HASIL DAN PEMBAHASAN
4.5. Analisis Optimasi Teknologi Pengolahan Sampah
4.5.1. Skenario Optimasi Teknologi Sistem Pengolahan Sampah
Analisis optimasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dilakukan dengan skenario sbb :
1. Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi teknologi pengolahan sampah
secara individual untuk teknologi HRC, insinerator WTE dan SLF.
2. Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi integrasi teknologi pengolahan
sampah HRC, insinerator WTE dan SLF, dengan kondisi sampah yang tidak dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik.
3. Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi integrasi teknologi pengolahan
sampah HRC, insinerator WTE dan SLF, dengan kondisi sampah telah dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik.
4. Masing-masing teknologi dihitung keuntungan dan kerugiannya untuk kapasitas pengolahan sampah 500 ton/ hari, 1000 ton/ hari, 2.000 ton/ hari, dan 3.000 ton/ hari, untuk melihat tingkat efisiensi dari masing-masing teknologi terhadap perubahan kapasitas pengolahan, baik dari sisi keuangan, lingkungan maupun sosial.
5. Perhitungan CBA dilakukan dengan menggunakan acuan kondisi sistem
pengolahan sampah di DKI Jakarta, yang memiliki luas wilayah 660 km2, dengan timbulan sampah sebesar 6.000 ton per hari, dan komposisi sampah yang terdiri dari 50% sampah organik dan 50% anorganik. DKI Jakarta
mengoperasikan sistem pengolahan sampah sanitary landfill yang terletak di
Bantargebang yang berada di wilayah administratif kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat yang terletak ± 40 km dari pusat Kota Jakarta. Jarak yang dipergunakan dalam perhitungan adalah 45 km yaitu jumlah jarak dari tempat penampungan sementara, ditambah dengan jarak akses jalan masuk serta jalan lingkungan hingga ke sel penimbunan . Sistem pengolahan sampah WTE insinerator
menggunakan tipe pembakar dengan fluida (fluidized bed furnish), sedangkan
teknologi komposting dipergunakan teknologi high rate composting (HRC) yang
terletak di dalam wilayah administratif DKI Jakarta. Perhitungan keuntungan dan kerugian sistem pengolahan sampah ini dilakukan dengan asumsi bahwa sistem pengolahan sampah secara individual dengan kapasitas 500 ton/hari, 1000 ton/hari, 2000 ton/hari dan 3000 ton per hari. Fariasi kapasitas pengolahan untuk masing-masing teknologi pengolahan sampah ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat efisiensi pengolahan terhadap perubahan kapasitas pengolahan sampah, dengan demikian dapatlah dibandingkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing teknologi pengolahan sampah yang digunakan di perkotaan. Selain itu juga untuk memahami karakter perubahan pengolahan sampah dari masing-masing teknologi pengolahan sampah.
6. Perhitungan keuntungan dan kerugian sistem pengolahan sampah didasarkan
pada karakteristik dari masing-masing teknologi sistem pengolahan sampah dan timbulan sampah sesuai dengan kota kajian yaitu dalam kota besar/metro, dengan rincian sebagai berikut :
a. Sistem sanitary landfill, menggunakan lahan di luar wilayah administratif
sementara (TPS) sampah, hingga ke titik sel SLF 45 km. Selain itu umur rencana operasi SLF 25 tahun, berat jenis sampah setelah penempatan
(compaction) 0,6 ton/m3, berat jenis sampah setelah dekomposisi 1,05
ton/m3, rasio tanah penutup 15% dari volume sampah. Tinggi timbunan
sampah bergantung pada volume, luas lahan dan daya dukung tanah. Tinggi timbunan untuk kapasitas 500 ton/hari umumnya 30 meter, untuk kapasitas 1.000 ton/hari 36 meter, untuk kapasitas 2.000 ton/hari 45 meter, dan untuk kapasitas 3.000 ton/hari 48 meter. Hasil perhitungan kebutuhan lahan untuk kapasitas 500 ton/hari diperlukan luas lahan 64,5 ha, dan untuk kapasitas 1.000 ton/hari diperlukan 107,5 ha, untuk kapasitas 2.000 ton/hari perlu 172 ha dan untuk kapasitas 3.000 ton/hari perlu 241,9 ha. Kebutuhan lahan tersebut termasuk untuk kebutuhan lahan aktif SLF, untuk kebutuhan jalan internal, untuk drainase serta untuk zona penyangga. Biaya pengangkutan sampah sesuai dengan data kontrak antar Dinas Kebersihan DKI dengan swasta tahun 2010, dengan truk tertutup sebesar Rp 6.000,-/ton/km.
