• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada akhir tahun 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai hampir 10 juta jiwa, dan dengan laju pertumbuhan 0,17%, maka diperkirakan pada akhir tahun 2011 jumlah penduduknya akan mencapai 11 juta jiwa. Penduduk DKI Jakarta setiap tahunnya menghasikan sampah yang semakin meningkat selaras dengan pertambahan dan aktifitas penduduk. Sebagai contoh, pada tahun 1976 timbulan sampah DKI Jakarta sebesar

13.000 M3/hari, pada tahun 1986 meningkat menjadi 18.500 M3/hari dan tahun 1988

mencapai 26.320 M3/hari, dan pada tahun 2010 jumlah timbunan sampah DKI Jakarta

yang terdata mencapai 6.700 ton per hari. Sampah-sampah ini berasal dari perumahan, pertokoan, restoran, hotel, taman dan saluran-saluran.

Timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 kurang lebih 6.000 ton/hari dengan perincian seperti tercantum pada Gambar 1. Sedang pada tahun 2010 yang berdasarkan estimasi jumlah penduduk tahun 2011 sebanyak 11.241.111 jiwa, timbulan sampah DKI Jakarta mencapai 6.700 ton/hari, dan komposisinya bahan organik kurang lebih 55 persen, jenis kertas 21 persen, plastik 13 persen, dan bahan lain 11 persen.

Gambar 1 Timbulan sampah DKI Jakarta

Pada saat ini pembuangan dan pengolahan sampah DKI Jakarta dilakukan secara

open dumping di TPA Bantar Gebang yang berada dalam wilayah kotamadya Bekasi,

Propinsi Jawa Barat. TPA ini terletak 13 Km di sebelah selatan Kota Bekasi, dan kira-kira 2 Km dari Jalan Raya Bekasi Bogor, dan berjarak 40 Km dari pusat Kota Jakarta.

Timbulan Sampah di DKI Jakarta Tahun 2005 (Ton/Hari) 538 ton/hari 84 ton/hari 3.178 ton/hari 240 ton/hari 319 ton/hari 1.641 ton/hari

Pengolahan sampah yang dilakukan pada saat ini disamping menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, yang merugikan bagi masyarakat di Kecamatan Bantar Gebang, juga memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang cukup besar, karena jarak angkut sampah dari pusat wilayah pelayanan di DKI Jakarta ke TPA Bantar Gebang jauh. Tingginya biaya operasional mengakibatkan DKI tidak mampu menyediakan biaya operasi yang diperlukan secara memadai untuk mengoperasikan TPA

Bantar Gebang secara sanitary landfill. Akibat pengoperasian TPA secara open dumping

ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan

kerugian pada masyarakat (social cost). Kerugian tersebut antara lain adalah terjadinya

gangguan kesehatan seperti terjadinya iritasi saluran pernafasan atas (ISPA), penyakit diarhe serta hilangnya kenyamanan lingkungan akibat bau busuk yang menyengat di sepanjang waktu, yang diterima oleh masyarakat yang bermukim di sekitar TPA hingga radius 10 Km dari TPA Bantar Gebang.

Masalah tersebut seharusnya tidak perlu terjadi jika dilakukan pengelolaan dan pengolahan sampah secara terintegrasi dan ramah lingkungan. Mengingat pengolahan

sampah dapat dilakukan dengan berbagai teknologi seperti sanitary landfill, composting,

incineration (pembakaran dengan temperatur tinggi) ataupun pyrolisis. Namun demikian

penggunaan dari masing-masing teknologi tersebut memiliki keuntungan dan kerugian, baik ditinjau dari aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial.

Penggunaan satu teknologi yang dipilih mungkin saja menguntungkan bagi suatu kota, namun dapat pula kombinasi dari penggunaan ketiga teknologi tersebut lebih menguntungkan. Hal ini bergantung pada situasi dan kondisi dari masing-masing kota. Namun yang menjadi permasalahan seberapa besar volume sampah yang harus diolah oleh masing-masing teknologi tersebut secara berkelanjutan, masih harus dilakukan penelitian dengan menggunakan model optimasi teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan. Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan pada diagram pola pikir pada Gambar 2.

1.4. Perumusan Masalah

Pengelolaan sampah di DKI Jakarta yang dilakukan pada saat ini, kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, dampak sosial dan masih menggunakan

paradigma “sampah adalah sampah” yang tidak memiliki nilai ekonomi. Sistem

pengolahan sampah di TPA dilakukan tanpa melalui pengolahan, atau dilakukan secara

Gambar 2 Bagan alir kerangka pemikiran

rendahnya (ekonomis), tanpa memperhatikan dampak lingkungan, sehingga menimbulkan externalitas negatif (biaya sosial) yang sangat besar bagi masyarakat.

