• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIK

C. K AJIAN P RAKTIK P ENYELENGGARAAN , K ONDISI YANG A DA DAN P ERMASALAHAN

9. Isu Strategis berkaitan dengan Pola Ruang

Isu strategis yang berkaitan dengan pola ruang yaitu semakin lebarnya kesenjangan antara ketersediaan sumber daya alam dan kebutuhan akibat tingkat urbanisasi yang tinggi dan tidak terkendali, pesatnya perkembangan sektor pariwisata dan pendidikan mengakibatkan semakin cepatnya konversi lahan pertanian, dan

cepatnya pergeseran tata nilai tradisional ke tata nilai modern terhadap sumber daya lahan.

a. Semakin Lebarnya Kesenjangan Antara Ketersediaan Sumber Daya Alam dan Kebutuhan Akibat Tingkat Urbanisasi yang Tinggi dan Tidak Terkendali

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki berbagai sumber daya alam, yaitu sumber daya hutan, sumber daya air, dan sumber daya mineral.

Ketersediaan sumber daya alam ini semakin hari semakin menurun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan seperti kebutuhan makanan, air, hingga tempat tinggal sehingga sumber daya alam yang tersedia saat ini diproyeksikan akan habis untuk memenuhi kebutuhan tersebut di masa yang akan datang.

Adanya gap yang besar antara supply dan demand sumber daya alam ini juga disebabkan karena kurangnya upaya menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Sebaliknya, pemanfaatan lahan untuk kegiatan komersial semakin masif dilakukan, terutama di Kawasan Perkotaan Yogyakarta, sehingga sumber daya alam yang ada berkurang dengan cepat.

Luas hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mengalami perubahan, akan tetapi lahan pertanian banyak yang telah beralih fungsi. Maraknya konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun juga mengancam ketahanan pangan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Konversi lahan pertanian, khususnya sawah yang banyak terjadi di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul tersebut menyebabkan produksi beras terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Menurut Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 2009 Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas sawah 56.712 ha dan telah berkurang menjadi 56.364 ha di tahun 2012 (berkurang 0,2% per tahun). Selain itu ketersediaan air tanah juga semakin berkurang akibat konversi kawasan resapan air di Kabupaten Sleman menjadi lahan terbangun. Di sisi lain pengambilan air tanah di Kawasan Perkotaan

Yogyakarta semakin meningkat akibat marak bermunculan hotel-hotel baru. Di Kota Yogyakarta tercatat sebanyak 70 hotel baru telah mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada tahun 2013.

Selanjutnya sumber daya mineral yang saat ini terus ditambang tentu akan berkurang dengan sangat cepat. Apalagi sumber daya mineral merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana untuk kesejahteraan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Penambangan karst di Kabupaten Gunungkidul dan penambangan pasir di Kabupaten Sleman yang banyak dilakukan perlu dikendalikan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya mineral yang dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dilihat berdasarkan daya dukung berdasarkan produksi beras (Sajogyo, 1973), maka saat ini jumlah penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta telah melampaui daya dukungnya. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 3.457.491 jiwa, sementara itu daya dukungnya pada tahun 2012 adalah 3.227.169 jiwa.

Jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta diproyeksikan akan terus mengalami peningkatan sehingga daya dukungnya akan semakin terlampaui. Sementara itu, urbanisasi semakin tinggi di Kawasan Perkotaan Yogyakarta sehingga jumlah penduduk di wilayah perkotaan telah sangat jauh melampaui daya dukungnya. Bila hal tersebut tidak dikendalikan maka akan menimbulkan berbagai masalah lain seperti krisis air bersih, banjir, hingga polusi udara.

b. Pesatnya Perkembangan Sektor Pariwisata dan Pendidikan Mengakibatkan Semakin Cepatnya Konversi Lahan Pertanian Perekonomian di Daerah Istimewa Yogyakarta bertumpu pada sektor pariwisata dan pendidikan. Kedua sektor tersebut telah menggerakkan berbagai kegiatan seperti kegiatan perdagangan, jasa, transportasi, hingga industri. Akan tetapi sektor pariwisata dan perdagangan telah mengancam keberlanjutan lahan pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta. Perkembangan sektor pariwisata dan pendidikan

yang sangat pesat menyebabkan degradasi, konversi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan. Hal tersebut akan mempengaruhi tingkat kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan daerah.