b. Sistem insinerator WTE, terletak di dalam wilayah administratif DKI
Jakarta, sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah atau tempat penampungan sampah sementara (TPS). Jarak angkut ke unit pengolahan sampah insinerator WTE adalah 10 km. Lokasi fasilitas TPA untuk abu sisa hasil pembakaran (insinerator) dan pemanfaatan energi (ketel uap) berjarak 25 km dari lokasi unit pengolahan sampah insinerator WTE. Keberadaan unit pengolahan sampah insinerator WTE masih memungkinkan diletakkan di dalam wilayah administratif DKI Jakarta, mengingat kebutuhan lahan untuk kapasitas 500 ton/hari seluas 2,1 ha, kapasitas 1000 ton/hari seluas 4,1 ha, kapasitas 1000 ton/hari seluas 4,1 ha, kapasitas 2000 ton/hari seluas 6,5 ha dan kapasitas 3000 ton/hari memerlukan luas lahan 8,6 ha. Nilai kalori dari sampah yang tidak dipisahkan antara sampah organik dan anorganik, memiliki kandungan kalori rata-rata 2.146 kkal kg sampah. Pada sampah yang dipisahkan dan dilakukan pengomposan, terjadi peningkatan kandungan kalori rata-rata 3.044 kkal/kg, dengan effisiensi pembangkit
listrik 18 %, temperatur pada ketel uap antara 380 – 400 oC dengan tingkat
pegurangan sampah 95% dan sisa pembakaran berupa abu sebesar 8,44%. Energi listrik (hasil perhitungan) yang dihasilkan melalui sistem pengolahan
sampah WTE, untuk kapasitas 500 ton sampah adalah 7 Mw (mega watt), dan 13Mw untuk kapasitas 1.000 ton/hari, 26 Mw untuk kapasitas 2.000 ton/hari, dan 39 Mw untuk kapasitas 3000 ton/hari. Produksi listrik dapat dijual ke PLN dengan tarif Rp 300,-/kwh, sebagai pendapatan extra dari sistem insinerator WTE. Biaya pengangkutan sampah Rp 6.000,-/ton/km dengan biaya angkut sisa pembakaran untuk dibuang ke TPA sebesar Rp 3.600,-/ton/km.
c. Sistem pengolahan sampah dengan high rate composting (HRC) diletakkan
di dalam wilayah administratif DKI Jakarta, yang diletakkan sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah atau TPS. Selain itu berjarak rata-rata 10 km dari sumber timbulan sampah atau tempat penampungan sementara (TPS). Sisa sampah yang tidak dapat diproses, pada sampah yang belum dipisahkan antara sampah organik dan anorganik mencapai 50%. Sisa sampah ini selanjutnya dibuang ke TPA dengan jarak 25 km dari unit komposting. Adapun biaya pengangkutan sampah ke unit pengolahan HRC sebesar Rp 6.000,-/ton/km dan Rp 5.400,-/ton/km untuk sisa sampah yang tidak terolah. Harga kompos rata-rata untuk saat ini adalah Rp 400,-/kg.
