw-1-22-3 1.56 2.66 15.13 0.66 4.07* 11.62* 21.26 44.95 Dw-2-13-2 2.56 2.99 16.8 0.69 3.88* 19.77* 17.86 42.18 2Dw-1-21-2 3.59 1.23 25.5 0.77* 3.44 3.184 21.63 42.85 2Dw-1-27-2 5.26 3.23 23.83 0.61 3.01 10.59* 21.55 38.62 2Dw-2-13-3 3.92 1.57 21.16 0.51 2.88 9.524* 19.90 43.15 2Dw-2-17-3 4.92 2.9 28.83 0.72* 2.9 7.384 18.40 37.35 2Dw-6-17-1 3.21 2.3 32.36* 0.81* 2.44 4.737 32.97* 47.52 2Dw-7-1-1 4.21 3.3 22.03 0.69* 3.19 12.15* 22.07 50.48* 2Dw-7-10-1 2.26 1.67 19.72 0.71* 3.6 3.327 26.21* 47.13 3Dw-2-4-1 3.60 3.67* 23.06 0.69* 2.79 10.42* 20.96 48.46* 3Dw-4-8-1 1.93 1.78 32.06* 1.09* 3.32 19.95* 26.67* 58.66* 3Dw-4-12-1 0.92 1.45 13.72 0.63 4.27* 8.40 22.56 44.77 3Dw-6-18-1 3.25 3.11 21.38 0.64 2.93 9.70 21.52 44.57 3Dw-6-21-1 0.08 0.78 15.72 0.69* 4.10* 14.43* 23.4 40.24 Selayar (K) 10.74 5.65 44.2 0.98 4.20 13.85 27.39 61.15 Sl-2-14-2 3.79 1.7 10.91 0.54 3.74 8.108 30.68* 42.38 Sl-3-2-2 5.12 2.33 23.25 0.69 2.35 14.94* 22.15 45.55 Alibey (K) 11.86 6.08 44.31 0.93 3.79 11.76 27.55 56.22 Ab-2-14-1 4.45 1.7 29.25 0.87 2.42 12.4* 11.8 45.82 Ab-3-3-2 4.12 2.37 23.58 0.75 2.55 17.22* 14.63 45.65 Ab-3-16-1 6.45 5.03 22.25 0.83 3.05 15.27* 16.62 43.58 Keterangan: * = Berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol, JA=Jumlah anakan, JM=Jumlah malai, JBM= Jumlah biji per malai, BBP=Bobot biji pengamatan, BB100=Bobot biji 100 bulir, BBG=Bobot biji per genotipe, LD=Luas daun, KD=Kehijauan daun.

Tabel 15. Analisis korelasi antar karakter agronomi pertumbuhan dan komponen hasil tanaman gandum Dewata, Selayar dan Alibey generasi M3 di Kebun Percobaan SEAMEO-BIOTROP, Bogor, Tahun 2013.

