• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN DAN KEDUDUKAN TOKOH PEREMPUAN DALAM NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN DAN KEDUDUKAN TOKOH PEREMPUAN DALAM NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

PERAN DAN KEDUDUKAN TOKOH PEREMPUAN

DALAM NOVEL

NAYLA

KARYA DJENAR MAESA AYU

Skripsi

oleh :

AILEEN YESSICA PUTISARI

X1206021

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

ii

PERAN DAN KEDUDUKAN TOKOH PEREMPUAN

DALAM NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU

oleh :

AILEEN YESSICA PUTISARI

NIM X 1206021

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan

Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Surakarta, Agustus 2010

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

(4)

commit to user

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Jumat

Tanggal : 5 Nopember 2010

Tim penguji skripsi:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dra. Raheni Suhita, M.Hum. ...

Sekretaris : Sri Hastuti, S.S, M.Pd ...

Anggota I : Drs. Suyitno, M.Pd. ...

Anggota II : Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd ...

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan,

(5)

commit to user

v

ABSTRAK

Aileen Yessica Putisari. X 1206021. PERAN DAN KEDUDUKAN TOKOH

PEREMPUAN DALAM NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU.

Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juni 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) peran dan kedudukan tokoh perempuan dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dalam perspektif feminisme. (2) nilai edukatif yang terdapat dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu. (3) keterjalinan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menggunakan pendekatan struktural dan feminisme dengan perspektif feminisme liberal. Strategi penelitian yang digunakan adalah strategi tunggal terpancang. Sumber data penelitian ini berupa novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama tahun 2005. Validitas data diperoleh melalui triangulasi teori. Data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan teknik analisis non-interaktif atau mengalir.

(6)

commit to user

vi

(7)

commit to user

vii

MOTTO

Setiap langkah dan keputusanmu hari ini adalah masa depanmu esok hari

Lakukan segala pekerjaanmu dengan kasih

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

1. Alm. Papaku dan Mamaku tercinta yang selalu memberi dukungan serta doa di setiap langkahku. 2. Bapak dan ibuku yang tersayang

3. Kakakku Airene, Adikku Yoga dan Neysa serta keponakan yang lucu (Abi dan Risky) yang telah memberi warna dalam kehidupanku

4. Sahabat-sahabatku “OG” (Fyna, Anna, Wiwit, Niken, Nuning dan Lala) yang selalu ada dalam suka maupun duka

5. Teman-teman Bastind’06, teman-teman PPL’09 (SMP Negeri 7 Surakarta) serta teman-teman dancer yang telah memberi dukungan dan motivasinya. 6. Seluruh keluarga besarku yang sangat aku sayangi 7. Seseorang yang berada jauh di sana yang telah

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat peneliti selesaikan. Skripsi ini peneliti tulis dan ajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu, peneliti menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penyusunan skripsi ini;

2. Drs. Suparno, M. Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi ini;

3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi ini;

4. Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memantau kegiatan akademik dan memberikan nasihat, saran, dan bimbingan kepada peneliti selama kuliah;

5. Drs. Suyitno, M. Pd. selaku Pembimbing I dan Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. selaku Pembimbing II atas bimbingan yang diberikan;

6. Berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, namun tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Semoga kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan terbaik dari Tuhan Yang Maha Esa.

(10)

commit to user

x

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PENGAJUAN ... ii

PERSETUJUAN... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. LANDASAN TEORI ... 7

A. Tinjauan Pustaka ... 7

1. Tinjauan tentang Peran dan Kedudukan Perempuan ... 7

2. Tinjauan tentang Novel ... 11

3. Tinjauan tentang Feminisme ... 17

4. Tinjauan tentang Pendekatan Struktural ... 22

5. Tinjauan tentang Nilai Edukatif dalam Novel ... 32

6. Tinjauan tentang Pembelajaran Novel ... 38

B. Penelitian yang Relevan ... 39

(11)

commit to user

xi

BAB III. METODE PENELITIAN ... 43

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 43

B. Bentuk, Strategi, dan Pendekatan Penelitian ... 43

C. Sumber Data Penelitian ... 45

D. Teknik Pengumpulan Data ... 45

E. Validitas Data ... 46

F. Teknik Analisis Data ... 46

G. Prosedur Penelitian ... 48

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 49

A. Deskripsi Novel Nayla ... 49

B. Analisis Data ... 51

1. Analisis Peran dan Kedudukan Tokoh Perempuan dalam Novel Nayla menurut Perspektif Feminisme ... 51

2. Analisis Nilai-Nilai Edukatif dalam Novel Nayla ... 59

3. Analisis Keterjalinan Unsur-unsur Instrinsik dalam Novel Nayla ... .. 72

BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 84

A. Simpulan ... 84

B. Implikasi... 86

C. Saran... 89

DAFTAR PUSTAKA

(12)

commit to user

xii

DAFTAR TABEL

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Sinopsis... 93

2. Biografi Pengarang... .... 96

3. Hasil Wawancara I... 99

4. Hasil Wawancara II... 101

5. Hasil Wawancara III... 103

6. Hasil Wawancara IV... 105

7. Hasil Wawancara V... 107

8. Hasil Wawancara VI... 109

(15)

commit to user

xv

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Novel merupakan salah satu genre sastra yang berkembang pesat. Novel muncul membawa idealisme dan gambaran fenomena kehidupan manusia. Selain itu, novel juga merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Cecep Syamsul Hari (dalam Kompas, 2005: 27) menyatakan, novel menjadi karya yang memikat perhatian banyak orang. Ia dapat memberikan pencitraan dan perlambangan dari suatu realitas kehidupan sehari-hari daripada yang dapat dilakukan genre sastra lainnya. Fantasi-fantasi berlebihan dari novel gotik dan fiksi ilmiah pun, sumber inspirasinya dapat dilacak dari realitas kehidupan sehari-hari.

Pada hakikatnya sebuah karya sastra adalah replika kehidupan nyata. Walaupun berbentuk fiksi, misalnya cerpen, novel, dan drama, persoalan yang disodorkan oleh pengarang tak terlepas dari pengalaman kehidupan nyata sehari-hari. Hanya saja dalam penyampaiannya, pengarang sering mengemasnya dengan gaya yang berbeda-beda dan sarat pesan moral bagi kehidupan manusia.

Novel atau cerpen sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh). Realita sosial, realita psikologis, realita religius merupakan tema-tema yang sering kita dengar ketika seseorang menyoal novel sebagai realita kehidupan. Secara spesifik realita psikologis sebagai misal, adalah kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama ketika merespons atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan.

Dengan demikian, novel memotret kehidupan manusia yang di dalamnya berkisar kesedihan, kebahagiaan, tragedi, dan bahkan komedi. Dalam konteks itulah, novel menggambarkan banyak aspek kehidupan, utamanya aspek sosial kehidupan manusia. Novel juga mampu memengaruhi cara pandang atau persepsi pembaca terhadap kehidupan. Akibatnya, khazanah pengetahuan pembaca akan

(16)

commit to user

xvi

dipertajam dan diperluas dengan membaca novel. Dengan kata lain, pembaca yang mengapresiasi novel akan mendapatkan banyak pengalaman berharga.

Sebagai contoh, di dalam novel Nayla oleh Djenar Maesa Ayu, tokoh utama “Nayla” adalah seorang perempuan yang hidup dengan trauma seksual. Masa kanak-kanaknya dilalui dengan berbagai peristiwa tidak menyenangkan :perceraian orang tuanya, ibu yang otoriter dan kasar, diperkosa oleh pacar ibunya serta pernah dimasukkan paksa ke panti perawatan korban narkotika oleh ibu tirinya, meski ia bukan seorang pecandu namun hampir tak pernah ia merasakan manisnya dunia kanak-kanak. Ia hanya sempat mengecap bahagia sejenak ketika tinggal bersama ayah kandungnya.

Berbagai penderitaan itu membentuk Nayla menjadi sesosok pribadi yang rapuh sekaligus mandiri. Ia sempat menggelandang sebelum akhirnya terdampar di sebuah diskotek. Di sana ia bekerja sebagai juru lampu. Di sana juga ia bertemu Juli, perempuan yang kemudian menjadi pasangan lesbiannya. Oleh sebab Juli terlalu posesif, mereka akhirnya putus hubungan. Selanjutnya, Nayla pacaran dengan Ben, kali ini lelaki.

