• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN

5.1. Implementasi Kebijakam Pengolahan Sampah DKI Jakarta

5.1.2. Komposting dan Daur Ulang

Pengomposan sampah di DKI telah dimulai sejak tahun 1991. Pada tahun 2000 kapasitas pengomposan di wilayah DKI telah mencapai kapasitas 24,2 ton/hari yang berasal dari 14 fasilitas pengomposan di Kota Jakarta. Pada dasarnya pengomposan dan daur ulang merupakan pengelolaan sampah yang cukup baik dan sudah dilakukan di DKI, namun pengelolaan sampah dengan cara tersebut di DKI Jakarta relatif belum efektif. Menurut Satori (2002) belum efektifnya proses pendaurulangan sampah seperti sampah pasar tradisional, baik sampah organik maupun anorganik, antara lain disebabkan belum

adanya rancangan usaha (business plan) sistem daur ulang sebagai sebuah industri dengan

memperhitungkan berbagai aspek keindustrian; belum adanya sistem jaringan pemasaran

produk-produk daur ulang sehingga tidak adanya koneksitas (linkage) antara

produsen-konsumen, produsen-produsen, dan antara konsumen-konsumen; kegiatan daur ulang masih dianggap sebagai usaha sampingan dan alternatif usaha terakhir, karena tidak ada peluang lain. Penyebab lainnya adalah masih terbatasnya anggaran yang disediakan, terutama oleh pemerintah untuk menerapkan berbagai pemikiran yang mengarah pada kegiatan daur ulang sampah; kurangnya sosialisasi sehingga pemahaman masyarakat tentang manfaat kegiatan tersebut baik dari segi lingkungan maupun ekonomi yang sangat minim; serta karena kegiatan tersebut belum sinergi dan belum terintegrasi dalam sistem manajemen sampah. Adapun lokasi dan kondisi dari tempat-tempat komposting dapat dilihat pada Tabel 53 .

Metode komposting yang dipakai di DKI adalah sistem windrow yang

dimodifikasi. Persoalan yang dihadapi dalam pengomposan sampah di DKI diakibatkan

karena tidak tercapainya keseimbangan antara supply dan demand kompos. Kurangnya

volume penjualan kompos di pasar, mengakibatkan menurunnya jumlah produksi kompos. Masalah-masalah yang timbul pada unit komposting antara lain:

a. Mahalnya biaya operasional sehubungan dengan pengadaan bak terbuka untuk

membantu proses pembusukan.

c. Perlunya status hukum atas tanah yang dipergunakan usaha pengomposan merupakan masalah yang sensitif dan sulit.

d. Tidak adanya panduan lingkungan untuk komposting, mengakibatkan

tempat-tempat pengolahan kompos berjalan tanpa memperhatikan aspek perlindungan lingkungan.

e. Mempersiapkan sampah yang sesuai untuk dikomposting sangat sulit, karena

bahan-bahan yang tidak dapat dikomposting seperti metal, plastik dan kaca belum terpisahkan dengan baik.

f. Rendahnya permintaan pasar untuk kompos organik.

g. Proses komposting yang tidak terkontrol dengan kualitas rendah dan

kadang-kadang dengan kandungan metal yang tinggi.

h. Komposting yang tidak terkontrol sering kali menyebabkan masalah-masalah

lingkungan seperti bau yang menyengat dan terjadinya perkembang biakan hama, organisme patogen yang terkandung dalam sampah organik.

i. Program usaha daur ulang dan produksi kompos (UDPK) untuk mempromosikan

unit komposting, kurang mendapatkan respon dari masyarakat dan dunia usaha. Kurangnya partisipasi masyarakat dan kemampuan manajerial dari pemerintah kotamadya menyebabkan gagalnya program UDPK.

Karakteristik sampah terutama nilai kalor dan kadar air, merupakan parameter utama yang paling penting dalam menentukan apakah insinerator WTE dapat diterapkan atau tidak. Komponen-komponen yang dapat terbakar dalam sampah kota terdiri dari komponen organik, kertas, plastik, kain, tekstil, dan kayu. Berdasarkan keenam komponen tersebut, komponen organik yang terdiri dari sisa makanan, sayur-sayuran, daun, rumput, dan lain-lain merupakan komponen yang mempunyai nilai kalor terendah, sedangkan plastik merupakan komponen yang mempunyai nilai kalor tertinggi.