TA TP BGA MSK PNN PTM PM TT JA JM JBM BBP BB100 BBG LD TP 0.497** BGA -0.012 0.355** MSK 0.019 0.456** 0.846** PNN 0.035 0.400** 0.812** 0.923** PTM 0.327** -0.112 -0.25** -0.135 -0.079 PM 0.277** 0.241** 0.007 0.274** 0.240** 0.545** TT 0.272** 0.111 -0.081 0.170* 0.1806* 0.780** 0.806** JA 0.096 0.393** 0.088 0.276** 0.1671* -0.36** 0.368** 0.060 JM 0.055 0.156 0.263** 0.288** 0.305** 0.151 0.457** 0.458** 0.431** JBM 0.231** 0.332** -0.071 0.143 0.089 0.222** 0.581** 0.453** 0.413** 0.252* BBP 0.161 0.308** 0.018 0.269** 0.246** 0.334** 0.621** 0.596** 0.212* 0.352** 0.830** BB100 0.093 0.352** 0.088 0.353** 0.317** 0.203* 0.591** 0.519** 0.304** 0.352** 0.818** 0.982** BBG 0.051 0.418** 0.110 0.299** 0.218** -0.069 0.287** 0.231** 0.291** 0.199* 0.496** 0.591** 0.639** LD 0.046 0.088 0.144 0.299** 0.269** 0.387** 0.547** 0.567** 0.078 0.275** 0.328** 0.445** 0.407** 0.229** KD 0.268** 0.392** 0.389** 0.614** 0.588** 0.407** 0.616** 0.612** 0.242** 0.413** 0.420** 0.513** 0.499** 0.277** 0.492** Keterangan: TA=Persentase hidup awal, TP=Persentase hidup panen, BGA=Umur berbunga, MSK=Umur masak, PNN=Umur panen, PTM=Panjang tangkai malai, PM= Panjang malai, TT=Tinggi tanaman, JA=Jumlah anakan, JM=Jumlah malai, JBM=Jumlah biji per malai, BBP=Bobot biji pengamatan, BB100= Bobot biji 100 butir, BBG=Bobot biji per genotipe, LD=Luas daun, KD=Kehijauan daun, * dan ** =Berkorelasi nyata pada taraf kepercayaan 95% &99%.

Keragaan panjang malai dan kehijauan daun bendera yang telah membuka sempurna dan tetap hijau sewaktu panen pada tanaman M3 yang ditanam di BIOTROP ditampilkan pada Gambar 29. Keragaan tanaman M3 mempunyai kehijauan daun bendera yang berbeda antara tanaman kontrol dan mutan. Kehijauan daun dapat diukur menggunakan SPAD-502. Semakin tinggi angka yang terbaca dalam SPAD-502 menunjukkan semakin banyak persentase klorofil dalam daun. Menurut Jangpromma et al. (2010) pembacaan dengan SPAD-520 klorofil meter merupakan penafsiran dari nilai kandungan zat hijau daun atau klorofil daun pada tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan warna kehijauan daun pada ke tiga mutan (2Dw-7-1-1, 3Dw-2-4-1 dan 3Dw-4-8-1) dibandingkan dengan kontrol. Warna kehijauan daun pada mutan tersebut lebih tua dibandingkan dengan kontrol dan mutan lainnya. Warna kehijauan daun yang lebih tua mengindikasikan bahwa kandungan klorofilnya lebih tinggi dan memiliki karakter stay green yang berkorelasi positif dengan nilai bobot biji per genotipe. Hal ini menyatakan bahwa bila terjadi peningkatan pada nilai kehijauan daun maka terjadi peningkatan pada karakter nilai bobot biji per tanaman. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa semakin tinggi nilai kehijauan daun tanaman mutan gandum maka semakin besar fotosintesis yang dihasilkan dan semakin lama stay green sampai panen, maka bobot biji pada tanaman tersebut meningkat.

Gambar 29. Keragaan panjang malai dan kehijauan daun bendera tanaman M3 di BIOTROP (± 250 m dpl).( = daun bendera).

Penurunan laju fotosintesis mengakibatkan semua komponen hasil menurun dan membatasi pembentukan jumlah polong dan pengisian biji (Baheshti dan Fard 2010). Menurut Nur et al. (2012) hasil evaluasi beberapa galur introduksi pada dataran rendah menunjukkan bahwa untuk mendapatkan calon genotipe gandum daratan rendah perlu idiotipe tanaman dengan jumlah anakan produktif tinggi, jumlah malai dan luas daun.

Penampilan karakter yang memiliki perbedaan nyata, hal ini mengindikasikan terdapatnya keragaman yang cukup luas di antara mutan yang memberi peluang untuk dapat menghasilkan mutan yang diinginkan. Karakter- karakter agronomi yang mempunyai keragaan baik mengindikasikan toleran

terhadap dataran rendah tropis dan memungkinkan untuk dilakukan seleksi kembali pada M4 di lingkungan dataran rendah. Kombinasi antara suhu dengan kelembaban, lama penyinaran dan intensitas penyinaran dan curah hujan tinggi menambah tingkat cekaman terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman gandum.

