• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap Komparasi dan Analisa Data.

Di tahap pertama, kelompok perempuan telah mendapatkan dukungan dari pemerintah dan mendapatkan data PBI. Dukungan yang dimaksud di sini adalah dukungan atas rencana komunitas perempuan untuk mengawal jaminan kesehatan bagi kelompok marginal. Dukungan dari Pemdes sangat penting dalam proses advokasi, salah satunya untuk mendapatkan seluruh data yang dimiliki pemerintah desa terkait penerima kartu jaminan kesehatan, khususnya daftar penerima bantuan iuran (PBI).

Tahap selanjutnya adalah proses komparasi atau membandingkan data PBI yang dimiliki Pemdes dan data BPS. Data PBI akan dibandingkan dengan data warga yang masuk dalam kategori miskin dan sangat miskin berdasarkan data kesejahteraan lokal tahun 2015. Data ini adalah milik desa yang telah dihasilkan secara partisipatif bersama kelompok perempuan.

Di proses ini, saat komunitas perempuan meminta data PBI, awalnya perangkat desa tidak memahami istilah PBI. Sehingga dalam hal ini komunitas perempuan di awal hanya mendapatkan data kependudukan yang sudah ada, baik data penerima kartu jaminan

kesehatan yang dikeluarkan oleh BPJS maupun Pemda dengan kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkdesda). Data dari keduanya dari data milik Badan Pusat Statistik (BPS). Dari data yang dikeluarkan BPS tersebut, kemudian mulai membandingkannya dengan data kesejahteraan lokal desa yang dimiliki desa dari hasil pendataan partisipatif pada tahun 2015. Dari hasil komparasi tersebut, kelompok perempuan kemudian membuat rekomendasi kepada Pemdes agar melakukan verifikasi dan validasi data PBI. Mereka mulai membandingkan data warga marginal berdasarkan kesejahteraan lokal 2015 dengan data PBI yang dimiliki oleh desa, dan menarasikan hasilnya sampai menjadi dokumen yang di dalamnya ada rekomendasi ke Pemdes terkait pentingnya verifikasi dan validasi data PBI.

Dengar Pendapat (Hearing).

Istilah dengar pendapat dalam konteks advokasi yang dilakukan komunitas perempuan di Gumelem Kulon sebenarnya tidak seperti advokasi isu besar dalam lingkup luas atau nasional. Proses dengar pendapat ini adalah komunikasi teratur untuk memastikan perkembangan analisa data. Dalam proses ini yang terlibat adalah kepala desa, BPD, perangkat desa, perwakilan RT dan RW, serta kelembagaan desa.

Proses ini dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari Pemdes dan memperkuat gerakan komunitas perempuan. Proses ini dilakukan untuk memperoleh dukungan dari organisasi yang ada. Di tahap dengar pendapat ini kelompok perempuan kembali melakukan lobi untuk dengar pendapat (hearing) Di tahap ini, Pemdes telah mengetahui dan memahami data hasil identifikasi warga marginal yang belum masuk dalam daftar PBI, dan bersedia melakukan verifikasi dan validasi data PBI, serta berkomitmen melakukan verifikasi dan validasi data PBI.

Saat proses dengar pendapat, kelompok perempuan Gumelem Kulon dengan mudah mendapatkan dukungan dan komitmen dari Pemdes untuk melakukan verifikasi dan validasi data PBI secara

partisipatif. Hal ini tidak lepas dari kerja keras kaum perempuan dalam urun daya membantu Pemdes menghasilkan data yang dibutuhkan dalam penyusunan dokumen RPJMDesa. Posisi tawar kelompok perempuan sebagai salah satu aset sumber daya manusia (SDM) dalam pembangunan desa semakin kuat dengan upaya mereka mengadvokasi jaminan kesehatan bagi para penderes di awal 2016.

Verifikasi dan Validasi Secara Partisipatif.

