• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KASUS KONFLIK ANTARA KELOMPOK PEMUDA ISLAM

4.4 Kaitan antara Kebrutalan Konflik dengan Kohesivitas Kelompok

secara jelas. Coser berpendapat bahwa konflik eksternal berfungsi untuk memperkuat kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok meliputi : (1) jelasnya batas kelompok, (2) sentralisasi struktur pengambilan keputusan, (3) solidaritas anggota, (4) penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap nilai dan norma. Kohesivitas kelompok semakin kuat karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar semakin besar. Kekerasan konflik dan kohesivitas kelompok yang terjadi dalam kasus konflik antara Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola Cafe X dapat dijelaskan berdasarkan aspek-aspek kohesivitas kelompok :

1. Jelasnya Batas Kelompok

Dalam hal batas kelompok, kekerasan konflik tidak banyak memberi pengaruh dalam membentuk batasan-batasan kelompok, karena sejak semula pihak yang berkonflik adalah kelompok identitas dengan non identitas, sehingga sebelum terjadi konflik sudah terlihat batasan yang jelas antara kedua kelompok. Kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah kelompok identitas, karena menonjolkan ciri khas serta visi dan misi tertentu. Sebelum terjadinya konflik, batasan yang jelas telah terlihat dari perbedaan cara, gaya hidup, lingkungan, dan pergaulan dari masing-masing kelompok.

2. Sentralisasi Stuktur Pengambilan Keputusan

Ancaman dari luar kelompok dapat merangsang sentralisasi kekuasaan dalam suatu kelompok, namun hal ini juga tergantung pada sifat dari ancaman tersebut dan struktur di dalam kelompok itu sendiri. Dalam kasus ini, konflik telah mencapai tahap serangan/ ancaman, sehingga masing-masing kelompok memerlukan tindakan yang benar-benar terkoordinasi dan menentukan dalam kelompok. Pada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, konflik telah menaikkan

tingkat emosi dan ketegangan dalam kelompok mereka pada saat mereka merasa diacuhkan dan diremehkan. Pada tahap ini, konflik semakin berpotensi mendekati kekerasan, karena dianggap telah ada upaya-upaya untuk menentang kelompok mereka. Pada saat ketegangan semakin tinggi, upaya untuk menekan secara keras pihak kedua yang dianggap sebagai pihak yang menentang mereka juga semakin tinggi. Pada tahap ini, mereka semakin memerlukan tindakan dan keputusan yang cepat serta terkoordinasi. Akibatnya, keputusan dalam kelompok semakin ditentukan oleh pihak yang dominan dalam kelompok mereka, yaitu pimpinan kelompok atau orang lain yang dianggap mampu mengendalikan kelompok. Proses menuju tindakan penyerangan terhadap pihak Cafe X dikendalikan oleh satu orang yang berpengaruh dalam kelompok, yaitu pimpinan kelompok. Akhirnya, pengambilan keputusan oleh orang berpengaruh dalam kelompok menghasilkan aksi yang terkoordinasi. Sistem pengambilan keputusan kelompok pada saat konflik menuju kekerasan dikemukakan oleh salah satu informan dari Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, yaitu bapak DNW (30) sebagai berikut:

“kami melakukan tindakan semacam ini hanya manut saja, sesuai kata teman yang memang sudah biasa bicara di dalam kelompok dan sering memimpin Majelis Ta’lim. Jadi saya tinggal membonceng saja, karena semuanya sudah siap”. (DNW,30 tahun).

