FORMULASI KEBIJAKAN
SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN
BERKELANJUTAN
(STUDI KASUS: DKI JAKARTA)
Oleh :
ALEX ABDI CHALIK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi
Kasus: DKI Jakarta) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing
dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Juni 2011
Alex Abdi Chalik. 2011. Policy Formulation for Sustainable Urban Waste Treatment System (Case Study: DKI Jakarta). Under the guidance of Bibiana W. Lay as chairman and Akhmad Fauzi and Etty Riani as members.
Solid waste is still considered as worthless goods, so that it is still causing many problems. The purpose of this study is to formulate a sustainable urban waste management policy. The study was conducted in DKI Jakarta. The research is devided into four stages of analyses which include the availability and needed of land for a solid waste treatment, waste treatment technology optimization analysis of environmentally friendly, multi-criteria evaluation and policy analysis. Indonesia has many waste management policy, but not synergize together and not yet operational. Solid Waste management in DKI Jakarta has led to efforts to minimize waste, and waste reduction programs integrated between recycling, composting, combustion (incineration) and waste disposal system with a system of sanitary landfills, and will be pursued to zero waste program. DKI Jakarta needs to improve management efficiency and improved quality of service to the community, one with separation of regulator and operator functions, but managed by one institution to improve its performance and to cover the financing gap, ideally to cooperate with the private sector. The result of regression analysis shows a significant effect of economic growth in waste generation and characteristics. Increased in prosperity will increase the amount of inorganic waste, and lower amount of organic waste. Increased inorganic waste will increase the calorie content which is more beneficial if done with incinerator waste to energy (WTE), while providing the understanding that the waste is a resource that can be utilized as an energy alternative to electricity. Production of electricity from WTE incinerator is influenced by the calorie content, and type of waste. WTE incinerators have the advantage in processing speed and the required land area, but WTE incinerator required high initial investment. The result of CBA analysis shows that WTE incinerator is more expensive, but it is the most cost effective in the long term (25 years). The variables have a very strong influence on the cost of processing waste is waste transportation costs. In the context of environmental, sanitary landfill waste treatment system, which is placed far away from services area, can lead to a much larger greenhouse gases and generate leachate. The existence of designated land use and changes that are uncontrolled by DKI Jakarta complicate the placement of garbage processing unit. WTE technology or HRC which indoor system is more acceptable to local communities, compared to the open SLF. Incinerator technology is more efficient for processing large scale with a capacity of more than 500 tons / day, with the optimal point on the capacity of 3000 tons / day, which is supported by segregation. Organic waste treatment system is most optimal at high-rate composting system (HRC). WTE processing unit and HRC, should be placed in administrative of DKI. The sensitivity analysis shows that if the government would buy in a good price the electricity production and energy from solid waste, will raise the level of feasibility WTE incinerator system. Implementation of WTE incinerator technology, need to involve the private sector.
Alex Abdi Chalik. 2011. Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: DKI Jakarta). Dibawah bimbingan Bibiana W. Lay sebagai ketua dan Akhmad Fauzi dan Etty Riani sebagai anggota.
Sampah selama ini masih dianggap masalah yang trivial dan belum menjadi
sentra kebijakan pemerintah yang mengikat. Padahal tanpa penanganan yang baik, sampah dapat mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat perkotaan, seperti berdampak negatif pada kesehatan dan lingkungan serta dapat menimbulkan konflik spasial seperti konflik lahan dan wilayah lainnya.
Tujuan umum penelitian ini untuk memformulasikan kebijakan pengolahan
sampah perkotaan berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian ini adalah
mengidentifikasi kebijakan makro dan mikro pengolahan sampah di DKI Jakarta; menentukan tingkat efisiensi pengelolaan sampah baik secara teknis, ekonomi, dan lingkungan; serta menentukan rekomendasi kebijakan yang tepat bagi pengelola sampah di DKI Jakarta.
Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dari November 2005hingga akhir 2010. Penelitian dibagi menjadi empat tahapan yakni analisis ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk tempat pengolahan sampah, analisis optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, multi kriteria evaluasi dan analisis kebijakan. Pada
penelitian ini dilakukan perhitungan kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan
sampah dengan mempergunakan teknologi pengolahan sampah system sanitary
landfill (SLF), insinerator waste to energy (WTE) dan High rate composting (HRC).
Perhitungan dilakukan dengan melakukan proyeksi jumlah timbulan sampah selama
25 tahun ke depan dengan mempergunakan program exel. Analisis Ketersediaan
lahan dilakukan dengan mempergunakan data perubahan pemanfaatan lahan di DKI Jakarta. Penelitian ini juga membandingkan opsi-opsi teknologi sistem pengolahan
sampah secara parsial maupun terintegrasi dengan melakukan perhitungan cost
benefit analysis (CBA). Optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah
lingkungan, dilakukan melalui tahapan pendefinisian obyek penelitian,
mengidentifikasi dampak, menentukan dampak yang relevan secara ekonomi, mengkuantifikasi fisik dari dampak yang sesuai, melakukan valuasi moneter dari
dampak yang relevan, melihat discounting dari aliran cost dan benefit, uji NPV dan
uji sensitifitas. Selanjutnya dilakukan multi kriteria evaluasi dengan bantuan program TOPSIS, untuk memilih alternatif sistem pengolahan sampah di DKI
Jakarta yang paling optimal antara sistem HRC, WTE incinerator, dan SLF, baik
secara individual maupun terintegrasi, dengan kondisi input sampah yang belum terpilah antara sampah anorganik dengan organik, maupun input sampah yang telah terpilah antara sampah organik dan anorganik. Di samping itu juga dilakukan analisis dengan sistem dinamik untuk melihat kecenderungan jangka panjang, dengan bantuan program Vensim.
Pengolahan sampah yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta saat ini telah mengarah pada usaha-usaha untuk meminimalisasi sampah, sejak dari sumber timbulan sampah. Usaha ini diharapkan mampu mengurangi volume pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir di TPA yang dapat menurunkan biaya
transportasi dan pengolahan sampah. Selain itu juga memperkenalkan program zero
waste melalui sistem pengolahan sampah terpadu dengan mengaplikasikan
pengolahan sampah daur ulang, pengkomposan, pembakaran (insenerasi) dan sistem
pengolahan yang dilakukan tidak dapat mencapai tingkat keberlanjutan.
Penelitian memperlihatkan bahwa perlu meningkatkan efisiensi pengelolaan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dengan cara memisahkan fungsi regulator dan operator. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh satu institusi akan lebih baik dari pada dilakukan oleh beberapa institusi dalam satu wilayah yang sama, untuk menghindari tumpang tindihnya kewenangan, terjadinya saling lempar tanggung jawab, dan lebih mudah mengukur kinerjanya. Pada pengelolaan sampah perlu melibatkan sektor swasta sehingga dapat meningkatkan kinerja dalam pengelolaan sampah dan dapat menutupi kesenjangan pembiayaan
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh nyata pada timbulan dan karakteristik sampah. Peningkatan kesejahteraan akan meningkatkan kandungan sampah anorganik, dan menurunkan kandungan sampah organik. Peningkatan sampah anorganik akan meningkatkan kandungan kalori yang lebih menguntungkan jika pengolahan sampah dilakukan
dengan incinerator WTE. Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, memberikan
pemahaman pada masyarakat bahwa sampah bukanlah barang yang tidak bermanfaat, namun dapat menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk listrik.
Produksi listrik dari insinerator WTE sangat dipengaruhi oleh input kandungan kalori sampah, semakin tinggi kandungan kalori sampah semakin tinggi pula produksi listrik yang dihasilkan, dengan kandungan kalori sampah DKI yang tercampur sebesar 2.146 kkal/kg untuk 500 ton/hari masukan sampah akan dihasilkan listrik sebesar 9,4 MW, dan jika ada pemilahan sampah di sumber timbulan sampah antara sampah organik dan anorganik, serta melakukan pengolahan sampah yang terintegrasi antara WTE dengan komposting, akan didapat peningkatan kandungan kalori sebesar 3.044 kkal/kg sehingga produksi listrik untuk 500 ton/hari sebesar 13,3 Mw, dengan efisiensi produksi listrik di ketel uap sebesar 18%.
Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, perlu investasi awal (initial
investment ) jauh lebih mahal, untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan investasi
Rp 3.575 milyar, sedangkan sanitary landfill Rp 983 Milyar, dan high rate
composting Rp1.863 Milyar. Walau mahal, namun insinerator mempunyai
keunggulan yakni pengolahannya cepat, kebutuhan lahan jauh lebih kecil, sehingga memungkinkan ditempatkan di wilayah DKI, serta dapat mengolah sampah B3 yang berasal dari limbah rumah sakit, rumah tangga ataupun industri.
Hasil analisis CBA memperlihatkan, walaupun initial investment WTE lebih
mahal, namun dalam jangka panjang (25 tahun) paling cost effective. Pada
pengolahan 500 ton/hari, untuk jangka waktu 25 tahun, sistem WTE memerlukan biaya Rp 346.610,- /ton sedangkan SLF Rp 419.200,- dan komposting Rp 294.940,-. Biaya akan semakin murah apabila pengolahan sampah dikombinasi antara sistem
HRC, WTE dan SLF secara terintegrasi. Biaya pengolahan kombinasi dengan
kapasitas 500 ton/hari, adalah Rp 289.520,- lebih cost efficient dibanding pengolahan
sistem individual.
Variabel yang memiliki pengaruh sangat kuat terhadap besaran biaya pengolahan sampah adalah biaya angkutan sampah. Hasil perhitungan NPV jika
terdapat biaya pengangkutan sampah ke sanitary landfill yang berjarak 45 km
mengakibatkan naiknya biaya total pengolahan sampah di sistem sanitary landfill,
Dalam konteks lingkungan, pengolahan sampah dengan sistem sanitary
landfill, yang ditempatkan jauh di luar wilayah pelayanan (timbulan sampah),
menimbulkan gas rumah kaca CO2 dan CH4 yang jauh lebih besar, dibanding sistem
pengolahan komposting bio fertilizer ataupun insinerator WTE
Adanya penggunaan dan perubahan peruntukan lahan yang tidak terkendali, Di DKIJ menyulitkan penempatan unit pengolahan sampah, namun untuk
mendapatkan pembiayaan paling cost efficient maka insinerator WTE harus
ditempatkan sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah. Pengolahan dengan
sanitary landfill pada tempat yang jauh dari sumber timbulan sampah (45 km) biaya
angkutan sampahnya mencapai Rp 6.000,-/ton/km, serta mencemari lingkungan mengingat kendaraan angkut berbahan bakar Solar akan mengeluarkan emisi gas
CO2, sebesar 2,64 kg/liter, dan untuk jarak 45 km, akan dikeluarkan emisi 2168
ton/tahun untuk 500 ton sampah/hari, dan menjadi 13.009 ton/th untuk timbulan sampah 3000 ton/hari.
Pengolahan sampah dengan teknologi WTE ataupun HRC yang tertutup lebih
dapat diterima oleh masyarakat yang berdekatan, dibandingkan teknologi SLF yang
terbuka. Hal ini disebabkan frekwensi angkutan sampah yang melalui wilayah permukiman, gangguan timbulnya bau yang tidak dapat dihindarkan, serta kebisingan yang terjadi akibat operasi alat berat. Selain itu pengolahan sampah
dengan sanitary landfill akan menghasilkan leacheate (air lindi), yang berpotensi
mencemari air tanah yag sangat menghawatirkan penduduk yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minumnya, mengingat penduduk kota Jakarta hingga saat ini hanya 50% saja yang mendapatkan pelayanan air minum melalui sistem perpipaan dari Perusahaan Air Minum Jaya yang dioperasikan oleh swasta (Aetra dan Palija).
Pengolahan sampah dengan teknologi insinerator, akan lebih effisien untuk skala pengolahan dengan kapasitas yang lebih besar dari 500 ton/hari. Titik optimal didapat untuk skala pengolahan dengan kapasitas 3000 ton/hari, yang didukung dengan pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik, dan untuk sampah
organik dilakukan pengolahan dengan sistem high rate composting (HRC). Dalam
rangka menurunkan biaya pengangkutan sampah ke unit pengolahan WTE dan
HRC, selayaknya unit pengolahan sampah ditempatkan di bagian-bagian wilayah DKI, sehingga dapat meminimalkan biaya angkut, baik sampah yang akan diolah maupun transportasi produk olahan seperti abu yang dihasilkan dari proses WTE. Selain itu hasil perhitungan juga memperlihatkan bahwa semakin besar skala pengolahan sanpah yang dilakukan, akan semakin murah biaya sistem pengolahan per tonnya.
Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah untuk membeli produksi listrik dengan energi yang dihasilkan dari limbah (sampah) dengan harga yang tinggi, akan menaikkan tingkat kelayakan pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi insinerator WTE, yang memungkinkan untuk sektor swasta berperan serta terhadap penyediaan unit pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE.
Dalam rangka mendorong keterlibatan sektor swasta pada pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE, diperlukan dukungan pemerintah
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya
BERKELANJUTAN
(STUDI KASUS: DKI JAKARTA)
Oleh :
ALEX ABDI CHALIK
P062054714
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Alex Abdi Chalik
NIM : P062034084
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Drh. Bibiana Widiati Lay, MSc.
Ketua
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc.
Anggota
Dr. Ir. Etty Riani, MS.
Anggota
Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah MScAgr.
Puji sukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya penulisan disertasi ini. Tema yang dipilih sebagai obyek penelitian dalam disertasi ini adalah Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan dengan mengambil studi kasus di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta).
Hampir seluruh kota-kota di Indonesia menghadapi permasalahan dalam pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah hingga saat ini masih menjadi persoalan yang tidak kunjung selesai yang dihadapi oleh pemerintah, baik di kota sedang, kota besar maupun di Kota Metro, seperti DKI Jakarta. Telah banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, namun persoalan pengolahan sampah tidak pernah dapat diselesaikan.
Data menunjukkan bahwa hampir semua pemerintah kota mengalami kegagalan dalam melakukan pengelolaan sampah, terutama pada sistem pengolahan dan pembuangan akhir sampah. Kondisi ini juga dialami oleh pemerintah DKI Jakarta, sehingga beberapa kali DKI Jakarta menghadapi berbagai keluhan dan protes dari masyarakat agar DKI segera menutup tempat pengolahan sampahnya yang diletakkan di luar wilayahnya.
Di samping persoalan tersebut, terdapat sebagian masyarakat yang memiliki cara pandang keliru, yakni memandang sampah sebagai benda yang tidak memiliki manfaat. Cara pandang yang demikian ini menjadi pemicu timbulnya penyakit
NIMBY (not in my back yard syndrome), sehingga sampah kurang maksimal
dimanfaatkan dan harus dibuang menjauh dari halaman rumahnya, dan tidak perduli dengan dampak yang akan ditimbulkan dari cara yang salah dalam pembuangan sampah.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa sampah memiliki peran dalam menghasilkan produksi energi yang dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Selain itu sampah juga menjadi alternatif sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Berbagai pihak telah banyak memberikan kontribusi secara langsung ataupun tidak langsung bagi terselesaikannya disertasi ini. Penulis dibantu oleh berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil penelitian ini, namun demikian kesalahan yang mungkin terjadi menjadi tanggung jawab penulis. Harapan penulis semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah pegolahan sampah di perkotaan dan memberikan manfaat bagi banyak pihak.
ini, sulit dibayangkan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan IPB, yaitu Rektor IPB, Dekan Pasca Sarjana, dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sunber Daya Alam dan Lingkungan, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti perkulihan di IPB.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan pada rekan-rekan satu angkatan PSL IPB atas dorongan dan kerjasamanya. Dengan dukungan dan dorongan rekan-rekan seangkatan, maka studi S-3 di PSL-IPB ini dapat penulis jalani dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada lembaga yang telah memberikan data dan informasi yang diperlukan dalam mendukung penelitian ini. Terima kasih penulis sampaikan untuk Almarhum Ir. Lukamanul Hakim, yang telah banyak memberikan data dan bantuan selama penulisan disertasi ini.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada isteri (Erina Prihati, BA) dan ketiga anak (dr. Arinda Putri Pitarini, Adrianto Putra Prasetyo, SE, M.Bus, dan drg. Arianita Putri Pratiwi) atas kasih dan dukunganya selama penulis menjalani hari-hari yang mengurangi waktu untuk berbagi bersama keluarga. Tanpa pengertian dan dukungan isteri dan anak-anak tercinta, tidak mungkin disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Disertasi ini juga dapat diselesaikan dengan baik berkat dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Akhirnya, apabila di dalam penulisan disertasi ini terdapat kesalahan dalam penulisan disertasi ini, maka hanya penulis yang bertanggung jawab. Semoga Allah,Swt, melimpahkan rahmatNya, bagi semua pihak yang telah membantu penulis.