Melalui novelnya ini, Djenar mengusung masalah kehidupan masyarakat kota metropolitan. Novel Nayla karangan Djenar Maesa Ayu sangat menarik karena dengan semangat dasar mengusung kesetaraan perempuan dengan laki-laki (feminisme) tentang bagaimana sepatutnya perempuan melakukan perlawanan untuk merebut kesetaraan.

Novel Nayla ditulis oleh seorang penulis berbakat, Djenar Maesa Ayu dilahirkan di Jakarta, 14 Januari 1973, mewarisi bakat seninya dari kedua orang tuanya, Syuman Djaya dan Tutie Kirana insan perfilman 1970-an. Dulunya Djenar merasa tidak terlalu pandai menulis. Lalu ia memulai kiprahnya di dunia kepenulisan dengan menemui sejumlah sastrawan besar Indonesia yang dijadikannya sebagai guru menulisnya. Nama seperti Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, dan Sutardji Coulzum Bachri kerap disebut-sebut dalam ucapan terimakasihnya di setiap karyanya terbit.

Cerpen pertamanya Lintah yang dimuat harian Kompas (2002) menjadi debut yang mengesankan. Keberaniannya memaparkan banyak fakta bertema

(17)

commit to user

xvii

feminisme dianggap sebagai kelanjutan dari kebangkitan perempuan pengarang era 2000-an. Setelah itu belasan cerpennya bermunculan di sejumlah media masa. Rata-rata Djenar menulis tentang perempuan dan dunianya. Berkat cerpen-cerpennya, Djenar kerap menuai pujian sekaligus kritik pedas.

Djenar adalah feminis tanpa jargon. Sejumlah cerpennya dianggap banyak kritikus sastra sebagai karya yang mengelaborasi tema seksualitas dan dunia perempuan. Tak jarang, setiap karyanya terbit, selalu disertai kontroversi. Djenar sendiri tak sungkan memasukkan sejumlah tema-tema krusial seksualitas berikut idiom dan frasanya. Hubungan tak lazim dalam dunia seks, dan sejumlah tema pemberontakan perempuan yang selama ini masih jarang dijamah penulis seangkatannya sekalipun. Djenar termasuk perempuan penulis yang produktif. Dalam kurun waktu tujuh tahun, empat judul buku sudah tergarap, dan tiga di antaranya itu masuk sebagai shortlist anugerah sastra tahunan Khatulistiwa Literary Award tahun 2002, 2004 dan 2006. Setiap buku karyanya selalu termasuk deretan daftar buku bestseller.

Mereka Bilang, Saya Monyet! adalah karya buku pertama Djenar. Bahkan

karya perdana ini cetak ulang hingga delapan kali dan masuk dalam nominasi 10 besar buku terbaik dalam ajang Khatulistiwa Literary Award pada 2003. Selain menulis buku, ibu dari Banyu Bening dan Btari Maharani ini juga aktif menulis cerpen yang kerap dimuat di beberapa media nasional. Seperti Waktu Nayla yang meraih predikat Cerpen Terbaik Kompas 2003, Menyusul Ayah juga mendapatkan penghargaan sebagai Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan.

Februari 2005, Djenar mengeluarkan buku keduanya, Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu) juga meraih sukses dan cetak ulang selang dua hari dari

tanggal rilisnya. Selain aktif menulis, Djenar pun menjajal kemampuan aktingnya. Beberapa judul film yang ia bintangi, Boneka Dari Indiana (1990), Koper (2006), Cinta Setaman (2008). Dan filmnya yang terbaru, rilis pada 2009 adalah Di Kejar

Setan.

Sementara itu, persoalan gender erat hubungannya dengan persoalan feminisme. Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), yang berarti perempuan yang berupaya memperjuangkan hak-hak kaum perempuan

(18)

commit to user

xviii

sebagai kelas sosial. Dalam hal ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis dan sebagai hakikat alamiah), sedangkan maskulin dan feminin (sebagai aspek perbedaan psikologi dan kultural). Selden (1986: 132) mengungkapkan pengertian male-female mengacu pada seks, sedangkan maskulin-feminin mengacu pada jenis kelamin atau gender, seperti he dan she.

Dalam pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh budaya dominan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial. Emansipasi perempuan merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal dengan kesetaraan gender. Goefe (Sugihastuti, 2003: 23) mengartikan feminisme sebagai teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau kegiatan berorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.

Dipandang dari sudut sosial, “feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap sistem patriarki yang ada pada masyarakat” (Selden, 1996: 139). Selden menggunakan istilah patriarki untuk menguraikan sebab penindasan terhadap perempuan. Patriarki menentukan bahwa laki-laki itu superior dan menempatkan perempuan sebagai inferior.

Feminisme berbeda dengan emansipasi. Emansipasi cenderung lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan keadilan gender, sedangkan feminisme sudah mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang selama ini dinilai tidak adil. Perempuan dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.

Telaah feminisme dalam novel saat ini juga banyak dilakukan oleh berbagai akademikus. Hal yang menarik, telaah tersebut tidak hanya datang dari kaum perempuan, melainkan kaum laki-laki pun banyak yang mengkajinya. Peneliti menganggap itu sebagai sesuatu yang beralasan, mengingat pada hakikatnya feminisme adalah gerakan dalam rangka meningkatkan harkat,

(19)

commit to user

xix

martabat, dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki meskipun dalam perjalanannya ada pihak yang menyatakan bahwa feminisme lebih memihak kaum perempuan dengan segala inferioritasnya. Akibatnya, feminisme menjadi sebuah tantangan bagi para akademikus, sebagaimana yang dikatakan oleh Julie A. Nelson (1996: 125): “ feminist theory and practice are strong challenge to academic discipline” (teori dan praktik feminisme menjadi tantangan yang berat bagi kalangan akademik). Akan tetapi, justru itulah yang menurut peneliti sebagai hal yang menarik dari kajian feminisme untuk diterapkan pada novel Nayla.

Dari berbagai uraian di atas dapat peneliti simpulkan bahwa wacana-wacana feminisme yang berkembang secara umum mempersoalkan peran dan kedudukan tokoh perempuan. Peran dan kedudukan tokoh perempuan banyak ditelaah dari sudut pandang feminisme mengingat telah bergesernya peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat (dari domestik ke peran dan kedudukan di sektor publik) yang bahkan juga telah melahirkan peran ganda perempuan. Dengan begitu, uraian di atas sekaligus menguatkan argumen pemilihan kajian feminisme dalam novel dengan titik fokus peran dan kedudukan tokoh perempuan dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran dan kedudukan tokoh perempuan dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dalam perspektif feminisme?

2. Bagaimanakah nilai edukatif yang terdapat dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu?

3. Bagaimanakah keterkaitan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan peran dan kedudukan tokoh perempuan dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dalam perspektif feminisme

2. Mendeskripsikan nilai edukatif yang terdapat dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu

(20)

commit to user

xx

3. Mendeskripsikan keterjalinan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu

D.

Manfaat Hasil Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmiah dalam bidang sastra dan memberikan kontribusi bagi pemanfaatan teori feminisme dalam kajian novel.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Guru dan Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia

Hasil penelitian ini berupa deskripsi peran dan kedudukan tokoh perempuan dalam novel Nayla menurut perspektif feminisme serta mendiskripsikan nilai-nilai pendidikan. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan teladan bagi siswa dalam bertindak dan bersopan santun dalam kehidupan masyarakat. Penelitian ini juga merupakan salah satu wujud usaha mengikis bias-bias patriarkhisme melalui kritik dan apresiasi sastra. Oleh karena itu, bagi guru Bahasa Indonesia dapat menjadikan novel itu sebagai materi pembelajaran di sekolah tentunya dengan arahan dan bimbingan dari guru. Sedangkan dosen Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai materi dalam pembelajaran apresiasi dan kritik sastra di perguruan tinggi

b. Bagi Siswa

1) Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan positif bagi siswa dalam mengapresiasi sastra, khususnya novel.

2) Memberi motivasi siswa agar lebih memiliki perhatian terhadap kenyataan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat.

c. Bagi Peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi penting bagi penelitian feminisme selanjutnya.