Meski dukungan dan komitmen Pemdes telah diungkapkan secara langsung oleh Kades, tapi kelompok perempuan turut mengawal proses verifikasi dan validasi dari PBI. Hal ini tidak terlepas dari kondisi tak terduga yang membuat kelompok perempuan sempat berhenti melakukan proses ini. Pada pertengahan Ramadan 2016, desa Gumelem Kulon terjadi bencana longsor hingga memakan korban jiwa. Selain itu perbaikan infrastruktur juga sangat menguras energi bukan hanya para lelaki di desa, namun juga para perempuannya. Sehingga hal ini secara langsung berdampak pada kesibukan para kelompok perempuan di desa dalam melakukan advokasi jaminan kesehatan warga miskin.

Di sisi lain, bencana longsor juga mendorong kelompok perem- puan untuk melakukan update data kesejahteraan lokal desa. Proses verifikasi dan validasi ini berjalan sangat lambat karena dalam prosesnya dilakukan secara partisipatif oleh kelompok perempuan yang juga di waktu bersamaan harus membantu Pemdes pasca bencana longsor. Hingga akhir November 2016, kelompok perempuan sudah memverifikasi dan memvalidasi bersama Pemdes. Di proses verifikasi dan validasi ini kelompok perempuan mendapat banyak temuan terkait kondisi kepala keluarga miskin. Kelompok perempuan juga mulai mempelajari tentang siapa saja yang akan masuk dalam daftar PBI untuk Jamkesda maupun JKN. Pada tahap ini juga kelompok perempuan bekerjasama dengan semua RW.

“Kebetulan dari daerah (Banjarnegara) kan minta data, jadi kami berusaha agar desa menyerahkan data terbaru. Kalau data nama- nama yang masuk PBI untuk Kartu Indonesia Sehat (KIS), totalnya ada 1.061 KK. Kami mencoba membagi mana KK yang masuk untuk daftar Jamkesda mana yang JKN, karena setiap tahun kuotanya terbatas. Tapi setidaknya sudah ada perubahan data yang valid.” (Ibu Yuli, pengurus komunitas perempuan pembaharu desa)

Pernyataan Yuli merupakan terkait data harus valid tidak terlepas dari hasil temuannya selama melakukan verifikasi kondisi warga. Temuan-temuan kelompok perempuan di antaranya soal wilayah kesehatan atau fasilitas kesehatan yang tidak sesuai dengan lokasi wilayah penerima. Jarak antara rumah dan lokasi fasilitas kesehatan sangat jauh bahkan beda kecamatan. Ada juga warga yang sama mendapatkan kartu lebih dari satu. Selain itu nama dan alamat yang tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Belum lagi soal nomor yang tidak sesuai dengan kartu dan data komputer. Bahkan, ada orang yang telah meninggal dunia ternyata masih tercantum dalam daftar penerima kartu. Sementara dari Pemdes belum melakukan pembaruan data. Data lama dari BPS tahun 2011 tidak segera diperbarui.

Menurut Yuli, pendataan seharusnya tidak berdasarkan jumlah warga, tapi kepala keluarga saja. Alasannya, karena begitu banyak masyarakat miskin dan sangat miskin di desanya sehingga daftar PBI bisa tersebar lebih banyak lagi mengingat jumlah KK miskin dan sangat miskin semakin bertambah pasca bencana longsor. Khususnya para keluarga penderes. Dari proses verifikasi tersebut, Yuli juga mengaku mulai tahu dan faham bagaimana data penerima jaminan kesehatan selama ini belum benar-benar valid. Dukungan dan komitmen Pemdes juga sangat penting dalam proses advokasi yang dilakukan kelompok perempuan. Kini data-data sudah mulai berubah. Kita semakin tahu siapa warga miskin yang belum masuk dan yang sudah masuk dalam daftar PBI.

Sosialisasi Hasil Komparasi dan Verifikasi melalui Musdes dan Penetapan Perbaikan Data PBI

Proses sosialisasi hasil komparasi dan verifikasi melalui Musyawarah Desa merupakan tahap yang sangat penting dilakukan. Tujuan tahap ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat desa tentang pentingnya perubahan data penerima bantuan iuran. Daftar penerima bantuan telah berubah. Sehingga dari proses Musdes ini, bukan hanya diketahui antara kelompok perempuan dan Pemdes, namun juga warga secara umum.

