• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan tentang Pendekatan Struktural A.Pengertian Pendekatan Struktural A.Pengertian Pendekatan Struktural

LANDASAN TEORI

B. Aliran Feminisme

4. Tinjauan tentang Pendekatan Struktural A.Pengertian Pendekatan Struktural A.Pengertian Pendekatan Struktural

Ali Imron (2006: 20) menyatakan bahwa sesuai dengan teori Abrams, pendekatan struktural disebut juga pendekatan objektif. Teori struktural memandang karya sastra sebagai sebuah struktur yang otonom, berdiri sendiri, dan terlepas dari unsur yang berada di luar dirinya. Telaah ini terlepas dari unsur sosial, budaya, pengarang, dan pembacanya. Hal yang berada di luar pengarang seperti biografi pengarang, psikologi, sosiologi, dan sejarah tidak diikutkan dalam analisis.

Peaget dan Hawkes (dalam Ali Imron, 2006: 16) menyatakan bahwa strukturalisme mengandung tiga gagasan pokok, sebagai berikut.

a. Keseluruhan unsur-unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan, baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya;

commit to user

xxxvii

b. Transformasi struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru; dan

c. Keteraturan yang mandiri atas struktur itu yang tidak memerlukan hal yang di luar dirinya. Artinya, struktur itu otonom terhadap sistem rujukan lain.

Sementara itu, Aristoteles (dalam A. Teeuw, 2003: 100) mengenalkan strukturalisme dalam konsep: “wholeness, unity, complexity, dan coherence” . Dia memandang bahwa keseluruhan makna bergantung pada keseluruhan unsur tersebut. Wholeness berarti keseluruhan; unity berarti semua unsur harus ada; complexity berarti luasnya ruang lingkup harus memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal; dan coherence berarti sastrawan bertugas untuk menyebutkan hal-hal yang mungkin atau hal yang harus terjadi sesuai dengan konsistensi logika cerita.

Lebih lanjut A. Teeuw (2003: 112) menyatakan bahwa tujuan analisis dalam pendekatan struktural adalah memaparkan secermat, seteliti, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis itu bukan penjumlahan dari unsur, tetapi yang paling penting justru sumbangan yang diberikan oleh semua gejala pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya. Pendekatan strukturalisme memberikan peluang untuk telaah karya sastra dengan lebih rinci, namun di sisi lain justru menyebabkan masalah estetika atau makna sastra terkorbankan. Pengkajian karya sastra dengan pendekatan struktural pada umumnya hanya sampai pada analisis unsur-unsur pembentuknya. Hubungan antarunsur sebagai kebulatan dalam membentuk makna masih jarang dilakukan. Padahal unsur-unsur dalam karya sastra tidak dapat berdiri sendiri dalam keseluruhan makna. Oleh sebab itu, untuk sampai pada pengungkapan makna, penganalisis perlu memahami unsur-unsur yang berada di luar karya sastra.

Terlepas dari berbagai kelemahan pendekatan struktural di atas, pendekatan tersebut ternyata sangat populer. Hal itulah yang menyebabkannya sering digunakan dalam analisis karya sastra, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah. Pendekatan itu dipandang lebih mudah untuk dilaksanakan karena memfokuskan analisis pada unsur-unsur dan hubungan antarunsur yang

commit to user

xxxviii

membangun karya itu sendiri. Adapun aspek yang dikaji dalam pendekatan struktural adalah unsur-unsur intrinsik karya sastra yang berupa: tema, nada, suasana, alur, latar, penokohan, stilistik, dan hubungan antaraspek yang membuatnya menjadi karya sastra (Ali Imron, 2006: 20-21). Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan menguraikan Tema, Tokoh utama, Alur, Latar dan Sudut Pandang atau Point of View karena fokus kajian novel ini hanya berhubungan dengan dua unsur tersebut.

B. Tema

Setiap karya fiksi tentu saja mempunyai atau menawarkan sebuah tema kepada setiap pembacanya. Tema dalam fiksi tidaklah mudah untuk ditemukan. Tema fiksi akan lebih mudah ditemukan dengan cara memahami dan menafsirkan cerita melalui struktur pembangunnya. Oleh karena itu, tema harus didapat melalui penarikan kesimpulan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita saja. Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki seluruh cerita.