(21)

commit to user

xxi

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan tentang Peran dan Kedudukan Perempuan

Kedudukan dan peranan pada dasarnya merupakan konsep-konsep yang berkaitan. Dari sudut pandang psikologi sosial, kedudukan disamakan maknanya dengan posisi. Kedudukan didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang secara bersama-sama (kolektif) diakui perbedaannya berdasarkan sifat dan perilaku yang mereka miliki bersama dan reaksi orang terhadap mereka. Sementara dari sudut pandang sosiologi, kedudukan didefinisikan sebagai status objektif yang memberi hak dan kewajiban kepada orang yang menempatinya. Peranan merupakan dinamika dari status atau penggunaan dari hak dan kewajiban (Susanto dalam Gati Gayatri, 1994: 4-5).

Theodore Sarbin (dalam Sri Supriyantini, 2007: 12) yang menyatakan bahwa peran adalah tingkah laku yang diharapkan dan ditampilkan oleh seseorang dalam interaksi sosial di tempat individu berada. Peran merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang. Dengan peran yang dimiliki, Ia dapat mengatur perilaku dirinya dari orang lain. Seseorang dapat memainkan beberapa peranan sekaligus pada saat yang sama. Dalam kasus tertentu, seorang perempuan dapat berkedudukan sebagai istri, tetapi dapat sekaligus menjalankan berbagai peran, seperti sebagai istri, ibu, dan karyawan kantor.

Setiap individu dalam masyarakat memiliki status atau kedudukan masing-masing. Arief Heriyanto C. (2007: 8) menyatakan bahwa status merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan, posisi, atau peringkat seseorang dalam kelompok masyarakatnya. Di semua sistem sosial, tentu terdapat berbagai macam kedudukan atau status, seperti: anak, istri, suami, ketua RW, ketua RT, camat, lurah, kepala sekolah, dan guru. Seseorang atau individu dalam masyarakat dapat memiliki dua atau lebih status yang

(22)

commit to user

xxii

disandangnya secara bersamaan. Dalam teori sosiologi, unsur-unsur dalam sistem pelapisan masyarakat adalah kedudukan dan peranan. Kedua unsur ini merupakan unsur baku dalam pelapisan masyarakat. Kedudukan dan peran seseorang atau kelompok memiliki arti penting dalam suatu sistem sosial.

Rogers (dalam Syafnir Abu Nain, dkk., 1988: 92) menyatakan bahwa untuk mengerti sebaik-baiknya kedudukan perempuan dalam suatu kebudayaan tertentu adalah dengan mempelajari hubungan antara kedua kelompok kelamin yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Untuk itu, dia mengembangkan dua pola hubungan; Pertama, hubungan yang ditelaah dalam arti distribusi kekuasaan dan melihat sampai seberapa jauh masing-masing menguasai sumber-sumber berharga seperti rumah, tanah, tenaga, bahan makanan, pengetahuan, dan upacara-upacara tertentu; Kedua, hubungan secara konsepsional, yaitu adanya perbedaan dalam perilaku dan perbedaan pandangan ideologi sehingga pria dan perempuan punya pandangan sendiri terhadap nilai, norma, dan tujuan. Sesuai dengan itu, Blood dan Wolfe (dalam Syafnir Abu Nain, dkk., 1988: 92) menambahkan indikasi kedudukan perempuan dalam masyarakat maupun rumah tangga adalah posisi perempuan terkait dengan distribusi dan alokasi kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud dalam konteks ini dinyatakan sebagai kemampuan dalam mengambil keputusan yang memengaruhi keluarga.

Ismi Dwi Astuti (2007: 1) menjelaskan bahwa peran perempuan dalam pengambilan keputusan adalah keikutsertaan atau partisipasi perempuan dalam suatu kegiatan dan/atau dalam pengambilan keputusan melalui pemilihan alternatif terbaik di antara serangkaian alternatif yang ada. Lebih lanjut Ismi (2007: 1) juga menyatakan bahwa dimensi peran perempuan terbagi menjadi tiga, yaitu peran domestik dengan fungsi reproduktif atau rumah tangga, publik dengan menjalankan fungsi produktif, dan sosial kemasyarakatan.

Marijati (2007: 1) mengemukakan bahwa dengan dasar itulah sebenarnya tidak ada pembedaan peran dalam pengambilan keputusan karena semua tetap harus berada dalam koridor atau atau aturan pada masing-masing stratanya. Ada etika yang harus tetap dijaga. Pengambilan keputusan di keluarga ada etikanya, di masyarakat ada etikanya, dan di negara pun ada etikanya.

(23)

commit to user

xxiii

Peran dan kedudukan berkaitan dengan hak-hak perempuan. Berbicara mengenai hak, Sunaryati Hartono (1999: 29) menjabarkan bahwa hak-hak perempuan sebenarnya sungguh-sungguh merupakan serangkaian hak yang melekat dengan keberadaannya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga hak-hak perempuan itu tiada lain merupakan hak-hak asasi. Oleh sebab itu, apabila dibatasi atau tidak dihormati akan menghalang-halangi perkembangannya sebagai manusia seutuhnya. Dengan demikian, kajian-kajian terhadap permasalahan perempuan seperti yang dinyatakan di atas, tidak hanya dalam batas wacana saja melainkan merupakan sesuatu yang perlu dilakukan berkesinambungan atau terus menerus.

Senada dengan uraian di atas, Suwinah Alwy (1997: 150-151) mengemukakan bahwa perempuan memunyai peran dalam hidupnya yang biasa disebut sebagai Pancadharma Perempuan, yaitu: a) sebagai pendamping suami; b) pengelola rumah tangga; c) penerus keturunan dan pendidikan anak; d) pencari nafkah tambahan; dan e) sebagai warga masyarakat. Apabila perempuan menjalankan tugasnya dengan baik, maka ia akan bisa mengembangkan sumber daya manusia. Sebagai pendamping suami, perempuan diharapkan dapat menjadi mitra sejajar laki-laki dalam mengelola rumah tangga dan bisa mendorong suami untuk selalu bersemangat dalam bekerja. Perempuan yang juga ikut mencari nafkah tambahan juga merupakan salah satu pengembangan sumber daya manusia karena suatu saat tidak jarang perempuan akhirnya menjadi pemimpin.

Penjelasan lebih lanjut mengenai peran dan kedudukan perempuan dinyatakan Soewondo (dalam Achmad Muthaliin, 2001: 10) dengan menyatakan bahwa dalam budaya etnis semuanya menempatkan perempuan untuk bekerja di sektor domestik, sementara sektor publik ada di pihak laki-laki. Perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik pada umumnya berdasarkan asumsi bahwa perempuan secara fisik lemah, namun memunyai kesabaran dan kelembutan. Sebaliknya, laki-laki memiliki fisik lebih kuat sekaligus berperangai kasar. Atas dasar itu, berlakulah pembagian peran. Perempuan dipandang lebih sesuai bekerja di rumah, mengasuh anak dan mempersiapkan segala keperluan suami/laki-laki di rumah. Laki-laki lebih sesuai bekerja di luar rumah dalam arti

(24)

commit to user

xxiv

mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya/perempuan. Akibatnya, perempuan menjadi tersubordinasi di hadapan laki-laki dan termarginalisasi dalam kehidupan publik.

Citra perempuan dalam novel semakin berkembang dinamis pada periode Pujangga Baru. Lewat Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh utama (Tutik) menyuarakan riak kaum perempun yang mencoba menyejajarkan dirinya dengan kaum laki-laki dalam aktivitas publik, meskipun masih dibatasi oleh hegemoni laki-laki. Akan tetapi, beberapa waktu kemudian Amrijn Pane dengan Belenggu-nya mencoba mendekonstruksi gagasan keperempuanan yang progresif tersebut. Tini (tokoh utama Belenggu) memutarbalikkan citra perempuan pada zaman itu. Apabila Tono, suaminya, banyak bekerja di luar rumah dengan profesinya sebagai dokter, Tini pun banyak melakukan aktivitas di bidang sosial dengan memimpin organisasi kemasyarakatan (Ali Imron, 2003: 115).

