• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menuju Pelembagaan Proses Demokratisasi Desa

Muhammad Hidayanto & Yonathan H. Lopo

Pengantar

K

onsekuensi paling sulit dari proses demokratisasi adalah proses institusionalisasi. Pelembagaan proses demokratisasi membutuhkan energi yang besar dari masyarakat dibanding sekadar menciptakan lembaga demokrasi. Penciptaan lembaga demokrasi sebenarnya mudah dan tak membutuhkan waktu lama. Pembentukan BPD misalnya. Sedangkan pelembagaan proses demo- kra tisasi di desa merupakan proses panjang untuk menumbuhkan kehidupan demokratis dalam tiap institusi politik.

Usaha menghadirkan lembaga demokrasi desa, tidak serta-merta dapat menghadirkan kehidupan yang demokratis. Justru pengalaman regulasi desa yang mengatur pengelolaan lembaga demokrasi selama ini, sering berhadapan dengan situasi dilematis. Ketika lembaga demokrasi desa diberi wewenang besar, yang tercipta adalah situasi konfliktual yang dapat mengancam kelangsungan demokrasi. Begitu pun kala kewenangannya diperlemah, yang terjadi adalah penyelewengan kekuasaan dan cenderung koruptif.

BPD sebagai lembaga demokrasi desa. Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, Badan Perwakilan Desa (BPD) hadir dengan kewenangan besar (powerfull) untuk mengontrol pemerintah desa. Melalui kewenangan tersebut, lembaga ini kerap digunakan pihak yang berseberangan untuk menekan pemerintah desa, bahkan memakzulkan kepala desa. Akhirnya, regulasi ini rentan menciptakan situasi konfliktual antara kepala desa dan BPD.

Sebaliknya, ketika kewenangan BPD diperlemah, dengan meng- ubah Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala desa dan perangkatnya rentan menyelewengkan kekuasaan. Pengawasan terhadap pemerintah desa tidak terjadi karena dominasi kepala desa begitu kuat dalam menentukan kebijakan desa. Alih-alih mendorong proses demokra- tisasi, BPD justru terjebak dalam pola kolutif, bersama kepala desa melakukan korupsi.

Kehadiran UU Nomor 6 Tahun 2014 setidaknya membawa pendekatan baru dalam mengelola lembaga demokrasi desa. Regulasi baru ini belajar dari pengalaman regulasi sebelumnya dengan memberikan kewenangan yang berimbang (chek and balances). Kedudukan kepala desa dan BPD setara. Tak ada yang saling mendominasi. Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014, fungsi legislasi BPD memang dilemahkan. Tapi fungsi politiknya (representasi, kontrol dan deliberasi) diperkuat (Eko, 2015). Tapi pelemahan fungsi legislasi BPD tak membuat peran kepala desa mendominasi. Justru melalui penguatan fungsi politiknya, BPD bisa berperan menghadirkan kehidupan demokrasi di setiap institusi.

Maka pelembagaan proses demokratisasi di desa sangat bergantung pada sejauh mana fungsi lembaga demokrasi desa bekerja. Kehadiran BPD sebagai lembaga demokrasi sangat dibutuhkan karena kedudukannya sangat dekat dengan pemerintah desa. Kehidupan demokrasi akan hadir di setiap institusi yang ada jika fungsi BPD berjalan sesuai regulasi.

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014, BPD adalah lembaga demokrasi yang keanggotaannya berasal dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah. Definisi tersebut menegaskan BPD merupakan lembaga desa yang memiliki fungsi representasi. Keberadaannya sebagai lembaga representasi lokal memiliki peranan penting dalam menciptakan proses demokratisasi di desa. Representasi BPD itu terwujud dalam upaya menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat melalui ruang partisipasi terbuka yang memberikan kesempatan sama.

Representasi BPD berangkat dari kepentingan yang beragam dan tersebar di tiap wilayah desa. Setiap kepentingan tersebut terakomodir dalam institusi kepentingan. Institusi kepentingan di sini bisa lahir dari masyarakat atau bentukan pemerintah. Sutoro Eko (2015) menyebut institusi kepentingan yang dibentuk dari masyarakat secara mandiri sebagai civil institution atau organisasi warga.

