HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Manajemen Pengelolaan Sampah DKI Jakarta
4.2.2. Karakteristik Sampah
Karakteristik sampah memegang peranan penting dalam proses pengolahan dan aplikasi teknologi pengolahan sampah, baik pengolahan sampah dengan insinerator,
komposting, phyrolisis ataupun sanitary landfill. Adapun yang dimaksud dengan
komposting pada penelitian ini adalah proses pembusukan atau fermentasi atau dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau sampah organic; dengan prinsip menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik menjadi sama dengan nisbah C/N tanah,
sehingga (10-12), sehingga memungkinkan diserap oleh tanaman (Talashilkar et al.
1999). Adapun phyrolisis adalah proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon,
baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang, untuk dapat menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (asap
cair) (Paris et al. 2005). Proses phyrolisis dapat berlangsung pada suhu di atas 300
o C dalam waktu 4-7 jam (Demirbas, 2005), namun sangat tergantung pada bahan baku dan
cara pembuatannya (Qadeer & Akhtar 2005; Machida et al. 2005). Phyrolisis sampah
menjadi arang cukup menguntungkan, karena arang yang dihasilkan juga dapat
dapat dimanfaatkan sebagai pembangun kesuburan tanah (Gusmailina & Pari 2002). Apabila arang tersebut ditingkatkan mutunya dengan diaktivasi menjadi arang aktif, dapat
berperan sebagai adsorben dan katalis, bahkan dapat dikembangkan sebagai soil
conditioner pada budidaya tanaman holtikultura (Gusmailina et al. 2001; Smith et al.
2004).
Pengolahan sampah dengan sanitary landfill merupakan teknologi yang berusaha
mengelola sampah agar lingkungan menjadi bersih, sehat dan nyaman. Namun demikian tidak dapat dibiarkan terus menerus karena dalam waktu yang lama menurut
Tchobanoglous et al. (1993) di lokasi pengolahan sampah akan terjadi pencemaran.
Terjadinya pencemaran ini akan mengganggu lingkungan dan kesehatan, karena di sekitar
sanitary landfill bukan saja akan didapatkan gas metan, namun juga bahan pencemar lain
baik dalam bentuk bahan pencemar organic, maupun bahan pencemar anorganik, termasuk di dalamnya mengandung bahan berbahaya dan beracun. Sampah organik yang dibiarkan cukup lama pada suatu lokasi dapat mengakibatkan munculnya berbagai macam bibit penyakit (Setiawan 2001). Selain sampah organik, sampah anorganik yang umumnya mengandung bahan berbahaya dan beracun juga dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan lingkungan (Abou et al. 2002) dan terjadinya gangguan kesehatan
(Klaassen and Amdur 1986 serta Ahalya et al. 2004).
Pengolahan sampah dengan menggunakan insinerator (pembakaran), biayanya berbeda-beda tergantung pada jenis sampahnya. Sampah yang kandungan kalorinya rendah, memerlukan biaya operasi yang lebih mahal dibanding sampah yang kandungan kalorinya lebih tinggi. Kondisi kebalikannya terjadi pada sampah yang terlalu kering. Sampah yang terlalu kering jika diolah dengan proses komposting memerlukan penanganan khusus. Karakteristik sampah yang perlu diperhatikan dalam mengaplikasikan teknologi pengolahan sampah adalah :
a. Nilai kalori yang dinyatakan dalam kkal/kg sampah yang merupakan kandungan nilai
panas dari sampah itu sendiri.
b. Kadar air yang terkandung dalam sampah yang dinyatakan dalam % (persen)
beratnya.