Peran dan kedudukan perempuan menukik sangat tajam pada novel-novel angkatan 2000-an yang dipelopori oleh novel Saman dan Larung karya Ayu Utami. Para tokoh perempuan dalam kedua novel tersebut dengan terang-terangan memprotes perlakuan diskriminatif yang diterima mereka. Pandangan yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki digugatnya (Ali Imron, 2003: 118). Hal itu menyuratkan riak-riak suara kaum perempuan yang semakin nyata untuk memperjuangkan nasib mereka.

Perempuan dalam era global mcmperlihatkan adanya kebebasan dalam menyatakan aspirasinya. Perempuan juga mengekspresikan gejolak hatinya dari sisi kemanusiawiannya. Fenomena yang menarik di era itu adalah ada perempuan yang berperan dan berkedudukan ganda, dalam arti mereka beraktivitas di kedua sektor sekaligus. Peran dan kedudukan perempuan telah mengalami pergeseran, dari yang semula hanya berkubang di sektor domestik ke sektor publik. Banyak sekali perempuan di masa kini yang mulai menjalankan peran dan berkedudukan di sektor publik. Tidak hanya kaum laki-laki saja yang mencari nafkah guna menghidupi keluarga. Implikasinya, perempuan juga sebagai pengambil keputusan dan melakukan hal-hal yang menjadi keinginannya.

(25)

commit to user

xxv

2. Tinjauan tentang Novel

A. Pengertian Novel

Dalam dunia sastra, istilah novel sudah tidak asing lagi. Novel merupakan salah satu genre karya sastra yang berbentuk prosa. Henry Guntur Tarigan menyebutkan bahwa kata “novel” berasal dari bahasa Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan “baru” karena dibandingkan dengan jenis-jenis sastra yang lainnya seperti puisi, drama, dan karya sastra lain, jenis novel ini muncul kemudian (1993:164).

Senada dengan Henry Guntur Tarigan, Burhan Nurgiyantoro (2005:9) mengungkapkan bahwa sebutan novel dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Italia, yaitu novella (yang dalam bahasa Jerman disebut novelle). Secara harfiah, novella berarti sebuah barang baru yang kecil. Lebih lanjut novel diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Dalam hal ini, yang dimaksud cerita pendek bukanlah cerita pendek yang selama ini dikenal dalam dunia sastra Indonesia. Dari segi panjang cerita, novel jauh lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.

Selain itu, Burhan Nugiyantoro juga mengungkapkan bahwa novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja juga bersifat imajiner(1995:4).

Novel berisi pengalaman manusia yang ditulis melalui suatu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain dengan melibatkan sekelompok atau sejumlah orang (tokoh, karakter) di dalam latar yang spesifik. Dalam konteks itu, fiksi dapat diartikan sebagai cerita rekaan yang hanya berdasarkan atas rekaan atau imajinasi. Berkaitan dengan novel sebagai karya yang fiksional, Burhan Nurgiyantoro (2005: 2) menyatakan bahwa novel bersinonim dengan fiksi sehingga pengertian fiksi juga dapat digunakan untuk mendefinisikan istilah

(26)

commit to user

xxvi

novel. Fiksi merupakan suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada, dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata.

Peneliti menyimpulkan dari berbagai pendapat tentang novel di atas bahwa novel merupakan salah satu genre karya sastra. Novel mengisahkan tokoh dalam latar tertentu dan menghadapi konflik tertentu pula. Novel merupakan cerita yang fiktif, tetapi dapat merupakan refleksi kehidupan manusia dan memberikan orientasi baru tentang cara pandang terhadap kehidupan.

B. Jenis dan Fungsi Novel

Apabila melihat fenomena yang berkembang dalam masyarakat penikmat sastra, secara umum, novel dibedakan menjadi dua jenis, yaitu novel serius dan novel populer. Burhan Nurgiyantoro (2005: 20-22) menyatakan, novel serius berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pcngucapan yang baru pula. Novel jenis ini menuntut pembaca untuk lebih mengoperasikan daya intelektualnya. Novel ini juga mengambil realitas kehidupan sebagai model, kemudian menciptakan dunia baru. Novel serius tidak mengabdi kepada selera pembaca sehingga pembaca jenis novel ini juga tidak terlalu banyak.

Sementara itu, Cecep Syamsul Hari (dalam Kompas, 31 Juli 2005: 27) mengemukakan bahwa dalam perkembangan sastra barat (Eropa dan Amerika), novel telah menjadi genre karya sastra yang tersendiri. Novel berkembang ke dalam berbagai jenis dalam kerangka kerjanya yang luas, seperti: novel gotik, novel fiksi ilmiah, novel otobiografi, novel sejarah, novel remaja, novel spiritual, dan novel epistolari. Jenis novel juga dirujuk melalui penandaan sejarah perkembangan kesusastraan yang ditandai dengan pandangan dunia yang dominan pada masa itu. Artinya, suatu novel dapat menjadi wakil dari pandangan dunia yang dominan pula pada masa tertentu, contohnya novel-novel romantik (masa ketika kaum romantik dan pandangan-pandangannya dominan dalam dunia sastra) dan novel realis (masa ketika kaum realis dan pandangan-pandangannya dominan dalam dunia sastra).

(27)

commit to user

xxvii

Lebih lanjut, novel memunyai fungsi yang menyenangkan dan bermanfaat bagi pembaca. Dendy Sugono (2003: 161) menyatakan hal senada dengan mengutip pendapat Horatius, penyair Romawi kuna, `dulce et utile', menyenangkan dan bermanfaat. Menyenangkan dapat dikaitkan dengan hiburan yang ditawarkan novel, sedangkan bermanfaat dapat dihubungkan dengan pengalaman hidup yang ditawarkan, pengajaran sesuatu kepada pembaca, pemberian pengetahuan, pendidikan pengalaman batin pembaca, dan kemampuannya untuk memperkaya pandangan pembaca tentang kehidupan. Di samping itu, novel juga memunyai fungsi katarsis. Katarsis yang dimaksud adalah pemurnian jiwa seseorang setelah mengalami ketegangan pada suatu klimaks. Pemurnian jiwa itu dapat dialami oleh setiap orang seusai menyaksikan dan menikmati suatu karya sastra.

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa novel ternyata telah menjadi genre sastra tersendiri yang berkembang ke dalam berbagai jenis yang secara umum terbagi atas novel populer dan novel serius. Berkenaan dengan fungsi, novel dapat pula dijadikan sarana pendidikan batin, hiburan, mampu membersihkan jiwa, dan membebaskan pembaca dari tekanan emosi. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut mengenai novel populer dan novel serius.

a. Novel Populer

Pada zaman penjajahan Belanda, semua terbitan kesastraan sedapat mungkin mendapat kontrol dari pemerintah dengan Nota Rinkes-nya melalui manajemen Balai Pustaka (sebelumnya disebut Komisi Bacaan Rakyat). Nota Rinkes berisi tentang aturan penerbitan buku yang netral terhadap

agama, berbudi pekerti, tidak berpolitik (tidak melawan pemerintah atau tidak merusak kewibawaan pemerintah), dan menjaga ketertiban (Teeuw dalam Aprinus Salman, 2008). Hal itu merupakan satu kriteria yang dapat menentukan karya yang “serius” dan yang “liar atau populer”. Karya yang lolos melalui Balai Pustaka kemudian merupakan karya yang dapat menjadi acuan. Karya yang tidak lolos seleksi Balai Pustaka tidak layak dianggap sebagai acuan dan dianggap bacaan liar, seperti karya Marco Kartodikromo berjudul Student Hijo ataupun karya Semaun berjudul Hikayat Kadirun. Bahkan, Salah

(28)

commit to user

xxviii

Asuhan karya Abdoel Moeis hampir tidak jadi diterbitkan jika tidak diubah

sesuai dengan aturan main Nota Rinkes.

Heryanto dalam Aprinus Salman mengungkapkan empat ragam kesusastraan Indonesia, meliputi: (1) kesusastraan yang diresmikan, diabsahkan, (2) kesusastraan yang dilarang, (3) kesusastraan yang diremehkan, dan (4) kesusastraan yang dipisahkan. Kesusastraan yang diresmikan (kanon) adalah kesusatraan yang sejauh ini banyak dipelajari di pendidikan (tinggi). Kesusastraan yang dilarang adalah karya-karya yang dianggap menganggu status quo (kekuasaan) seperti yang pernah terjadi pada zaman Balai Pustaka yaitu karya

Marco Kartodikromo. Pada zaman Orde Baru, karya-karya Pramudya Ananta Toer atau kasus cerpen karya Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, menjadi contoh yang terlarang pula. Sementara itu, karya sastra yang dipisahkan adalah karya sastra daerah yang ditulis dalam bahasa daerah. Dalam posisi itu, karya sastra yang diremehkan adalah karya sastra yang dianggap populer; sastra hiburan.