Kenapa warga perlu tahu? Karena selama ini sering terjadi konflik antara warga dan pemerintah desa. Warga menilai pemerintah tidak adil dalam distribusi bantuan. Padahal, daftar penerima bantuan selama ini berdasarkan data dari pemerintah pusat yang dihasilkan oleh BPS, bukan berdasarkan keputusan Pemdes. Namun dalam konteks Gumelem Kulon, kini desa telah memiliki data sendiri yang dihasilkan secara partisipatif dan data tersebut juga dipakai sebagai dasar perubahan penerima bantuan iuran. Sehingga proses sosialisasi ini penting dilakukan agar warga mengetahui perubahan data, kenapa data berubah atau atas dasar apa perubahan itu terjadi, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara warga dan pemerintah desa.

Proses Musdes juga bagian dari upaya pemerintah desa untuk lebih terbuka atau transparan atas setiap pengambilan kebijakan. Kendati proses Musdes telah dilalui, bukan berarti proses advokasi selesai. Data PBI yang telah diperbarui harus diketahui secara terbuka (transparan) oleh warga agar tidak terjadi kesalahpahaman. Proses ini juga penting dilakukan untuk tetap melibatkan warga dalam setiap tahap pembangunan di desa. Advokasi jaminan kesehatan yang dilakukan kelompok perempuan adalah salah satu upaya warga yang dilakukan secara partisipatif untuk memperbaiki layanan publik dasar terkait layanan kesehatan. Data PBI telah diketahui, dipahami, didiskusikan, dan disepakati warga. Musdes adalah forum tertinggi di desa. Sehingga informasi terkait perubahan data PBI juga harus

disosialisasikan kepada warga melalui Musrenbangdes. Warga berhak mengetahui tiap perubahan kebijakan yang ada di desa.

Di tahap sosialisasi ini setidaknya warga telah mengetahui dan memahami seperti apa perubahan data PBI. Dari proses ini juga penting sekali terjadi dialog antara warga dan Pemdes, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman atau saling curiga antara warga dan pemerintah. Selain itu, warga memang berhak mengetahui proses pembangunan yang terjadi di desanya. Sehingga Musdes ini memang digelar khusus untuk membahas pentingnya perubahan data PBI.

Setelah terjadi dialog tahap selanjutnya adalah penetapan data PBI yang telah disepakati oleh warga berdasarkan hasil Musdes. Data PBI ditetapkan oleh Pemdes. Data ini juga telah diketahui oleh warga perwakilan dari setiap dusun. Kelompok marginal harus mengetahui tentang proses pembangunan desanya, termasuk isu jaminan kesehatan bagi kelompok marginal melalui media komunitas.

Kampanye Media Komunitas

Dalam rencana strategi kelompok perempuan, memanfaatkan media komunitas telah menjadi salah satu strategi dalam proses advokasi kelompok perempuan dalam mengawal pelaksanaan pembangunan desa, termasuk isu jaminan kesehatan bagi warga miskin. Proses kampanye idealnya dilakukan melalui media massa. Sayangnya kondisi tak terduga menimpa desa Gumelem Kulon. Mau tak mau kelompok perempuan memprioritaskan proses recovery pasca bencana longsor. Sehingga dalam proses kampanye yang dilakukan kelompok perempuan dilakukan secara langsung atau konvensional, melalui pertemuan-pertemuan di dusun-dusun.

Jejaring

Jejaring atau berjejaring merupakan proses berbagi informasi dan pelayanan di antara individu dan kelompok yang memiliki minat yang sama baik di dalam maupun di luar organisasi. Biasanya terbentuk

untuk mendapatkan dukungan atas masalah atau penyebabnya. Khusus untuk advokasi kesehatan ini, kegiatan ini memang tidak mungkin dilakukan hanya komunitas perempuan sendiri. Perlu ada kerjasama dengan lembaga-lembaga lain serta para stakeholder terkait. Karena persoalan jaminan kesehatan memang menjadi persoalan bersama. Sehingga diperlukan sebuah jejaring yang kuat untuk melakukan kegiatan advokasi bersama. Sehingga dalam proses advokasi, komunitas perempuan selalu intens berkomunikasi dan koordinasi dengan perangkat pemerintahan desa dari tingkat RW sampai RW, BPD, dan kelembagaan lain yang ada di desa.