Proses daur ulang sampah non organik akan mengurangi komponen sampah yang mempunyai nilai kalor tinggi, sehingga sisa dari proses tersebut akan mempunyai nilai kalor per kilogram lebih rendah. Kondisi sebaliknya juga terjadi jika sampah organik dipisahkan dan dikomposkan, mengingat sisa proses tersebut akan cenderung mempunyai nilai kalor yang tinggi. Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah dilakukan proses daur ulang dapat dilihat pada Tabel 54.

Tabel 52 Kondisi insinerator skala kecil

Kota Lokasi Kapasitas Kap.Produksi

ton/ Hari

Kondisi

Jakarta Pusat

1. Rawasari Selatan Kec. Cempaka Putih

250 kg/jam - Sudah tidak beroperasi sejak Juli 2001 2. Dipo Gunung Sahari Utara

Kec. Sawah Besar

200 kg/jam - Sudah tidak beroperasi sejak 1997

3. Dipo Tanjung Selor Kec. Gambir

- - Sudah tidak beroperasi sejak 1997

4. Jl. Galur Selatan 1) 200 kg/jam 0,6 Beroperasi 18:00-21:00 6 hari seminggu 5. Jl. Jati Petamburan I RW 04

Petamburan I

250 kg/jam - Sudah tidak beroperasi sejak Juni 2001 6. Jl. Jati Pinggir, Petamburan I 500 kg/jam - Dalam Tahap

Pembangunan 7. Ps. Nangka RW. 10

Utan Panjang

500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan

8. Dipo Siaga, Kec. Ps. Minggu 250 kg/jam - Sudah tidak beroperasi sejak Desember 1999 9. Asrama DK, Lentang Agung 2) 250 kg/jam 2,0 Beroperasi

8:00-16:00 6 hari seminggu 10.Jl. Taman Tebet Barat Raya

Tebet Barat

500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan 11.Metropolitan Kencana RW. 10

Pondok Pinang

500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan Jakarta

Barat

12.Asrama DK, Tegal Alur 3) 250 kg/jam 3,25 Beroperasi 6:00-19:00 6 hari seminggu 13.Asrama DK, Pegadungan,

Cengkareng Barat

500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan 14.Perum Citra, Pegadungan 500 kg/jam - Dalam Tahap

Pembangunan Jakarta

Utara

15.Asrama DK, Sunter Jl. Gabus, Sunter Jaya 4)

500 kg/jam 6,5 Beroperasi 6:00-19:00 6 hari seminggu 16.Asrama DK, Semper Jl. Semper

Barat 5)

500 kg/jam 7,0 Beroperasi 6:00-20:00 6 hari seminggu 17.Jl. BGR, Kepala Gading Barat 500 kg/jam - Dalam Tahap

Pembangunan 18.Jl. Pademangan III Pademangan

Timur

500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan Jakarta

Timur

19.Asrama DK, Pondok Bambu 6) 250 kg/jam 2,5 Beroperasi 7:00-15:00 6 hari seminggu 20.Jl. Pendidikan RW.04,

Cijantung

500 kg/jam - Dalam Tahap Pembangunan 21.Jl. H. Naman RT.2/2 Pd. Kelapa 500 kg/jam - Dalam Tahap

Pembangunan

Total 21,85

Tabel 54 menunjukkan bahwa jika hanya dilakukan daur ulang terhadap sampah dengan kandungan organik yang tinggi, maka nilai kalor sampah sisa akan lebih rendah dari nilai kalor sampah awal. Hal ini disebabkan sebagian komponen yang mengandung nilai kalor tinggi hilang. Apabila pengurangan sampah dilakukan dengan proses daur ulang dan komposting, maupun komposting saja, maka nilai kalor sampah akan naik hampir dua kali lipat. Berdasarkan hal tersebut, maka jika daur ulang komponen non organik akan dilakukan sebesar-besarnya, maka sisa sampah terbesar adalah komponen organik saja, sehingga nilai kalor sampah sisa akan menjadi sangat rendah, yakni kurang lebih 900 kkal/kg. Mengingat kandungan kalorinya rendah, maka pengolahan dengan menggunakan insinerator tidak layak untuk digunakan.