Pada saat kondisi stabil atau belum mendekati kekerasan, musyawarah kelompok lebih diutamakan sehingga keputusan anggota-anggota kelompok lebih dipentingkan daripada sentralisasi pengambilan keputusan oleh salah satu orang. Sedangkan pada kondisi yang tidak stabil atau mencapai ketegangan, keputusan dari pimpinan kelompok atau orang yang berpengaruh dalam kelompok lebih diutamakan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Dalam kasus ini, tindakan untuk memerangi kemunkaran (penyimpangan) di dalam masyarakat harus dilakukan oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, maka keputusan dari pimpinan kelompok/ orang yang berpengaruh dalam kelompok tidak dapat ditolak oleh para anggotanya. Sanksi bagi anggota kelompok yang bersikap netral atau menolak keputusan kelompok adalah sanksi moral. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bapak TOK (37) :

“Siapa yang menentang atau menolak untuk memerangi kemaksiatan, maka mereka adalah orang yang bermaksiyat juga, jadi tidak ada yang berani menolak untuk memerangi kemunkaran, mereka wajib taat sama keputusan yang tujuannya untuk mewujudkan kebaikan umat.” (TOK,37 tahun).

Pada pihak pengelola Cafe X, kekerasan konfllik tidak berkaitan terhadap struktur pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan mereka adalah kelompok kerja yang didalamnya telah terdapat susunan kerja secara hierarki, sehingga dalam kondisi apapun, pimpinan/pemilik cafe selalu menjadi orang yang bertindak untuk mengandalikan anggota dan menegakkan aturan-aturan dalam hierarki kerjanya. Sebelum dan setelah terjadi kekerasan konflik, struktur pengambilan keputusan kelompok menunjukkan kondisi yang sama, yaitu pemegang keputusan dan kekuasaan tertinggi adalah pimpinan/pemilik.

3. Solidaritas Anggota Kelompok

Berdasarkan preposisi Coser tentang fungsi konflik bagi kohesivitas kelompok, ancaman dari luar dapat merangsang kekompakan dan solidaritas dalam kelompok. Artinya, kekuatan solidaritas dan integrasi di dalam suatu kelompok semakin tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar semakin besar.

Dalam kasus konflik antara kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pihak pengelola Cafe X, kekerasan konflik menunjukkan fungsi yang sama terhadap solidaritas anggota masing-masing kelompok. Efek kekerasan konflik sama-sama dirasakan oleh kedua pihak. Setelah terjadi kekerasan yang dilakukan kelompok Pemuda Islam At-Taqwa terhadap Cafe X, tindakan hukum segera berlaku bagi kelompok yang melakukan kekerasan. Tindakan hukum ini mengarah pada ancaman hukuman pidana bagi anggota-anggota kelompok yang terlibat dalam tindak kekerasan tersebut. Akibat aksi brutal yang mereka lakukan pada 25 April 2009 lalu, tiga anggota kelompok Pemuda Islam At-Taqwa ditangkap aparat kepolisian dan terancam dijatuhi hukuman penjara karena pelanggaran pasal 170 KUHP tentang tindakan kekerasan terhadap barang/orang secara bersama-sama dan terang-terangan. Sedangkan anggota kelompok lain yang terlibat masih dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) di kepolisian. Hal ini mendorong solidaritas anggota-anggota kelompok. Upaya pembelaan dan pembebasan tiga anggota kelompok yang telah menjadi “tersangka” tindak

kriminal terus dilakukan oleh anggota kelompok lainnya. Kepedulian anggota kelompok sangat diperlihatkan, salah satunya dari upaya untuk membebaskan “rekan” mereka dari hukuman. Selama dalam masa tahanan, intensitas kunjungan anggota kelompok Pemuda Islam At-Taqwa terhadap tiga anggota kelompok mereka yang “ditahan” cukup sering dan intens. Selain itu, perlindungan terhadap anggota-anggota kelompok lain yang masih dalam DPO kepolisian juga ditunjukkan oleh kelompok. Dalam hal ini, solidaritas diartikan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa sebagai kesetiakawanan kelompok. Salah satu responden dari kelompok pemuda Islam At-Taqwa menyatakan arti solidaritas sebagai berikut :

“kalo anggota-anggota kelompok saling membantu, melindungi, pokoknya setia kawan satu sama lain ya berarti kelompok itu sudah punya solidaritas yang tinggi” ( DNW, 30 tahun).

