• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasca menang dalam Pilkades, kepala desa mulai menunjukkan kinerjanya sebagai penyelenggara pemerintahan selama periode

tertentu. Berdasarkan hasil wawancara pada masyarakat di 10 lokasi studi, warga cenderung menilai kinerja Kades pada aspek (1) pembangunan dan (2) penatakelolaan pemerintah desa. Bila dikaitkan dengan biografi Kades, kualitas kedua aspek tersebut rupanya lebih banyak dipengaruhi oleh latar belakang individu, di samping kondisi kinerja tim menjadi faktor eksternal yang sangat mungkin mempengaruhi kualitas berorganisasi. Sementara itu, bila dikaitkan dengan dinamika Pilkades, mereka yang lahir dari politik uang rupanya tidak selalu mendapat nilai buruk dari masyarakat.

Gambar 3. Penilaian Warga Mengenai Kinerja Kades

Sumber: Analisis, 2016

Pertama, kesan positif terhadap kinerja Kades muncul bila dirinya mampu membawa banyak kegiatan pembangunan dan mendistribusikannya secara merata pada tiap wilayah. Hal ini tak dapat dilepaskan dari pengalaman organisasi yang dimiliki Kades, baik organisasi pemerintahan ataupun kemasyarakatan. Pengalaman berorganisasi, terutama di dalam desa, memberi kades lebih banyak pengetahunan tentang potensi, masalah, dan jaringan yang dimiliki dan dapat dimanfaatkan oleh desa. Sebagai contoh, di Jawa Tengah, pengalaman kades di pemerintahan (misal petahana) turut mempengaruhi kemampuan mereka melobi SKPD/DPRD dalam rangka menarik pembangunan ke desanya.

Selain itu, pengalaman berorganisasi juga membekali mereka cara membangun relasi yang baik. Berorganisasi juga meningkatkan

keaktifan pada kegiatan kemasyarakatan. Dengan begitu, Kades terbiasa berinteraksi dengan warganya dan memudahkan mereka mengidentifikasi apa dan dimana saja masalah serta kebutuhan warga. Berikutnya, kades mengakomodasinya dalam agenda pembangunan desa. Pada situasi sebaliknya, terjadinya kesan pembangunan yang stagnan (tidak berubah) di desa lebih banyak dipengaruhi oleh kurangnya pengalaman organisasi dan pola relasi kades terhadap warganya. Ditambah faktor lingkungan yang cenderung tidak peduli terhadap urusan-urusan pemerintahan desa, seperti terjadi di Jambi.

Kedua, penilaian pada aspek tata kelola pemerintahan desa didasarkan pada (1) kemampuan koordinasi, (2) kedisiplinan dalam administrasi dan pelayanan di desa, serta (3) transparansi kegiatan pemerintahan desa. Kemampuan koordinasi yang berkaitan dengan kapasitas kepala desa dalam mengatur perangkatnya memiliki kaitan erat dengan pengalaman Kades memimpin organisasi, baik di pemerintahan maupun non pemerintahan. Kades yang tidak dibekali pengalaman ini akan sulit mengarahkan kinerja perangkatnya dan berdampak pada buruknya kinerja pemerintahan desa.

Berikutnya, kedisiplinan dalam administrasi dan pelayanan memberi kesan profesionalitas pemerintahan desa. Selain latar belakang organisasi, kemampuan ini dapat terbentuk dari pengalaman keprofesian Kades, terutama yang pernah bekerja sebagai pengusaha. Seperti banyak dijumpai di Jawa Tengah), Kades cenderung menerapkan karakter kelembagaan yang efisien dan memberi pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Sementara itu, aspek tata kelola yang berkaitan dengan praktik transparansi adalah isu yang seringkali dikritik oleh masyarakat terkait kinerja Kades dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Di beberapa desa, terutama di luar Jawa, warga mengeluh kades tertutup untuk urusan pengelolaan kegiatan pembangunan dan penganggaran. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman organisasi yang dimiliki kades belum cukup untuk membuka akses informasi seluas-luasnya, baik yang bersifat substantif

maupun prosedural, dengan cara-cara yang mudah dipahami oleh anggotanya.

Refleksi

Berlakunya UU Desa telah menjadi sorotan banyak pihak, terutama dalam mengawal implementasi menuju masyarakat berdaya. Karena itu, menyiapkan pemimpin yang tepat bagi desa semakin diperlukan dengan perhatian terhadap kualitas kandidatnya. Tulisan ini menunjukkan bahwa biografi Kades memiliki kontribusi besar bagi kemenangan dalam Pilkades dan kinerja pemerintahan desa.