Bogor, Juni 2011
Penulis lahir di Banyuwangi Jawa Timur tanggal 18 Agustus 1955 sebagai
anak ke 3 dari 5 bersaudara, pasangan H. Hasan Soleh dan Hj. Alwijah. Pendidikan
Sarjana strata satu ditempuh di Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi
Bandung dan lulus pada tahun 1982. Pendidikan Pascasarjana diselesaikan pada
tahun 1989 pada Program Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung dan
Program Studi Magister Manajemen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ganesha
di Jakarta pada tahun 1988. Pada tahun 2004 penulis terdaftar sebagai mahasiswa
Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis mulai bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 1983,
dari tahun 1985 - 1992 menjadi Deputy Project Manager Proyek Air Bersih Provinsi
Jawa Timur, Pada tahun 1992 - 1995 menjadi Project Manager Proyek Air Bersih
Provinsi Sulawesi Utara, Pada tahun 1995 - 1997 menjadi Project Manager Proyek
Air Bersih Provinsi Bali, Pada tahun 1997 - 2000 menjadi Project Manager
Perencanaan dan Pengendalian Program Penyehatan Lingkungan Permukiman,
Direktorat Jenderal Cipta Karya di Jakarta, Pada tahun 2000-2001 menjadi Analis
Kebijakan Bidang Air Limbah pada Kementerian Negara Pekerjaan Umum, Pada
tahun 2001 - 2004 menjadi Project Manager Capacity Building in Urban
Infrastructure Management, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah, Pada tahun 2005 - 2006 ditetapkan sebagai
pejabat fungsional Teknik Penyehatan Lingkungan di Departemen Pekerjaan Umum,
Pada tahun 2006 - 2007 ditetapkan sebagai Kepala Sub Direktorat Air Limbah,
Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Jenderal
Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, Pada tahun 2007 - 2010 sebagai Kepala
Sub Direktorat Investasi Air Minum, Direktorat Pengembangan Air Minum,
Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, Pada tahun 2010 –
sekarang ditetapkan sebagai Kepala Sub Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat
Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan
Pada tahun 1983 penulis menikah dengan Erina Prihati, BA dan telah
dikaruniai dua orang putri dan satu orang putra yakni dr. Arinda Putri Pitarini,
Adrianto Putra Prasetyo, SE, M.Bus, dan drg. Arianita Putri Pratiwi.
Bogor, Juni 2011
i
Halaman
Daftar Tabel……… iii
Daftar Gambar………. vi
Daftar Lampiran………... viii
BAB I. PENDAHULUAN……….. 1
1.1. Latar Belakang………....………... 1
1.2. Tujuan Penelitian………... 6
1.3. Kerangka Pemikiran………... 7
1.4. Perumusan Masalah……….. 8
1.5. Manfaat Penelitian ………. 11
1.6. Novelty (kebaruan)………... 12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 14
2.1. Pengelola Sampah Perkotaan……… 14
2.2. Teknologi Pengolahan Sampah………. 18
2.3. Multi Kriteria Evaluasi (multy criteria evaluation)……….. 36
2.4. Cost-Benefit Analysis (CBA) ……….. 38
2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Lingkungan………... 38
2.6. Kebijakan ………... 41
BAB III. METODE PENELITIAN………... 45
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian………... 45
3.2. Rancangan Penelitian ………... 45
3.2.1. Analisis Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pengolahan Sampah ………... 45
3.2.2. Analisis Optimalisasi Teknologi Pengelolaan Sampah yang Ramah Lingkungan……….………...….. 48 3.2.3. Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evaluation) ...………. 51
3.2.4. Analisis System Dynamic (sistim dinamik)………... 53
3.2.5. Analisis Kebijakan………... 53
BAB IV. HASIL PEMBAHASAN………. 55
4.1. Gambaran Umum Kondisi Wilayah dan Lingkungan Lokasi Penelitian…….. 55
4.2. Manajemen Pengelolaan Sampah DKI Jakarta ……… 55
4.2.1. Komposisi Sampah………... 58
4.2.2. Karakteristik Sampah……….. 64
4.2.3. Sampah B3 (Bahan berbahaya dan beracun)………... 70
4.2.4. Sampah Pantai dan Sampah dari Sistem Drainase dan Sungai……... 72
4.3. Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan Tempat Pengolahan Sampah... 73
4.3.1. Pertumbuhan Penduduk dan Pemanfaatan Lahan………... 73
4.3.2. Kebutuhan Lahan Sebagai Tempat Pengolahan Sampah……… 77
4.4. Analisis Pengaruh Kesejahteraan Masyarakat Terhadap Timbulan dan Komposisi Sampah………. 80
4.5. Analisis Optimasi Teknologi Pengolahan sampah……… 86
ii
4.5.2.2. Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah WTE... 4.5.2.3. Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah HRC ...
