• Tidak ada hasil yang ditemukan

Informasi dan Variasi Peserta Musyawarah

Secara mendasar ada dua hal yang menjadi temuan dalam proses deliberasi di tingkat dusun, yakni terkait aspek informasi dan variasi partisipan. Memang diakui ketersediaan informasi tiap partisipan berbeda. Hal ini dipegaruhi oleh isu yang akan dibahas dalam musyawarah. Sebagai mediator, umumnya Bamus akan memberikan informasi dalam bentuk tertulis atau elektronik.21 Informasi itu

menekankan pengurus dusun untuk mempersiapkan skala prioritas program yang ingin disampaikan. Sementara, informasi yang dimiliki Bamus umumnya berangkat dari kaca mata pemerintahan desa yang dibekali dengan tinjauan lokasi. Tinjauan lokasi dilakukan atas kesadaran politiknya agar Bamus memiliki pandangan rasional. Titik-titik pembangunan dan kebutuhan program yang dibutuhkan saat proses penjaringan aspirasi. Harapannya, ketika menerima informasi dari tiap partisipan, Bamus memiliki pertimbangan untuk mengantisipasi jika musyawarah berlangsung alot atau mengalami kebuntuan.22

Melihat upaya Bamus yang ‘standar’ ini, membuat beberapa partisipan melakukan manuver tertentu untuk memperkaya informasi. Manuver ini tergantung pada siapa yang berkepentingan dan hal apa yang akan diperjuangkan dalam proposal. Partisipan yang memiliki latar belakang keahlian dalam bidang tertentu, secara sukarela dengan obyektifnya menjelaskan implikasi yang dapat ditimbulkan dari sebuah 21 Soal informasi, jadi warga dikasih kabar sama Pak Marno, nanti ada rapat, RT menyampaikan ke warganya nanti bakal bangun ini yang fisik dan non fisik ini. Jadi agenda tahunan itu dukuh yang ngumpulin warga RT RW dan masyarakat bersama Bamus. Infonya, proposal pembangunan gapura harus difoto lokasinya dan harus tanah kosong yang mau didirikan gapura itu dan bentuk gapura yang diinginkan dari warga sama rincian anggaran pembangunannya. (Hasil wawan- cara bersama Pak Slamet Suparno selaku Ketua RW 04, Tambakbayan, serta Ketua RT 05 RW 02 Mas Suheriyanto Kampung Purwodadi, Seturan).

22 Penjelasan dari anggota Bamus Pak Warmidi dapil Karangwuni, dan Pak Su-dari anggota Bamus Pak Warmidi dapil Karangwuni, dan Pak Su- Warmidi dapil Karangwuni, dan Pak Su-dapil Karangwuni, dan Pak Su-dan Pak Su-Pak Su-Su- marno dapil Karangmalang.

program yang ditawarkan jika diperlukan oleh forum. Informasi tersebut menjadi nilai tambah bagi partisipan lain untuk memperkaya argumen yang sebelumnya telah dirancang secara rinci dan jelas,23

alasannya agar tidak mudah untuk didebat oleh pihak lawan. Selain itu, instrumen utama yang digunakan partisipan dalam memainkan manuvernya adalah dengan bertumpu pada faktor kedekatan bersama pengurus kampung, Bamus atau dengan pemerintah desa.24

Lebih jauh lagi, peneliti menemukan bahwa variasi partisipan sangat kondisional.25 Keadaan ini terbagi dalam tiga kondisi. Pertama,

isu yang dibahas merupakan isu pembangunan yang menjadi kebutuhan semua pihak di wilayah tersebut. Sehingga semua yang hadir ingin berpartisipasi, termasuk warga dan pengurus dusun. Kedua,

antar kelompok partisipan memperjuangkan preferensinya dalam skala prioritas proposal. Strategi yang digunakan yaitu menghadirkan para ahli, atau yang memiliki kemampuan untuk berdebat.26 Kondisi

23 Biasanya mereka itu hanya perbedaan kepentingan dalam hal misalnya mem- buat atau membangun apa tertentu mereka sudah puya rencana sendiri, kalo di- musyawarahkan biasanya sulit untuk didebat, karena mereka udah kekeh merasa udah harus kayak gitu, tapi mereka juga masih bagus, tapi itu bagus karena sudah didukung sama rasionalitas alasannya. (Hasil wawancara dengan anggota Bamus dari dapil Karangwuni, Pak Yunarto)