Terkait dengan hal itu, ada sejumlah poin yang dapat dijadikan bahan pembelajaran. Kredibilitas Kades paling besar dipengaruhi oleh latar belakang individunya. Pengalaman organisasi (pemerintahan atau non-pemerintahan) berkontribusi pada kemampuan Kades dalam berkomunikasi dan membangun kerjasama. Bila ia pernah menduduki jabatan pimpinan, hal itu berguna dalam meningkatkan kapasitasnya pada fungsi koordinasi dan kemampuannya mengarahkan roda kelembagaan. Keaktifan di berbagai kegiatan memunculkan kesan Kades yang selalu hadir di tengah-tengah komunitas. Selain menguntungkan bagi popularitasnya, hal ini dapat menumbuhkan pola relasi yang baik di antara warga desa. Seseorang yang aktif dalam kegiatan di desa juga lebih memahami situasi, permasalahan, dan dinamika yang terjadi di wilayahnya. Pada tingkat tertentu, pengalaman profesi, terutama yang berkaitan dengan kegiatan usaha ekonomi membekali ketertiban administasi dan pengelolaan layanan yang efisien.

Bekal keorganisasian Kades lebih banyak diisi dari keterlibatannya dalam organisasi-organisasi desa. Karena itu, iklim organisasi yang meningkatkan kapasitas anggota patut menjadi perhatian, misalnya kemungkinan memberikan pendidikan politik yang inklusif dan demokratis. Dengan begitu, organisasi di desa tidak hanya sebagai ajang berkumpul tapi sekaligus belajar kepemimpinan. Latar

hubungannya dengan kinerja Kades dalam pemerintahan desa. Dalam situasi Pilkades, hal tersebut memang menguntungkan kandidat namun terputus selama kades bekerja.

Pada akhirnya, meski latar belakang individu merupakan faktor terkuat kuat dalam kemenangan Kades dan kinerjanya, tapi tulisan ini tak bermaksud mengesampingkan diskursus latar belakang keluarga dan lingkungan sosial. Keduanya justru dapat dikembangkan sebagai fungsi pendukung (supporting) dan penyeimbang (balancing) terhadap keputusan-keputusan publik yang diambil kepala desa menuju masyarakat yang maju, kuat, mandiri, dan demokratis.

Ke depan, terdapat perubahan secara administratif terkait pilkades setelah berlakunya UU Desa, yaitu format pelaksanaan serentak. Secara substansi, hal ini perlu diimbangi dengan apa yang telah dipelajari dari analisis biografi kepala desa, yaitu proses membidani kelahiran calon-calon pemimpin berkualitas di aras lokal. Seperti pengalaman otonomi daerah yang melahirkan sosok inovator seperti Ridwan Kamil di Bandung, Tri Rismaharini di Surabaya, Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, dan Nurdin Abdullah di Bantaeng.

Sementara itu, tidak hanya menyiapkan calon pemimpin (representatif) yang berkualitas, pendidikan politik tentang demokrasi deliberatif perlu ditularkan hingga level masyarakat yang dapat dimulai dari organisasi dan kelompok lokal desa. Desa demokratis sejatinya lahir dari masyarakat yang menjunjung rasionalitas namun tetap menghormati hak asasi manusia, serta kepeduliannya terhadap visi desa ke depan sebagai diskursus yang terus diproduksi dan dikontestasikan.

Acknowledgement

Ucapan terimakasih kepada PNPM Support Facility (PSF) World Bank dan Lembaga Penelitian SMERU. Selanjutnya, penasihat penelitian, yaitu Syaikhu Usman dan Widjayanti Isdijoso, serta para peneliti yang juga terlibat, yaitu Muhammad Syukri, Palmira Permata

Bachtiar, Asep Kurniawan, Kartawijaya, Gema Satria, dan Ulfah Alifia. Penghargaan tinggi juga disampaikan kepada lima pemantau lapangan, yaitu Ridwan Muzir, Akhmad Fadli, Edelbertus Witu, Nuzul Iskandar, dan Asmorowati.

Daftar Pustaka

Antlov, H. and Eko, S. (2012). Village and Sub-District Functions in Decentralized Indonesia. Paper to DSF’s Closing Workshop, 12-13March, 2012.

Diningrat, R. A., Bachtiar, P. P., and Sedyadi, G. S. M. (2016). The Birth of Village Law: Where are Marginalized Groups?. Paper presented at KITLV Workshop “New Law, New Villages: Changing Rural Indonesia”, May 19-20, 2016.

Eko, S. (2015). Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indinesia.

Eko, S., dkk. (2014). Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa.

Hoo, L. (2016). “Sentinel” Villages” – Obeserving Village Governance and Community Empowerment under Village Law. Paper presented at KITLV Workshop “New Law, New Villages: Changing Rural Indonesia”, May 19-20, 2016.

Loomis, C. P. (2002). Community and Society (ed.) Gemeinschaft unf Gesellschaft by Ferdinand Tonnies. New York: Dover Publications, Inc.

Peraturan Pemerintah 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 112 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Desa

Sambodo, M. T. (2014). Great Expectation. <online: http://www. newmandala.org/great-expectations/>. New Mandala.

SMERU (2016).Laporan Baseline Studi mplementasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jakarta (belum dipublikasikan)

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

Vel, J.A.C., and Bedner, A. W. Decentralisation and village governance in Indonesia: the return to the nagari and the 2014 Village Law. The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 2015 Vol. 47, No. 3, 493-507.

Masa Jabatan Kepala Desa