Bagi pihak pengelola Cafe X, kekerasan konflik yang terjadi juga menunjukkan dampak yang positif bagi kelompok. Upaya-upaya untuk melindungi karyawan-karyawan wanita lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum terjadinya kekerasan konflik. Apapun persepsi mereka terhadap ancaman dan tekanan dari “kelompok penyerang”, ancaman dan tekanan dari luar itu meningkatkan dan mempertahankan solidaritas internal mereka. Hal ini juga ditunjukkan oleh “perlakuan” pimpinan/pemilik Cafe X terhadap karyawan-karyawannya. Pimpinan/pemilik Cafe X dinilai lebih meningkatkan kontrol dan perlindungannya terhadap para karyawan. Hal ini dikemukakan oleh SNT (25) sebagai berikut:

“ Mami jadi lebih sering datang ke cafe, padahal tadinya jarang karena beliau sibuk sekali, sejak kejadian itu jadi sering datang. Keamanan juga ditambah buat ngelindungi cafe dan karyawannya juga, terutama yang perempuan”(SNT, 25 tahun).

Masyarakat sekitar, terutama yang bertempat tinggal berdekatan dengan Cafe X juga melihat peningkatan solidaritas dan kewaspadaan di dalam kelompok pengelola Cafe X. Solidaritas diartikan oleh kelompok pengelola Cafe X sebagai tindakan yang saling melindungi di dalam kelompok, serta kepatuhan bersama

terhadap peraturan kelompok. Hal ini dikemukakan oleh Ibu UMI, (48) sebagai berikut:

“ gara-gara cafenya diserang mungkin Ibu DS jadi lebih hati-hati betul, sekarang kayawan-karyawan perempuannya ndak boleh keluar selama masih dalam jam kerja, mereka harus di dalam cafe saja, kalau mau makan biasanya dipesanin, lalu makanannya diantar ke dalem,pokoknya dijaga sekali” (UMI,48 tahun).

4. Penekanan Terhadap Pembangkang dan yang Menyimpang, serta Menguatkan Konformitas Terhadap Nilai dan Norma

Kohesivitas kelompok diantaranya adalah penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap nilai dan norma kelompok. Pemuda Islam At-Taqwa adalah kelompok identitas yang memiliki tujuan serta visi dan misi khusus yang selalu berusaha mereka wujudkan di dalam kelompoknya serta di dalam masyarakat, sebagai contoh adalah visi mereka dalam memberantas kemunkaran dan kemaksiatan di dalam masyarakat. Pada saat konflik menuju ketegangan yang tinggi bagi kelompok, yaitu pada saat mereka merasa diremehkan atau ditentang, keputusan untuk melakukan tindakan yang lebih “anarkis” sebagai wujud peringatan keras datang dari seseorang yang berpengaruh di dalam kelompok atau pimpinan kelompok. Pada tahap itu, para anggota kelompok semakin “menurut” atau patuh pada perintah pimpinannya dan untuk melakukan tindakan yang diperintahkan. Sebagai wujud kepatuhan terhadap aturan, norma dan nilai-nilai kelompok, tidak ada anggota yang bersikap netral terhadap pihak lawan, atau tidak berpartisipasi dalam “memerangi” pihak lawan. Hukuman terhadap penyimpangan nilai-nilai kelompok tidak diberikan secara keras, melainkan dengan ucapan-ucapan lisan dan hukuman moral yang akan menyadarkan mereka pada kewajiban mereka sebagai anggota kelompok. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden dari pihak kelompok pemuda Islam At-Taqwa sebagai berikut :

“pokoknya kalau kita sudah menghadapi masalah-masalah pelanggaran nilai-nilai Islam,kita langsung bertindak,kalo perlu aksi kekerasan ya kita lakukan, ndak ada yang menolak atau cuek-cuek saja, soalnya masalah nilai moral itu bukan main-main, kalau ada yang ndak mau bertindak ya berarti ndak merasa bagian dari kelompok ini, berarti ndak mau membela Islam” (DNW,30 tahun).