Tabel 53 Unit-unit komposting di Kota Jakarta

No. Lokasi Unit-Unit Komposting

Sistem Komposting Harga Jual (Rp./kg)

Kapasitas Produksi (ton/day) 1. Pondok Indah Golf, Jakarta

Selatan

Pengomposan dengan menggunakan cacing

1.500 0,130 2. Jagakarsa, Jakarta Selatan Kompos sampah kota +

bio-aktivator (mikro-biologi)

300 0,700

3. Cakung, Rumah Jagal, Jakarta Timur

Campuran kompos dari sampah rumah jagal, serbuk gergaji, tanah dan lain-lain.

240 16,700

4. Universitas Trisakti, Jakarta Kotoran ayam, kotoran kambing, rumput, kotoran manusia dan bio-aktivor

700 0,300

5. Cakung, Jakarta Timur Campuran kompos dari sampah rumah jagal, rumput, kotoran sapi dan lain-lain.

500-600 1,500

6. Jl. Swadharma Raya, Jakarta Selatan

Campuran kompos dari sampah rumah tangga, kotoran kuda, serbuk gergaji, sampah kayu.

1.600 0,030

7. Pasar Tradisional Pluit, Jakarta Utara

Sampah tanaman dan buah-buahan dari pasar tradisional Pluit

1.700 0,003

8. Pondok Kopi, Jakarta Timur Kompos dari rumah jagal, sampah permen, serbuk gergaji dan lain-lain.

350 0,017 9. Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan Pengomposan dengan menggunakan cacing 1.500-2.000 0,017 10-14 Hanya total kapasitas dari 5 unit komposting yang tersedia 4,803

Jumlah total produksi kompos 24,200

Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2005

Tabel 54 Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah proses daur ulang dan komposting

Karakteristik Sampah Awal Daur Ulang Saja Kompos dan daur ulang

Kompos Saja

Nilai Kalor (Kcal/kg) 1778 1711 3111 3044

Kajian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (2003)

memperlihatkan bahwa walaupun composting merupakan sasaran utama sebagaimana

tercantum dalam RTRW DKI Jakarta 2010 dalam jangka pendek. Namun hingga saat ini diindikasikan bahwa tidak mungkin melakukan perubahan budaya yang diperlukan untuk mendukung hal itu dalam skala besar dan dalam waktu yang singkat (jangka pendek).

Pada dasarnya komposting merupakan salah satu cara yang dilakukan dalam

rangka mengimplementasikan program 3R (reduce, reuse, dan recycle)atau lebih dikenal

dengan program 3R, yang orientasinya agar tercapai program zero waste. Hal ini sesuai

dengan pendapat Bebassari (2000) yang mengatakan bahwa zero waste merupakan

konsep pengelolaan sampah yang mengintegrasikan prinsip 3R yaitu reduse, reuse,

recycle dengan pengelolaan sedekat mungkin dengan sumbernya. Pengembangan

teknologi pengelolaan sampah ini selain lebih bersahabat dengan lingkungan, juga akan memberi nilai tambah secara ekonomi (Wibowo dan Djajawinata 2003). Namun

demikian sampai saat ini, kelayakan metode reduce and reuse di Jakarta belum terbukti

dapat diaplikasikan dalam skala yang berarti. Pengalaman percontohan di Daerah Menteng pun juga relative kurang memuaskan, karena baru menunjukkan adanya potensi penggunaan kompos.

Pengalaman percontohan di Daerah Menteng menunjukkan bahwa Jakarta tidak

dapat menganggap bahwa composting dengan skala kecil dapat diandalkan sebagai solusi

utama dalam reduksi sampah, untuk jangka waktu minimal lima tahun ke depan. Oleh karenanya diperlukan upaya untuk mengubah perilaku dan kelembagaan pemilahan sampah pada sumbernya, khususnya sampah domestik. Selain itu juga diperlukan

perubahan mindset dari masyarakat luas untuk memandang kompos sebagai produk yang

bermanfaat, baik bagi ekonomi maupun lingkungan.

5.2.Formulasi Kebijakan Pengolahan Sampah