Warna daun waktu panen dapat digunakan sebagai indikator bahwa tanaman tersebut layak diseleksi untuk penanaman generasi berikutnya. Daun bendera yang tetap hijau pada saat waktu panen mengindikasikan bahwa daun tersebut mempunyai sifat stay green. Warna daun yang stay green pada waktu panen berhubungan erat dengan kapasitas source dan akumulasi karbohidrat di batang dan daun bendera.

Biji-biji yang dihasilkan tanaman mutan lebih bernas dibanding kontrol. Biji-biji tanaman kontrol lebih keriput, ramping dan warna biji lebih pekat (Gambar 30). Hal ini kemungkinan terjadi karena pengisian biji kurang optimal atau tidak maksimal. Menurut hasil penelitian Maestri et al. (2002): Stone (2001) hal ini disebabkan karena periode perkembangan tanaman terhambat, terganggunya proses asimilasi karbon, berkurangnya akumulasi pati sehingga menghasilkan organ yang kecil dan penurunan berat bulir. Selain itu dengan berkurangnya panjang siklus hidup pada dataran rendah menghasilkan hasil gabah rendah.

Gambar 30. Keragaan biji gandum generasi M3 Dewata, Selayar, dan Alibey di Biotrop (± 250 m dpl). A. Dewata kontrol, B. 2Dw-6-17-1, C. Selayar kontrol, D. Sl-3-2-2, E. Alibey kontrol, F. Ab-2-14-1.

A B

C

D

F E

Fenomena yang terjadi di lapangan pada waktu panen adalah biji gandum yang telat panen berkecambah sehari setelah hujan (sprouting) dan daun menggulung karena cekaman suhu (Gambar 31). Pemanenan gandum tidak serempak seperti pemanenan pada tanaman padi. Pemanenan gandum dilakukan secara bertahap, dimana malai pertama dipanen terlebih dahulu dilanjutkan malai kedua, dan seterusnya. Untuk menghitung berapa hari yang diperlukan untuk menentukan umur panen yaitu jumlah hari dari waktu tanam sampai lebih dari 50% tanaman telah menguning malainya dalam setiap petak. Sprouting merupakan berkecambahnya biji gandum pada malai karena melampaui masa panen. Hal ini dipengaruhi oleh waktu dormansi biji gandum tersebut, dan faktor iklim salah satunya adalah suhu tinggi pada proses pengisian biji yang menurun pada periode dormansi (Gavazza et al. 2012).

Gambar 31. Fenomena yang terjadi di lapangan, A). Biji gandum tidak berkecambah B) Biji gandum berkecambah (toleran). C) Daun menggulung karena cekaman suhu tinggi (toleran). D) Daun tidak menggulung.

Pengamatan anatomi kerapatan stomata dan ketebalan daun menunjukkan nilai berbeda antara tanaman kontrol dan mutan (Gambar 32 dan 33). Rata-rata kerapatan stomata pada varietas kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan mutan. Kisaran kerapatan stomata pada mutan Dewata adalah 71.33-101.84, mutan Selayar 86.62-86.98, dan mutan Alibey 74.72-81.52mm2 sedangkan tanaman kontrol berkisar antara 98.51-103.61 mm2 (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa induksi mutasi menggunakan EMS dapat menurunkan kerapatan stomata daun gandum. Nilai rata-rata kerapatan stomata pada kontrol Dewata, Selayar, Alibey adalah 101.91, 103.61 dan 98.51mm2. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai kerapatan mutan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lestari (2005) yang menyatakan bahwa tanaman mutan padi varietas Towuti, IR64 dan Gajah Mungkur mempunyai kerapatan lebih rendah dibandingkan dengan tanaman kontrol.