Apalagi wewenang pendukung, telah berganti sejak 2017. Dari Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) menjadi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dispermasdes) Kabupaten Banjarnegara dan Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan (Dinsosnaker) Kab. Banjarnegara. Di luar lembaga-lembaga tersebut adalah proses komunikasi dan koordinasi dengan Infest Yogyakarta sebagai salah satu lembaga yang mendampingi komunitas perempuan di desa.

Tantangan

Tantangan dalam proses advokasi kesehatan yang dilakukan komunitas perempuan Gumelem Kulon tahun 2016 pada dasarnya tidak begitu berat. Tantangan terberat justru di awal proses pengorganisasian warga, khususnya kelompok perempuan pada tahun 2015. Tantangan-tantangan tersebut antara lain adalah :

Pertama, secara umum perempuan di tiga desa tersebut belum sepenuhnya mendapatkan akses dan manfaat dari program pembangunan desa. Perempuan juga kurang mendapat ruang untuk berpartisipasi dalam program pembangunan desa. Perempuan masih dianggap belum memiliki kapasitas untuk mengontrol program pembangunan desa. Keterlibatan perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) tidak pernah lebih dari 20 persen.

Kedua, keterlibatan perempuan di desa baru dapat diakomodasi melalui tata struktural formal berupa kelompok penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Tantangan bagi perempuan yang telah mendapatkan ruang partisipasi ini ialah rendahnya kapasitas dalam mengungkapkan gagasan, merumuskan dan menyampaikan usulan, serta menentukan anggaran. Perempuan masih belum memiliki informasi yang memadai tentang UU Desa, termasuk posisi perempuan sebagai salah satu penerima manfaat langsung dari implementasi UU Desa.

Ketiga, program pemberdayaan yang selama ini menyasar kelompok perempuan masih berkutat pada pelatihan keterampilan dasar. Program yang ada belum mampu memberdayakan kapasitas dan pengetahuan perempuan terkait dengan posisi dan partisipasi mereka dalam pembangunan desa. Program pemberdayaan perempuan yang pernah menyasar kelompok perempuan di tiga desa hanyalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program ini lebih banyak mengadakan kegiatan berupa pelatihan keterampilan dasar seperti membordir dan membuat aneka makanan. Menurut warga, pelatihan-pelatihan tersebut tak efektif menjawab kebutuhan perempuan karena tidak semua perempuan memiliki minat yang sama.

Keempat, program yang pernah ada justru berdampak pada kondisi perempuan semakin miskin. Di Gumelem Kulon misalnya, masih banyak perempuan yang terjerat utang bank harian dan mereka tidak mampu membayar pinjaman. Begitu juga dengan Simpan Pinjam Perempuan (SPP), salah satu program PNPM yang menyasar kelompok perempuan. Pinjaman tersebut hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif, bukan dialokasikan untuk kebutuhan produktif.

Kelima, belum ada program pemberdayaan perempuan yang mampu menggerakkan para perempuan sebagai subjek pemberdayaan agar mampu menentukan kebutuhan praktis dan strategis sesuai dengan kebutuhan. Program yang ada hanya mampu memenuhi

kebutuhan kelompok tertentu.

Dalam proses advokasi jaminan kesehatan tahun 2016, tantangan yang muncul tidak lagi dari faktor perempuan, semisal persoalan minimnya kapasitas dan lemahnya posisi tawar perempuan dalam proses pembangunan desa. Namun persoalan di luar (eksternal) komunitas perempuan, di antaranya munculnya kejadian-kejadian yang tidak terduga seperti bencana longsor pada pertengahan bulan ramadan 2016. Selain itu ada perubahan data penerima kartu jaminan kesehatan yang baru di pertengahan tahun 2016 dari BPJS. Perubahan data ini juga berdampak pada proses verifikasi.

