• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Aktif Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Pengolahan Sampah

ANALISIS KEBIJAKAN

5.2. Formulasi Kebijakan Pengolahan Sampah 1. Aplikasi Teknologi Pengolahan Sampah 1.Aplikasi Teknologi Pengolahan Sampah

5.2.2. Partisipasi Aktif Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Pengolahan Sampah

UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan bahwa Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara berwawasan lingkungan, dan tata cara pelaksanaannya diatur lebih lanjut melalui peraturan daerah. Keberhasilan pengolahan sampah sangat ditentukan oleh adanya partisipasi aktif dari masyarakat dan dunia usaha. Implementasi teknologi pengolahan sampah akan lebih berhasilguna dan lebih tepatguna jika masyarakat melakukan pemilahan sampah, serta melaksanakan

program pengurangan (reduce), reuse (penggunaan kembali), dan recycling (pemanfaatan

kembali) sedekat mungkin dari sumber timbulan sampah. Pemilahan sampah pada sumbernya akan memberikan dampak positif terutama dalam pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi HRC dan insinerator WTE. Sampah organik yang terpilah dari sampah anorganik akan memberikan kualitas yang baik pada produksi kompos yang terbebaskan dari kandungan logam berat dan bahan berbahaya lainnya. Selain itu pemilahan sampah anorganik akan memberikan kemudahan proses penggunaan kembali ataupun pemanfaatan kembali sampah anorganik. Pemerintah DKI harus mendorong

keterlibatan masyarakat dan dunia usaha untuk melakukan pengurangan (reduce),

pemanfaatan kembali (reuse) dan pengolahan kembali (recycling), sedekat mungkin

dengan sumber timbulan sampah.

Pada dasarnya Pemerintah DKI Jakarta telah lama mencanangkan kebijakan pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik, yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No : 1281 tahun 1988 tentang Pola Penanggulangan Kebersihan Lingkungan di DKI Jakarta. Dalam lampiran keputusan tersebut ditekankan bahwa pada pengumpulan sampah di lokasi sumber sampah dilakukan pemisahan menurut jenisnya yaitu yang dapat didaur ulang (sampah anorganik) dan yang tidak dapat didaur ulang ( sampah organik). Selain itu juga dinyatakan bahwa petugas pengumpul sampah mengambil sampah sesuai dengan jenis dan jadwal yang telah ditentukan. Namun demikian kebijakan ini pada kenyataanya tidak dapat direalisasikan, mengingat

tidak adanya mekanisme insentif (reward) dan disinsentif ( punishment), sebagaimana

diamanatkan dalam pasal 21 UU No 18 tahun 2008, sehingga tidak memberikan perbedaan perlakuan antara masyarakat/ kelompok masyarakat yang melakukan pemilahan sampah sesuai dengan kebijakan tersebut dengan masyarakat/kelompok masyarakat yang tidak mematuhi kebijakan tersebut. Selain hal tersebut, keberhasilan

pengelolaan sampah juga sangat bergantung pada ketersediaan sarana dan prasarana persampahan, baik dalam skala kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya, yang berdasarkan UU No.18 tahun 2008 pasal 13 wajib disediakan oleh pengelola. Peran pemangku kepentingan dalam sistem pengolahan sampah tersebut ditunjukkan pada bagan Gambar 43.

Gambar 43 Peran pemangku kepentingan dalam pengolahan sampah

Implementasi integrasi pemanfaatan teknologi HRC, WTE, dan SLF dalam sistem

pengolahan sampah memerlukan keterlibatan sektor swasta. Dalam hal ini privatesector

didorong untuk melakukan investasi maupun pengoperasian unit pengolahan sampah dengan teknologi tinggi, sehingga memerlukan perawatan dan pengoperasian dengan sumber daya manusia yang handal. Selain itu juga dituntut untuk dapat meningkatkan effisiensi dalam pembiayaan serta pemenuhan kinerja secara effektif. Keterlibatan sektor

swasta dapat dilakukan melalui pola kerjasama antar pemerintah dengan swasta (public

private partnership- PPP), dalam bentuk build operate and transfer (BOT), concession

(konsesi) ataupun dalam bentuk business to bussiness ( B to B). Kerjasama antara

pemerintah dengan swasta mendorong terjadinya keterbukan, effisiensi, effektifitas dan keberlanjutan sistem pengolahan sampah.

Kajian studi kelayakan yang lebih mendalam diperlukan guna menentukan pola kerjasama yang tepat antara pemerintah dengan swasta (KPS), untuk mengetahui resiko

Pemilihan Sampah Pengumpulan Transportasi Pengolahan Pengolahan

Skala Lingkungan Pengolahan Skala Kota Akhir (SLF)

Skala Kawasan Skala Regional

Peran serta masyarakat Peran Dunia Usaha

Peran Pemerintah sebagai regulator

sampah 6000 ton/hari Organik 3.000 ton/hari Anorganik 3.000 ton/hari HRC 3.000 ton/hari Kompos 900 ton/hari 3R : 900 ton/hari Reject 300 ton/hari Input WTE 2400 ton/hari (3.044 kkal/kg) Reject 2.100 tonn/hari Listrik 55 Mw WTE 2.400 ton/hari Abu 8,44% ton/hari SLF 202,56 ton/hari

(risk analysis) yang kemungkinan terjadi selama kerjasama berlangsung. Selain itu juga untuk menentukan seberapa besar dukungan dan jaminan pemerintah yang diperlukan guna menciptakan kondisi yang menarik bagi keterlibatan sektor swasta. Indikasi keuntungan dan kerugian bentuk KPS dalam pengolahan sampah di DKI Jakarta ini, dari sisi pemerintah dapat dilihat pada Tabel 55.

Tabel 55 Keuntungan dan kerugian dalam pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta

No Bentuk Kerjasama Keuntungan Kerugian

1 Build Operate and

Transfer (BOT)

pada Unit Pengolahan Sampah

Pemerintah melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau Badan layanan Umum (BLU) masih memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan dibagian yg tidak masuk dalam kerjasama dg swasta, umumnya dibagian yang berhubungan langsung dengan masyarakat.

Model ini lebih menarik bagi swasta.

Pemerintah harus

menyediakan pembiayaan dibagian yang menjadi tanggung jawabnya

2 BOT Konsesi Pemerintah tidak

mengeluarkan biaya dalam pembangunan sarana dan prasarana persampahan, seluruh biaya dibebankan pada swasta

Pemerintah tidak memiliki kewenangan di Seluruh bagian wilayah yang dikonsesikan .

Model ini kurang diminati oleh swasta

Investasi swasta lebih besar membuat kurang layaknya proyek KPS

3 B to B Kerjasama dapat dilakukan

dengan waktu yang lebih cepat jika dibandingkan dengan BOT atau Konsesi.

Model ini lebih disukai oleh swasta, terutama swasta yang memiliki insiatif untuk melakukan kerjasama di bagian tertentu dari sistem pengelolaan sampah.

Cenderung kurangnya

competitiveness dalam

memilih badan usaha kerjasama

Sumber : Analisis penulis

Kerjasama antara pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur telah diatur di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 13 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah

dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Di dalam pasal 4 ayat (1) butir e. dijelaskan bahwa jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha mencakup : infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolahan air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkutan dan tempat pembuangan.