Berbeda dengan Heryanto, Aprinus Salman mengungkapkan pembagian karya sastra sebagai berikut. (1) Fiksi yang tidak mengakomodasi intensi populer atau yang diresmikan oleh segelintir elite terdidik; (2) Fiksi populer (termasuk sinetron), yakni fiksi yang mengakomodasi intensi penulis dan pembaca, meskipun dalam studi di perguruan tinggi; dan (3) Fiksi yang dipisahkan, yakni karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah karena secara kebahasaan tidak komunikatif untuk bangsa Indonesia.

Berbicara tentang sastra populer, Umar Kayam dalam Burhan Nurgiyantoro (2005: 18) menyebutkan

Sastra populer adalah perekam kehidupan dan tak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.

Hal seperti itu dapat dilihat dari fenomena yang terjadi pada novel Cintapucino karya Icha Rahmanti yang tahun lalu sempat dirilis dalam bentuk

(29)

commit to user

xxix

film oleh sutradara ternama Rudy Soejarwo. Banyak remaja khususnya remaja putri yang mengungkapkan kesamaaan kejadian di masa SMA yang mirip dengan yang digambarkan oleh Icha Rahmanti dalam novelnya.

Sementara itu, Cawelty dalam Djuhertati Imam Moehi (2008) menyebutkan sastra populer sebagai formula literature karena sastra populer sangat tergantung pada formula, yaitu struktur narasi suatu karya sastra. Istilah formula dapat dipahami dari dua sisi. Pertama, menunjuk pada suatu cara tertentu dalam menangani suatu fenomena masyarakat ataupun konflik pribadi. Kedua, formula dapat menunjuk pada alur cerita.

Adapun pengkategorian novel sebagai novel serius atau novel populer bukanlah menjadi hal baru dalam dunia sastra. Usaha ini tidak mudah dilakukan karena bersifat riskan. Selain dipengaruhi oleh hal subjektif yang muncul dari pengamat, juga banyak faktor dari luar yang menentukan. Misalnya, sebuah novel yang diterbitkan oleh penerbit yang biasa menerbitkan karya sastra yang telah mapan, karya tersebut akan dikategorikan sebagai karya yang serius-karya sastra yang bernilai tinggi. Padahal pengamat belum membaca isi novel.

Sebutan novel populer atau novel pop ini mulai merebak setelah novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru sukses di pasaran pada tahun 1970-an.

Setelah munculnya fenomena itu, setiap novel hiburan yang muncul akan dicap sebagai novel pop tanpa memedulikan tinggi rendahnya mutu novel tersebut.

Burhan Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Novel jenis ini menampilkan masalah yang aktual pada saat novel itu muncul. Pada umumnya, novel populer bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi seiring dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya (2005:18). Di sisi lain, novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena semata-mata menyampaikan cerita (Stanton dalam Burhan Nurgiyantoro 2005: 19). Novel populer tidak mengejar efek estetis seperti yang terdapat dalam novel serius.

(30)

commit to user

xxx

Sebagai salah satu genre tulisan, cerita dalam novel populer mungkin bisa dibilang tidak terlalu rumit. Alur cerita yang mudah ditelusuri, gaya bahasa yang sangat mengena, fenomena yang diangkat terkesan sangat dekat. Semua itu memungkinkan penerimaan bagi genre yang boleh disebut relatif baru dalam khazanah sastra Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi kalangan remaja sebagai kalangan yang paling menggemari novel populer.

b. Novel Serius

Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar, novel sastra tidak bersifat mengabdi pada pembaca. Novel sastra cenderung menampilkan tema-tema yang lebih serius dibandingkan novel populer. Novel sastra menuntut aktivitas pembaca secara lebih serius. Teks sastra sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga hal ini bisa dianggap menyibukkan pembaca. Burhan Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa dalam membaca novel serius, jika ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertai dengan kemauan untuk itu (2005:18). Novel jenis ini, di samping memberikan hiburan juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau paling tidak mengajak pembaca untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.

Kecenderungan yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak menyebabkan “popularitas” novel serius menurun. Justru novel ini mampu bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang timbul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman (Burhan Nugiyantoro,2005:21). Adapula novel serius yang laris di pasaran seperti Pengakuan Pariyem,dan Pada Sebuah Kapal.

Herman J.Waluyo (2002:39) menyebutkan ciri-ciri novel serius dalam sastra Indonesia mutakhir adalah tidak menggarap realitas kehidupan (realisme).

(31)

commit to user

xxxi

Hal yang ditampilkan adalah tokoh dan cerita di luar realitas kehidupan. Hal ini menyebabkan munculnya tokoh-tokoh eksistensialistis (absurd) seperti karya-karya Iwan Simatupang, tokoh sufi seperti dalam karya-karya Danarto, tokoh-tokoh aneh dalam karya Budi Darma.

3. Tinjauan tentang Feminisme

A. Pengertian Feminisme

Definisi feminisme sebenarnya bermacam-macam. Kebermacamannya itu tergantung pada ideologi politik, agama, ras, dan budaya tiap-tiap perempuan. Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan (1999: 4) menjelaskan bahwa feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan teoretisnya dari suatu rumusan teori yang tunggal. Tidak ada definisi abstrak yang khusus tentang feminisme yang dapat diterapkan bagi semua perempuan pada segenap waktu. Dengan demikian, definisinya dapat berubah-ubah karena feminisme berdasarkan atas realitas kultural dan kenyataan sejarah yang konkret maupun atas tingkatan-tingkatan persepsi, kesadaran, dan tindakan.

Para ahli secara konsisten mencoba mendefinisikan feminisme. Feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan. Hal itu diyakini karena dalam semua pendekatannya perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya (Humm dalam Retty Isnendes dan Rachmat Djoko Pradopo, 2005: 502). Caren J. Deming (dalam Mary Elen Brown, 1990 : 40) mengatakan hal senada: "feminism refers to analysis of woman's subordination for the purpose of figuring out how to

change it" (feminisme mengacu pada analisis tentang subordinasi perempuan dalam usaha dan perjuangan untuk mengubahnya). Samhuri (dalam Rasiah dan Siti Chamamah Soeratno, 2006: 127) menyatakan bahwa feminisme merupakan basis dari teori dari gerakan pembebasan perempuan dan ide feminis memandang perempuan sampai detik ini selalu dalam posisi ditindas, subordinat secara tersistem, dan terpenjara oleh ideologi.

Samhuri (dalam Rasiah dan Siti Chamamah Soeratno, 2006: 127) menyatakan bahwa feminisme dikatakan sebagai sebuah ide yang di antaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama

(32)

commit to user

xxxii

gender dan pencarian akar ketertindasan perempuan dalam upaya penciptaan pembebasan perempuan sejati. Mansour Fakih (dalam Rasiah dan Siti Chamamah Soeratno, 2006: 127) menengarai bahwa feminisme adalah gerakan yang berangkat dari kesadaran asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya tertindas, tereksploitasi, dan mengalami diskriminasi sehingga harus ada usaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut.

Feminisme menentang keras sistem kelas yang ada dalam masyarakat dengan menuntut tempat atau kedudukan yang sama bagi ide-ide atau pemikiran-pemikiran perempuan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Louise Morley dan Val Walsh (1995: 118): “feminisms have challenged the class system of the intellect by exposing the gendered basis of knowledge and by providing

intellectual space for women's ideas” (feminisme menentang sistem kelas intelek dengan mengekspos basis gender dan dengan menyediakan ruang bagi ide-ide maupun pemikiran kaum perempuan). Kaum feminis menentang perbedaan kedudukan yang mendasarkan pada gender dan anggapan bahwa perempuan memunyai tingkat intelektualitas yang rendah daripada laki-laki. Pandangan tersebut dilatarbelakangi pemikiran bahwa sebenarnya meraka juga memunyai sumbangan pemikiran yang positif bagi pembangunan. Oleh karena itu, penampungan ide-ide perempuan sangat diperlukan agar akses mereka terhadap pembangunan semakin terbuka.