Pembelajaran

Proses advokasi jaminan sosial bagi warga miskin yang dilakukan oleh Komunitas Perempuan Pembaharu Desa “Sidaluhur Sejati” merupakan bagian dari upaya mempengaruhi kebijakan desa agar memperhatikan dan berpihak pada kebutuhan dan kepentingan kelompok marginal. Inisiatif advokasi yang dilakukan kelompok perempuan tidak terlepas dari kapasitas pengetahuan maupun keterampilan kelompok perempuan yang telah diperkuat sejak tahun 2015 dalam proses perencanaan apresiatif desa.

Proses perencanaan apresiatif desa tidak hanya mampu memperkuat posisi tawar perempuan dalam pembangunan desa, namun juga menghasilkan RPJMDesa yang responsif gender dan inklusi sosial berbasis data. Pembelajaran selama tahun 2015 tersebut, bagi komunitas perempuan Gumelem Kulon membuat mereka semakin percaya diri. Pembelajaran selama pendataan juga membuat kelompok perempuan menjadi lebih mengenal dan mengetahui kondisi desanya. Pengurus Komunitas Pembaharu Desa Gumelem Kulon Tursiyem sehari-hari adalah ibu rumah tangga yang membantu suaminya menjahit baju.

Proses pendataan kesejahteraan lokal yang dilakukan secara partisipatif juga mampu mengembalikan kepercayaan warga pada

Pemdes. Akibatnya konflik di level desa bisa dikurangi. Hal yang juga baru disadari adalah desa tidak pernah memiliki hasil pendataan yang telah mereka kerjakan. Selama ini, jika ada pendataan tapi yang menyelenggarakan lembaga lain, desa hanya menjadi petugas sensus. Sementara pengolahan data dilakukan di luar desa. Desa juga tidak memanfaatkan data tersebut karena memang tidak memiliki arsip data tersebut. Selain itu, kekurangan dari sensus yang pernah dilakukan di desa, pendataan dilakukan bukan pada semua penduduk, tetapi hanya sampel saja, atau maksimal separuh dari seluruh jumlah warga bahkan rumah tangga sehingga hasilnya dinilai belum valid. Sementara jika pendataan dilakukan oleh desa, hasil datanya masih umum. Data juga hanya diperbaharui setahun sekali dan bentuknya hanya laporan, bukan sensus. Dari rangkaian proses pendataan partisipatif tersebut, warga juga mulai memahami betapa pentingnya pendataan berdasarkan indikator lokal.

Indikator itu disepakati bersama oleh warga desa. Rasa kecewa dan pesimisme seperti yang sering dikeluhkan warga tidak terjadi lagi apabila indikator kesejahteraan desa di Indonesia tidak disamaratakan antara satu desa dengan desa lain. Warga mendefinisikan serta merumuskan sendiri indikatornya. Pemetaan kesejahteraan lokal bertujuan memahami suara masyarakat tentang masalah yang dihadapi dan mengakomodasinya dalam perumusan kebijakan di desa. Pemetaan kesejahteraan di desa juga merupakan salah satu media diagnosa kesejahteraan dan strategi penanggulangannya. Salah satu tujuan pengaturan desa oleh UU Desa adalah meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa untuk mempercepat kesejahteraan umum. Artinya, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat harus ada pemenuhan hak dasar manusia yang bermartabat. Tujuan ini penting dan harus menjadi perhatian karena masih banyak anggota masyarakat, terutama di desa, yang hidup dalam kemiskinan yang bersifat multidimensi dan multisektor.

Penutup

Perempuan merupakan bagian dari aset (kekuatan) sumber daya manusia yang potensial untuk dilibatkan dalam pembangunan. Advokasi yang dilakukan para perempuan di Gumelem Kulon dalam Komunitas Perempuan Pembaharu Desa “Sidaluhur Sejati” merupakan bagian dari dinamika masyarakat sipil dalam mempengaruhi kebijakan desa agar responsif gender dan inklusi. Strategi perencanaan apresiatif desa yang digerakkan kelompok perempuan juga salah satu strategi melibatkan warga lebih banyak lagi untuk peduli pada pembangunan.