4.5.2.4. Emisi Sistem Pengolahan Sampah Teknologi Terintegrasi …………
97 98 99
4.6. Analisis Sensitivitas (Sensitivity Analysis) ...100
4.7. Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evaluation) ...102
4.8. Analisis sistem dinamik ………... 108
BAB V. ANALISIS KEBIJAKAN……… 115
5.1. Implementasi Kebijakan Pengolahan Sampah DKI Jakarta ……… 115
5.1.1.Insinerator Skala Kecil………. 116
5.1.2.Komposting dan Daur Ulang………... 118
5.2. Formulasi Kebijakan Pengolahan Sampah……… 122
5.2.1. Aplikasi Teknologi Pengolahan Sampah...………. 122
5.2.2. Parisipasi Aktif Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Pengolahan Sampah……… 126 5.2.3. Keberlanjutan Pemanfaatan Teknologi Pengolahan Sampah…………. 129
5.2.4. Institusi Pengelola Sampah………... 131
5.2.5. Dukungan Kebijakan Pemerintah dalam Kerjasama Pemerintah dengan Swasta…... 132
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN……… 133
Kesimpulan……… 133
Saran………... 136
DAFTAR PUSTAKA ………... 137
iii
Nomor Halaman
1. Tipikal unsur pokok gas yang didapat pada landfill ... 21
2. Prakiraan kerusakan akibat emisi dari landfill ... 21
3. Distribusi terbentuknya gas yang di amati selama 48 bulan setelah penutupan sel ... 25 4. Komponen zat organik yang cepat dan lambat dalam proses biodegradasi ... 25
5. Kadar biodegradable sampah organik ... 26
6. Prakiraan kerusakan akibat emisi dari incinerator ... 35
7. GWP untuk beberapa GRK terhadap CO2 ... 36
8. PDRB per kapita Kota DKI Jakarta ... 41
9. Tipologi kota berdasarkan ekonomi-lingkungan ... 42
10. Pola kuantitas dan karakteristik sampah pada negara berpenghasilan rendah, menengah dan industri ... 43 11. Parameter dan kriteria pemilihan lokasi tempat pengolahan sampah ... 48
12. Perkiraan timbulan sampah berdasarkan hasil survey tahun 2005 ... 57
13. Perkiraan timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 ... 57
14. Berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah ... 58
15. Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan tinggi ... 55
16. Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan menengah ... 59
17. Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan rendah ... 59
18. Komposisi sampah dari pasar tradisional ... 60
19. Komposisi sampah dari pasar (pertokoan) moderen ... 60
20. Komposisi sampah dari perkantoran ... 61
21. Komposisi sampah dari sekolah ... 61
22. Komposisi sampah industri ... 62
23. Komposisi sampah rata-rata di wilayah DKI Jakarta ... 63
24. Timbulan sampah di DKI Jakarta, tahun 2005(dalam m3) ... 63
25. Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber sampah di DKIJ ... 66
26. Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber dengan perhitungan berdasarkan nilai pendekatan dari BPPT ... 67 27. Perkiraan karakteristik rata-rata sampah di Jakarta ... 64
28. Karakteristik sampah rata-rata di DKIJ ... 64
29. Perubahan karakteristik sampah DKI Jakarta ... 69
30. Jumlah perusahaan industri besar dan sedang menurut klasifikasi industri di DKI Jakarta ... 71 31. Kegiatan rumah sakit yang berpotensi menghasilkan sampah ... 71
32. Jumlah penduduk dki jakarta hasil susenas 2008 ... 74
33. Jenis-jenis penggunaan lahan di DKI Jakarta tahun 2006 ... 76
34. Perubahan luas taman di DKI Jakarta ... 79
35. Perubahan luas taman di DKI dari tahun 2004 - 2006 ... 79
36. Hubungan antara pertumbuhan penduduk, ekonomi dan sampah ... 81
37. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi volume timbunan sampah di DKI Jakarta ... 81 38. Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah organik ... 82
39. Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah anorganik ... 83
iv
43. Emisi trasnportasi sampah ke unit WTE ... 98
44. Emisi GRK pengolahan sampah ke unit WTE ... 95
45. Emisi transportasi sampah ke unit HRC ... 99
46 Emisi pengelolaan sampah di unit HRC ... 99
47. Produksi listrik pada unit WTE...100
48. Emisi GRK dari setiap sistem pada berbagai kapasitas pengelolaan sampah ... 100 49. Analisis sensivitas kenaikan tingkat suku bunga 12% ...102
50. Hasil TOPSIS multi kriteria evaluasi pengolahan sampah kapasitas 500 ton/hari………... 105 51. Hasil TOPSIS multi kriteria evaluasi pengolahan sampah kapasitas 3.000 ton/hari……….. 106 52. Kondisi insinerator skala kecil... 120
53. Unit-unit komposting di Kota Jakarta……… 121
54 Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah proses daur ulang dan komposting... 121 55 Keuntungan dan kerugian dalam pola kerja sama antara pemerintah dengan swasta ... 128 56 Pertumbuhan PDRB perkapita DKI Jakarta ... 130
v
Nomor Halaman
1. Timbulan sampah DKI Jakarta ... 7
2. Bagan alir kerangka pemikiran ... 9
3. Bagan alir pola pikir penelitian ... 12
4. Sistem pengelolaan sampah ... 15
5. Elemen fungsional dalam pengelolaan sampah perkotaan ... 16
6. Sistem pengolahan sampah terintegrasi ... 16
7. Proses input dan output pada landfill ... 19
8. Kontrol volume untuk pergerakan vertikal gas landfill ... 20
9. Tahapan perubahan gas pada landfill ... 24
10. Grafik pembentukan gas selama lebih dari lima tahun untuk sampah organik yang cepat dan lambat didekomposisi sejak dibuang ke landfill ... 27 11. Pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill ... 28
12. Proses input dan output pada composting ... 32
13. Proses input dan output pada incinerator ... 35
14. Diagram Kuznet… ... 39
15. Hubungan alur dampak lingkungan dari pembuangan sampah sampai biaya yang ditimbulkan ... 49 16. Diagram system dynamic untuk sampah di Jakarta………... 54
17. Skematik diagram pengelolaan sampah DKI Jakarta ... 56
18. Proyeksi jumlah penduduk DKI Jakarta ... 75
19. Proyeksi timbulan sampah DKI Jakarta ... 75
20. Perubahan penggunaan lahan DKI Jakarta 1972 - 2002 ... 77
21. Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah organik ... 83
22. Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah anorganik ... 84
23. Grafik hubungan antara PDRB terhadap total volume sampah per tahun ... 85
24. Biaya pengolahan sampah ... 93
25. Biaya yang diperlukan dalam proses pengolahan sampah ... 94
26. Penurunan emisi GRK pada pemanfaatan integrasi teknologi ...100
27. Analisis sensitivitas kenaikan tarif listrik Rp 700,-/kwh ...101
28. Analisis sensitivitas jarak SLF untuk sisa pengolahan WTE dan komposting berjarak 45 km ... 101 29. Analisis sensitivitas kenaikan tingkat suku bunga 12% ...102
30. Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi 500 ton/hari……… 106
31. Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi 3.000 ton/hari ... 107
32. Prediksi pertumbuhan penduduk DKI Jakarta ……….. 108
33. Perkembangan PDRB per kapita dalam 50 tahun yang akan datang ……... 109
34. Prediksi timbulan sampah 50 tahun yang akan datang ……… 109
35. Perkembangan unit cost dalam pengolahan sampah ……… 110
36. Hasil perkembangan penduduk berdasarkan analisis sensitivitas monte carlo. 111 37. Hasil monte carlo timbulan sampah ……… 112
38. Hasil analisismonte carlo untuk pertumbuhan PDRB per kapita ……… 113
vi
Sistem pengolahan sampah dengan aplikasi teknologi terintegrasi…………
42. Sistem pengolahan sampah dengan teknologi terintegrasi masa mendatang... 125
vii
Nomor Halaman
1. Analisis biaya investasi pengolahan sampah... 144
2. Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 500 ton/hari... 150
2. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 1.000 ton/hari... 151
2. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 2.000 ton/hari... 152
2. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 3.000 ton/hari... 153
3. Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas 500
ton/hari...
154
3. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas
1.000 ton/hari...
155
3. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas
2.000 ton/hari...
156
3. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas
3.000 ton/hari...
157
4. Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dengan SLF residu sampah terpilah
kapasitas 250 ton/hari...
158
4. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu
sampah terpilah kapasitas 500 ton/hari...
159
4. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu
sampah terpilah kapasitas 1.000 ton/hari...
160
4. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu
sampah terpilah kapasitas 1.500 ton/hari...
161
5. Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu-
sampah belum terpilah kapasitas 250 ton/hari...
162
5. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu
sampah belum terpilah kapasitas 500 ton/hari...
163
5. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu
sampah belum terpilah kapasitas 1.000 ton/hari...
164
5. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu
sampah belum terpilah kapasitas 1.500 ton/hari...
viii
6. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke
WTE kapasitas 500 ton/hari...
167
6. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke
WTE kapasitas 1.000 ton/hari...
168
6. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke
WTE kapasitas 1.500 ton/hari...
169
7. Ringkasan Analisis NPV biaya sistem pengolahan samapah ... 170
8. NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah)
kapasitas 250 ton/hari ...
171
8. Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah)
kapasitas 500 ton/hari ...
172
8. Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah)
kapasitas 1.000 ton/hari ...
173
8. Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah)
kapasitas 1.500 ton/hari ...
174
9. NPV Biaya proyek –WTE + SLF residu (integrasi teknologi sampah belum
terpilah) kapasitas 375 ton/hari...
175
9. Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi pengolahan
sampah belum terpilah) kapasitas 750 ton/hari...
176
9. Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi sampah
belum terpilah) kapasitas 1.500 ton/hari...
177
9. Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi Sampah
belum terpilah) kapasitas 2.250 ton/hari...