c. Kadar abu yang merupakan sisa dari proses pembakaran yang dinyatakan dalam %
(persen)
Hasil penelitian Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) tentang nilai kalor, kadar air dan kadar abu dari berbagai sampel jenis sampah di Wilayah DKI Jakarta, dapat dilihat pada Tabel 25. Nilai kalor, kadar air dan kadar abu berdasarkan nilai pendekatan perhitungan BPPT dapat dilihat pada Tabel 25. Perkiraan karakateristik rata-rata sampah
di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 26, dan karakateristik sampah rata-rata di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 25 Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber sampah di DKI
Sumber Sampah Hasil Analisis
Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Nilai Kalor (Kkal/kg)
Pasar Modern 18 8,56 2.301 Pemukiman 36,27 4,76 1.785 Perkantoran 19 7,25 1.875 Industri 3 5,25 3.804 Pasar Tradisional 70.4 5,56 1.904 Sekolahan 20.8 5,15 1.609
Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005)
Di dalam penelitian ini sampah yang diteliti masih tercampur atau dengan kata lain belum dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik, dengan nilai kalori 2.146 kkal/kg sampah. Perhitungan kadar abu sisa pembakaran dengan mempergunakan insinerator WTE adalah 8,44 %. Ada indikasi terdapat kecenderungan terjadinya perubahan komposisi sampah di masa mendatang selaras dengan kenaikan tingkat kesejahteraan penduduk yang tercermin dari peningkatan PDRB per tahun di wilayah DKI Jakarta, akan mengakibatkan terjadinya kenaikan komposisi sampah anorganik.
Dengan pemanfaatan teknologi WTE incinerator, sampah akan dibakar dan selanjutnya
panas yang dihasilkan dari pembakaran sampah tersebut akan dipergunakan untuk menghasilkan listrik melalui ketel uap yang menggerakkan turbin pembangkit listrik. Apabila diasumsikan ada pemilahan sampah organik dan anorganik di sumber timbulan sampah, maka nilai kalori yang dipergunakan dalam menghitung produksi listrik yang dihasilkan dalam proses pengolahan sampah insinerator WTE adalah sebesar 3.044 kkal/kg.
Hasil penelitian komposisi sampah di Jakarta dan perkiraan karakteristik sampah Jakarta ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 25 memperlihatkan bahwa nilai kalor sampah Jakarta dari berbagai sumber timbulan sampah memenuhi persyaratan untuk dilakukan pengolahan dengan proses pembakaran (insinerator). Berdasarkan data karakteristrik sampah dari berbagai sumber timbulan sampah, maka komposisi sampah yang paling baik untuk dilakukan proses pembakaran adalah sampah yang berasal dari wilayah komersial seperti perkantoran, sekolah, pasar modern, serta sampah yang berasal dari industri terutama dari industri dengan input material yang memiliki kandungan kalori tinggi seperti industri kain (konveksi).
Tabel 26 Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber dengan perhitungan berdasarkan nilai pendekatan dari BPPT
Sumber Sampah Perhitungan Karakteristik Nilai Kalor (Kkal/Kg) Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Industri 3840 31 26.94 Pasar modern 1984 46 26.17 Perkantoran 2466 38 41.62 Pasar 1447 59 10.09 Sekolah 2898 42 24.75
Pemukiman Pendapatan Tinggi 1775 48 27.36
Pemukiman Pendapatan Menengah 1773 51 21.78
Pemukiman Pendapatan Rendah 1945 50 20.30
Rata – Rata 2261 46 24.88
Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta,2005
Tabel 27 Prakiraan karakteristik rata-rata sampah di Jakarta
Karakteristik Sampah Industri Pasar Modern Perkantoran Pasar
Nilai Kalor 3.804 1.646 1.786 1.184
Kadar Air 27,13 39,91 27,85 59,88
Kadar Abu 5,03% 7,22% 5,53% 9,27%
Kemungkinan Insinerasi Sangat baik baik Sangat baik kurang baik
Karakteristik Sampah Sekolah
Permukiman dengan Pendapatan Tinggi Sedang Rendah
Nilai Kalor 2.090 2.795 2.332 2.149
Kadar Air 39,72 49,55 51,71 48,61
Kadar Abu 6,38% 8,55% 8,49% 8,35%
Kemungkinan Insinerasi Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik
Tabel 28 Karakteristik sampah rata-rata di DKI
Karakteristik Sampah Rata-rata Komposisi
Nilai Kalor 2.146
Kadar Air 40,69
Kadar Abu 8,44%
Kemungkinan Insinerasi Sangat baik
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Sampah dari pasar tradisional merupakan sampah yang kurang baik untuk direduksi dengan teknologi pembakaran, karena jika dibandingkan dengan sumber timbulan sampah lainnya, sampah tersebut mempunyai kandungan kadar air yang tinggi
dan nilai kalor yang relatif rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Djuarnani et al.