Dengan demikian, keberadaan institusi kepentingan sebagai wadah representasi semestinya dapat bertautan dengan BPD sebagai lembaga representasi desa. Fungsi representasi BPD harus dapat melampaui keterwakilan wilayah untuk menghampiri setiap kepentingan yang terakomodir dalam institusi kepentingan. Kedekatan dengan institusi kepentingan yang ada menjadi kunci utama fungsi representasi BPD bekerja.

Praktik di lapangan menunjukan posisi representasi BPD baru sebatas pemenuhan unsur keterwakilan tokoh masyarakat di tiap wilayah. Tokoh masyarakat yang dimaksud adalah mereka yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat dan diklaim mewakili kelompok tertentu. Atau dengan kata lain, pemaknaan representasi BPD belum menyentuh substansi representatifnya, melainkan sekedar mekanisme proseduralnya. Maka menjadi sulit untuk menghindarkan diri dari elitisme yang kerap menjebak institusi perwakilan semacam BPD.

ngan pribadi menjadi kabur dan sulit diidentifikasi. Kesenjangan terjadi dengan institusi kepentingan yang tersebar di tiap wilayah. Saluran aspirasi masyarakat tersumbat, musyawarah desa hanya bersifat seremonial. Alih-alih menciptakan proses demokratisasi di desa, BPD justru mewadahi terjadinya pembajakan elite (elite capture).

Karena itu, reposisi representasi BPD menjadi penting. Reposisi dimaksudkan untuk meletakan representasi BPD dalam makna yang substansial, tak sebatas prosedural semata. Representasi substansial di sini menyangkut tiga hal, yaitu kontrol masyarakat terhadap BPD, kedekatan atau interaksi dengan institusi kepentingan, dan kontrol BPD terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.

Popular Control dan Political Equality

Beetham (1999) mengemukakan pemerintahan demokrasi “is based on popular control and political equality” (berlandaskan pada kontrol masyarakat dan kesetaraan berpolitik). Maka pemerintahan desa yang demokratis adalah pemerintahan yang dalam penyelenggaraannya didasarkan atas kontrol masyarakat dan adanya kesetaraan politik warga.

Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah institusi demokrasi perwakilan desa, meskipun lembaga ini bukan parlemen atau lembaga legislatif seperti DPR. Terjadi pergeseran kedudukan BPD dari UU Nomor 32 Tahun 2004 ke UU Nomor 6 Tahun 2014. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, BPD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa bersama pemerintah desa. Artinya, BPD ikut mengatur dan mengambil keputusan desa. Di sini fungsi hukum (legislasi) BPD relatif kuat. Namun UU Nomor 6 Tahun 2014 mengeluarkan (eksklusi) BPD dari unsur penyelenggara pemerintahan dan melemahkan fungsi legislasi BPD. BPD menjadi lembaga desa yang melaksanakan fungsi pemerintahan sekaligus menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Mereka mengawasi kinerja kepala desa dan

menyelenggarakan musyawarah desa. Ini berarti eksklusi BPD dan pelemahan fungsi hukumnya tergantikan dengan penguatan fungsi politik (representasi, kontrol dan deliberasi).

Wacana mengenai penguatan kelembagaan demokrasi di desa berlangsung dengan penguatan fungsi BPD sebagai jantung demokrasi di desa. Upaya reposisi fungsi BPD menuju demokrasi desa yang lebih bermartabat dapat dilakukan dalam beberapa cara. Pertama, sebagai upaya mewujudkan popular control atas penyelenggaraan pemerintahan di desa. BPD harus penyelenggaraan pemerintahan bukan pada lembaga-lembaga pemerintahan melainkan pada kemampuan warga desa dalam mengendalikan keputusan publik dan melaksanakan kontrol terhadap aparat desa. Kedua, BPD memiliki peran besar untuk memastikan setiap warga desa setara secara politik dalam dinamika pemerintahan desa. Kesetaraan dalam hal ini bukan sebatas one man one vote seperti dalam logika pemilu, tetapi tentang value.

Popular Control BPD

Pertanyaan kunci yang hendak dibahas di sini adalah bagaimana BPD memastikan rakyat tetap menjadi pemilik kedaulatan yang sah melalui instrumen representasi politik warga. Seperti dipaparkan sebelumnya, UU Nomor 6 Tahun 2014 memperkuat fungsi politik BPD. Fungsi kontrol tersebut berwujud upaya pengawasan pada kinerja kepala desa.