Menurunnya tingkat kerapatan stomata untuk tanaman mutan merupakan salah satu bentuk mekanisme toleransi tanaman untuk mempertahankan sel dari transpirasi tinggi. Kerapatan stomata rendah menyebabkan proses transpirasi

B C D

rendah. Semakin banyak stomata pada daun maka semakin tinggi transpirasi yang berlangsung pada daun tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genotipe mutan yang adaptif biasanya mempunyai kerapatan stomata rendah, kecuali pada genotipe 2Dw-2-17-3 mempunyai kerapatan sama dengan tanaman kontrol. Hasil penelitian Nur (2013) menyatakan bahwa perbedaan elevasi yang diikuti dengan peningkatan suhu dapat mempengaruhi kerapatan stomata, juga menyebabkan perubahan ukuran stomata menjadi kecil.

Gambar 32. Keragaan stomata gandum generasi M3 Dewata, Selayar, dan Alibey di Biotrop (± 250 m dpl). A. Dewata kontrol, B. Dw-1-15-1, C. Selayar kontrol, D. Sl-3-2-2, E. Alibey kontrol, F. Ab-2-14-1.

E F

C D

Perbedaan ketebalan daun dan kerapatan stomata berpengaruh terhadap perbedaan dalam penyerapan unsur hara dan hilangnya air melalui proses transpirasi serta intensitas difusi cahaya terhadap sel-sel palisade. Intensitas difusi cahaya yang tinggi dengan suhu tinggi menyebabkan sel-sel palisade menjadi lebih panjang dan berlapis atas dua dan tiga lapisan. Peningkatan CO2 juga dapat

menyebabkan perubahan anatomi daun secara nyata (Taiz dan Zeiger 2002; Sopandie 2013).

Tabel 16. Keragaan tebal daun, kerapatan stomata dan kehijauan daun gandum kontrol dan mutan.

Genotipe Tebal daun

(µm)

Kerapatan stomata

(∑stomata / mm²) Kehijauan daun

Dewata (K) 144.58HIJ 101.91A 47.82 Dw-1-13-2 228.8A 73.03HI 41.68 Dw-1-15-1 224.78A 71.33I 36.75 Dw-1-22-3 182.47BCD 84.92CDEF 44.95 Dw-2-13-2 189.95BC 79.82DEFGH 42.18 2Dw-1-21-2 220.33A 81.53DEFG 42.85 2Dw-1-27-2 188.60BC 82.89CDEFG 38.62 2Dw-2-13-3 191.81BC 83.22CDEFG 43.15 2Dw-2-17-3 142.46HIJK 101.84A 37.35 2Dw-6-17-1 195.05B 88.31CD 47.52 2Dw-7-1-1 164.79EFG 91.72BC 50.48* 2Dw-7-10-1 171.11DEF 76.43FGHI 47.13 3Dw-2-4-1 158.11FGH 78.13EFGHI 48.46* 3Dw-4-8-1 175.59CDE 79.82DEFGH 58.66* 3Dw-4-12-1 147.05HIJ 78.12EFGHI 44.77 3Dw-6-18-1 156.89FGH 76.43FGHI 44.57 3Dw-6-21-1 149.41GHIJ 73.03HI 40.24 Selayar (K) 138.68IJK 103.61A 61.15 Sl-2-14-2 154.47FGHI 86.62CDE 42.38 Sl-3-2-2 164.72EFG 86.98CDE 45.55 Alibey (K) 117.93L 98.51AB 56.22 Ab-2-14-1 135.92JK 74.72GHI 45.82

Ab-3-3-2 146.63HIJ 81.52DEFG 45.65

Ab-3-16-1 127.75KL 79.82DEFG 43.58

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α = 5%. *= nilai lebih tinggi dari kontrol Dewata, Selayar dan Alibey.

Ketebalan daun pada tanaman mutan mengalami perubahan menjadi lebih tebal (Gambar 33). Perubahan anatomi dapat terjadi pada pertumbuhan tanaman apabila ada cekaman lingkungan. Pengaruh cekaman lingkungan terhadap pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh besarnya tingkatan cekaman yang

dialami tanaman tersebut. Sejumlah studi menunjukkan bahwa akibat dari cekaman lingkungan adalah penghambatan pertumbuhan tanaman dan penurunan laju fotosintesis. Penurunan laju fotosintesis berkaitan dengan beberapa faktor seperti dehidrasi kutikula, perubahan potensial air di daun dan ketebalan daun yang semakin menyusut (Pennypacker et al. 1990, Watanabe et al. 1993).

