• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

B. Jenis dan Fungsi Novel

Apabila melihat fenomena yang berkembang dalam masyarakat penikmat sastra, secara umum, novel dibedakan menjadi dua jenis, yaitu novel serius dan novel populer. Burhan Nurgiyantoro (2005: 20-22) menyatakan, novel serius berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pcngucapan yang baru pula. Novel jenis ini menuntut pembaca untuk lebih mengoperasikan daya intelektualnya. Novel ini juga mengambil realitas kehidupan sebagai model, kemudian menciptakan dunia baru. Novel serius tidak mengabdi kepada selera pembaca sehingga pembaca jenis novel ini juga tidak terlalu banyak.

Sementara itu, Cecep Syamsul Hari (dalam Kompas, 31 Juli 2005: 27) mengemukakan bahwa dalam perkembangan sastra barat (Eropa dan Amerika), novel telah menjadi genre karya sastra yang tersendiri. Novel berkembang ke dalam berbagai jenis dalam kerangka kerjanya yang luas, seperti: novel gotik, novel fiksi ilmiah, novel otobiografi, novel sejarah, novel remaja, novel spiritual, dan novel epistolari. Jenis novel juga dirujuk melalui penandaan sejarah perkembangan kesusastraan yang ditandai dengan pandangan dunia yang dominan pada masa itu. Artinya, suatu novel dapat menjadi wakil dari pandangan dunia yang dominan pula pada masa tertentu, contohnya novel-novel romantik (masa ketika kaum romantik dan pandangan-pandangannya dominan dalam dunia sastra) dan novel realis (masa ketika kaum realis dan pandangan-pandangannya dominan dalam dunia sastra).

commit to user

xxvii

Lebih lanjut, novel memunyai fungsi yang menyenangkan dan bermanfaat bagi pembaca. Dendy Sugono (2003: 161) menyatakan hal senada dengan mengutip pendapat Horatius, penyair Romawi kuna, `dulce et utile', menyenangkan dan bermanfaat. Menyenangkan dapat dikaitkan dengan hiburan yang ditawarkan novel, sedangkan bermanfaat dapat dihubungkan dengan pengalaman hidup yang ditawarkan, pengajaran sesuatu kepada pembaca, pemberian pengetahuan, pendidikan pengalaman batin pembaca, dan kemampuannya untuk memperkaya pandangan pembaca tentang kehidupan. Di samping itu, novel juga memunyai fungsi katarsis. Katarsis yang dimaksud adalah pemurnian jiwa seseorang setelah mengalami ketegangan pada suatu klimaks. Pemurnian jiwa itu dapat dialami oleh setiap orang seusai menyaksikan dan menikmati suatu karya sastra.

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa novel ternyata telah menjadi genre sastra tersendiri yang berkembang ke dalam berbagai jenis yang secara umum terbagi atas novel populer dan novel serius. Berkenaan dengan fungsi, novel dapat pula dijadikan sarana pendidikan batin, hiburan, mampu membersihkan jiwa, dan membebaskan pembaca dari tekanan emosi. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut mengenai novel populer dan novel serius.

a. Novel Populer

Pada zaman penjajahan Belanda, semua terbitan kesastraan sedapat mungkin mendapat kontrol dari pemerintah dengan Nota Rinkes-nya melalui manajemen Balai Pustaka (sebelumnya disebut Komisi Bacaan Rakyat). Nota Rinkes berisi tentang aturan penerbitan buku yang netral terhadap agama, berbudi pekerti, tidak berpolitik (tidak melawan pemerintah atau tidak merusak kewibawaan pemerintah), dan menjaga ketertiban (Teeuw dalam Aprinus Salman, 2008). Hal itu merupakan satu kriteria yang dapat menentukan karya yang “serius” dan yang “liar atau populer”. Karya yang lolos melalui Balai Pustaka kemudian merupakan karya yang dapat menjadi acuan. Karya yang tidak lolos seleksi Balai Pustaka tidak layak dianggap sebagai acuan dan dianggap bacaan liar, seperti karya Marco Kartodikromo berjudul Student Hijo ataupun karya Semaun berjudul Hikayat Kadirun. Bahkan, Salah

commit to user

xxviii

Asuhan karya Abdoel Moeis hampir tidak jadi diterbitkan jika tidak diubah sesuai dengan aturan main Nota Rinkes.