24 Sebagai warga biasa pasti tahu, tapi tergantung kedekatan dengan pengurus karena informasi dari pengurus. (Hasil wawancara bersama Ketua RT 05 RW 02 Mas Suheriyanto Kampung Purwodadi, Seturan)

25 Ya kalo bahas yang biasa-biasa semua warga yang pengen gabung ya gabung. Pendapat yang masuk akal ngomong sana sini, ngomong saling menjaga, yang suka cari jalan tengah, yang memberikan solusi. Jadi biasanya ada orang-orang yang ngasih usulan pembangunan itu ada, dia tahu bidang perikanan, peterna- kan, pertanian. Biasanya mereka adalah mantan pegawai, pegang posisi. (Penje- lasan dari anggota Bamus Pak Sumarno dapil Seturan.)

26 Pasti ada yang vokal, tapi masih dalam relnya tapi bukan dalam hal mengacau, ya debat antar mereka aja, bisa jadi tergantung orang, tapi tergantung strategi bagaimana orang itu memposisikan dirinya sebagai orang lain untuk bisa mem- provokasi perserta musyawarah yang lain. (Hasil wawancara dengan anggota Ba- mus dari dapil Karangwuni, Pak Yunarto)

ini mendorong Bamus untuk menghadirkan beberapa ahli yang netral. Tujuannya, memberikan pertimbangan obyektif tentang keputusan proposal yang terbaik bagi kedua pihak.27Ketiga, isu yang sensitif yang

memaksa masing-masing pihak mengamankan posisi. Artinya, variasi partisipan berasal dari kelompok berbeda untuk memperdebatkan proposal pihak lawan.28 Jika kasus tersebut melibatkan investor,

pola manuver yang dilakukan lebih represif. Sehingga potensi proses negosiasi mengalami kebuntuan terbilang tinggi. Bahkan jika kemungkinan konflik terjadi, Bamus telah mempersiapkan pihak keamanan.29

Diskursus Musyawarah : Apartemen, Batas antar Dusun, dan Kesejahteraan

Tiga kasus dalam proses musyawarah ini berada di wilayah yang berbeda. Tujuannya untuk melihat proses musyawarah berlangsung serta peran yang diambil oleh anggota Bamus. Ketiga kasus tersebut di antaranya terkait pembangunan apartemen di Seturan, konflik di Manggung dan Karangwuni, dan tuntutan warga Ambarukmo.

Pertama, berkaitan dengan pembangunan apartemen di Seturan, menurut narasumber yang ditemui peneliti, kasus tersebut cukup 27 Kalo dimusyawarahkan biasanya agak ribet, karena mereka udah gitu, tapi akh-

irnya kami harus memberikan pandangan dari pihak kami juga data-data yang kita punya, jadi obyektif lah. (Hasil wawancara dengan anggota Bamus dari dapil Karangwuni, Pak Yunarto)

28 Kita pasti hadirkan mereka yang ditokohkan, missal setiap RW itu pasti ada mantan pejabat, guru besar, masih aktif, kalo misalkan mereka selalu hadir dalam musyawarah dalam pertemuan warga mereka pasti akan lebih di dengarkan. Pen- gurus wilayah yang sering usul, misal dia pensiunan yang gak sembarangan, mis- alkan mengeluarkan pendapat, tetap orang yang punya basic yang baiklah. ( Hasil wawancara dengan anggota Bamus dari dapil Karangwuni, Pak Yunarto) 29 Kebayang gak mas, yang kasus kemarin itu, kami Bamus juga sedikit kaget den-

gan orang-orang yang jago debat, jadi tiap kelompoknya itu keras pendiriannya. Ya sebagai jaga-jaga kita ngundang Polsek biar aman gitu, tidak ada yang anarkis. (Penjelasan dari anggota Bamus Pak Sumarno dapil Seturan)

menguras tenaga semua pihak. Sehigga proses musyawarah yang terbangun memperlihatkan keseriusan masing-masing pihak dalam mempertahankan argumennya, hingga berujung pada proses lobi untuk mencapai mufakat.30 Situasi saat itu membuat warga

menyamakan misi dalam satu suara untuk beberapa alasan.

