• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses deliberasi di tingkat dusun memiliki beberapa hal yang perlu disoroti untuk membenahi kelumpuhan musyawarah. Sadar atau tidak, masalah ini menjadi penghambat efektivitas musyawarah desa. Contohnya kapasitas mediator Bamus untuk menyelenggarakan musyawarah yang layak atau tidak. Sayangnya, kemampuan memancing insiasi warga dalam perdebatan subtansi proposal umum minim. Faktor isu menjadi penentu musyawarah bergairah atau tidak, ramai dengan perdebatan atau tidak. Minimnya kapasitas Bamus bisa diatasi dengan meningkatkan political credibility. Prosesnya bisa dimulai dari pemilihan anggota Bamus yang transparan dan kompetitif, kemampuan kognitif dan pengalaman dalam arena politik pemerintahan desa, serta keberpihakan terhadap kepentingan warga rentan.

Pendekatan yang digunakan Bamus dalam merespons kebutuhan warga juga harus ditekankan pada pengarusutamaan program yang berbasis pada kesejahteraan dan pemberdayaan warga. Pembangunan yang berorientasi pada pengadaan infrastruktur fisik belum mampu menyentuh akar masalah. Keadaan wilayah desa yang maju bukan berarti menggerus responsivitas Bamus dan asumsi wilayah urban cenderung memiliki kondisi sosial ekonomi yang sejahtera.43

Tergerusnya responsivitas Bamus terhadap persoalaan warga tak lepas dari ketidakmampuan Bamus mengakomodasi keterwakilan kelompok rentan. Selain itu, prioritas proposal dilihat peneliti se-

43 Tanggapan yang diberikan oleh Pak Damar, Percik Salatiga, presentasi peneliti di Simposium Nasional Demokrasi Desa, 12-13 Januari 2013 yang diselenggarakan oleh IRE.

bagai mekanisme yang bisa membatasi keberagaman ide. Tapi skala prioritas ini juga relevan untuk mendorong inisiasi aktif warga dalam menentukan solusi persoalaan.

Ada beberapa kesimpulan dari pembahasan tentang deliberasi di tingkat dusun di atas. Pertama, informasi yang relevan dapat didistribusikan Bamus dengan terbuka tanpa pembatasan warga. Informasi ini bisa berbeda kapasitasnya. Tergantung faktor kepentingan dan kedekatan partisipan. Kedua, variasi peserta musyawarah bergantung pada komposisi dan kebutuhan manuver dalam forum. Sejauh ini musyawarah desa yang seharusnya diprioritaskan warga ternyata berlangsung terbatas pada amanat UU. Ini terlihat jelas dalam beberapa kasus yang dihadirkan. Musyawarah yang melibatkan kepentingan investor menjadi lebih menarik dibanding diskusi anggaran tahunan. Selain itu, pengambilan keputusan oleh Bamus memiliki kecenderungan untuk menimbang dari beragam perspektif. Sementara sikap Bamus yang mereduksi keadilan demokrasi terlihat dari status sosial politik warga yang memperoleh porsi lebih besar dalam musyawarah. Ketidakadilan yang diperlihatkan melalui sikap Bamus ini masih bisa diimbangi dengan sikap independensi Bamus dalam memperkarakan dua isu dalam musyawarah.

Rekomendasi

Uraian di atas menggambarkan sebagian masalah Bamus dalam menentukan kebijakan. Ditambah lagi dengan temuan lapangan yang menjadi anomali dari aspek normatif. Berhubungan dengan peran Bamus, penulis merekomendasikan hal-hal yang perlu dipertegas dalam payung hukum kebijakan untuk memperbaiki kehidupan berpolitik di tingkat desa.

Kapasitas Bamus. Pertama, tentang transparansi pemilihan Bamus. Proses pemilihan Bamus harus dievaluasi agar transparan dan sesuai aturan. Tujuannya, anggota terpilih lahir dari proses penilaian kapasitas sosial politiknya oleh warga dalam merespon isu-isu warga.