Heryanto dalam Aprinus Salman mengungkapkan empat ragam kesusastraan Indonesia, meliputi: (1) kesusastraan yang diresmikan, diabsahkan, (2) kesusastraan yang dilarang, (3) kesusastraan yang diremehkan, dan (4) kesusastraan yang dipisahkan. Kesusastraan yang diresmikan (kanon) adalah kesusatraan yang sejauh ini banyak dipelajari di pendidikan (tinggi). Kesusastraan yang dilarang adalah karya-karya yang dianggap menganggu status quo (kekuasaan) seperti yang pernah terjadi pada zaman Balai Pustaka yaitu karya Marco Kartodikromo. Pada zaman Orde Baru, karya-karya Pramudya Ananta Toer atau kasus cerpen karya Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, menjadi contoh yang terlarang pula. Sementara itu, karya sastra yang dipisahkan adalah karya sastra daerah yang ditulis dalam bahasa daerah. Dalam posisi itu, karya sastra yang diremehkan adalah karya sastra yang dianggap populer; sastra hiburan.

Berbeda dengan Heryanto, Aprinus Salman mengungkapkan pembagian karya sastra sebagai berikut. (1) Fiksi yang tidak mengakomodasi intensi populer atau yang diresmikan oleh segelintir elite terdidik; (2) Fiksi populer (termasuk sinetron), yakni fiksi yang mengakomodasi intensi penulis dan pembaca, meskipun dalam studi di perguruan tinggi; dan (3) Fiksi yang dipisahkan, yakni karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah karena secara kebahasaan tidak komunikatif untuk bangsa Indonesia.

Berbicara tentang sastra populer, Umar Kayam dalam Burhan Nurgiyantoro (2005: 18) menyebutkan

Sastra populer adalah perekam kehidupan dan tak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya. Hal seperti itu dapat dilihat dari fenomena yang terjadi pada novel Cintapucino karya Icha Rahmanti yang tahun lalu sempat dirilis dalam bentuk

commit to user

xxix

film oleh sutradara ternama Rudy Soejarwo. Banyak remaja khususnya remaja putri yang mengungkapkan kesamaaan kejadian di masa SMA yang mirip dengan yang digambarkan oleh Icha Rahmanti dalam novelnya.

Sementara itu, Cawelty dalam Djuhertati Imam Moehi (2008) menyebutkan sastra populer sebagai formula literature karena sastra populer sangat tergantung pada formula, yaitu struktur narasi suatu karya sastra. Istilah formula dapat dipahami dari dua sisi. Pertama, menunjuk pada suatu cara tertentu dalam menangani suatu fenomena masyarakat ataupun konflik pribadi. Kedua, formula dapat menunjuk pada alur cerita.

Adapun pengkategorian novel sebagai novel serius atau novel populer bukanlah menjadi hal baru dalam dunia sastra. Usaha ini tidak mudah dilakukan karena bersifat riskan. Selain dipengaruhi oleh hal subjektif yang muncul dari pengamat, juga banyak faktor dari luar yang menentukan. Misalnya, sebuah novel yang diterbitkan oleh penerbit yang biasa menerbitkan karya sastra yang telah mapan, karya tersebut akan dikategorikan sebagai karya yang serius-karya sastra yang bernilai tinggi. Padahal pengamat belum membaca isi novel.