Saat ini biaya pengolahan sampah cukup besar, hal ini terjadi karena tidak

diberlakukannya pemilahan sampah, minimnya penerapan usaha-usaha 3R (reduce,

reuse, recycling), serta minimnya partisipasi masyarakat. Ada beberapa faktor penyebab

tingginya biaya operasi pengolahan sampah yang antara lain disebabkan oleh jumlah sampah yang begitu besar, jauhnya jarak tempuh ke tempat pengolahan sampah dari pusat kota, tipe teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan, volume dan jenis sampah yang diolah. PERTUMBUHAN PENDUDUK PRASARANA & SARANA PERKOTAAN AKTIVITAS PERKOTAAN SAMPAH DAMPAK Pencemaran Lingkungan

LINGKUNGAN EKONOMI SOSIAL

KONFLIK ANTAR STAKEHOLDERS MENURUNNYA PRODUKTIFITAS PENGURASAN SUMBER DAYA ALAM PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP

Hilangnya Sumber Daya dan Menurunnya Produktivitas

Masyarakat

Menurunnya Kesehatan Masyarakat

TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH

SANITARY LANDFILL INCINERATION TEKNOLOGI LAINNYA

KEBIJAKAN PENGOLAHAN SAMPAH YG RAMAH LINGKUNGAN

COMPOSTING

2. Daur ulang sampah 1. Pengurangan

timbulan sampah 3. Pengolahan dan

Pembuangan Akhir Sampah

Partisipasi Masyarakat PERTUMBUHAN

EKONOMI

GAP

Menurut kajian Direktorat Jenderal Cipta Karya (1996), sistem sanitary landfill

sebagai single (tunggal) unit pengolahan dan pemusnahan sampah dapat lebih

menguntungkan jika dibandingkan intermediate treatment yang menggunakan sistem

incinerator. Untung tersebut akan dapat diperoleh apabila jarak tempuh pengangkutan

sampahnya kurang dari 20 km. Namun demikian jika jarak TPA dengan sanitary landfill

lebih dari 20 km, sistem ini menjadi tidak ekonomis, sehingga alternatif yang lebih baik

untuk mengatasinya adalah menggunakan incinerator sebagai intermediate treatment

yang dikombinasikan dengan sistem sanitary landfill. Penggunaan teknologi incinerator

memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan

sistem sanitary landfill atau composting, namun sistem ini memiliki keuntungan dari sisi

sosial, ekonomi dan lingkungan.

Sistem pengomposan sesungguhnya bisa lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan kedua teknologi tersebut, namun sistem ini memiliki kendala dalam prosesnya, karena memerlukan waktu yang relatif lama (lebih kurang 41 hari). Selain itu masalah

lainnya adalah sulitnya pemasaran kompos, sebagai akibat rendahnya demand pasar

terhadap pupuk kompos. Hal tersebut akhirnya menurunkan minat dunia usaha untuk melakukan investasi skala besar, mengingat produksi kompos dipandang kurang menguntungkan dari skala ekonomi.

Pada dasarnya ketiga sistem pengolahan tersebut tidak ada yang unggul secara

mutlak, karena masing-masing memiliki keunggulan (benefit) dan kelemahan (cost).

Kondisi ini memaksa kita untuk mencari pengolahan sampah skala kota misalnya dengan melakukan kombinasi (integrasi) dari berbagai teknologi. Dalam rangka menemukan kombinasi yang optimal untuk diaplikasikan dan menguntungkan baik dari aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial, maka perlu melakukan penelitian model optimasi teknologi pengolahan sampah ramah lingkungan yang berkelanjutan. Pada model optimasi ini dilakukan integrasi pengolahan sampah melalui berbagai teknologi pengolahan sampah, sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan kebijakan pengolahan sampah di DKI. Ruang lingkup penelitian ini meliputi:

1. Identifikasi faktor-faktor utama yang menentukan dalam pengolahan sampah dengan

berbagai kombinasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan.

2. Merumuskan sistem pengolahan sampah, dengan berbagai variabel yang terkait dan

berbagai batasan yang harus dipenuhi, dalam konteks lingkungan, sosial dan ekonomi.

Penelitian ini diharapkan akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan :

1. Bagaimanakah pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang paling

menguntungkan untuk skala perkotaan?

2. Bagaimanakah sistem pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan?

3. Bagaimanakah kebijakan pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan?

Secara ringkas perumusan masalah ini dapat digambarkan dalam bagan alir pola pikir penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 3.