d. Benefit and cost analysis dilakukan dengan menghitung biaya investasi
(capital expenditure/ CAPEX), biaya operasi dan pemeliharaan (operational
expenditure/OPEX) selama periode design yang dihitung selama 25 tahun
operasi. Disamping itu juga dihitung dampak lingkungan yang ditimbulkan dari setiap opsi pengelohan sampah yang ditekankan pada timbulan gas
rumah kaca ( global warming gases), untuk gas karbon dioksida (CO2) dan
gas metana CH4 yang dikonversikan dalam global warming potencial dalam
CO2. Dampak lain yang dihitung adalah dampak sosial dari setiap opsi
pengolahan sampah. Perhitungan tersebut dilakukan dengan beberapa varian kapasitas, mulai dari 500 ton/hari sampai dengan 3.000 ton/hari beban sampah yang diolah, dengan sistem pemilahan sampah dan tanpa pemilahan sampah di sumber timbulan sampah. Perhitungan BCA dilakukan untuk membandingkan sistem pengolahan sampah secara
terintegrasi yaitu sistem komposting bio fertilizer, incenirator waste to
energy (WTE) dan sanitary landfill, untuk melihat keuntungan dan kerugian
e. Komponen investasi pengolahan sampah, meliputi biaya pengadaan lahan
dan biaya konstruksi (civil works). Kebutuhan lahan untuk pengolahan
sampah terdiri dari lahan untuk keperluan jalan akses menuju lokasi instalasi
pengolahan sampah (sanitary landfill, waste to energy, ataupun
composting)., meliputi :
Kebutuhan lahan akses jalan masuk.
Kebutuhan lahan untuk akses jalan masuk bergantung pada volume atau kapasitas pengolahan sampah. Makin besar kapasitas olahan sampah yang diproses, makin tinggi frekwensi angkutan yang masuk ke instalasi, dan makin lebar jalan yang dibutuhkan termasuk sistem drainase.
Kebutuhan lahan dan biaya konstruksi untuk sistem sanitary landfill
Kebutuhan lahan untuk pengolahan sampah dengan sistem sanitary
landfill tergantung pada kapasitas sampah masuk; masa perencanaan;
umur rencana opersional (diambil 25 tahun); tinggi timbunan sampah;
akses internal dan sistem drainase; zona penyangga (buffer zone) 50%
lahan aktif; fasilitas penunjang (unit penimbang sampah, kantor
operasional, workshop alat berat, gudang dsb.
Biaya untuk membangun konstruksi sistem sanitary landfill terdiri dari
biaya untuk konstruksi lahan aktif baik pekerjaan sipil (civil works);
instalasi mekanikal dan elektrikal (mechanical and electrical);
konstruksi jalan internal dan drainase (operational roads); konstruksi
zona penyangga (buffer zone); konstruksi jalan masuk (acces road);
fasilitas penunjang (kantor opersional, unit penimbang, pagar pengaman, gudang, bengkel, dll)
Kebutuhan lahan untuk sistem insinirator (waste to energy incinerator)
Kebutuhan lahan untuk sistem pengolahan sampah waste to energy,
tergantung pada kapasitas sampah yang diolah. Adapun kelengkapan komponen yang diperlukan untuk sistem ini antara lain adalah lahan
penerimaan, sampah tak terbakar (reject waste) dan abu hasil
pembakaran. Selain itu juga diperlukan unit pembakaran sampah; unit
pembangkit listrik; dan zona penyangga (buffer zone) yang diambil
100% dari area effektif; fasilitas penunjang (kantor, timbangan sampah,
Biaya konstruksi untuk sistem pengolahan sampah dengan sistem waste
to energy terdiri dari biaya pembangunan gedung pengolahan; biaya
instalasi mekanikal dan elektrikal; biaya konstruksi jalan internal dan drainase; lahan parkir; biaya zona penyangga dan biaya pembangunan
jalan akses masuk menuju WTE.
Kebutuhan lahan untuk sistem high rate composting (HRC)
Kebutuhan lahan untuk sistem pengolahan sampah HRC, tergantung pada kapasitas sampah yang diolah (input produksi). Adapun lahan yang diperlukan untuk sistem ini adalah lahan penerima; lahan pemilah; lahan pencacah/penyaringan; lahan sampah tidak terpakai; lahan proses komposting; lahan untuk fasilitas penunjang parkir internal, gudang, dll. Biaya konstruksi untuk sistem pengolahan sampah dengan sistem HRC, terdiri dari komponen-komponen biaya gedung; biaya mekanikal dan elektrikal; biaya konstruksi jalan operasional dan fasilitas parkir; biaya zona penyangga; biaya konstruksi jalan akses menunju instalasi HRC.
