• Tidak ada hasil yang ditemukan

Elaborasi biografi dilakukan dengan memetakan riwayat kehidupan Kades, mulai dari latar belakang individu, keluarga, dan lingkungan sosialnya. Latar belakang individu membahas hal-hal yang melekat pada individu Kades. Sedangkan latar belakang keluarga berbicara tentang posisi keluarga Kades dalam trah politik sosial atau komunitasnya. Terakhir, latar belakang lingkungan sosial mencakup konteks dan dinamika sosial budaya yang melingkupi kehidupan Kades.

Latar belakang individu

Mayoritas kepala desa mulai menjabat sekitar tahun 2010/2011. Ini artinya mereka mendekati masa akhir kepemimpinannya (lihat tabel 1). Dari sepuluh desa, hanya Pinang Merah yang kadesnya telah menyelesaikan masa jabatan di akhir 2015. Ia mencalonkan diri lagi tapi gagal. Dua Kades di Jawa Tengah diketahui telah menjabat selama dua periode sejak tahun 2007, yaitu Kades Beral di Wonogiri dan Kades Deling di Banyumas.

Tabel 1. Profil Dasar Kepala Desa

Aspek Kelompok

Ngada Wonogiri Banyumas Batanghari Merangin NDO LKS BRL KLK KYM DLG TBJ KSB SPL PNM Periode menjabat Pertama ● ● ● ● ● ● ● ● Kedua ● ● Lama jabat hingga 2016 0-3 th ● ● ● 4-6 th ● ● ● ● ● > 6 th ● ● Pendidikan SMA ● ● ● ● ● ● ● ● ● S1 ●

Usia saat ini 30-40 th ● ●

41-50 th ● ● ● ● ● > 50 th ● ● ● Jenis Kelamin L ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● P Agama Islam ● ● ● ● ● ● ● ● Katolik ● ● Suku Setempat ● ● ● ● ● ● ● ● ● Keturunan ● Pekerjaan sampingan selama menjabat Bertani ● ● ● ● ● ● ● Usaha ● ● ● Lainnya ● ● Tidak ada ● ●

Sumber: Wawancara kepala desa, 2016

Dari segi usia, mayoritas Kades mengawali kepemimpinan pada usia yang relatif muda, yakni 35-42 tahun. Kades termuda dijumpai di Lekosoro (Ngada), sedangkan paling tua adalah Kades Tiang Berajo (Batanghari) dan Deling (Banyumas). Pendidikan terendah kades adalah SMA, di atas aturan pencalonan (sebagaimana Permendagri Nomor 112 Tahun 2014) yang mensyaratkan minimal pendidikan SMP. Hanya Kades Pinang Merah yang sarjana. Tapi di Kalikromo (Wonogiri), kades mengambil kuliah kelas jauh di Universitas Gunung Kidul Yogyakarta pada masa kepemimpinannya. Waktu belajarnya akhir pekan.

Semua kades di lokasi studi berjenis kelamin laki-laki. Mereka berasal dari agama mayoritas dan suku setempat. Di Kelok Sungai Besar (Batanghari), kades bukan keturunan asli Melayu tapi sudah beberapa generasi tinggal di Jambi. Sebagian besar kades yang memiliki lahan, menyisihkan waktu bertani. Hanya Kades Kalikromo yang tidak menggarap sendiri lahannya. Ia menyerahkan pada orang lain. Beberapa Kades punya usaha lain, seperti penjualan bibit atau membuka depot air. Namun ada Kades yang menutup usahanya setelah menjabat, seperti warung milik Kades Sipahit Lidah dan pabrik sepatu Kades Karya Mukti.

Tabel 2. Pengalaman Kerja dan Organisasi Kades

Aspek Kelompok

Ngada Wonogiri Banyumas Batanghari Merangin NDO LKS BRL KLK KYM DLG TBJ KSB SPL PNM Pengalaman kerja profesi Bertani ● ● ● ● ● Usaha ● ● ● ● Pendidik ● Lainnya ● ● ● Pengalaman organisasi (>1 th) Pemdes ● ● ● ● ● Agama ● ● ● Pemuda ● ● ● ● ● ● Lainnya ● ● Pengalaman Pemberdaya PNPMLainnya

Sumber: Wawancara kepala desa, 2016

Dari segi pengalaman (lihat tabel 2), hampir semua Kades dibekali pengalaman kerja atau pengalaman organisasi yang dapat terpola menurut wilayahnya. Di Ngada, semua kades pernah terlibat organisasi berbasis agama. Di Jawa Tengah muncul pola bahwa kepala desa pernah memangku jabatan di pemerintahan desa, baik menjadi kepala desa sebelumnya, BPD, ataupun perangkat desa; sebagian lainnya memiliki pengalaman menjalani usaha di luar desa. Di Jambi, baik Batanghari atau Merangin, semua Kades tercatat pernah memimpin organisasi

satunya Kades yang pernah terlibat program PNPM, meski bukan dalam posisi yang sentral.