Istilah tema berasal dari kata theme dalam bahasa Inggris. Dalam pengertian sederhana, tema berarti makna cerita atau ide atau gagasan sentral yang menjadi dasar cerita (Zulfahnur Z. Firdaus,dkk.,1996: 25). Lebih lanjut, Zulfahnur mengemukakan bahwa tema merupakan satu hal yang amat penting dari suatu cerita karena dengan dasar itu pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya bagaimana cerita akan dibangun dan bagaimana pula cerita itu akan berakhir.

Setiap karya sastra pasti memiliki tema. Namun, untuk mengetahui tema cerita itu harus dipahami terlebih dahulu unsur pembentuk cerita lainnya. Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 68) menyatakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik yang menyangkut persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan. Tema merupakan penyatu unsur-unsur cerita atau dapat dikatakan sebagai makna cerita. Pada dasarnya, tema merupakan sejenis komentar terhadap subjek atau pokok permasalahan, baik secara implisit maupun eksplisit. Di sisi lain, Henry Guntur Tarigan (1993: 160) menyatakan

commit to user

xxxix

bahwa tema biasanya merupakan suatu komentar mengenai kehidupan atau orang-orang. Dapat pula dikatakan bahwa tema merupakan pandangan hidup tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.

Stanton dan Kenney menyatakan tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 67). Sebuah cerita kadang-kadang juga mempunyai sub-subtema atau tema-tema tambahan yang mendukung tema utama. Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006: 43) mengungkapkan fungsi tema, yaitu untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagad raya.

Tema dapat digolongkan menjadi tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaan (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 77).

Penggolongan dikotomis meliputi tema tradisional dan nontradisional. Tema tradisional merupakan tema yang bersifat universal, telah lama dipergunakan, dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, serta umumnya merupakan pertentangan hitam putih. Sementara itu, tema nontradisional merupakan tema-tema yang mengangkat hal-hal yang tidak lazim, menentang arus, dan sulit untuk ditebak.

Penggolongan menurut Shipley, meliputi (1) tema tingkat fisik, yaitu tema yang menyaran pada mobilitas fisik manusia bukan pada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan, (2) tema tingkat organik, yaitu tema yang mengangkat masalah seksualitas, terutama mengenai kehidupan seksualitas yang menyimpang, (3) tema tingkat sosial, yaitu tema yang mengangkat tentang kehidupan sosial manusia, aksi interaksinya, konflik, dan berbagai hal yang melingkupinya, (4) tema tingkat egoik, yaitu tema yng mengangkat kehidupan manusia sebagai makhluk individu, dan (5) tema tingkat divine, merupakan tema yang membahas manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, makhluk ciptaan Tuhan, dan mengangkat masalah yang bersifat filosofis (dalam Burhan Nurgiyantoro,2005:80-82).

commit to user

xl

Penggolongan dari tingkat keutamaannya meliputi tema utama dan tambahan. Tema utama disebut juga tema mayor. Tema utama merupakan tema yang melingkupi atau menaungi cerita, sedangkan tema tambahan adalah tema yang mendukung atau mencerminkan tema utama keseluruhan cerita, dan mempertegas eksistensi tema utama.

Ada berbagai cara untuk menafsirkan tema suatu cerita. Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006: 43) mengungkapkan bahwa untuk menafsirkan sebuah tema, hal yang perlu dilakukan adalah

(a) penafsir hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang dikedepankan,

(b) penafsir tema hendaknya tidak bertentangan dengan tiap detil cerita, (c) penafsir tema hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang

tidak dinyatakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan

(d) penafsir tema haruslah mendasarkan diri pada bukti yang secara langsung ada atau yang diisyaratkan dalam cerita.

Tema dalam cerita bersifat memberi koherensi dan makna terhadap keempat unsur cerita, yaitu tokoh, plot, latar, dan cerita. Keempat unsur tersebut akan padu dan bermakna jika diikat oleh sebuah tema. Dalam cerita fiksi, biasanya tema disampaikan secara terselubung, tidak langsung, dan tersirat. Biasanya tema disampaikan melalui tingkah laku (verbal dan nonverbal), pikiran dan perasaan, serta berbagai peristiwa yang dialami tokoh tersebut.