Lahan pertanian pangan di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaian besar terdapat di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 2012 luas lahan pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 240.242 ha, terdiri dari 56.364 ha sawah dan 183.878 ha bukan sawah.

Luas lahan sawah telah berkurang sebesar 348 ha atau 0,61% dalam kurun waktu 3 tahun. Hal ini disebabkan maraknya pembangunan di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul sehingga sawah beralih fungsi menjadi fungsi lainnya seperti permukiman, perdagangan, dan jasa.

Fasilitas perdagangan dan jasa berkembang dengan sangat pesat akibat peluang usaha untuk pelayanan kegiatan pariwisata dan pendidikan.

Meningkatnya jumlah wisatawan Daerah Istimewa Yogyakarta memicu pembangunan hotel dan penginapan, khususnya di Kawasan Perkotaan Yogyakarta. Penarik investasi di bidang pendidikan berasal dari keberadaan perguruan tinggi ternama di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta seperti UGM, UNY dan UII menjadikan perkembangan perumahan dan usaha kos-kosan semakin pesat, khususnya di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Tingginya tingkat konversi lahan pertanian untuk kegiatan pembangunan tersebut akan menimbulkan permasalahan lain yaitu degradasi lingkungan. Pada akhirnya tingginya tingkat tutupan lahan akan menyebabkan penurunan kualitas hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sisi lain, peningkatan jumlah penduduk serta kebutuhan tempat tinggal turut memicu konversi lahan pertanian. Dengan demikian diperlukan upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas dan ketat untuk mempertahankan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) serta upaya pengendalian jumlah penduduk.

c. Cepatnya Pergeseran Tata Nilai Tradisional ke Tata Nilai Modern terhadap Sumber Daya Lahan

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki penduduk dari berbagai wilayah dengan budaya yang berbeda-beda. Di sisi lain globalisasi turut memperngaruhi pola pikir masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kondisi multikultural dan pengaruh globalisasi telah menyebabkan adanya pergeseran budaya tradisional masyarakat ke arah tata nilai modern terhadap sumber daya lahan. Hal telah mempengaruhi pemanfaatan lahan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga berimbas pada tata ruang wilayah secara keseluruhan.

Pada masa lampau tanah dianggap sebagai pusaka turun temurun yang harus dijaga untuk kelangsungan hidup dari generasi ke generasi.

Saat ini tanah dipandang sebagai suatu aset ekonomi sehingga banyak diperjualbelikan sebagai suatu bisnis yang sangat menguntungkan.

Lahan sebagai salah satu input pembangunan menjadi aset bernilai ekonomi tinggi terkait lokasinya terhadap pusat kota dan ketahanannya dari bencana alam. Peningkatan jumlah penduduk serta kebutuhan tempat tinggal menyebabkan peningkatan permintaan pasar (demand) atas tanah sehingga membuat harga tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta semakin di luar kendali pemerintah. Bahkan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta harga tanah telah mencapai 4 juta hingga 8 juta rupiah per meter persegi. Harga tanah di pusat kegiatan bisnis dan komersial seperti Kawasan Malioboro mencapai 25 juta rupiah per meter persegi. Harga tanah pada wilayah investasi juga ikut melonjak seperti di Kecamatan Temon, Kulon Progo sebagai lokasi pembangunan bandara baru yang tadinya hanya 30 ribu rupiah per meter persegi menjadi 160 ribu rupiah per meter persegi. Selain tanah, sawah pun telah menjadi aset ekonomi sehingga masyarakat lebih memilih menjual sawahnya daripada menanaminya. Hal inilah yang memicu maraknya konversi lahan sawah menjadi lahan terbangun. Saat ini bahkan tanah kas desa dijadikan aset ekonomi dengan cara dikontrakkan. Pandangan tanah sebagai aset ekonomi telah membuat para pendatang dari luar wilayah membeli tanah dan properti di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai investasi. Dengan demikian saat ini lahan dan properti pada

kantong-kantong permukiman di Kawasan Perkotaan Yogyakarta 50% menjadi milik masyarakat luar, seperti di Condongcatur dan Minomartani.

Perkembangan pemanfaatan lahan yang berorientasi ekonomi mengakibatkan ketimpangan perkembangan ruang, yaitu menuju arah utara (Kabupaten Sleman), sementara wilayah selatan menjadi kurang berkembang.

10. Penyelenggaraan Penataan Ruang di Wilayah Daerah Istimewa