Sutoro Eko (2015) menjelaskan posisi baru BPD dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 akan menimbulkan beberapa kemungkinan plus-minus

relasi antara kepala desa, BPD, dan masyarakat. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

“[pengaruh dari posisi baru BPD tersebut adalah] Pertama, fungsi politik BPD yang menguat akan memperkuat kontrol dan legitimasi kekuasaan kepala desa. Pada saat yang sama musyawarah desa akan menciptakan kebersamaan (kolektivitas) antara pemerintah desa, BPD, lembaga kemasyarakatan dan unsur-unsur masyarakat

untuk membangun dan melaksanakan visi-misi perubahan desa. Musyawarah desa juga menghindarkan relasi konfliktual head to head

antara kepala desa dan BPD. Kedua, kepala desa yang mempunyai hasrat menyelewengkan kekuasaan bisa mengabaikan kesepakatan yang dibangun dalam pembahasan bersama antara kepala desa dan BPD maupun kesepakatan dalam musyawarah desa. Kepala desa bisa menetapkan APBDesa dan peraturan desa secara otokratis dengan mengabaikan BPD dan musyawarah desa, meskipun musyawarah tetap ditempuh secara prosedural. Tindakan hal ini yang terjadi maka untuk menyelamatkan desa sangat tergantung pada bekerjanya fungsi politik (fungsi kontrol) BPD dan kuasa rakyat.”

Meskipun kontrol terhadap pemerintah desa telah diamanatkan akan dilakukan oleh BPD sebagai lembaga representatif, bukan berarti kontrol langsung masyarakat tidak ada atau dilemahkan. Dalam persepektif popular control, kehadiran kontrol masyarakat ditandai dengan adanya pengaruh masyarakat secara langsung atas arah kebijakan dan terhadap penyelenggara pemerintah desa. BPD adalah bagian dari penyelenggara pemerintah desa sekaligus pengawas kinerja pemerintah desa. Karena itu, kontrol masyarakat berlangsung dua arah dan dua tahap.

Pertama, masyarakat desa melakukan kontrol terhadap

penyelenggaraan pemerintahan desa dalam wujud arah kebijakan tentang kepentingan dan kebutuhan masyarakat serta kontrol terhadap penggunaan dana desa. Kontrol di sini menjelaskan arah kontrolnya terhadap pemerintah desa dan BPD yang memperjuangkan kepentingan masyarakat. Kedua, masyarakat desa melakukan kontrol terhadap fungsi representasi BPD. Dalam hal ini, apakah kepentingan BPD selaras dengan kepentingan masyarakat.

Dengan demikian, kontrol masyarakat dalam perspektif popular control berbentuk kontrol langsung, yakni terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Adapun kontrol tidak langsung adalah kontrol masyarakat terhadap BPD dan bekerjanya fungsi representatif.

Political Equality

Konsideran Pasal 56 UU Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan anggota Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis. Konsideran itu menjelaskan dua hal. Pertama, anggota BPD adalah beberapa masyarakat desa yang merupakan perwakilan dari seluruh masyarakat berdasarkan keterwakilan wilayah. Kedua, mekanisme perekrutan anggota BPD dilakukan secara demokratis. Dari penjelasan tersebut, mekanisme perekrutan anggota BPD menggunakan sistem perwakilan.

Mekanisme perekrutan anggota BPD yang menggunakan sistem perwakilan tidak dapat terhindarkan dari makna ketidaksetaraan. Yang dimaksud dengan makna ketidaksetaraan adalah mekanisme perwakilan dalam BPD yang hanya berlaku bagi sebagian masyarakat hak untuk mengambil keputusan-keputusan politis atas nama masyarakat desa.

Dalam perspektif political equality, kesetaraan politik dapat tercapai jika semua masyarakat desa memiliki hak sama untuk memangku jabatan publik, menyuarakan isu publik, dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintahan. Tapi faktanya kebanyakan sistem demokrasi perwakilan tidak sepenuhnya memenuhi kriteria di atas. Hal tersebut terjadi karena kesetaraan politik secara substansial terhambat oleh perbedaan-perbedaan sistematis dalam hal kekayaan, waktu, akses, dan sumber-sumber lain.