Biaya operasi dan pemeliharaan (OP) sistem pengolahan sampah
Biaya OP dipergunakan untuk membiayai perawatan peralatan dan biaya pengoperasian terdiri dari biaya pegawai; biaya kantor dan administrasi; biaya listrik; biaya bahan kimia/biologis; biaya peralatan; biaya pemeliharaan infrastruktur dan unit- unit instalasi.
Produksi listrik unit pengolahan sampah insinerator WTE, dijual kepada
Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pendapatan dari unit Insinerator WTE.
Analisis biaya untuk unit pengolahan per ton kapasitas selama 25 tahun, yang diproyeksikan dari tahun 2008 hingga tahun 2033, tidak termasuk biaya-biaya untuk transportasi pengangkutan sampah menuju unit pengolahan dan pengangkutan residu dari hasil proses pengolahan, untuk masing-masing teknologi pengolahan sampah yang dioperasikan secara individual dengan dan tanpa pemilahan sampah di sumbernya;
dihitung berdasarkan biaya sekarang (present value) dari biaya investasi ( capital
expenditure –CAPEX ) dan nilai sekarang biaya operasi/ pemeliharaan, ( operation and
maintenance expenditure–OPEX ). Perhitungan didasarkan pada tingkat bunga sebesar
7%, menunjukkan bahwa: “ biaya pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE
merupakan biaya pengolahan sampah termahal. Hal sebaliknya terjadi pada pengolahan sampah dengan teknologi HRC yang biaya pengolahannya termurah, dalam hal ini, untuk
kapasitas pengolahan 500 ton/hari memerlukan biaya sebesar Rp 133.880,-/ton. Biaya untuk kapasitas 1.000 ton/hari adalah Rp 127.870,-/ton. Biaya untuk kapasitas 2.000 ton/hari Rp 121.190,-/ton, dan untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan biaya Rp
120.530,-/ton. Pada teknologi WTE insinerator memerlukan biaya pengolahan sebesarRp
284.000,-/ton, untuk kapasitas 1.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 245.490,-/ton, untuk kapasitas 2000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 226.280,-/ton dan untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 213.200,-/ton
jika dibandingkan dengan unit pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill
dengan kapasitas 500 ton/hari memerlukan biaya Rp 183,370,-/ton, untuk kapasitas 1.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 158.440,-/ton, untuk kapasitas 2.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 140.630,-/ton dan untuk kapasitas 3.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 136.780,-/ton. Secara individu biaya sistem pengolahan termurah adalah pengolahan dengan HRC yakni untuk kapasitas 500 ton/hari diperlukan biaya Rp 310.660,-/ton, untuk kapasitas 1.000 ton/hari diperlukan biaya pengolahan Rp 304.650,-/ton, untuk kapasitas 2000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 297.970,-/ton dan untuk kapasitas 3.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 297.310,-/ton.