Arena diskursus tersebut berhasil mengikat kepentingan bersama dan menjadi alarm risiko lingkungan serupa kasus di daerah lain. Besarnya risiko dan bertemunya kepentingan warga menjadi penyebab partisipan serius memikirkan tiap keputusan yang mereka ambil. Keseriusan ini ditunjukkan melalui penyusunan argumen yang terstruktur dan logis, baik dari aspek krisis lingkungan, politik perizinan, dan juga perubahan kultur sosial. Bahkan keberanian warga untuk memaparkan dugaan intransparansi pada Bamus (seperti AMDAL) menjadi argumen yang sulit untuk didebat balik oleh pihak investor. Tuntutan terhadap keterbukaan dari pihak investor secara teknis menjadi salah satu syarat yang disepakati jika ingin melanjutkan pembangunannya. Beragam alasan yang sudah tersusun rapi dan sulit untuk didebat tersebut, diakui tidak lepas dari kerjasama antar warga untuk menyusun strategi sebelum musyawarah.31

30 Saat forum-forum sosialisasi itu Bamus memang gak berpengaruh, karena warga sudah punya kesepakatan sebelum itu. Pembangunan apartemen ya sekitar 7-8 lantai. Sosialisasinya gak hanya sekali, itu dua sampe lima kali. Dari tim aparte- men itu gak pernah selama ini membacakan Amdal itu, bahkan untuk memasang Amdal itu gak pernah, cuman konfirmasi saja bahwa Amdal sudah turun. Warga gak pernah komplain, karena selama ini belum mengalami kekurangan air. Nah, karena kitanya takut bakal sama nasibnya dengan warga yang jadi miskin air karena pembangunan hotel, jadi kita lawan. Jadi ada pendapat warga yang gak senang sama pembangunan apartemen karena lingkungan dan lingkungan ntar jadi ramai. (Hasil wawancara bersama Ketua RT 05 RW 02 Mas Suheriyanto Kampung Purwodadi, Seturan).

31 Kita dikumpulin sama Pak RT untuk menyatukan satu suara dengan warga, dan nanti kita mau minta apa. Dan akhirnya kita minta 100 juta buat balai dan jalan yang akan rusak kita minta diperbaiki. Karena warga belum punya pengalaman untuk bangunan semegah itu. Setelah itu ketemu sama pihak aparteme dan langsung tanya permintaan warga (saat proses pihak apartemen melobi warga).

Dalam perjalanannya, proses musyawarah dari hari pertama hingga keempat memperlihatkan posisi tawar masing-masing pihak dalam pendirian awal. Tapi memasuki hari kelima, mendorong berlangsungnya proses negosiasi hingga bagaimana pihak investor menunjukkan keseriusannya untuk melobi Pak RT.32 Setelah melalui

dinamika tersebut, musyawarah kemudian berlangsung lebih terbuka dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional. Semisal rumusan mengapa pihak investor dan warga harus sepakat dengan beberapa syarat. Tercapainya permufakatan dua pihak tak lepas dari usaha Bamus untuk memediasi tiap proses negosiasi dengan netral dan menghasilkan kesepakatan pihak apartemen untuk harus mengkaji kembali amdal, pembangunan yang jujur, bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan, serta pembangunan balai RW.

Kedua, perseteruan antar warga Manggung dan Karangwuni. Anggota Bamus mengakui ada perselisihan di wilayah itu. Persoalan tersebut biasa tapi karena salah satu wilayah merasa dirugikan, perdebatan tidak bisa dihindari.33 Kerugian salah satu pihak

disebabkan adanya dampak lingkungan yang serius. Masing-masing pihak saling menelanjangi kesalahan program pembangunan drainase yang melibatkan pihak ketiga.34 Meski pihak ketiga dalam

(Hasil wawancara bersama Ketua RT 05 RW 02 Mas Suheriyanto Kampung Pur- wodadi, Seturan)

32 Saya sebagai anggota Bamus hanya bisa memediasi setiap pihak, terutama pihak apartemen yang ingin ditemani jika berkepentingan dengan warga, ya saya hanya bisa jadi pembuka gitu dan menengahi. (Penjelasan dari anggota Bamus Pak Su- marno dapil Seturan)