Musyawarah desa, seperti yang diformulasikan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 dapat menjadi arena untuk mendapatkan kesetaraan politik secara substansial. Secara historis, musyawarah desa merupakan tradisi yang sudah melekat dalam masyarakat lokal Indonesia. Sebagaimana dijelaskan Sutoro Eko (2015) dalam bukunya, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa, sebagai berikut:

“Salah satu model musyawarah desa yang telah lama hidup dan dikenal di tengah-tengah masyarakat desa adalah rapat desa (rembug

desa) yang ada di Jawa. Dalam tradisi rapat desa selalu diusahakan untuk tetap memperhatikan setiap aspirasi dan kepentingan warga sehingga usulan masyarakat dapat terakomodasi dan sedapat mungkin dapat dihindari munculnya riak-riak konflik di masyarakat. Selain model rapat desa ada bentuk musyawarah daerah-daerah lain seperti Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat, Saniri di Maluku,

Gawe Rapah di Lombok, Kombongan di Toraja, Paruman di Bali.” Namun, praktik di lapangan menunjukan pelaksanaan musya- warah desa kerap tidak dapat menghadirkan kesetaraan politik secara substansial. Beberapa kalangan menyayangkan dan pesimis terhadap musyawarah desa yang dipandang hanya formalistik tanpa makna. Karena itu, untuk menghadirkan kesetaraan politik secara substansial dalam musyawarah desa, terlebih dahulu dihadirkan kesadaran politik kepada masyarakat (education citizen). Kesadaran politik di sini dapat dilakukan melalui pengorganisasian kepentingan atau kebutuhan masyarakat dalam suatu institusi kepentingan. Institusi kepentingan tersebut merupakan sebuah institusi representasi lokal yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat karena atas kesadaran akan kepentingannya.

Karena itu, BPD sebagai lembaga representasi yang paling dekat dengan pemerintah desa dan bertugas menyelenggarakan musyawarah desa, sudah semestinya bertautan dengan institusi kepentingan yang ada. Pertautan di sini dapat berwujud upaya penjaringan aspirasi atau kepentingan masyarakat yang dilakukan secara intens, sebelum pelaksanaan musyawarah desa. Dengan demikian, upaya penjaringan aspirasi oleh BPD akan mendorong terwujudnya kesetaraan politik masyarakat desa secara substansial.

BPD dari Masa ke Masa

Sebagai suatu produk politik, BPD sebagai salah satu lembaga penggerak demokrasi di desa pun mengalami fase pasang surut sesuai perkembangan politik Indonesia. Tabel di bawah ini akan

menggambarkan bagaimana definisi, kedudukan, serta fungsi BPD dari waktu ke waktu sesuai undang-undang yang berlaku.

Tabel 1.1 BPD dari Masa ke Masa

Komponen UU 22/ 1999 UU 32/2004 UU 06/2014

Definisi BPD atau Badan Perwakilan Desa , berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan BPD atau Badan Permusyawaratan Desa, berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat

BPD atau Badan Permusyawaratan Desa yang merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakanwakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis Kedudukan BPD Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa yang powerful melakukan kontrol terhadap kepala desa, bahkan dapat melakukan pemakzulan terhadap kepala desa Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. BPD berwenang dan ikut mengatur dan mengurus desa

Sebagai lembaga desa yang terlibat melaksanakan fungsi pemerintahan, tetapi tidak secara penuh ikut mengatur dan mengurus desa.

Fungsi hukum Fungsi hukum/ legislasi kuat: menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa

Fungsi hukum/ legislasi kuat: menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa Fungsi hukum/ legislasi lemah: membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa

Fungsi Politik BPD sebagai kanal (penyambung) as- pirasi masyarakat dan melakukan penga- wasan terhadap peny- elenggaraaan pemerin- tahan: kontrol terha- dap kepala desa

BPD sebagai kanal (penyambung) as- pirasi masyarakat dan melakukan pen- gawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa (Perdes) dan Peraturan Kepala Desa a. Menampung dan menyalurkan as- pirasi masyarakat desa b. Melakukan pe- ngawasan kinerja Kepala Desa c. Menyelenggarakan musyawarah desa

Tabel di atas setidaknya menggambarkan kedudukan BPD ber- dasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 secara hukum sangat lemah. Kondisi ini memberikan kesempatan luas bagi kepala desa menjadi

primus interpares dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Secara tidak langsung, maju atau tidaknya suatu desa bergantung pada kualitas kepemimpinan kepala desa. Di sinilah letak urgensi dari reposisi fungsi dan peran BPD. UU Nomor 6 Tahun 2014 memberi kewenanngan luas sekaligus anggaran besar bagi pemerintah desa dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Reposisi ini berkaitan dengan mekanisme rekrutmen keanggotaan BPD agar menghasilkan BPD yang berkualitas, pengawas kinerja kepala desa, serta penjamin transparansi musyawarah desa.