178
10. Analisis sensitivitas harga listrik Rp 700/kwh, jarak SLF residu 45 km ... 179
10. Lanjutan Analisis sensitivitas harga listrik Rp 700/kwh, jarak SLF residu 45
km...
180
11. Analisis sensitivitas harga listrik Rp 300/kwh, jarak SLF residu 45 km ... 181
11. Lanjutan Analisis sensitivitas harga listrik Rp 300/kwh, jarak SLF residu 45 km
...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan dan pertumbuhan kota metropolitan di beberapa negara
berkembang telah menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampah (Petrick,
1984). Saat ini daerah perkotaan di Kawasan Asia mengeluarkan US$ 25 milyar per
tahun untuk pengelolaan 760.000 ton sampah per hari. Pengelolaan sampah diperkirakan
akan terus meningkat menjadi US$ 50 milyar pada tahun 2025 dengan proyeksi jumlah
sampah sebesar 1,8 juta ton per hari (Horenwig dan Thomas, 1999).
Perkembangan dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada saat ini
menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan pelayanan publik. Hal ini diakibatkan
oleh tekanan pertumbuhan dan kepadatan penduduk, baik pertumbuhan alamiah maupun
akibat terjadinya arus urbanisasi. Selain itu juga akibat pertumbuhan industri,
perumahan, fasilitas sosial, kurangnya penyediaan prasarana dan sarana perkotaan,
kurangnya kemampuan penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan yang diperlukan
dalam penyelenggaraan pelayanan dan pengelolaan infrastruktur, serta kurangnya
kesadaran dan partisipasi masyarakat.
Menurut laporan dari World Bank (2004) tentang kondisi infrastruktur perkotaan
di Indonesia dinyatakan bahwa Indonesia sangat tertinggal dengan negara-negara lain di
kawasan Asia, sebagai contoh dalam hal pelayanan fasilitas air bersih, baru 34% dari total
penduduk perkotaan yang terlayani. Pada sektor sanitasi, situasi yang dihadapi jauh lebih
buruk lagi bahkan sangat sulit, sehingga hanya 1,3% dari total penduduk Indonesia yang
mendapatkan pelayanan air limbah melalui sistem perpipaan (off site sanitation). Hampir
seluruh kota-kota di Indonesia menghadapi permasalahan dalam pengolahan dan
pemusnahan sampah, sehingga mencemari lingkungan.
Kondisi buruknya pelayanan sanitasi di Indonesia memberikan dampak ekonomi
yang sangat substansial. Menurut evaluasi dari ADB (1998) dampak sosial (social cost)
akibat tidak memadainya sanitasi mencapai US$ 4,7 juta per tahun, atau kurang lebih
2,4% dari GDP tahunan Indonesia. Dampak ini setara dengan hampir Rp.100.000,- per
rumah tangga setiap bulan, untuk setiap rumah tangga di Indonesia. Kondisi kesehatan
masyarakat yang buruk memperbesar biaya pengobatan atau kehilangan produktivitas
Pada umumnya pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia menghadapi
permasalahan-permasalahan sejak dari penempatan, pengumpulan, pengangkutan,
pembuangan dan pengolahannya. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Cipta Karya (1988) terdapat beberapa permasalahan dalam
pengelolaan sampah perkotaan, antara lain: aspek teknis, operasional, partisipasi
masyarakat, institusi, keuangan, dan aspek legal. Masalah pokok dalam aspek teknis
operasional antara lain: (1) Peningkatan laju timbulan sampah yang kurang diantisipasi
dengan peningkatan prasarana dan sarana persampahan; (2) Rendahnya tingkat pelayanan
khususnya di pasar dan daerah kumuh menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang
berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung pada kesehatan masyarakat; (3) Usaha
pengurangan volume dan pemanfaatan sampah masih belum memadai; (4) Pembuangan
dan pengolahan akhir sampah masih belum memadai khususnya karena terletak pada
lokasi yang kurang memenuhi syarat dan secara operasional dilakukan secara open
dumping. Kondisi ini mengakibatkan terjadi beberapa kasus pencemaran lingkungan,
seperti yang disebabkan oleh rembesan air lindi (leacheate), lalat, kebakaran dan asap.
Selain itu aktivitas pemulung menyulitkan operasi pemadatan dan penutupan sampah.
Dalam hal kebijakan, pengelolaan sampah juga menghadapi berbagai masalah.
Masalah pokok dalam aspek kebijakan (pengaturan) antara lain: (1) Belum lengkapnya
peraturan yang mengatur masalah persampahan; (2) Belum lengkapnya peraturan daerah
yang secara pokok mengatur institusi, ketentuan umum kebersihan serta retribusi sampah;
(3) Lemahnya pelaksanaan peraturan daerah (perda) termasuk pelaksanaan sangsi
terhadap pelanggaran-pelanggaran.
Pengelolaan sampah juga menghadapi masalah dalam hal institusi. Masalah
pokok dalam aspek institusi antara lain adalah institusi pengelola masih banyak yang
berbentuk Dinas Kebersihan yang memiliki kelemahan dalam pengelolaan anggaran
operasi dan pemeliharaan. Dinas kebersihan juga seringkali kurang dapat
mengembangkan sumber daya manusianya untuk lebih professional. Hal yang tidak
kalah pentingnya yang dihadapi adalah masalah pembiayaan dan peran serta masyarakat.
Masalah pokok dalam aspek pembiayaan antara lain adalah keterbatasan dana untuk biaya
investasi serta biaya operasi dan pemeliharaan, sehingga sulit meningkatan kualitas
maupun kuantitas pelayanan. Masalah pokok dalam aspek peran serta masyarakat adalah
rendahnya tingkat kesadaran masyarakat serta adanya pandangan masyarakat bahwa
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta) menghadapi masalah yang sama di
dalam melakukan pengelolaan sampahnya. Salah satu permasalahan yang sangat
menonjol adalah pengelolaan pada tempat pengolahan dan pembuangan akhir sampah
(TPA) yang menimbulkan banyak masalah, terutama dalam hal luas wilayah, jumlah
penduduk yang besar, dan masalah keterbatasan lahan yang memadai bagi TPA sampah.
Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang DKI 2005 (1987) tentang kebutuhan TPA
Sampah DKI sampai dengan tahun 2005. Apabila di DKI Jakarta tidak dilakukan
perubahan terhadap sistem pengolahan sampah yang dilakukan saat ini, maka DKI
memerlukan paling tidak luas lahan sebesar 500 hektar.
DKI Jakarta merupakan kota terbesar dan terluas di Indonesia, sebagai kota
metropolitan, DKI Jakarta memiliki luas area sebesar 66.000 hektar. Berdasarkan S.K.
Gubernur DKI Jakarta No.1227 tahun 1989 luas wilayah Propinsi DKI Jakarta berupa
daratan seluas 661,52 km2 (66.152 ha). Namun demikian kurang lebih 80% dari total
wilayah Kota Jakarta sudah terbangun.
DKI Jakarta juga memiliki jumlah penduduk yang berkembang sangat cepat. Pada
tahun 1999 penduduk DKI berjumlah 7.831.520 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan
penduduk rata-rata 2,2% per tahun; namun pada akhir tahun 2005 penduduk DKI
mencapai 9.041.605 jiwa, dan pada perioda tahun 2005 – 2008 pertumbuhan penduduk
DKI mengalami penurunan menjadi 1,06 % pertahun, hal ini diperkirakan dipengaruhi
oleh program keluarga berencana (BPS DKI 2010). Pertumbuhan penduduk dan
perkembangan wilayah Jakarta dengan segala aktifitas dan kegiatan masyarakatnya, telah
menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan yang harus dihadapi. Salah satu
persoalan yang hingga saat ini masih menjadi persoalan besar bagi DKI adalah
permasalahan pengolahan sampah yang dapat memenuhi keinginan masyarakat, ramah
lingkungan dan dapat dioperasikan dengan baik, sehingga menjadi sistem pengolahan
sampah yang berkelanjutan (sustainable)”.