33 Jadi isu akan menimbulkan percikan peredebatan jika isu pembangunan itu be- rada di batasan wilayah dengan tetangga sebelah warga. Dusun saya Manggung di sebelah saya Karangwuni. Jadi soal pembahasan drainase, di Karangwuni udah gak berfungsi yang kena malah Manggung, jadi akhirnya malah disebabkan pihak pengembang yang gak konfirmasi sama kampung di sebelahnya atau atasnya. ( Hasil wawancara dengan anggota Bamus dari dapil Karangwuni, Pak Yunarto). 34 Pihak Manggung; Kami ingin aliran drainase daerah Manggung itu lancar Pak,

hal ini tidak dihadirkan dalam proses penyelesaian konflik tapi argumentasi masing-masing pihak menjadi menarik karena alasan yang logis yang proporsional. Untuk meredam ego masing-masing pihak, Bamus menggambarkan risiko dan menimbang konsekuensi untuk menghasilkan jalan tengah yang bisa ditempuh.35 Risiko ini

digambarkan oleh ahli sipil yang sengaja dihadirkan oleh Bamus untuk bisa memecahkan kompleksitas perdebatan jalur drainase yang tidak berfungsi lagi.

Ketiga, kondisi yang sempat memanas di Ambarukmo tergolong unik. Warga menyerang argumentasi Bamus. Protes ini terjadi karena secara otonom lahir dari kebutuhan mendesak yang selama ini tidak pernah mendapat respon melalui prioritas isu dari pihak Bamus.36

Lebih lanjut lagi, narasumber bercerita jika beberapa argumen yang airnya, gak berfungsi lagi jalur ke daerah bawah. Kalo mereka gak benerin, kita bongkar aja, itu juga pengaruh si pengembang punya bangunan di daerah aliran drainase. Pihak Bamus; Ini perlu dirapatkan oleh dua belah pihak, karena Bamus merasa perlu mendengarkan dari tidak hanya satu pihak, tetapi juga pihak yang dipermasalahkan dengan tujuan agar lebih transparan titik masalahnya, jadi biar jelas kita musyawarahkan bersama perwakilan kampung sebelah. Pihak Karang- wuni; Perihal drainase sepemahaman kami itu menjadi tanggungjawab dari pihak pengembang yang punya kepentingan wilayah teknis. Jika warga Manggung in- gin drainasenya lancar kan tinggal perbaiki yang rusak atau cari saluran lain buat airnya ngalir lagi. Lagian dari pihak kita gak ada maksud apa-apa dan kitapun baru tau kalo timbul masalah di Manggung. (Ketiga kutipan wawancara dari masing-masing pihak dijelaskan langsung oleh Pak Yunarto dengan substansi perdebatan yang sama saat proses musyawarah berlangsung).

35 Soal Karangwuni tidak sepenuhnya salah karena pihak ketiga tidak benar-benar serius dalam memperhatikan dampak lingkungan ke daerah Manggung, sebe- narnya warga Manggung bisa membuka aliran air baru tapi gak harus ngerom- bak yang di daerah Karangwuni. (Hasil wawancara dengan anggota Bamus dari dapil Karangwuni, Pak Yunarto).

36 Musrembangdus renov balai dusun, dusun malah yang dilihat kebutuhan umum, yang spesifik nya malah gak, harusnya yang spefisik itu langsung benar-benar nyentuh masalah hidup warga ituloh. ( Pernyataan dari salah satu Ketua RT yang ada di wilayah Ambarukmo. Nama narasumber tidak bisa di cantumkan peneliti karena tidak memperoleh izin).

dilontarkan saat musyawarah terbilang pedas. Perdebatan yang berhasil memicu amarah ini membuat semua partisipan sepakat dan mendukung penuh proposal yang diajukan oleh Ketua RT. Padahal beberapa pengurus termasuk dukuh saat itu berbeda prioritas. Atas dasar pertimbangan data yang kuat, Bamus menyetujui prioritas program kesejahteraan yang menjadi tuntutan utama.37

Kontestasi pergulatan argumen dari ketiga kasus di atas terlampau jauh dengan musyawarah pada isu umum. Secara deskriptif, peneliti dapat menggambarkan jika forum musyawarah dalam isu umum hanya sebatas konfirmasi dengan ketukan palu tanpa perdebatan. Rendahnya gairah peserta untuk terlibat perdebatan yang substantif berimplikasi pada output yang tidak berbobot dan terbatas suara mayoritas. Meski demikian, Bamus tetap bersikap independen terhadap prioritas program yang diajukan oleh partisipan. Bamus berusaha menampung semua usulan dan mendengarkan ahli saat memaparkan deskripsi sebuah program.38 Lemahnya kapasitas Bamus dalam memediasi

isu umum ternyata diikuti cara bagaimana Bamus menimbang tiap argumen. Dalam isu umum, Bamus cenderung melihat status sosial- politik seorang partisipan.39 Alasan ini berbeda jika kita merujuk pada