Dari Representasi Geografis Menuju Representasi Nilai

Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014, Badan Permusyawaratan Desa memiliki fungsi representatif dengan menekankan keterwakilan penduduk desa berdasarkan wilayah secara demokratis. Sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelengaraan pemerintah desa, BPD memiliki kedudukan penting dalam sistem pemerintahan desa. BPD, sesuai UU Nomor 6 Tahun 2014 memiliki tiga fungsi pokok. Penyerap aspirasi masyarakat, pengawas kepala desa, dan pelaksanaan musyawarah desa.

Secara politik musyawarah desa merupakan extended BPD. Musyawarah desa merupakan wadah partisipasi dan kontestasi kepentingan aktor-aktor desa. Karena itu, kehadiran BPD merupakan institusionalisasi konflik antar aktor desa. Untuk mewujudkan desa yang demokratis, basis representasi warga di BPD perlu ditinjau kembali. Representasi politik hanya diisi oleh 5 sampai 9 orang. Padahal sebaran kepentingan dalam politik di desa tak sederhana. Keterbatasan perwakilan masyarakat dalam BPD memberi ruang bagi BPD dan kepala desa kolutif. Artinya, kebijakan-kebijakan desa tidak lahir melalui proses musyawarah yang demokratis melainkan melalui interaksi dan negosiasi elit politik desa.

Menurut Francis Fukuyama (2005), warga yang terorganisir dalam kelompok-kelompok mungkin menuntut atau menerima pertanggungjawaban dibanding individu yang tak terorganisir. Dengan kata lain, warga perlu diorganisir dalam suatu wadah yang demokratis untuk bisa mempermudah proses konsolidasi demokrasi. Kehadiran BPD merupakan pengejawantahan upaya membentuk institusi demokrasi di desa. Fungsinya, menampung dan menyalurkan aspirasi dan tak terjebak pada isu individual, serta parochial seperti suku, agama, dan ras dan golongan.

Törnquist mengungkapkan ada dua pendekatan untuk melihat representasi. Pertama, the chain of popular sovereignty yang melihat representasi rakyat memerlukan perantara lembaga tertentu. BPD merupakan institusi yang bertugas menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Kedua, direct participation of the immediately concerned people yang melihat proses representasi dapat dilakukan langsung maupun tidak lewat lembaga formal atau tidak. Pendekatan kedua ini memungkinkan warga menyalurkan aspirasi lewat lembaga lain, seperti kelompok tani, keagamaan, kesenian, dan kepemudaan. Tak hanya melalui BPD saja.

Menurut Sutoro Eko (2013) perubahan fungsi BPD dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 dapat memunculkan hubungan kolutif, dominatif, dan konfliktual antara BPD dan kepala desa. Pola Dominatif terjadi jika kepala desa sangat dominan dalam menentukan kebijakan desa. Sementara BPD lemah karena beberapa hal semisal terpinggirkan oleh kepala desa, pasif, atau tidak paham fungsi dan perannya. Akibatnya BPD tak menjalankan fungsi pengawasan. Kebijakan desa pun menguntungkan kepala desa, posisi rakyat dan demokrasi desa juga lemah. Pola kolutif terjadi apabila hubungan kepala desa dan BPD berkolusi sehingga memungkinkan korupsi. Implikasinya, keputusan desa tidak berpihak pada warga karena ada anggaran atau keputusan yang tidak disetujui masyarakat. Musyawarah desat idak berjalan secara demokratis dan dianggap seperti sosialisasi dengan hanya menginformasikan program pembangunan fisik. Warga masyarakat

kurang dilibatkan. Kalau ada komplain dari masyarakat tidak mendapat tanggapan dari BPD maupun pemerintah desa. Implikasinya, warga bersikap pasif dan membiarkan kebijakan desa tidak berpihak pada warga. Sedangkan pola konfliktual antara BPD dengan kepala desa sering terjadi ketidakcocokan terhadap keputusan desa. Biasanya sumbernya BPD bukan berasal dari kelompok pendukung kepala desa. BPD dianggap musuh kepala desa karena kurang memahami peran dan fungsi BPD. Musyawarah desa diselenggarakan oleh pemerintah desa dan BPD tidak dilibatkan dalam musyawarah internal pemerintahan desa. Dalam musyawarah desa tidak membuka ruang dialog untuk menghasilkan keputusan yang demokratis sehingga menimbulkan konflik.