Sebutan novel populer atau novel pop ini mulai merebak setelah novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru sukses di pasaran pada tahun 1970-an. Setelah munculnya fenomena itu, setiap novel hiburan yang muncul akan dicap sebagai novel pop tanpa memedulikan tinggi rendahnya mutu novel tersebut.

Burhan Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Novel jenis ini menampilkan masalah yang aktual pada saat novel itu muncul. Pada umumnya, novel populer bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi seiring dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya (2005:18). Di sisi lain, novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena semata-mata menyampaikan cerita (Stanton dalam Burhan Nurgiyantoro 2005: 19). Novel populer tidak mengejar efek estetis seperti yang terdapat dalam novel serius.

commit to user

xxx

Sebagai salah satu genre tulisan, cerita dalam novel populer mungkin bisa dibilang tidak terlalu rumit. Alur cerita yang mudah ditelusuri, gaya bahasa yang sangat mengena, fenomena yang diangkat terkesan sangat dekat. Semua itu memungkinkan penerimaan bagi genre yang boleh disebut relatif baru dalam khazanah sastra Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi kalangan remaja sebagai kalangan yang paling menggemari novel populer.

b. Novel Serius

Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar, novel sastra tidak bersifat mengabdi pada pembaca. Novel sastra cenderung menampilkan tema-tema yang lebih serius dibandingkan novel populer. Novel sastra menuntut aktivitas pembaca secara lebih serius. Teks sastra sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga hal ini bisa dianggap menyibukkan pembaca. Burhan Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa dalam membaca novel serius, jika ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertai dengan kemauan untuk itu (2005:18). Novel jenis ini, di samping memberikan hiburan juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau paling tidak mengajak pembaca untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.

Kecenderungan yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak menyebabkan “popularitas” novel serius menurun. Justru novel ini mampu bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang timbul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman (Burhan Nugiyantoro,2005:21). Adapula novel serius yang laris di pasaran seperti Pengakuan Pariyem,dan Pada Sebuah Kapal.

Herman J.Waluyo (2002:39) menyebutkan ciri-ciri novel serius dalam sastra Indonesia mutakhir adalah tidak menggarap realitas kehidupan (realisme).

commit to user

xxxi

Hal yang ditampilkan adalah tokoh dan cerita di luar realitas kehidupan. Hal ini menyebabkan munculnya tokoh-tokoh eksistensialistis (absurd) seperti karya-karya Iwan Simatupang, tokoh sufi seperti dalam karya-karya Danarto, tokoh-tokoh aneh dalam karya Budi Darma.

3. Tinjauan tentang Feminisme A. Pengertian Feminisme

Definisi feminisme sebenarnya bermacam-macam. Kebermacamannya itu tergantung pada ideologi politik, agama, ras, dan budaya tiap-tiap perempuan. Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan (1999: 4) menjelaskan bahwa feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan teoretisnya dari suatu rumusan teori yang tunggal. Tidak ada definisi abstrak yang khusus tentang feminisme yang dapat diterapkan bagi semua perempuan pada segenap waktu. Dengan demikian, definisinya dapat berubah-ubah karena feminisme berdasarkan atas realitas kultural dan kenyataan sejarah yang konkret maupun atas tingkatan-tingkatan persepsi, kesadaran, dan tindakan.

Para ahli secara konsisten mencoba mendefinisikan feminisme. Feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan. Hal itu diyakini karena dalam semua pendekatannya perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya (Humm dalam Retty Isnendes dan Rachmat Djoko Pradopo, 2005: 502). Caren J. Deming (dalam Mary Elen Brown, 1990 : 40) mengatakan hal senada: "feminism refers to analysis of woman's subordination for the purpose of figuring out how to change it" (feminisme mengacu pada analisis tentang subordinasi perempuan dalam usaha dan perjuangan untuk mengubahnya). Samhuri (dalam Rasiah dan Siti Chamamah Soeratno, 2006: 127) menyatakan bahwa feminisme merupakan basis dari teori dari gerakan pembebasan perempuan dan ide feminis memandang perempuan sampai detik ini selalu dalam posisi ditindas, subordinat secara tersistem, dan terpenjara oleh ideologi.