Hasil perhitunghan tersebut memperlihatkan bahwa WTE secara sistem untuk
kapasitas di atas 1.000 ton/hari, memiliki biaya yang semakin murah (cost efficient). Hal
ini diakibatkan karena rendahnya biaya transportasi untuk residu yang ditimbulkan dari sistem insenirator, dan pendapatan dari energi listrik yang dihasilkan. Pada dasarnya adanya transportasi dari wilayah DKI Jakarta ke TPA Bantar Gebang tidak hanya menimbulkan kerugian dari aspek biaya transportasi, namun ada kerugian lain yang dapat ditimbulkan akibat adanya transportasi tersebut. Dalam hal ini pada kegiatan transportasi
akan dilakukan pembakaran BBM. Pada proses pembakaran ini akan dihasilkan CO2
yang pada akhirnya akan menyumbang terjadinya pemanasan global, yang pada akhirnya berujung pada terjadinya perubahan iklim global, sehingga menimbulkan berbagai bencana. Di lain pihak adanya pembakaran BBM pun juga akan menghasilkan dioksin dan furan (Suminar, 2003). Selain dioksin dan furan dari pembakaran BBM fosil seperti bensin dan solar juga akan dihasilkan logam berat terutama timbal atau Pb (Volesky, 2000). Terdapatnya dioksin, furan dan logam berat Pb di atmosfir ini dapat berdampak negative pada manusia. Oleh karenanya maka sangat wajar jika adanya pencemaran juga akan berimplikasi terhadap berkurangnya pendapatan sebagai akibat adanya masalah
kesehatan, sehingga akan dikeluarkan biaya ekstra untuk menanggulanginya (Syahril et
al. 2002). Dengan demikian maka dengan menurunnya transportasi bukan saja akan
mengurangi biaya transportasi, namun juga akan memberikan dampak yang lebih baik bagi kesehatan masyarakat.
Pengolahan sampah yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi terintegrasi, sebagaimana pada Gambar 23, dengan timbulan sampah yang tidak dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik, di sumber timbulan sampah memerlukan biaya yang lebih murah. Hasil perhitungan biaya pengolahan sampah dengan teknologi terintegrasi untuk kapasitas 500 ton/hari memerlukan biaya sebesar Rp 262770,-/ton, kapasitas 1.000 ton/hari memerlukan Rp 245.430,-/ton, kapasitas 2.000 ton/hari memerlukan Rp 223.370,-/ton, dan untuk kapasitas 3.000 ton/hari memerlukan biaya Rp 212.850,-/ton.
Pengolahan sampah menjadi lebih murah ketika dilakukan proses pemilahan sampah di sumber timbulan sampah, dan dilakukan pengolahan sampah dengan mengkombinasikan pengolahan sampah sedekat mungkin dengan sumber timbulan
sampah dengan pengolahan high rate composting (HRC) dan pengolahan insinerator
WTE yang menunjukkan nilai uang sekarang (present value), untuk kapasitas 500 ton/ton
memerlukan biaya Rp 220.960,-/ton, untuk kapasitas 1.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 222.760,-/ton, untuk kapasitas 2.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 206.740,-/ton dan untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 198.870,-/ton. Komparasi unit pengolahan sampah secara individual tanpa pemilahan sampah di sumber timbulan sampah dan kombinasi pengolahan sampah antara pengolahan HRC dengan insinerator WTE dapat dilihat pada Table 40 dan secara grafis dapat dilihat pada Gambar 24, sedangkan perhitungan CBA
secara terinci dapat dilihat pada Lampiran (1 – 11).
Gambar 24 Biaya pengolahan sampah
Rp0 Rp50.000 Rp100.000 Rp150.000 Rp200.000 Rp250.000 Rp300.000
500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day
SLF WTE HRC Komb Tek 1 Komb Tek 2
U ni t C os tpengolahan s am pah (R p/ to n)
Tabel 40 Analisis biaya dan manfaat teknologi pengolahan sampah
Sumber : Hasil perhitungan
Gambar 25 Biaya yang diperlukan dalam proses pengolahan sampah