Pola relasi seperti ini yang harus dicegah melalui kontrol rakyat secara langsung agar proses demokratisasi di desa tidak terjebak dalam

elite capture. Karena itu, institusi BPD tidak hanya diisi berdasarkan mekanisme keterwakilan geografis desa, melainkan representasi politik yang bermakna melalui aktor-aktor desa yang dapat mengontrol pelaksanaan pemerintahan desa.

Dalam skema yang digambarkan Tornquist, ada 3 unsur utama, yaitu masyarakat (demos), perantara (mediators), dan ranah publik (public affairs). Dalam konteks menjalankan proses demokratisasi di desa, masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya melalui para mediator seperti organisasi masyaraka atau pemimpin informal. Sehingga secara ideal terbentuk alur komunikasi bottom-up yang berfungsi menyampaikan kepentingan masyarakat. Di sini, BPD memainkan peran sebagai aktor intermediari yang menghubungkan rakyat dengan pemerintah.

Secara politik, fungsi BPD bisa dikatakan sebagai arena institusi- onalisasi konflik kepentingan waga desa. Karena itu, peran BPD dalam mendorong proses demokratisasi di desa dapat dilaksanakan melalui beberapa hal misalnya; (1) membuka ruang yang memungkinkan warga mendiskusikan isu-isu publik dan membentuk opini, (2) memberi

wawasan bagi pemimpin desa mengenai isu yang berkembang, dan (3) membuka ruang bagi warga untuk memberi pandangan sehingga pemerintah desa memilah pilihan yang baik dan buruk.

Untuk sampai pada tahap itu, BPD harus diisi oleh perwakilan yang memenuhi beberapa kriteria tertentu. Tak terbatas perwakilan aspek geografis seperti RT/RW dan dusun. BPD dapat diisi oleh aktor- aktor yang memenuhi kriteria tertentu seperti; (1) punya kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan, (2) memiliki pandangan terbuka (inclusion) atas nilai-nilai yang beragam, dan (3) memiliki pandangan deliberatif.

Karena itu, BPD tidak hanya bertugas menjalankan fungsi-fungsi seremonial. Tapi juga menjalankan fungsi-fungsi yang memungkinkan terjadi check and balances antara kepala desa dan BPD. Prinsipnya, kalau benar didukung kalau salah diingatkan. Ada saling pengertian dan menghormati aspirasi warga untuk melakukan check and balances. Kondisi seperti ini akan menciptakan kebijakan desa yang demokratis dan berpihak pada warga.

Dengan demikian, untuk mewujudkan proses pelembagaan demokrasi di desa, BPD harus menjadi institusi yang tidak hanya diisi oleh aktor-aktor desa yang berkepentingan. Hakikat BPD bukan pada organisasi dan strukturnya, melainkan pada keterlibatan warga sebagai pemilik kedaulatan di desa. Selain itu, BPD haruslah menjadi arena bagi tiap warga desa memiliki vote dan value yang sama dalam mempengaruhi kebijakan desa. Singkat kata, Badan Permusyawaratan Desa bukan sebatas space bagi aspirasi rakyat tapi juga menjadi sphere

yang memberi kesempatan luas pada semua warga untuk bersuara. Dengan cara inilah proses pelembagaan demokrasi di desa menjadi

stand on the right sight.

Penutup

Kemunculan UU Nomor 6 Tahun 2014 setidaknya sudah mengembalikan kekuatan politik BPD yang menempatkan dalam

platform check and balances. Penguatan fungsi politik BPD tidak akan berdampak apapun jika representasinya sekadar menyentuh keterwakilan wilayah (representasi geografis). Berdasarkan paparan di atas, reposisi representasi BPD menjadi penting untuk dilakukan.