37 Pasti beda pandangan soal musyawarah renovasi balai dusun, sementara yang mendesak itu kebutuhan hidup warga, ada yang gak kebagian raskin, anak- anaknya susah sekolah, teori sama praktek gak sesuai. Maksud saya itu kita punya program satu itu dulu yang kita jalankan yang warga benar-benar butuhin, kalo sudah ada itu ya jangan dialihkan. ( Pernyataan dari salah satu Ketua RT yang ada di wilayah Ambarukmo. Nama narasumber tidak bisa di cantumkan peneliti karena tidak memperoleh izin)

38 Kita biarin kalo mereka pada pengen usul apa, ini hanya keperluan biasa ya bangun gapura, jalan, atau acara selamatan kampung, bantuan pendidikan kita tamping aja, biasanya urusannya cepat. Pihak kabag pembangunan itu jadi tu- gasnya yang ngejelasin itu gimana-gimana ntar pada ngerti juga warganya. ( Hasil wawancara bersama dengan Ketua dan sekertaris Bamus)

39 Banyak yang ngomong biasa, ada yang hanya diam, ada juga yang wah ide-idenya itu teori bangat Mas, tapi kan kita liat orangnya, kalo hanya datang tiba-tiba trus gak ada kabar ya sama aja, kita biasa merhatiin kalo ada orang yang memang jadi aktor utama dan mereka ini memang disegani, biasa pensiunan, atau guru besar

proses musyawarah sensitif, yang menekankan pada logisnya alasan suara mayoritas dan dimbangi Bamus dengan kehati-hatian dalam mendengarkan pihak-pihak yang sedang berdebat.

Proses Bamus Menimbang

Perjalanan Bamus dalam beberapa kasus menegaskan pilihan tidak mengintervensi argumen agar perdebatan dalam musyawarah bisa dipertahankan. Keterbatasan Bamus dalam menimbang perlu dikritisi lebih jauh untuk memaknai sikap politik tersebut.

Gambar: Proses mendengar dan menimbang oleh Bamus40

Isu Sikap Independensi Bamus Proses Menimbang

Umum • Perspektif pemerintahan

• Mendengar sang ahli

• Tidak intervensi

Status sosial-politik peserta

Sensitif • Mendengar masing-masing pihak

Mayoritas + Alasan logis

Proses Bamus mendengarkan musyawarah memiliki sikap yang hampir sama dalam dua wilayah isu yang berbeda. Pertama, Bamus sebagai bagian dari pemerintahan desa memiliki pandangannya sendiri dari aspek administrasi maupun anggaran. Bamus merasa perlu untuk mendengarkan masyarakat biasa, pengurus dusun, atau pihak yang berkepentingan. Kedua, Bamus memberikan ruang lebih bagi para ahli. Bamus mengakui mereka mampu memberikan penjelasan yang lebih detil dan solutif di hadapan para peserta. Partisipan minoritas ya minimal yang kami kenal. Intinya kita pasti dengar dari pengurus dusun, karna mereka yang lebih tau. (Pernyataan dari Ketua Bamus dan Pak Sumarno) 40 Tabel ini merupakan merujuk pada temuan peneliti tentang bagaimana sikap

yang diambil oleh Bamus serta faktor-faktor yang menjadi pertimbangn saat musyawarah. Rangkuman data ini adalah hasil dari filterisasi dari tiga kasus per- gulatan argumen yang terjadi di dusun Ambarukmo, Karangwuni, dan Seturan.

bisa menerima dengan legowo hasil kemufakatan. Ketiga ini membuat Bamus perlu diapresiasi karena netralitas kelembagaan digambarkan dengan berusaha tidak memobilisasi peserta untuk berpihak. Alasan ini dinilai peneliti efektif merangsang proses perdebatan agar terus berlangsung. Sehingga peserta mampu menawarkan ide-ide kreatifnya untuk mempertahankan proposal yang mereka tawarkan. Sikap untuk tidak mengintervensi pendapat dipilih dengan mempertimbangkan posisi Bamus yang bertugas sebagai mediator dan berusaha mencari jalan terbaik.