Rp200.000 Rp220.000 Rp240.000 Rp260.000 Rp280.000 Rp300.000 Rp320.000 Rp340.000 Rp360.000 Rp380.000 Rp400.000 Rp420.000 Rp440.000
500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day
WTE SLF HRC Komb Tek 1 Komb Tek 2
U ni t C os t si st em p ers am pa ha n (R p/ T on )
KAPASITAS PENGOLAHAN( Ton/ Day)
Data sampah :
Sampah masuk Plant : Ton/Day 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000 3.000
Kondisi sampah:
269 439 685 983 754 1.415 2.566 3.576 415 738 1.282 1.863
PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7%
o PENGOLAHAN : 802 1.389 2.461 3.591 1.242 2.148 3.960 5.596 586 1.119 2.121 3.164
o TRANSPORTASI : 1.032 2.063 4.127 6.190 229 459 917 1.376 229 459 917 1.376
o RESIDU : 0 0 0 0 45 89 179 268 544 1.088 2.176 3.265
TOTAL SYSTEM: 1.834 3.453 6.588 9.781 1.516 2.696 5.056 7.240 1.359 2.666 5.214 7.804
PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7% :
o PENGOLAHAN : 183,37 158,78 140,63 136,78 284,00 245,49 226,28 213,20 133,88 127,87 121,19 120,53
o TRANSPORTASI : 235,83 235,83 235,83 235,83 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41
o RESIDU : 0,00 0,00 0,00 0,00 10,21 10,21 10,21 10,21 124,37 124,37 124,37 124,37
TOTAL SYSTEM : 419,20 394,61 376,46 372,61 346,61 308,11 288,89 275,81 310,66 304,65 297,97 297,31
TEKNOLOGI INDIVIDUAL TANPA PEMILAHAN DI SUMBER
HRC WTE INSINERATOR
Tidak terpilah Tidak terpilah
(Rp. Milyar)
Tidak terpilah
INITIAL INVESTMENT FOR PLANT:
(Rp. Milyar) (Rpx 000/ton) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) (Rp. Milyar) SLF (Rpx 000/ton) (Rpx 000/ton) Data sampah :
Sampah masuk Plant : Ton/Day 500 1000 2000 3000 500 1000 2000 3000
Kondisi sampah:
603 1.198 1.988 2.669 619 1.208 2.019 2.705
PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7%
o PENGOLAHAN : 904 1.663 2.871 4.004 1.171 2.120 3.761 5.283
o TRANSPORTASI : 229 459 917 1.376 287 573 1.146 1.720
o RESIDU : 24 48 96 144 42 84 168 253
TOTAL SYSTEM: 1.157 2.170 3.885 5.524 1.499 2.778 5.076 7.255
PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7% :
o PENGOLAHAN : 206,57 190,09 164,08 152,52 203,30 185,95 163,89 153,38
o TRANSPORTASI : 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41
o RESIDU : 5,50 5,50 5,50 5,50 7,07 7,07 7,07 7,07
TOTAL SYSTEM : 251,86 236,61 212,07 201,35 262,77 245,43 223,37 212,85
KOMBINASI TEKNOLOGI
COMB.2 HRC & WTE
Sampah Sudah terpilah
(Rp. Milyar) INITIAL INVESTMENT FOR PLANT:
COMB.1 HRC & WTE
Sampah Belum terpilah
(Rp. Milyar)
(Rp. Milyar)
(Rpx 000/ton) (Rp. Milyar)
Dari kurva pada Gambar 25 terlihat bahwa secara individual biaya pengolahan per ton kapasitas pengolahan selama 25 tahun, menunjukkan bahwa :
1. Unit pengolahan insinerator WTE menempati posisi termahal jika
dibandingkan dengan unit pengolahan dengan sanitarylandfill ataupun HRC.
2. Biaya pengolahan per ton kapasitas pengolahan selama 25 tahun, mengalami
penurunan atau semakin efisien dengan kenaikan kapasitas pengolahan ton/hari.
3. Penurunan biaya unit pengolahan per ton kapasitas selama operasi 25 tahun
untuk insinerator WTE mengalami penurunan yang tajam dengan kenaikan kapasitas pengolahan dari 500 ton/hari ke kapasitas 1.000 ton/hari, sebesar 16%. Penurunan biayanya dari 1.000 ton/hari ke 2.000 ton/hari sebesar 7,3%, dan penurunan 7% dari kenaikan kapasitas 2.000 ton/hari menjadi 3000 ton/hari. Pada teknologi SLF penurunan biaya cukup tajam untuk kenaikan kapasitas pengolahan dari 500 ton/hari ke 1000 ton/hari, yakni sebesar 13,3% dan 12% dari kapasitas 1.000 ton ke 2.000 ton/hari.
4. Secara keseluruhan tingkat effisiensi unit pengolahan terjadi pada kapasitas
pengolahan lebih besar dari 500 ton/hari.