Tempat membuang akhir sampah DKI Jakarta saat ini berada di luar wilayah DKI
Jakarta. Kebijakan penempatan pengolahan sampah DKI Jakarta didasarkan kepada
Rencana Induk Pengelolaan Sampah DKI Jakarta tahun 1996. Rencana induk tersebut
menetapkan kebijakan untuk membangun di dua lokasi tempat pengolahan sampah secara
sanitary landfill yang terletak di luar wilayah DKI Jakarta yaitu TPA Bantar Gebang di
wilayah Kota Bekasi yang dibangun pada tahun 1990, dan TPA Ciangir di Kabupaten
sampah dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi,
sedangkan TPA Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan,
Jakarta Barat dan Kota Tangerang.
Penetapan lokasi TPA ditentukan berdasarkan RTRW dan Rencana Induk
Pengelolaan Sampah DKI Jakarta serta Kesepakatan Kerjasama Pembangunan Regional
antara Wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (JABOTABEK). Kesepakatan
antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat tersebut
diatur oleh Peraturan Bersama Nomor: 1/DP/004/PD/1976/3 tahun 1976, tanggal 8 Mei
1976 dan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor:
593.82/SK/282.P/AGK/DA/86 tanggal 25 Januari 1986, Jo. Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor: 593.82/SK.116.P/AGR/DA/26-1987, mengenai
Pemberian Izin Lokasi dan Pembebasan Tanah Seluas 108 Ha yang Terletak di Desa
Ciketing Udik, Desa Sumur Batu, Desa Cikiwul Kecamatan Bantar Gebang Kabupaten
Bekasi untuk Keperluan Pembuangan Sampah dengan Sistem Sanitary Landfill kepada
Pemerintah DKI Jakarta, yang terletak 13 Km di sebelah selatan Kota Bekasi dan
kira-kira 2 Km dari Jalan Raya Bekasi Bogor.
Pada saat ini DKI hanya memiliki TPA sampah Bantar Gebang yang merupakan
satu-satunya TPA yang dimiliki oleh Pemerintah DKI Jakarta. TPA Bantar Gebang yang
direncanakan secara sanitary landfill ini, pada kenyataannya dioperasikan secara open
dumping. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan, sehingga Warga
Bantar Gebang menuntut untuk menghentikan pengoperasian dan penutupan TPA ini.
Pengelolaan TPA Bantar Gebang menimbulkan berbagai masalah dan mengakibatkan
terjadinya pencemaran lingkungan, baik berupa pencemaran air bawah tanah, pencemaran
udara berupa asap yang ditimbulkan dari terbakarnya sampah, timbulnya bau busuk,
timbulnya lalat, nyamuk dan tikus yang keseluruhannya memberikan dampak
(externalitas negatif) pada masyarakat yang bertempat tinggal pada radius hingga 10
kilometer dari TPA Bantar Gebang (Chalik, 2000).
Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kota
Bekasi TPA ini akan segera dihentikan pengoperasiannya pada akhir tahun 2005, dan
akan digantikan dengan sistem pengolahan sampah terpadu (TPST) di Bojong, Kabupaten
Bogor. TPST Bojong yang hendak dioperasikan oleh pemerintah DKI Jakarta juga
menghadapi masalah yang sama dengan TPA Bantar Gebang yaitu adanya penolakan
banyak memberikan kerugian bagi masyarakat setempat seperti yang dialami oleh
masyarakat yang bermukim di sekitar TPA Bantar Gebang. Mengingat DKI Jakarta
hingga saat ini masih belum mempunyai alternatif TPA, dan TPST Bojong juga tidak
memungkinkan untuk dimanfaatkan DKI Jakarta, maka dilakukan berbagai negosiasi oleh
Pemprov DKI Jakarta, sehingga TPA Bantar Gebang yang menurut perjanjian seharusnya
sudah ditutup tahun 2005, hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh DKI Jakarta sebagai
tempat pembuangan akhir sampah DKI Jakarta.
Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
undang Nomor: 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, mengharuskan Pemerintah DKI Jakarta untuk memikirkan ulang kebijakan
dalam menempatkan TPA Sampah di luar wilayahnya. Oleh karena itu pada tahun 1999
pemerintah DKI melakukan peninjauan ulang terhadap RTRW 2005 yaitu dengan
menetapkan RTRW DKI 2010 yang ditetapkan dengan peraturan daerah DKI Jakarta
Nomor: 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010.
Pada kebijakan tersebut, DKI menetapkan perubahan dalam pengelolaan sampah, seperti
dijelaskan dalam paragrap 7 pasal 24 tentang Sistem Prasarana Wilayah, yang
menetapkan bahwa: (a) Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk
meminimalkan volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan
teknologi yang berwawasan lingkungan hidup; (b) Pengembangan prasarana persampahan
ditujukan untuk mencapai target penanganan 90% dari jumlah total sampah, yang
dilakukan baik pada sumbernya, proses pengangkutanya maupun pengolahannya di
tempat pembuangan akhir (TPA); (c) Pengelolaan sarana sampah dilakukan dengan
teknologi tepat guna untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan
prasarana sampah; (d) Pengembangan prasarana sampah bahan buangan bahan berbahaya
dan beracun (B3) serta pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat.
Pada pasal 71 mengenai pengembangan prasarana dan sarana persampahan di
masing-masing kotamadya, secara keseluruhan ditetapkan sebagai berikut.
Pengembangan penggunaan teknologi pengolahan sampah diantaranya penggunaan
incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di sisi bantaran sungai
yang belum sepenuhnya terlayani.
Pada kebijakan pengolahan sampah di DKI Jakarta, pemerintah DKI di masa yang
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, DKI Jakarta akan menggunakan berbagai
teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, yang dapat diterima oleh
masyarakat luas serta memerlukan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Pada
dasarnya DKI memiliki kemungkinan untuk mengolah sampahnya di dalam wilayahnya
sendiri dengan menggunakan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan, yaitu dengan
menggunakan integrasi teknologi pengolahan sampah.
Ada beberapa pilihan teknologi pengolahan sampah yang dapat diaplikasikan
dalam sistem pengolahan sampah perkotaan antara lain sanitary landfill, incinerator,
pyrolisis dan composting, yang masing-masing memiliki kelemahan (cost) dan
keunggulan (benefit). Pemakaian teknologi tersebut secara individual dapat lebih
menguntungkan bagi suatu kota tertentu, namun kurang menguntungkan bagi kota
lainnya. Hal ini bergantung pada kondisi sosio ekonomi, luas wilayah, ketersediaan
sumber daya, serta besaran dan karakteristik timbulan sampahnya. Dalam hal ini semakin
luas dan besar suatu kota, semangkin kompleks pula persoalan yang ditimbulkan dalam
pengelolaan sampah. Oleh karenanya diperlukan suatu kajian optimasi integrasi sistem
pengolahan sampah yang paling menguntungkan bagi suatu kota, baik dari aspek
lingkungan, aspek sosial maupun aspek ekonomi.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memformulasikan kebijakan pengolahan
sampah perkotaan berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi kebijakan makro dan mikro pengolahan sampah di DKI Jakarta
2. Menentukan tingkat efisiensi pengelolaan sampah baik secara teknis, ekonomi, dan
lingkungan.
3. Menentukan rekomendasi kebijakan yang tepat bagi pengelola sampah di DKI
Jakarta.
Guna mencapai tujuan penelitan tersebut di atas diperlukan kajian antara lain:
1. Analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk tempat pengolahan sampah.
2. Analisis optimasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan.
3. Pengembangan model kebijakan pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan
1.3. Kerangka Pemikiran
Pada akhir tahun 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai hampir 10 juta
jiwa, dan dengan laju pertumbuhan 0,17%, maka diperkirakan pada akhir tahun 2011
jumlah penduduknya akan mencapai 11 juta jiwa. Penduduk DKI Jakarta setiap tahunnya
menghasikan sampah yang semakin meningkat selaras dengan pertambahan dan aktifitas
penduduk. Sebagai contoh, pada tahun 1976 timbulan sampah DKI Jakarta sebesar
13.000 M3/hari, pada tahun 1986 meningkat menjadi 18.500 M3/hari dan tahun 1988
mencapai 26.320 M3/hari, dan pada tahun 2010 jumlah timbunan sampah DKI Jakarta
yang terdata mencapai 6.700 ton per hari. Sampah-sampah ini berasal dari perumahan,
pertokoan, restoran, hotel, taman dan saluran-saluran.
Timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 kurang lebih 6.000 ton/hari dengan
perincian seperti tercantum pada Gambar 1. Sedang pada tahun 2010 yang berdasarkan
estimasi jumlah penduduk tahun 2011 sebanyak 11.241.111 jiwa, timbulan sampah DKI
Jakarta mencapai 6.700 ton/hari, dan komposisinya bahan organik kurang lebih 55 persen,
jenis kertas 21 persen, plastik 13 persen, dan bahan lain 11 persen.
Gambar 1 Timbulan sampah DKI Jakarta
Pada saat ini pembuangan dan pengolahan sampah DKI Jakarta dilakukan secara
open dumping di TPA Bantar Gebang yang berada dalam wilayah kotamadya Bekasi,
Propinsi Jawa Barat. TPA ini terletak 13 Km di sebelah selatan Kota Bekasi, dan
kira-kira 2 Km dari Jalan Raya Bekasi Bogor, dan berjarak 40 Km dari pusat Kota Jakarta.
Timbulan Sampah di DKI Jakarta Tahun 2005 (Ton/Hari)
538 ton/hari 84 ton/hari
3.178 ton/hari
240 ton/hari 319 ton/hari
1.641 ton/hari
Pengolahan sampah yang dilakukan pada saat ini disamping menimbulkan
berbagai permasalahan lingkungan, yang merugikan bagi masyarakat di Kecamatan
Bantar Gebang, juga memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang cukup besar,
karena jarak angkut sampah dari pusat wilayah pelayanan di DKI Jakarta ke TPA Bantar
Gebang jauh. Tingginya biaya operasional mengakibatkan DKI tidak mampu
menyediakan biaya operasi yang diperlukan secara memadai untuk mengoperasikan TPA
Bantar Gebang secara sanitary landfill. Akibat pengoperasian TPA secara open dumping
ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan
kerugian pada masyarakat (social cost). Kerugian tersebut antara lain adalah terjadinya
gangguan kesehatan seperti terjadinya iritasi saluran pernafasan atas (ISPA), penyakit
diarhe serta hilangnya kenyamanan lingkungan akibat bau busuk yang menyengat di
sepanjang waktu, yang diterima oleh masyarakat yang bermukim di sekitar TPA hingga
radius 10 Km dari TPA Bantar Gebang.
Masalah tersebut seharusnya tidak perlu terjadi jika dilakukan pengelolaan dan
pengolahan sampah secara terintegrasi dan ramah lingkungan. Mengingat pengolahan
sampah dapat dilakukan dengan berbagai teknologi seperti sanitary landfill, composting,
incineration (pembakaran dengan temperatur tinggi) ataupun pyrolisis. Namun demikian
penggunaan dari masing-masing teknologi tersebut memiliki keuntungan dan kerugian,
baik ditinjau dari aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial.
Penggunaan satu teknologi yang dipilih mungkin saja menguntungkan bagi suatu
kota, namun dapat pula kombinasi dari penggunaan ketiga teknologi tersebut lebih
menguntungkan. Hal ini bergantung pada situasi dan kondisi dari masing-masing kota.
Namun yang menjadi permasalahan seberapa besar volume sampah yang harus diolah
oleh masing-masing teknologi tersebut secara berkelanjutan, masih harus dilakukan
penelitian dengan menggunakan model optimasi teknologi pengolahan sampah yang
dipergunakan. Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan pada diagram pola pikir
pada Gambar 2.
1.4. Perumusan Masalah
Pengelolaan sampah di DKI Jakarta yang dilakukan pada saat ini, kurang
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, dampak sosial dan masih menggunakan
paradigma “sampah adalah sampah” yang tidak memiliki nilai ekonomi. Sistem
pengolahan sampah di TPA dilakukan tanpa melalui pengolahan, atau dilakukan secara
Gambar 2 Bagan alir kerangka pemikiran
rendahnya (ekonomis), tanpa memperhatikan dampak lingkungan, sehingga menimbulkan
externalitas negatif (biaya sosial) yang sangat besar bagi masyarakat.
Saat ini biaya pengolahan sampah cukup besar, hal ini terjadi karena tidak
diberlakukannya pemilahan sampah, minimnya penerapan usaha-usaha 3R (reduce,
reuse, recycling), serta minimnya partisipasi masyarakat. Ada beberapa faktor penyebab
tingginya biaya operasi pengolahan sampah yang antara lain disebabkan oleh jumlah
sampah yang begitu besar, jauhnya jarak tempuh ke tempat pengolahan sampah dari pusat
kota, tipe teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan, volume dan jenis sampah
yang diolah.
PERTUMBUHAN PENDUDUK PRASARANA &
SARANA PERKOTAAN
AKTIVITAS PERKOTAAN
SAMPAH
DAMPAK
Pencemaran Lingkungan
LINGKUNGAN EKONOMI SOSIAL
KONFLIK ANTAR STAKEHOLDERS MENURUNNYA PRODUKTIFITAS PENGURASAN SUMBER DAYA ALAM PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP
Hilangnya Sumber Daya dan Menurunnya Produktivitas
Masyarakat
Menurunnya Kesehatan Masyarakat
TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH
SANITARY LANDFILL INCINERATION TEKNOLOGI LAINNYA
KEBIJAKAN PENGOLAHAN SAMPAH YG RAMAH LINGKUNGAN
COMPOSTING
2. Daur ulang sampah 1. Pengurangan
timbulan sampah Pembuangan Akhir Sampah3. Pengolahan dan
Partisipasi Masyarakat PERTUMBUHAN
EKONOMI
GAP
Menurut kajian Direktorat Jenderal Cipta Karya (1996), sistem sanitary landfill
sebagai single (tunggal) unit pengolahan dan pemusnahan sampah dapat lebih
menguntungkan jika dibandingkan intermediate treatment yang menggunakan sistem
incinerator. Untung tersebut akan dapat diperoleh apabila jarak tempuh pengangkutan
sampahnya kurang dari 20 km. Namun demikian jika jarak TPA dengan sanitary landfill
lebih dari 20 km, sistem ini menjadi tidak ekonomis, sehingga alternatif yang lebih baik
untuk mengatasinya adalah menggunakan incinerator sebagai intermediate treatment
yang dikombinasikan dengan sistem sanitary landfill. Penggunaan teknologi incinerator
memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan
sistem sanitary landfill atau composting, namun sistem ini memiliki keuntungan dari sisi
sosial, ekonomi dan lingkungan.
Sistem pengomposan sesungguhnya bisa lebih menguntungkan jika dibandingkan
dengan kedua teknologi tersebut, namun sistem ini memiliki kendala dalam prosesnya,
karena memerlukan waktu yang relatif lama (lebih kurang 41 hari). Selain itu masalah
lainnya adalah sulitnya pemasaran kompos, sebagai akibat rendahnya demand pasar
terhadap pupuk kompos. Hal tersebut akhirnya menurunkan minat dunia usaha untuk
melakukan investasi skala besar, mengingat produksi kompos dipandang kurang
menguntungkan dari skala ekonomi.
Pada dasarnya ketiga sistem pengolahan tersebut tidak ada yang unggul secara
mutlak, karena masing-masing memiliki keunggulan (benefit) dan kelemahan (cost).