Sementara dalam proses menimbang, hal yang tidak disarankan Fishkin justru terjadi. Pertimbangan yang ditawarkan partisipan harusnya bisa diakomodasi tanpa tebang pilih. Terlepas dari siapa yang menawarkan alternatif tersebut (Pitkin, 1967). Esensi dari musyawarah desa yang menjamin adanya keadilan tidak tercapai dalam isu umum. Keadilan bagi semua warga desa memperoleh tempat yang sama dalam mempengaruhi dan menentukan kebijakan desa. Bukan sebaliknya, Bamus sebagai mitra pemerintah desa harusnya memanfaatkan kontribusi aspirasi warga yang beragam ini sebagai jalan keluar dari persoalan dan tantangan yang dihadapi desa (Rozaki & Yulianto, 2015: 3-4). Kritik lainnya atas sikap Bamus ini adanya ketakutan yang menghidupkan fenomena elite capture dalam forum musyawarah yang seyogyanya diperuntukkan untuk membangkitkan keberanian warga dalam menyampaikan aspirasi. Menurut peneliti sikap ini bisa diimbangi dengan profesionalitas panitia musyawarah dalam menginjeksikan semangat dan keberanian dari warga untuk bisa menyuarakan aspirasi. Suara siapapun menjadi tumpuan pemerintah desa untuk menghasilkan kebijakan yang berpihak dan revolusioner.

Lain halnya dalam isu sensitif, sikap Bamus yang obyektif terbentuk karena kehadiran investor yang memiliki kepentingan. Musyawarah ini cenderung berisiko. Maka langkah untuk mendengarkan semua argumentasi ditempuh untuk memastikan kebijakan disepakati oleh mayoritas. Harapannya, keputusan yang keluar dapat meminimalisir

potensi konflik jika ada partisipan yang dirugikan oleh keputusan itu. Jangan sampai suara mayoritas muncul dari voting. Jika mekanisme ini terjadi tanpa perdebatan, voting bisa menjadi salah satu faktor yang mampu menggerus nilai-nilai demokrasi deliberatif yang ideal.

Faktor Pendukung Perdebatan Musyawarah

Kegiatan musyawarah di desa fluktuatif. Keadaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung. Umumnya warga akan sepakat jika berada dalam isu kebutuhan bersama. Sementara itu, kecil kemungkinaannya warga sepakat melalui proses perdebatan serius. Sederhananya warga dapat menerima jika argumen tersebut rasional untuk dipahami. Sementara yang tidak sepakat kebanyakan hanya menjadi “bumbu” dalam musyawarah dan tak merespon serius. Uraian selanjutnya akan menjelaskan bagaimana perselisihan pendapat mampu menghidupkan proses musyawarah.

Gambar: Situasi Pendukung Perdebatan Musyawarah41

Pertama terkait isu spesifik tentang musyawarah dusun (Lascher,

41 Dari sini peneliti menyimpulkan sementara, bahwa untuk bisa menghidupkan proses musyawarah yang berbobot, maka faktor isu, netralitas Bamus, dan variasi peserta yang dikondisikan menjadi faktor utama apakah sebuah musyawarah di tingkat dusun bisa dengan serius ditanggapi oleh peserta atau tidak.

1996: 501-519). Jika isu yang diangkat pembangunan fasilitas, peserta musyawarah manut bahkan tak ada perdebatan. Anggota Bamus sekalipun hanya menyampaikan informasi. Jika sepakat forum langsung diakhiri tanpa ada protes dari warga. Ironisnya, skema musyawarah UU Desa ini menjadi anomali di tingkat dusun. Musyawarah umum yang seharusnya penting malah tidak mendapat perhatian Bamus. Sehingga dibutuhkan keseriusan Bamus untuk mengarusutamakan musyawarah sebagai media keterlibatan aktif dari warga.

Di lain kesempatan, kehadiran investor membuat masyarakat merasa memiliki common enemy. Pandangan ini menjadi pemicu mengapa musyawarah dalam arena kepentingan investor membuat warga lebih bergairah dibanding musyawarah pembangunan desa. Gairah ini hadir karena masyarakat tak ingin rugi dan memperoleh jaminan dari dampak pembangunan yang merugikan. Hal ini terlihat dari proses negosiasi kasus pembangunan apartemen. Masyarakat menuntut amdal yang transparan karena risiko krisis air akan melanda mereka di kemudian hari. Begitu juga dengan kasus drainase yang menyebabkan dampak lingkungan bagi salah satu kampung. Penyebab utamanya datang dari aktor yang sama, yaitu investor.

Selain itu, permasalahan mendesak juga memaksa warga desa