namun pada umumnya rata-rata kadar air sampah organik pasar mencapai 58,20%. Oleh karena itu maka pengolahan yang paling baik untuk sampah pasar adalah komposting. Komposting sampah pasar di DKI Jakarta hendaknya dapat dilaksanakan, mengingat setiap hari pasar tradisional akan menghasilkan sampah, dan hingga saat ini hanya sebagian kecil sampah yang terangkut, karena menurut Haug (1980), sampah yang tidak terangkutnya terangkut akan diuraikan secara anaerobik, sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan bau busuk sebagai akibat terbentuknya gas NH
3, H
2S, dan sulfur organik.
Bau busuk ini tidak saja mengganggu estetika namun juga dapat berdampak negative terhadap kesehatan manusia yang berada di sekitar sampah yang terurai secara anaerobic tersebut.
Komposisi dan karakteristik timbulan sampah rumah tangga, ternyata mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan komposisi dan karakternya pada 20 tahun yang lalu. Apabila dilihat dari prasyarat penerapan teknologi pengolahan sampah dengan sistem pembakaran, maka perubahan karakteristik sampah DKI memiliki kecenderungan ke arah yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan kandungan nilai kalor dan penurunan kadar air yang cukup signifikan. Hal ini terjadi karena adanya perubahan komponen sampah organik dan terjadinya kenaikan pada komponen sampah anorganik seperti kertas dan plastik. Berdasarkan hal itu, maka saat ini karaketristik sampah rumah tangga dapat dikategorikan dalam sampah yang memenuhi persyaratan untuk diolah dengan proses insinerasi/pembakaran. Hasil kajian Direktorat Pengkajian Sistem Industri Jasa BPPT (1994), memperlihatkan bahwa persyaratan karakteristik sampah yang memenuhi persyaratan untuk diolah dengan sistem pembakaran (insenirator), seperti yang dilakukan di Singapura serta negara lain yang telah menerapkan sistem insinerasi adalah:
Nilai kalor : 955 s/d 2.150 kkal/kg;
Kadar air : 35 s/d 55 %;
Kadar abu : 10 s/d 30 %.
Perubahan komposisi timbulan sampah di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 24.
Penerapan instalasi pengolahan sampah dengan sistem pembakaran sampah skala besar yang disertai dengan pemanfaatan panas yang dihasilkannya untuk pembangkit
energi listrik (waste to energy, WTE) merupakan salah satu pilihan dalam pengolahan
intermediate. Namun demikian diperlukan pertimbangan lebih lanjut mengenai biaya
(operation expenditure/ OPEX), serta dampak yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah dengan sistem insinerator tersebut.
Tabel 29 Perubahan karakteristik sampah DKI Jakarta
No. Komponen ( %) Tahun 1981 1986 1987 1997 2001 I Organik 79.7 74.7 72.0 65.1 52.7 II Anorganik Plastik 3.7 5.4 5.4 11.1 12.6 Kertas 7.8 8.3 8.3 10.1 20.1 Styrofoam 0.0 0.0 0.0 0.0 1.9 Karet 0.5 0.6 3.2 0.6 0.9 Kayu 3.7 3.8 3.2 3.1 2.6
Bulu N.A N.A N.A N.A 0.8
Kain 2.4 3.2 3.2 2.5 2.6
Kaca 0.5 1.8 1.8 1.6 1.2
Logam 1.4 1.4 2.1 1.9 1.1
Lain-lain 0.3 0.8 0.8 4.0 3.5
Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 Sumber : BPPT (1981), Dinas kebersihan DKI (1986,1997), Hasil Penelitian JICA (1987,2001)