Hal yang menarik dari feminisme adalah bahwa ia ternyata dapat membebaskan kaum laki-laki dari keterbatasan peran publik yang dijalaninya selama ini. Setidaknya hal itulah yang dinyatakan oleh Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan (1999: 58) bahwa feminisme akan membebaskan kaum laki-laki dari keterbatasan peran di sektor publik. Dalam arti dengan hadirnya feminisme, laki-laki pun akan dapat berperan di sektor domestik.

Di sisi lain, meskipun banyak pihak yang belum bisa menerima kehadiran ideologi ini, sebenarnya itu bukanlah kemutlakan yang harus diterima sebagai satu-satunya kebenaran. Feminisme justru akan memperkaya ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu humaniora. Louise Morley (1995: 120) membenarkan hal itu: "political movement such as feminism could contribute to growth of scientific

(33)

commit to user

xxxiii

knowledge" (pergerakan politik seperti feminisme dapat berkontribusi dalam

perkembangan ilmu pengetahuan).

Lebih lanjut dikatakan Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan (1999: 42) bahwa feminisme tidak menentang perempuan memunyai anak dan berkeluarga. Feminisme tidak menganggap keibuan sebagai satu-satunya kodrat setiap perempuan. Feminisme juga tidak menyamaratakan definisi keperempuanan identik dengan ibu rumah tangga. Intinya adalah bahwa setiap perempuan harus dapat memilih hal yang diinginkannya. Perempuan bebas memilih sebagaimana halnya dengan laki-laki.

Dari uraian di atas dapat peneliti simpulkan, feminisme merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang berangkat dari kesadaran perempuan untuk memperjuangkan kaumnya dari belenggu gender yang bersumber dari budaya patriarkhi untuk mendapatkan persamaan hak dalam segala bidang. Dalam hal ini peneliti menyetujui bahwa feminisme lebih cenderung kepada gerakan pembebasan kaum perempuan. Bebas secara pemikiran, kreativitas, dan peran dalam pembangunan masyarakat. Feminisme tidak menuntut perlakuan yang istimewa terhadap perempuan. Dia hanya menuntut kcsetaraan maupun kesempatan yang sama laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang demi kemajuan bersama.

B. Aliran Feminisme

Dalam perjalanannya sebagai sebuah paham, feminisme telah berkembang pesat sesuai dengan pasang surut ideologi yang berkembang. M. Mahfud M. D. (1996: 3-4) menyatakan bahwa ada empat aliran feminisme, yaitu: feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis, dan feminisme sosialis.

1) Feminisme liberal

Aliran feminis liberal sangat mendukung industrialialisasi dan modernisasi yang dianggapnya sebagai jalan bagi peningkatan kedudukan perempuan karena ia berdasarkan kapitalisme liberal yang menghendaki persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan di berbagai bidang termasuk bidang pekerjaan, partisipasi politik, dan pendidikan (M. Mahfud M. D., 1996: 4)). Jadi, seorang perempuan harus

(34)

commit to user

xxxiv

memperoleh kebebasan dan persamaan perlakuan dengan laki-laki untuk memajukan eksistensinya.

Peran dan kedudukan perempuan ternyata sangat dipengaruhi oleh kultur masyarakat tempat tinggal perempuan. Uraian itu berdasarkan pendapat Verrianto Madjowa (2006: 120) yang menyatakan bahwa definisi peran telah diperkuat atas nama agama dan budaya yang dilakukan atas nama adat dan pembuat kebijakan laki-laki. Partisipasi perempuan dalam politik terhambat budaya yang mendefinisikan perempuan dalam pembagian kerja secara tradisional, sebagai ibu sekaligus pekerja domestik.

Lebih lanjut Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore (1996: 38-39) mengutarakan bahwa agenda kaum feminis liberal tidak hanya menekankan masuknya perempuan ke dalam pasar tenaga kerja dan kemampuan mereka untuk bersaing di dalamnya, tetapi juga menegaskan penerimaan perempuan terhadap struktur normatif patriarkis laki-laki. Hal itu ditunjukkan dalam penyelenggaraan lokakarya-lokakarya bagi perempuan yang bersaing dalam pasar tenaga kerja atau penekanan pada akses individual. Kaum feminis juga mempergunakan prinsip-prinsip liberal untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan perundangan dan peradilan yang menghapuskan pembagian kerja secara seksual. Penekanan ini memberikan perempuan kesempatan untuk berpartisipasi di dalam masyarakat secara lebih luas.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat peneliti simpulkan bahwa dalam perspektif feminisme liberal perempuan berkedudukan dan berperan di sektor publik dan menuntut kesetaraan di dalamnya. Perempuan juga dapat bekerja dan menopang kehidupan ekonomi keluarga. Perempuan tidak hanya berperan sebagai ibu dan ibu rumah tangga, tetapi mereka juga dapat berperan ganda.

2) Feminisme Sosialis

Feminisme Sosialis menandai perjuangan kaum perempuan melalui penghapusan ideologi patriarkhi dan menghilangkan perbedaan kelas sosial melalui gerakan revolusi. Heidi Hartman (dalam Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore (1996: 30) menyatakan bahwa dalam kerangka sosialis, kaum feminis

(35)

commit to user

xxxv

menyatakan bahwa basis patriarkhi adalah pembagian kerja seksual yang benar-benar ada pada semua masyarakat. Basis material patriarkhi-kontrol atas buruh perempuan membuat laki-laki bisa mengontrol akses perempuan pada sumber-sumber produktif. Sebagai pemelihara anak-anak, perempuan memproduksi hubungan-hubungan sosial patriarkhi termasuk hubungan-hubungan antargenerasi kaum laki-laki/perempuan melalui proses sosialisasi keluarga, kemitraan patriarkhi, dan pengabsahan kapitalisme. Kapitalisme menjalin kekuatan dengan patriarkhi untuk mendominasi buruh perempuan dan seksualitas melalui penguatan dan pengembangan ideologi yang merasionalisasi penindasan perempuan.

3) Feminisme Radikal

Di dalam perspektif Feminisme Radikal digambarkan bahwa perempuan ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkhi, yakni penindasan-penindasan yang paling mendasar. Perempuan perlu mengubah masyarakat yang berstruktur patriarkhi agar terbebas dari penindasan (Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, 1996: 27). Feminisme radikal merupakan reaksi terhadap anggapan bahwa perbedaan dari laki-laki dan perempuan adalah kehendak alam yang tidak dapat diubah kerena merupakan takdir atau kodrat.

Lebih lanjut Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore (1996: 27) menyatakan, para feminis radikal berpendapat bahwa keteraturan alamiah tidak perlu dipertahankan karena hal itu hanya akan menghambat kemajuan perempuan. Mereka menegaskan bahwa penindasan terhadap perempuan, besar kemungkinan akan terus berlanjut dalam sistem liberal atau marxis melalui hubungan-hubungan kekerasan seksual, perjuangan-perjuangan untuk mengontrol lembaga-lembaga keperempuanan, dan sebab dorongan hak-hak istimewa bagi heteroseksual laki-laki. Kaum feminis radikal menilai bahwa patriarkhi bersifat universal dan memberikan pengertian mengenai penindasan perempuan dalam semua kondisi budaya dan politik. Oleh karena itu, apabila perempuan dapat lepas dari penindasan, mereka akan dapat berkembang. Sebagaimana pendapat Doly (dalam Louis Morley and Val Wash, 1995: 13): "radical feminism's assertion that woman

(36)

commit to user

xxxvi

could only develop outside patriarchal power statement" (feminisme radikal

menyatakan bahwa perempuan hanya dapat berkembang apabila lepas dari kekangan budaya

4) Feminisme Marxis

Tujuan utama Feminisme Marxis adalah mendeskripsikan basis material kedudukan perempuan dan hubungan antara model-model produksi dan status perempuan serta menerapkan teori-teori perempuan dan kelas pada peran keluarga. Feminis Marxis melihat bahwa ketidakadilan yang dialami kaum perempuan disebabkan adanya relasi kelas pemilik modal dan kelas bukan pemilik modal yang menyebabkan perempuan menjadi bagian dari penindasan. Di samping itu, feminisme sosialis juga mengemukakan bahwa kondisi perempuan ditentukan oleh struktur produksi, reproduksi, seksualitas, dan sosiologi masa kanak-kanaknya. Kalau perempuan ingin memperoleh kebebasan, maka statusnya harus diubah. Perempuan harus mengubah sikapnya untuk lebih percaya diri dan melepaskan pemikiran yang patriarkhi.