Kondisi ini memaksa kita untuk mencari pengolahan sampah skala kota misalnya dengan
melakukan kombinasi (integrasi) dari berbagai teknologi. Dalam rangka menemukan
kombinasi yang optimal untuk diaplikasikan dan menguntungkan baik dari aspek
lingkungan, ekonomi maupun sosial, maka perlu melakukan penelitian model optimasi
teknologi pengolahan sampah ramah lingkungan yang berkelanjutan. Pada model
optimasi ini dilakukan integrasi pengolahan sampah melalui berbagai teknologi
pengolahan sampah, sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan kebijakan pengolahan
sampah di DKI. Ruang lingkup penelitian ini meliputi:
1. Identifikasi faktor-faktor utama yang menentukan dalam pengolahan sampah dengan
berbagai kombinasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan.
2. Merumuskan sistem pengolahan sampah, dengan berbagai variabel yang terkait dan
berbagai batasan yang harus dipenuhi, dalam konteks lingkungan, sosial dan ekonomi.
Penelitian ini diharapkan akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan :
1. Bagaimanakah pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang paling
menguntungkan untuk skala perkotaan?
2. Bagaimanakah sistem pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan?
3. Bagaimanakah kebijakan pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan?
Secara ringkas perumusan masalah ini dapat digambarkan dalam bagan alir pola
pikir penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 3.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian perumusan model optimasi pengolahan sampah perkotaan ini
diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka melakukan pengolahan sampah
perkotaan yang akan diterapkan untuk suatu kota, serta dapat memberikan sumbangan
pada:
1. Ilmu pengetahuan
Sebagai referensi dalam pengembangan manajemen pengelolaan sampah
perkotaan.
Sebagai referensi alternatif model pemanfaatan teknologi pengolahan sampah di
perkotaan.
2. Pemerintah
Sebagai acuan bagi pemerintah kota dan kabupaten dalam menentukan pilihan
teknologi pengolahan sampah yang paling tepat untuk dipergunakan di
wilayahnya.
Sebagai acuan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemilihan teknologi
dalam pengolahan sampah sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang.
3. Pemangku kepentingan (stakeholders)
Sebagai acuan yang dapat dipergunakan dalam menilai ketepatan kebijakan dalam
penentuan sistem teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan di wilayah
perkotaan.
Pemahaman permasalahan dalam pengolahan sampah perkotaan.
Membantu sektor swasta dalam memahami kelayakan investasi pengolahan
Gambar 3 Bagan alir pola pikir penelitian
1.6. Novelty (kebaruan)
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengintegrasikan berbagai
dimensi pengolahan sampah, dengan memandang sampah adalah sumber daya, dalam
satu sistem analisis yang komprehensif, yang dilakukan dalam satu wilayah kota secara
utuh, sehingga dapat menjadi landasan dalam memformulasikan kebijakan sistem
pengolahan sampah yang berkelanjutan (sustainable), melalui pemanfaatan berbagai
teknologi secara terintegrasi dengan memperhatikan aspek ekonomi, lingkungan dan
Pertumbuhan
penduduk Pertumbuhan Ekonomi
Demand terhadap Barang dan Jasa
Peningkatan Pemanfaatan Lahan Industri Perumahan Perkantoran Fasilitas
Peningkatan Timbulan Sampah (Waste)
Memerlukan Sistem Pengolahan Sampah yang Berkelanjutan
Opsi Pengolahan Sampah
Analisis OLS Pertumbuhan Ekonomi dan
Sampah
Sanitary
Landfill Composting Insinerator
Pengolahan Lainnya
Multy Criteria Evaluation
Analisis Kebijakan Pengolahan Sampah Berkelanjutan
Rekomendasi Kebijakan
Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan Analisis
Manfaat dan Biaya (CBA)
Analisis Sistem Dinamik
sosial. Penelitian ini menghasilkan formulasi kebijakan pengolahan sampah perkotaan
yang lebih ekonomis, ramah lingkungan, serta sistem yang dapat membantu pemerintah
untuk mengatasi kelangkaan energi dan lahan. Di samping itu dalam jangka panjang
relatif tidak akan menimbulkan masalah sosial, estetika dan gangguan kesehatan.
Formulasi kebijakan ini dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan pengelolaan sampah
yang berkelanjutan sekaligus untuk mengatasi krisis energi, khususnya untuk wilayah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Sampah Perkotaan
Sampah merupakan sisa dari aktivitas manusia ataupun binatang, yang biasanya
bersifat padat terdiri dari zat organik dan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan
harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi pembangunan
(Direktorat Jenderal Cipta Karya, 1995). Menurut American Public Works Association
(1975), sampah (solid waste) diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hal yang
tidak berguna, tidak diinginkan, atau barang-barang yang dibuang dari hasil kegiatan
yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Menurut Tchobanoglous et al. (1993) sampah
(solid waste) adalah semua limbah yang timbul dari aktifitas manusia dan binatang yang
biasanya berbentuk padat dan dibuang karena tidak berguna atau tidak diinginkan.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah pengertian sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam
yang berbentuk padat.
Kota-kota di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan pesat, rata-rata
pertumbuhan penduduk perkotaan berkisar antara 1,5 hingga 4% per tahun. Pertumbuhan
penduduk di perkotaan Indonesia dapat terjadi secara alami maupun akibat terjadinya
urbanisasi yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi di daerah perkotaan. Pertumbuhan
penduduk yang begitu cepat memberikan tekanan yang begitu berat bagi keberadaan
infrastruktur perkotaan. Pertumbuhan penduduk menghasilkan pertambahan timbulan
sampah, yang berasal dari perumahan, pertokoan, restoran, hotel, taman, dan
saluran-saluran. Pengelolaan sampah di daerah beriklim tropis yang mempunyai kelembaban
yang tinggi dan jumlah sampah organik yang begitu besar, seringkali menimbulkan
persoalan yang rumit, sehingga persoalan tersebut hanya dapat diselesaikan apabila
dilakukan dengan cara pengelolaan yang tepat dan benar.
Hampir semua kota di Indonesia mengalami kegagalan dalam pengelolaan
sampah. Adapun persoalan yang umum dihadapi adalah timbulan sampah yang
jumlahnya semakin hari semakin besar, sedangkan lahan yang layak untuk dipergunakan
sebagai tempat pembuangan dan pengolahan sampah, terutama untuk kota metropolitan
semakin terbatas. Kondisi tersebut mengakibatkan pengelolalan sampah di perkotaan
terjadinya penurunan kualitas lingkungan permukiman. Oleh karena itu maka pemerintah
kota dan kabupaten saat ini menghadapi kesulitan yang sangat serius, terutama dalam
menemukan cara pengolahan dan pembuangan sampah yang tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan.
Pada prinsipnya sistem pengelolaan sampah (solid waste management) terdiri dari
empat komponen, yaitu 1. penempatan dan pengumpulan sampah (waste collection), 2.
transportasi sampah (waste transportation); 3. pengolahan sampah (waste treatment) dan
4. pembuangan akhir (final disposal), sebagaimana bagan alir pada Gambar 4.
Gambar 4 Sistem pengelolaan sampah
Pengelolaan sampah perkotaan mulai dari sumber timbulan sampah hingga
pembuangan akhir (final disposal) dapat dibagi menjadi enam elemen fungsional antara
lain: timbulan sampah, pemindahan, pewadahan (waste collection) serta pengelolaan
sampah pada sumbernya (3R: reduce, reuse and recycling), pengumpulan, pemindahan
dan pengangkutan (waste transportation), dan pembuangan akhir (final disposal).
Elemen fungsional dan hubungan antar elemen dalam pengelolaan sampah secara terpadu
dapat dilihat pada Gambar 5.
Pengolahan sampah di TPA yang ada di kota-kota Indonesia terutama untuk kota
metropolitan, hampir seluruhnya menghadapi permasalahan. Adapun permasalahan
tersebut, yang paling utama terjadi pada aspek penyediaan dana yang memadai untuk
mengoperasikan TPA secara sanitary landfill. Selain itu masalah lain yang tidak kalah
pentingnya adalah tidak dilakukannya pemilahan sampah dari sumbernya, sehingga
menyulitkan dalam mel