Latar belakang keluarga

Mengacu pada garis keturunan, sebagian Kades berasal dari keluarga besar dan diantaranya populer di kalangan masyarakat. Popularitas mereka muncul, misalnya, karena penguasaan lahan seperti di Ngada atau karena keaktifannya di kegiatan desa seperti di Banyumas. Adapun di Jambi, diketahui populer karena struktur sosial pada masa lalu, yakni keturunan kaki tangan raja.

Tapi garis keturunan tak selalu membuat seseorang ditokohkan di kalangan masyarakat. Ada faktor lain seperti pendidikan, pengalaman, atau kualitas individu. Karena itu hanya sedikit anggota keluarga yang turun temurun diangkat masyarakat sebagai tokoh. Pada garis ketokohan yang lain, hanya Kades Lekosoro yang orang tuanya merupakan tokoh yang disegani, yaitu sebagai kepala suku. Di Deling, kakek dari kadesnya pernah menjadi Kayim (tokoh agama/Ketua Dewan Keamanan Masjid).

Latar belakang lingkungan sosial

Meski ada keragaman, lokasi studi memiliki lingkungan sosial dan tradisi desa yang homogen, penuh kasih, dan kebersamaan. Dalam teori sosiologi, situasi semacam ini sangat dekat dengan etos masyarakat gemeinschaft (paguyuban) yang diperkenalkan Ferdinand Tonnies dalam Loomies, ed. (2002). Kegiatan masyarakat yang dibangun berdasarkan tradisi setempat di seluruh desa studi masih berlangsung, seperti arisan, hajatan, perayaan adat, peribatan atau keagamaan.

Karakter masyarakat paguyuban paling kentara terlihat di desa- desa Jawa Tengah dan NTT. Bahkan di Jawa Tengah, budaya nrimo dan

ewuh-pakewuh (tidak enakan), menjadi kultur bermasyarakat. Apalagi jika menyangkut urusan pemerintahan dan pengelolaan keuangan.

Sementara itu, kecenderungan pergeseran karakter masyarakat menuju kelompok gesselschaft (patembayan) yang relasinya berdasarkan kepentingan sangat rasional mulai terlihat pada sebagian wilayah di Jambi. Di wilayah ini, warga mulai terbiasa mengkritik (langsung atau tidak langsung). Meski di wilayah lain bisa berbeda 180 derajat, tidak menaruh perhatian pada urusan pemerintahan desa. Hal ini terjadi di Pinang Merah, ketidakpedulian warga dipengaruhi oleh pilihan mengalokasikan sebagian besar waktu mereka untuk mengeksploitasi emas yang kini menjadi sumber utama penghidupannya.

Selanjutnya, konstelasi sosial-budaya yang terbentuk di level masyarakat memiliki perbedaan antara satu desa dengan desa lainnya. Di luar Jawa, konstelasi berlatarbelakang kesukuan, seperti tatanan suku di Ngada yang berhubungan dengan penguasaan tanah atau di Batanghari dan Merangin yang berhubungan dengan strata dan status sosial. Di kedua wilayah itu, keragaman kelompok suku atau etnik menjadi penanda garis kekerabatan, memberikan kekuatan pada aturan dan kegiatan adat, serta meredam kemunculan konflik. Adapun di Jawa Tengah, konstelasi sosial cenderung termanifestasi dalam bentuk segregasi spasial. Contohnya di desa Karya Mukti, satuan wilayah dusun menjadi penanda kelompok aliran keagamaan tertentu (NU dan Muhammadiyah). Sementara di Beral, zona wilayah (sektor utara dan selatan) dapat membedakan kelompok masyarakat berdasarkan sumber dayanya, baik sumberdaya manusia maupun ekonominya.

Pada tingkat tertentu, konstelasi sosial-budaya dapat mengem- bangkan beragam stigma yang mempengaruhi cara pandang warga desa. Di lokasi-lokasi yang memiliki tatanan kesukuan, seperti di Jambi, muncul stigma penduduk pribumi (suku lokal) selalu lebih baik dibanding pendatang. Meski kenyataannya, sebagian warga membantah. Stigma itu tak muncul di Ngada. Sebab konteks pendatang tidak signifikan seperti di Jambi yang sebagian wilayahnya didiami kaum migran dari Jawa. Di desa-desa di Jawa Tengah, fenomena segregasi spasial rentan memunculkan sentimen kewilayahan yang

pada akhirnya dikait-kaitkan dengan dengan karakter warganya, seperti terjadi di Beral dan Karya Mukti.

Baik konstelasi maupun stigma sosial yang berkembang di level masyarakat nampaknya tidak begitu banyak mempengaruhi pola-pola relasi Kades terhadap warganya. Sebagian besar Kades dinilai tidak membeda-bedakan warganya berdasarkan tatanan sosial tertentu, baik sebelum maupun sesudah menjabat. Bahkan setelah menjabat, Kades Beral berupaya untuk berlaku lebih adil untuk mematahkan stigma yang berkembang antar kelompok masyarakat. Hanya di Ndona (Ngada) dan Sipahit Lidah (Merangin), kades dinilai lebih berpihak pada kerabatnya. Adapun di Karya Mukti (Banyumas), kadesnya dinilai jarang bersilaturahmi dengan kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan aliran keagamaan.