4. Tinjauan tentang Pendekatan Struktural

A. Pengertian Pendekatan Struktural

Ali Imron (2006: 20) menyatakan bahwa sesuai dengan teori Abrams, pendekatan struktural disebut juga pendekatan objektif. Teori struktural memandang karya sastra sebagai sebuah struktur yang otonom, berdiri sendiri, dan terlepas dari unsur yang berada di luar dirinya. Telaah ini terlepas dari unsur sosial, budaya, pengarang, dan pembacanya. Hal yang berada di luar pengarang seperti biografi pengarang, psikologi, sosiologi, dan sejarah tidak diikutkan dalam analisis.

Peaget dan Hawkes (dalam Ali Imron, 2006: 16) menyatakan bahwa strukturalisme mengandung tiga gagasan pokok, sebagai berikut.

a. Keseluruhan unsur-unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan, baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya;

(37)

commit to user

xxxvii

b. Transformasi struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru; dan

c. Keteraturan yang mandiri atas struktur itu yang tidak memerlukan hal yang di luar dirinya. Artinya, struktur itu otonom terhadap sistem rujukan lain.

Sementara itu, Aristoteles (dalam A. Teeuw, 2003: 100) mengenalkan strukturalisme dalam konsep: “wholeness, unity, complexity, dan coherence” . Dia memandang bahwa keseluruhan makna bergantung pada keseluruhan unsur tersebut. Wholeness berarti keseluruhan; unity berarti semua unsur harus ada; complexity berarti luasnya ruang lingkup harus memungkinkan perkembangan

peristiwa yang masuk akal; dan coherence berarti sastrawan bertugas untuk menyebutkan hal-hal yang mungkin atau hal yang harus terjadi sesuai dengan konsistensi logika cerita.

Lebih lanjut A. Teeuw (2003: 112) menyatakan bahwa tujuan analisis dalam pendekatan struktural adalah memaparkan secermat, seteliti, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis itu bukan penjumlahan dari unsur, tetapi yang paling penting justru sumbangan yang diberikan oleh semua gejala pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya. Pendekatan strukturalisme memberikan peluang untuk telaah karya sastra dengan lebih rinci, namun di sisi lain justru menyebabkan masalah estetika atau makna sastra terkorbankan. Pengkajian karya sastra dengan pendekatan struktural pada umumnya hanya sampai pada analisis unsur-unsur pembentuknya. Hubungan antarunsur sebagai kebulatan dalam membentuk makna masih jarang dilakukan. Padahal unsur-unsur dalam karya sastra tidak dapat berdiri sendiri dalam keseluruhan makna. Oleh sebab itu, untuk sampai pada pengungkapan makna, penganalisis perlu memahami unsur-unsur yang berada di luar karya sastra.

Terlepas dari berbagai kelemahan pendekatan struktural di atas, pendekatan tersebut ternyata sangat populer. Hal itulah yang menyebabkannya sering digunakan dalam analisis karya sastra, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah. Pendekatan itu dipandang lebih mudah untuk dilaksanakan karena memfokuskan analisis pada unsur-unsur dan hubungan antarunsur yang

(38)

commit to user

xxxviii

membangun karya itu sendiri. Adapun aspek yang dikaji dalam pendekatan struktural adalah unsur-unsur intrinsik karya sastra yang berupa: tema, nada, suasana, alur, latar, penokohan, stilistik, dan hubungan antaraspek yang membuatnya menjadi karya sastra (Ali Imron, 2006: 20-21). Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan menguraikan Tema, Tokoh utama, Alur, Latar dan Sudut Pandang atau Point of View karena fokus kajian novel ini hanya berhubungan dengan dua unsur tersebut.

B. Tema

Setiap karya fiksi tentu saja mempunyai atau menawarkan sebuah tema kepada setiap pembacanya. Tema dalam fiksi tidaklah mudah untuk ditemukan. Tema fiksi akan lebih mudah ditemukan dengan cara memahami dan menafsirkan cerita melalui struktur pembangunnya. Oleh karena itu, tema harus didapat melalui penarikan kesimpulan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita saja. Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki seluruh cerita.

Istilah tema berasal dari kata theme dalam bahasa Inggris. Dalam pengertian sederhana, tema berarti makna cerita atau ide atau gagasan sentral yang menjadi dasar cerita (Zulfahnur Z. Firdaus,dkk.,1996: 25). Lebih lanjut, Zulfahnur mengemukakan bahwa tema merupakan satu hal yang amat penting dari suatu cerita karena dengan dasar itu pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya bagaimana cerita akan dibangun dan bagaimana pula cerita itu akan berakhir.

Setiap karya sastra pasti memiliki tema. Namun, untuk mengetahui tema cerita itu harus dipahami terlebih dahulu unsur pembentuk cerita lainnya. Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 68) menyatakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik yang menyangkut persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan. Tema merupakan penyatu unsur-unsur cerita atau dapat dikatakan sebagai makna cerita. Pada dasarnya, tema merupakan sejenis komentar terhadap subjek atau pokok permasalahan, baik secara implisit maupun eksplisit. Di sisi lain, Henry Guntur Tarigan (1993: 160) menyatakan

(39)

commit to user

xxxix

bahwa tema biasanya merupakan suatu komentar mengenai kehidupan atau orang-orang. Dapat pula dikatakan bahwa tema merupakan pandangan hidup tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.

Stanton dan Kenney menyatakan tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 67). Sebuah cerita kadang-kadang juga mempunyai sub-subtema atau tema-tema tambahan yang mendukung tema utama. Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006: 43) mengungkapkan fungsi tema, yaitu untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagad raya.

Tema dapat digolongkan menjadi tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaan (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 77).

Penggolongan dikotomis meliputi tema tradisional dan nontradisional. Tema tradisional merupakan tema yang bersifat universal, telah lama dipergunakan, dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, serta umumnya merupakan pertentangan hitam putih. Sementara itu, tema nontradisional merupakan tema-tema yang mengangkat hal-hal yang tidak lazim, menentang arus, dan sulit untuk ditebak.

Penggolongan menurut Shipley, meliputi (1) tema tingkat fisik, yaitu tema yang menyaran pada mobilitas fisik manusia bukan pada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan, (2) tema tingkat organik, yaitu tema yang mengangkat masalah seksualitas, terutama mengenai kehidupan seksualitas yang menyimpang, (3) tema tingkat sosial, yaitu tema yang mengangkat tentang kehidupan sosial manusia, aksi interaksinya, konflik, dan berbagai hal yang melingkupinya, (4) tema tingkat egoik, yaitu tema yng mengangkat kehidupan manusia sebagai makhluk individu, dan (5) tema tingkat divine, merupakan tema yang membahas manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, makhluk ciptaan Tuhan, dan mengangkat masalah yang bersifat filosofis (dalam Burhan Nurgiyantoro,2005:80-82).

(40)

commit to user

xl

Penggolongan dari tingkat keutamaannya meliputi tema utama dan tambahan. Tema utama disebut juga tema mayor. Tema utama merupakan tema yang melingkupi atau menaungi cerita, sedangkan tema tambahan adalah tema yang mendukung atau mencerminkan tema utama keseluruhan cerita, dan mempertegas eksistensi tema utama.

Ada berbagai cara untuk menafsirkan tema suatu cerita. Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006: 43) mengungkapkan bahwa untuk menafsirkan sebuah tema, hal yang perlu dilakukan adalah

(a) penafsir hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang dikedepankan,

(b) penafsir tema hendaknya tidak bertentangan dengan tiap detil cerita, (c) penafsir tema hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang

tidak dinyatakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan

(d) penafsir tema haruslah mendasarkan diri pada bukti yang secara langsung ada atau yang diisyaratkan dalam cerita.