Pada konteks pengolahan sampah dengan reduksi jumlah/volume/berat sampah, maka proses insinerator menjadi pilihan yang paling effektif, mengingat pengurangan volume/berat sampah dengan insinerator mencapai 90 %. Data tersebut memperlihatkan bahwa insinerator WTE merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan untuk mereduksi jumlah sampah dalam waktu yang singkat. Selain itu berdasarkan komposisi dari bahan yang tidak dapat terbakar dalam komposisi timbulan sampah di Jakarta, maka laju pengurangan sampah dengan menggunakan sistem ini dapat mencapai 91, 56 % dalam waktu yang relatif singkat. Insinerator WTE ini merupakan pilihan yang
lebih ramah lingkungan, mengingat suhu pembakarannya lebih dari 800•C. Dalam hal ini
pada insinerator kecil yang suhu pembakarannya kurang dari 800•C (umumnya
200-400•C), berpotensi menghasilkan senyawa dioksin dan furan (Bramono 2004). Hal ini
sesuai dengan pernyataan Widyatmoko (1999) yang mengatakan bahwa emisi dioksin dan furan juga terjadi pada pembuangan akhir sampah atau TPA serta Connell dan Miller (1995) yang mengatakan bahwa dioksin dan furan tidak diproduksi secara sengaja, tapi dihasilkan sebagai produk samping pada proses pembakaran dan beberapa proses industri kimia. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan Smit (2004) yang menyatakan bahwa senyawa dioksin dan furan akan terbentuk bila terdapat kondisi suhu pembakaran
furan adalah 200 - 400 oC. Adapun yang dimaksud dengan senyawa dioksin dan furan adalah senyawa organoklor yang terdiri atas klor dan fenil (gugus cincin benzena). Senyawa ini mempunyai daya urai baik di tanah, udara, dan air yang sangat lambat (Gorman dan Tynan 2003). Namun pada insinerator WTE yang pembakarannya sangat tinggi pembentukan senyawa dioksin dan furan akan relatif sangat berkurang, oleh karena itu maka pemanfaatan insinerator WTE relatif lebih ramah lingkungan.
4.2.3. Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Sampah B3 pada umumnya berasal dari berbagai sumber seperti industri, rumah sakit, pertambangan, transportasi, petanian dan perkebunan serta rumah tangga. dari hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta menunjukkan bahwa industri merupakan sumber terbesar penghasil limbah B3. Hal ini sesuai dengan pendapat Abou
et al. (2002) yang mengatakan bahwa pada limbah industri ditemukan limbah B3 dengan
jumlah umumnya lebih tinggi disbanding kegiatan lain. Namun demikan limbah B3 dari
industri pada lokasi yang terkonsentrasi di kawasan industri (point source) relatif lebih
mudah untuk dilakukan pengawasan dan lebih mudah penanganannya karena dapat dibuat IPAL komunal (Allenby, 1999). Saat ini masih banyak industri yang lokasinya tersebar, sehingga agak sulit untuk dilakukan pengawasan. Jumlah industri yang berada di wilayah DKI Jakarta ditunjukkan pada Tabel 30.
Sampah B3 yang berasal dari aktivitas rumah sakit dapat berupa sampah medis dan sampah non medis. Sampah medis ditimbulkan dari kegiatan medis yang tergolong sebagai limbah B3, yang berpotensi membahayakan baik bagi komunitas rumah sakit ataupun masyarakat jika penanganan dari limbah ini tidak memenuhi persyaratan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Abou et al. (2002) yang mengatakan bahwa pada limbah rumah
sakit terdapat limbah B3 yang berasal dari obat-obatan dan bahkan terdapat limbah radioaktif, sehingga perlu dilakukan penanganan khusus.