Samhuri (dalam Rasiah dan Siti Chamamah Soeratno, 2006: 127) menyatakan bahwa feminisme dikatakan sebagai sebuah ide yang di antaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama

commit to user

xxxii

gender dan pencarian akar ketertindasan perempuan dalam upaya penciptaan pembebasan perempuan sejati. Mansour Fakih (dalam Rasiah dan Siti Chamamah Soeratno, 2006: 127) menengarai bahwa feminisme adalah gerakan yang berangkat dari kesadaran asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya tertindas, tereksploitasi, dan mengalami diskriminasi sehingga harus ada usaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut.

Feminisme menentang keras sistem kelas yang ada dalam masyarakat dengan menuntut tempat atau kedudukan yang sama bagi ide-ide atau pemikiran-pemikiran perempuan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Louise Morley dan Val Walsh (1995: 118): “feminisms have challenged the class system of the intellect by exposing the gendered basis of knowledge and by providing intellectual space for women's ideas” (feminisme menentang sistem kelas intelek dengan mengekspos basis gender dan dengan menyediakan ruang bagi ide-ide maupun pemikiran kaum perempuan). Kaum feminis menentang perbedaan kedudukan yang mendasarkan pada gender dan anggapan bahwa perempuan memunyai tingkat intelektualitas yang rendah daripada laki-laki. Pandangan tersebut dilatarbelakangi pemikiran bahwa sebenarnya meraka juga memunyai sumbangan pemikiran yang positif bagi pembangunan. Oleh karena itu, penampungan ide-ide perempuan sangat diperlukan agar akses mereka terhadap pembangunan semakin terbuka.

Hal yang menarik dari feminisme adalah bahwa ia ternyata dapat membebaskan kaum laki-laki dari keterbatasan peran publik yang dijalaninya selama ini. Setidaknya hal itulah yang dinyatakan oleh Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan (1999: 58) bahwa feminisme akan membebaskan kaum laki-laki dari keterbatasan peran di sektor publik. Dalam arti dengan hadirnya feminisme, laki-laki pun akan dapat berperan di sektor domestik.

Di sisi lain, meskipun banyak pihak yang belum bisa menerima kehadiran ideologi ini, sebenarnya itu bukanlah kemutlakan yang harus diterima sebagai satu-satunya kebenaran. Feminisme justru akan memperkaya ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu humaniora. Louise Morley (1995: 120) membenarkan hal itu: "political movement such as feminism could contribute to growth of scientific

commit to user

xxxiii

knowledge" (pergerakan politik seperti feminisme dapat berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan).

Lebih lanjut dikatakan Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan (1999: 42) bahwa feminisme tidak menentang perempuan memunyai anak dan berkeluarga. Feminisme tidak menganggap keibuan sebagai satu-satunya kodrat setiap perempuan. Feminisme juga tidak menyamaratakan definisi keperempuanan identik dengan ibu rumah tangga. Intinya adalah bahwa setiap perempuan harus dapat memilih hal yang diinginkannya. Perempuan bebas memilih sebagaimana halnya dengan laki-laki.

Dari uraian di atas dapat peneliti simpulkan, feminisme merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang berangkat dari kesadaran perempuan untuk memperjuangkan kaumnya dari belenggu gender yang bersumber dari budaya patriarkhi untuk mendapatkan persamaan hak dalam segala bidang. Dalam hal ini peneliti menyetujui bahwa feminisme lebih cenderung kepada gerakan pembebasan kaum perempuan. Bebas secara pemikiran, kreativitas, dan peran dalam pembangunan masyarakat. Feminisme tidak menuntut perlakuan yang istimewa terhadap perempuan. Dia hanya menuntut kcsetaraan maupun kesempatan yang sama laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang demi kemajuan bersama.