Tema dalam cerita bersifat memberi koherensi dan makna terhadap keempat unsur cerita, yaitu tokoh, plot, latar, dan cerita. Keempat unsur tersebut akan padu dan bermakna jika diikat oleh sebuah tema. Dalam cerita fiksi, biasanya tema disampaikan secara terselubung, tidak langsung, dan tersirat. Biasanya tema disampaikan melalui tingkah laku (verbal dan nonverbal), pikiran dan perasaan, serta berbagai peristiwa yang dialami tokoh tersebut.

C. Tokoh Utama

Sebelum membahas tokoh utama, ada baiknya peneliti kemukakan beberapa teknik yang digunakan oleh pengarang untuk menciptakan tokoh dalam fiksinya. Peneliti memandang penting hal itu karena keberhasilan pengarang menyajikan cerita rekaan atau fiksinya tercermin melalui pengungkapan setiap unsur cerita itu. Salah satu di antaranya adalah melalui ketepatan pelukisan tokoh cerita. Rupa, pribadi, dan watak sang tokoh harus tergambar sedemikian rupa sehingga berterima oleh kalangan pembaca.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 176) menyatakan bahwa tokoh dalam fiksi dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan dari sudut pandang penamaan. Berdasarkan sudut pandang dan tinjauan penamaan, seorang tokoh dapat

(41)

commit to user

xli

dikategorikan sebagai: 1) tokoh utama dan tokoh tambahan; 2) tokoh protagonis dan tokoh antagonis; 3) tokoh sederhana dan tokoh bulat; 4) tokoh statis dan berkembang; dan 5) tokoh tipikal dan tokoh netral.

Lebih lanjut, Burhan Nurgiyantoro (2005: 176) menjelaskan bahwa apabila dipandang dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang sangat penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagaian besar cerita. Tokoh tersebut dinamakan tokoh utama. Tokoh utama diutamakan penceritaannya dan paling banyak diceritakan dalam sebuah novel atau fiksi yang lain.

M. Atar Semi (1993: 39) mengemukakan bahwa tokoh utama(tokoh sentral) adalah orang yang mengambil sebagaian besar peristiwa dalam cerita. Biasanya peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan pandangan pembaca terhadap tokoh tersebut, misalnya menjadi benci, senang atau menjadi simpati. Dendy Sugono (2003: 142) menyatakan hal senada bahwa tokoh utama disebut juga wirawan (pahlawan), yang berarti tokoh yang paling penting dalam sebuah lakon.

Herman J. Waluyo (2002: 164) menyatakan bahwa perwatakan berhubungan dengan karakteristik atau bagaimana watak tokoh-tokoh itu sedangkan penokohan berhubungan dengan cara pandang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta nama tokoh itu. Lebih lanjut, Herman J. Waluyo menambahkan bahwa pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menggambarkan tokoh yaitu

1) Metode analitis

Metode ini merupakan metode penggambaran tokoh secara langsung. Pengarang langsung mendeskripsikan keadaan atau kondisi tokoh. Penggambaran ini biasanya dilakukan dengan menggunakan tiga cara, yaitu penggambaran secara fisik (keadaan fisik), penggambaran secara psikis (watak tokoh), dan penggambaran secara sosial (kedudukan dan pangkat). Metode deskriptif ini sering dipandang memiliki kedudukan yang rendah dibandingkan dengan metode yang lain.

(42)

commit to user

xlii 2) Metode teknik tidak langsung

Dalam metode ini, pengarang tidak menggambarkan langsung keadaan tokoh. Penggambaran dilakukan dalam suatu alur cerita melalui hubungan tokoh dengan orang lain, penampilan fisiknya, cara hidup, cara berbicaranya, dan sebagainya. Jadi, pembaca menyimpulkan sendiri wujud tokoh melalui cerita yang dipaparkan.

3) Metode Kontekstual

Metode ini merupakan metode penggambaran tokoh melalui konteks bahasa dan bacaan yang digunakan pengarang. Misalnya, seorang yang diberi julukan “buaya” maka tokoh itu mempunyai watak yang mewakili sebutan “buaya”. Penggambaran watak itu mungkin secara panjang lebar melalui tingkah laku dari tokoh sindiran.

Berdasarkan uraian di atas dapat peneliti simpulkan bahwa tokoh utama merupakan tokoh yang diprioritaskan dan dipentingkan penceritaannya. Tokoh utama juga merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun orang yang melakukan pekerjaan. Bahkan, ada tokoh yang hadir dalam setiap kejadian dan ditemui di setiap halaman novel.

D. Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang mengisahkan jalan cerita melalui perumitan ( pengawatan, atau komplikasi, pen) ke arah klimaks dan selesai. (Sudjiman dalam Indarti, 2006:50). Alur cenderung disamakan dengan jalan cerita. Alur merupakan suatu rangkaian kejadian atau peristiwa dalam karya fiksi yang susul-menyusul atau sering dikatakan sebagai jalan cerita.

Forster dalam Aspec of Novel mengartikan alur atau jalan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu. Atau peristiwa demi peristiwa yang susul menyusul. Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita. Alur dapat disusun berdasarkan tiga hal, yaitu: 1. Berdasarkan urutan waktu terjadinya (kronologi). Alur yang demikian disebut

alur linear.

(43)

commit to user

xliii

2. Berdasarkan hubungan sebab akibat (kausal). Alur yang demikian disebut alur kausal.

3. Berdasarkan tema cerita. Alur yang demikian disebut alur tematik. Dalam cerita yang beralur tematik, setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.

Adapun struktur alur adalah sebagai berikut:

1. Bagian awal, terdiri atas: 1) paparan (exposition), 2) rangsangan (inciting moment), dan 3) gawatan (rising action).

2. Bagian tengah, terdiri atas: 4) tikaian (conflict), 5) rumitan (complication), dan 6) klimaks.

3. Bagian akhir, terdiri atas: 7) leraian (falling action), dan 8- selesaian (denouement).’

Dalam membangun alur, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting tersebut adalah:

a) Faktor kebolehjadian. Maksudnya, peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya tidak selalu realistik tetapi masuk akal.

b) Faktor kejutan. Maksudnya, peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak / dikenali oleh pembaca.

c) Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.

Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan alur menjadi dinamis. Adapun hal yang harus dihindari dalam alur adalah lanturan (digresi). Lanturan adalah peristiwa atau episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok personal an yang sedang dihadapi dalam cerita.

Alur adalah pergerakan cerita dari waktu ke waktu. Ada alur progresif (runtut), ada kilas balik (flash back), dan ada percampuran antar keduanya. Alur dibangun oleh narasi, deskripsi, dialog, dan aksi/laku (action). Narasi adalah pelukisan yang dinamis, penggambaran gerak (action) tokoh-tokohnya, serta

(44)

commit to user

xliv

pergerak

Gambar

Tabel                                                                                                          Halaman
Gambar
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Tabel 1. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
+3

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Pengeluaran dan Tingkat Konsumsi Pangan Keluarga (Studi Kasus: Kelurahan Tanah Sareal, Bogor).. Institut

Jawaban menurut pendapat saya aya akan tetap berusaha juklak sesuai dengan waktu yang diberikan akan tetapi di lapangan banyak hal atau factor yang mempengaruhi dalam

Nilai gizi makanan juga didapatkan dengan adanya variasi tanaman atau ternak yang dipelihara oleh keluarga sehingga meningkatkan daya beli keluarga terhadap makanan

Gambar diatas merupakan grafik kecepatan angular roda dan kendaraan pada lock braking hasil dari simulasi MATLAB, grafik diatas menunjukkan kecepatan angular roda

Berdasarkan penelitian terdahulu penulis melihat bahwa penelitian tesebut berpengaruh negatif antara kepemilikian manajerial dan kepemilikan terhadap nilai prusahaan maka

Natural bentonite as a filler in polyurethane foam matrices will cause a different effect in electromagnetic properties and microwave absorption due to material

11 Setelah proses di atas selesai, kita tinggal membuat garis di belakang KATA PENGANTAR kemudian spasi, terus tekan Tab pada keyboard sehingga hasil seperti gambar di bawah :.

(4) Standar Pendidikan Tinggi yang Ditetapkan oleh Perguruan Tinggi disusun dan dikembangkan oleh perguruan tinggi dan ditetapkan dalam peraturan pemimpin perguruan