Kedua, tentang orientasi pengambilan kebijakan Bamus. Bamus wajib mengedepankan paradigma kesejahteraan dan pemberdayaan, bukan pengadaan pembangunan fisik berupa gedung.

Membidik arena kebijakan.Pertama, paradigma representasi.

Pemerintah sudah tegas memberikan porsi kelompok rentan di desa sebagai unsur keterwakilan yang harus terpenuhi dalam keanggotan Bamus. Ini perlu dilakukan untuk membatasi ruang gerak elit baru di desa dan menjamin suara kelompok rentan bisa terakomodasi dalam musyawarah. Kedua, kita perlu menggaungkan Permendes Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa. Kebijakan ini secara minimal dinilai mampu mendorong proses deliberasi yang ideal seperti cita-cita Fishkin.

Daftar Pustaka

Buku

Bessette, J. (1994). The Mild Voice of Reason. Chicago: University of Chicago Press.

Carson, L. & Hartz-Karp, J. (2005). “Adapting and Combining Deliberative Designs” dalam J. Gastil & P. Levine (eds), The

Deliberative Democracy Handbook: Strategies for Effective Civic

Engagement in the 21st Century. San Francisco: Jossey-Bass. 120- 138.

Fishkin, JS. (2009). When the People Speak: Deliberative Democracy & Public Consultation. New York: Oxford University Press.

Kumpulan Materi Peningkatan Kapasitas Badan Permusyawaratan Desa oleh Kementerian Dalam Negeri RI, Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malang 2012.

Mashuri, M. (2013). Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta: PolGov.

Nadlirun (2012). Mengenal lebih dekat demokrasi di Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka Pelajar.

Nazir, M. (1998). Metode Penelitian. Jakarta: PT. Galia Indonesia. Pitkin, H. (1967). The Concept of Reoresentation. Barkeley: University of

California Press.

Rozaki, A. dan Yulianto, S. (2015). Pelembagaan Demokrasi melalui Musyawarah Desa. IRE: Yogyakarta.

Sukandarrumidi (2006). Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Zittel, T. & Fuchs, D. (2007). Participatory Democracy and Political

Participation: Can Participatory Engineering Bring Citizens Back In? London: Routledge.

Jurnal

Cahyono, H. (Ed.) (2005). “Konflik Elit Politik di Pedesaan: Relasi antara BPD dan Pemerintah Desa,” Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol. 2, No 1.

Lascher, E. (1996). “Assessing Legislative Deliberation: A Preface to Empirical Analysis,” Legislative Studies Quarterly, Vol. 21, No. 4. Fung, A. (2005). Deliberation Before the Revolution”, Political Theory,

Vol. 33, No. 2.

Habermas, J. (1974). “The Public Sphere: An Encyclopedia Article (1964)”, On New German Critique, No. 3.

Hikckerson, A., & Gastil, J. (2008). ”Assesing the Difference Critique of Deliberation: Gender, Emotion, and the Jury Experience”,

Communication Theory, 18, 281-303.

Hansagne (2006). “Answering Questions in Parliament During Budget Debates: Deliberative Reciprocity and Globalisation in Western Europe”, Parliamentary Affairs, Vol. 64 No. 1, 153–174.

Hughes, C. (2005). “Candidate Debates and Equity News: International Support for Democratic Deliberation in Cambodia”, Pacific Affairs, Vol. 78, No. 1.

Jame, M.R. (2015). “Constituency Deliberation”, Political Research Quarterly, Vol. 68 (3), 552 –563.

Mcafee, N. (2004). “Three Models of Democratic Deliberation”, The Journal of Speculative Philosophy, Vol. 18, No. 1.

Olsen, E. D. H. & Trenz, H. J. (2014). “From Citizens’ Deliberation to Popular Will Formation? Generating Democratic Legitimacy in Transnational Deliberative Polling”, Political Studies, Vol. 62, 117–133.

Online http://depokkec.slemankab.go.id/desa/desa-caturtunggal http://www.harianjogja.com/baca/2015/12/14/investasi-sleman- wow-pendapatan-desa-condongcatur-mencapai-rp5-miliar- setahun-670636 Regulasi

UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Menuju Pelembagaan Proses