Khusus untuk limbah radioaktif harus ditangani lebih serius karena bahan radioaktif dapat melepaskan sinarnya ke lingkungan secara rutin sehingga dapat
membahayakan kehidupan (Simmonds, Lawson, dan Mayall, 1995). Limbah non-medis
adalah limbah domestik yang ditimbulkan dari aktivitas pelayanan administrasi di rumah sakit. Limbah non-medis dari rumah sakit, dapat dibuang dan diolah bersama-sama
dengan limbah domestik dari sumber lainnya. Secara umum limbah yang dihasilkan dari aktivitas rumah sakit dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 30 Jumlah perusahaan industri besar dan sedang menurut klasifikasi industri di DKI Jakarta
Klasifikasi Industri 2000 2001 2002 Jumlah Perusahaan % pertumbuhan Jumlah Perusahaan % pertumbuhan Jumlah Perusahaan % pertumbuhan
Makanan dan Minuman 205 6,22 220 7,32 214 - 2,73
Tekstil, Pakaian Jadi dan
Kulit 913 11,34 861 - 5,70 853 - 0,93
Kayu, Bambu, Rotan,
Furnitur 139 10,31 123 -11,51 115 - 0,07
Kertas, Percetakan, Penerbit,
Reproduksi Media Rekaman 220 5,77 224 1,82 236 5,36
Kimia dan Barang-barang
dari bahan kimia 353 9,97 367 3,97 344 - 6,27
Barang Galian bukan Logam, Daur Ulang Barang Bukan Logam
41 7,89 33 -19,51 32 - 3,03
Logam Dasar 38 0,00 29 - 23,68 34 17,24
Barang dari Logam, Mesin dan Peralatannya, Daur Ulang Barang Logam
322 -1,23 325 0,93 298 - 8,31
Industri Pengolahan Lainnya 45 -13,46 41 - 8,89 40 - 2,44
Jumlah 2.276 7,26 2.223 - 2,32 2.166 - 2,56
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta (2002)
Tabel 31 Kegiatan rumah sakit yang berpotensi menghasilkan sampah
No Unit/kegiatan Jenis Sampah
1 Kantor /administrasi Kertas 2 Unit obstetric dan ruang
perawatan obstetric
Pakaian, sponge, placenta, ampul, termasuk kapsul perak nitrat, Jarum syringe , masker sekali pakai, popok sekali pakai, sanitary napkin, blood lancet disposeble diaper dan underpard, sarung tangan sekali pakai.
3 Unit emergency dan bedah termasuk ruang perawatan.
Dressing,sponge jaringan tubuh,termasuk amputasi, ampul bekas,masker sekali pakai, jarum dan syringe drapes cabs. Dispossableblood lancet, kantong emisis sekali pakai, levin tubes catheter, drainase set, kantong colosiomy, underpads, sarung. 4 Unit laboratorium, ruang
mayat, pathologi dan autopsi
Gelas terkontaminasi termasuk pipet petri dish, wadah specimen, slide specimen, jaringan tubuh, organ, tulang.
5 Unit isolasi Bahan-bahan kertas yang mengandung buangan nasal dan sputum, dressing, dan bandages, masker sekali pakai, sisa makanan perlengkapan makan.
6 Unit perawatan Ampul, jarum sekali pakai, dan syringe kertas dan lain-lain. 7 Unit pelayanan Karton kertas bungkus, kaleng, botol, sampah dari ruang umum dan
pasien, sisa makanan, buangan.
8 Unit gizi/dapur Sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makan, sayur dan lain-lain. 9 Halaman Sisa pembungkus daun ranting, debu.
Sumber: Oviatt V.R. disposal of solid waste, hospital (1968)
Berdasarkan potensi bahaya yang dapat ditimbulkan dari limbah rumah sakit oleh Departemen Kesehatan RI, limbah medis dikelompokkan dalam :
a. Limbah benda tajam, yaitu obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian yang menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit, seperti jarum
hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas dan pisau bedah;
b. Limbah infeksius, yaitu limbah yang berkaitan dengan pasien penyakit menular yang
memerlukan isolasi dan limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular;
c. Limbah jaringan tubuh, yang meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh.
Limbah tersebut biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau autopsi;
d. Limbah sitotoksik, yaitu bahan yang terkontaminasi oleh obat sitotoksik selama
peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik;
e. Limbah farmasi, yang terdiri dari obat-obatan kadaluwarsa, obat yang terbuang karena
batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat yang
tidak diperlukan lagi atau limbah dari proses produksi obat;
f. Limbah kimia, yaitu limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam
tindakan medis, veterinary, laboratorium, proses sterilisasi atau riset. Limbah kimia
dibedakan dengan buangan kimia yang termasuk dalam limbah farmasi dan sitotoksik;
g. Limbah radioaktif, yaitu bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal
dari penggunaan medis atau riset radionuklida.