Gambar 33. Keragaan ketebalan daun pada gandum varietas Dewata, Selayar, Alibey dan mutan putatif. A. Dewata kontrol, B. Dw-1-15-1, C. Selayar kontrol, D. Sl-3-2-2, E. Alibey kontrol, F. Ab-2-14-1.

E F

C D

Persentase viabilitas polen yang diamati pada varietas gandum dan genotipe mutan ditampilkan pada Gambar 34 dan 35. Terdapat perbedaan viabilitas polen antara tanaman kontrol dan mutan. Tanaman kontrol mempunyai viabilitas polen rata-rata kurang dari 50%. Hal ini kemungkinan terjadi karena perbedaan elevasi tempat tanam. Varietas kontrol adaptif pada elevasi tinggi, di atas 1000 m dpl. Pada penelitian ini tanaman gandum ditanam pada elevasi rendah sekitar 250 m dpl. Menurut Ivory (1989) elevasi berpengaruh secara kumulatif terhadap fase pertumbuhan vegetatif, pembungaan, pembentukan biji dan pengisian biji. Respons tanaman terhadap perbedaan elevasi ditandai oleh menurunnya atau meningkatnya aktivitas fisiologis tanaman. Tingginya suhu yang diselingi curah hujan tinggi mengakibatkan masa antesis polen menjadi lebih pendek dan mengurangi jumlah polen viabel. Suhu tinggi menghambat perkecambahan dan pertumbuhan tabung polen, penyerbukan bunga rendah dan terdapat perbedaan sensitifitas antara varietas serta fruit set menurun (Huan et al. 2000, Kakani et al. 2002, Thuzar et al. 2010). Penurunan fruit set dapat disebabkan karena viabilitas polen rendah, pertumbuhan tabung polen lemah dan penurunan produksi polen, sehingga penyerbukan bunga kecil.

Menurut Natawijaya (2012) penyebab utama rendahnya produksi gandum pada dataran rendah adalah viabilitas polen galur gandum sangat rendah. Dari empat galur dan dua varietas yang di uji di BIOTROP semuanya mengalami penurunan viabilitas polen. Varietas paling peka yaitu Dewata hanya mempunyai viabilitas sebesar 33.06%. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian ini yaitu varietas Dewata mempunyai viabilitas sebesar 43.00% (Gambar 34).

Gambar 34. Persentase viabilitas polen pada tanaman M4 gandum kontrol dan mutan. Genotipe mutan mempunyai viabilitas polen rata-rata lebih dari 50%, ini membuktikan bahwa induksi mutasi menggunakan EMS dapat merubah viabilitas polen. Pembentukan bunga menandakan fase vegetatif sudah berakhir. Menurut Duke (1983) bunga gandum memiliki 2-5 benang sari, tetapi dalam penelitian ini tiga varietas dan enam genotipe mutan yang diuji memiliki 3 benang sari (Gambar 36). Kemungkinan pada genotipe lainnya yang belum diuji dapat menghasilkan 2- 5 benang sari.

Gambar 35. Keragaan polen antara tanaman mutan (atas) dan kontrol (bawah) dengan Bar 20µm. A. 3Dw-4-8-1, B. Dewata kontrol, C. Sl-3-2-2 D. Selayar kontrol, E. Ab-2-14-1. F. Alibey kontrol.

Gambar 36. Keragaan bunga gandum yang terdiri atas 3 benang sari (pembesaran 2x20). Faktor fisiologi digunakan untuk melengkapi data agronomi dan anatomi sehingga menghasilkan keragaan yang baik. Faktor fisiologi dan metabolisme pada tanaman memerlukan adaptasi terhadap lingkungan yang bercekaman seperti suhu. Adaptasi yang ditemukan dalam tanaman yang mengalami cekaman adalah adanya penimbunan bahan organik yaitu asam amino yang stabil seperti prolin.