Perempuan dan kaum marginal yang selama ini hanya sebagai objek pembangunan kini berperan sebagai subjek pembangunan. Mereka mampu mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan mendapatkan manfaat dari pembangunan di desa. Data yang valid diharapkan meningkatkan kualitas kebijakan publik dan rasa keadilan masyarakat. Selain itu juga mampu menjawab kebutuhan terhadap peningkatan kualitas dan akses pelayanan dasar bagi masyarakat miskin.

Dinamika masyarakat sipil yang digerakkan komunitas perempuan juga mendorong pemerintah desa lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel. Tahun 2015 dan 2016, pembelajaran baik ini juga dilakukan di Desa Gentansari dan Jatilawang. Sementara tahun 2017 pembelajaran baik ini direplikasi Pemkab Banjarnegara di lima desa. Advokasi jaminan kesehatan sosial berbasis data kesejahteraan lokal merupakan pembelajaran bagaimana para perempuan di Desa Gumelem Kulon berusaha melawan kemiskinan di desanya. Tidak hanya melawan sistem yang selama ini tidak berpihak pada kelompok marginal, tapi juga melawan dalam arti sebenarnya atas kemiskinan di desanya.

Daftar Pustaka

Buku

Adenantera Dwicaksono dkk, JAMKESMAS dan Program Jaminan Kesehatan Daerah Laporan Pengkajian di 8 Kabupaten/Kota dan 2 Provinsi (Bandung: Perkumpulan INISIATIF, 2012). Brian Z., Tamanaha. 2004. On the Rule of Law: History, Politics, and

Theory. United Kingdom: Cambridge University Press.

Gani, Ascobat dkk. Modul 11 - Advocacy Rencana dan Anggaran Kesehatan Daerah. Jakarta: Biro Perencanaan Depkes RI dan FKM Universitas Indonesia.

Percy-Smith, J. 2000. “Introduction: The Contours of Social Exclusion.” Dalam Policy Responses to Social Exclusion: Towards Inclusion?, disunting oleh J Percy-Smith, 1–21. Buckingham (Inggris): Open University Press.

Rachmad Kristiono DS, dkk. 2012. Panduan Audit Sosial dan Advokasi Kebijakan Publik yang Berbasis Kerelawanan. Malang: Tifa Foundation.

Sagala, Valentina. 2011. Advokasi Perempuan Akar Rumput: Pedoman dan Modul. Bandung : Institut Perempuan.

Singh, J.P. 2011. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO): Creating Norms for a Complex World. London (Inggris) dan New York (Amerika Serikat): Routledge.

Tan, J.H. dan R. Topatimasang. 2004. Mengorganisir Rakyat: Refleksi Pengalaman Pengorganisasian Rakyat di Asia Tenggara. Jakarta dan Yogyakarta: South East Asia Popular Communication Programmes (SEAPAC) dan INSISTPress.

Topatimasang, Roem. 2000. Merubah Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Advokasi, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI 2007.

Jurnal

Alimah, Perempuan dan Urun Daya dalam Pembangunan Desa: Pengorganisasian Tiga Desa di Jawa, dalam JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL, Nomor 35, Tahun XVIII, 2016, hlm. 197–226, Yogyakarta: Indonesian Society for Social Transformation (INSIST).

Media Cetak

Addi Mawahibbun Idhom, “Bila Perempuan Melawan Kemiskinan”, KORAN TEMPO: Kamis, 17 Desember 2015.

Modul

Infest Yogyakarta, Modul Perencanaan Apresiative Desa, Yogyakarta, 2015. Website http://www.jkn.kemkes.go.id/detailfaq.php?id=1 https://sekolahdesa.or.id/perempuan-desa-gumelem-kulon- advokasi-jaminan-kesehatan-petani-penderes-berbasis-data- kesejahteraan-lokal/ Wawancara

Wawancara dilakukan pada Kamis, 15 Desember 2016 terhadap Ibu Tursiyem, ibu Yuliana, dan ibu Lilis Yuniarti, pengurus komunitas perempuan pembaharu desa Gumelem Kulon.

Dokumen Kebijakan

UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kewenangan Desa. Dokumen Aset dan Potensi Desa Gumelem Kulon. 2015.