• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KASUS KONFLIK ANTARA KELOMPOK PEMUDA ISLAM

4.2 Pemetaan Aktor-Aktor Konflik

Kasus konflik antar Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola Cafe X melibatkan aktor-aktor lain yang berperan dan terlibat dalam konflik. kasus konflik yang terjadi tampak dalam Gambar 2.

Gambar 2. Pemetaan Konflik

Keterangan:

konflik atau perselisihan konflik laten

hubungan yang dekat mempengaruhi tidak ada hubungan

      Aparat kepolisian Masyarakat yang pro terhadap keberadaan Cafe X (MP) Masyarakat yang kontra terhadap keberadaan Cafe X (MK) Pemuda Islam At-Taqwa Pihak pengelola Cafe X

Gambar 2. Pemetaan Aktor-Aktor Konflik (Kasus 1).

Selain dua aktor utama, ada tiga aktor lain yang berhubungan dengan aktor utama konflik atau menjadi penyebab konflik. Dalam kasus konflik ini, pihak aparat kepolisian dengan Pemuda Islam At-Taqwa memperlihatkan hubungan yang kurang baik atau konflik dalam wujud laten. Hubungan tersebut dianalisis dalam urutan kejadian/kronologi konflik, dimana sebelum terjadi konflik dengan Cafe X, Kelompok Pemuda At-Taqwa berkonflik laten dengan aparat kepolisian karena perbedaan cara dan sasaran dalam bertindak. Aparat kepolisian selaku penegak hukum beranggapan bahwa mereka bertindak sesuai tugas dan kewenangan yang mereka miliki. Acuan dalam bertindak adalah Undang-Undang, sedangkan Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa beranggapan bahwa aparat kepolisian bersikap tidak netral karena cenderung melindungi Cafe X yang mereka anggap dapat merusak masyarakat. Akibat perbedaan cara pandang ini, terjadi konflik laten yang terlihat dari sikap masing-masing pihak yang

menunjukkan “ketidaksukaan”. Hal ini dikemukakan oleh salah satu orang yang berperan penting dalam Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa:

“Polisi itu tidak netral, mereka tidak tahu keadaan sebenarnya di masyarakat, sedangkan kami yang sehari-hari hidup di sekitar masyarakat lebih tahu, tapi namanya juga aparat, benar atau salahnya tindakan mereka ya selalu dianggap benar, masalah kalau mereka ikut-ikutan berlaku salah seperti ikut masuk di klab-klab malam dianggap wajar-wajar saja” (TOK, 37 tahun).

Meskipun kelompok pemuda Islam At-Taqwa memiliki pandangan yang kurang baik terhadap aparat kepolisian, namun aparat kepolisian tetap sebagai pihak yang berpengaruh terhadap pengendalian kegiatan di masyarakat, termasuk menindak aksi kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk menghentikan kekerasan.

Hubungan antara masyarakat yang kontra terhadap keberadaan Cafe X (MK) dengan Kelompok pemuda At-Taqwa ditandai dengan hubungan yang dekat serta hubungan pengaruh. Secara langsung, keputusan Kelompok Pemuda At-Taqwa dipengaruhi oleh pengaduan dan laporan MK mengenai keberadaan Cafe X. Hal ini menguatkan analisis bahwa terdapat hubungan yang dekat diantara mereka karena kepercayaan MK kepada kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk menangani Cafe X.

Menurut masyarakat sekitar, pada awal berdirinya Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, sebagian masyarakat mengaku terganggu dengan keberadaan Cafe X tersebut karena keadaannya yang tertutup dan “mencurigakan”, karena seluruh karyawannya adalah wanita muda, dan sebagian besar pengunjungnya adalah pria yang berusia setengah baya. Menurut mereka, jarang sekali ada remaja-remaja yang berkunjung ke Cafe X tersebut. Oleh karena itu, Cafe X tersebut dianggap tidak baik berada di lingkungan mereka, terlebih lagi masyarakat sering melihat pengunjung-pengunjung yang mabuk setelah keluar dari Cafe X tersebut. Maka, masyarakat mensinyalir bahwa Cafe X tersebut menjual minuman keras. Karena keberadaan Cafe X tersebut dianggap meresahkan, maka masyarakat yang cukup mengenal kelompok pemuda Islam At-Taqwa melakukan pengaduan mengenai keberadaan Cafe X tersebut.

Masyarakat menganggap bahwa kelompok pemuda Islam tersebut dapat mengatasi masalah Cafe X dan mengambil tindakan yang semestinya.

Namun ternyata, keberadaan Cafe X ini tidak sepenuhnya ditanggapi buruk oleh masyarakat. Masyarakat yang cukup beranggapan positif (bersikap pro) terhadap Cafe tersebut menilai bahwa Cafe X cukup “sopan” dalam menjalankan bisnisnya dibandingkan dengan cafe-cafe lain di Pekalongan. Mereka juga cukup mengenal pemilik cafe dan sejumlah karyawan cafe yang mereka nilai cukup ramah. Beberapa warga yang bersikap pro terhadap keberadaan Cafe X mengaku bahwa mereka justru merasa “diuntungkan” dengan keberadaan Cafe X tersebut. Salah satu responden yang pro terhadap dikemukakan dalam kutipan pernyataannya; “…yo saya sih ngerasa diuntungkan, PL-PL di cafe itu kan jadi langganan warung saya, jadi warung saya laris” (UMI, 48 tahun).

Masyarakat yang memiliki hubungan baik dengan pihak cafe cenderung beranggapan positif terhadap bisnis Cafe X dan orang-orang yang mengelolanya karena secara langsung mereka merasakan “manfaat” keberadaan Cafe X tersebut di sekitar lingkungan mereka. Tanggapan responden yang lain terhadap Cafe X dapat dilihat dalam kutipan pernyataan SHR sebagai berikut :

“…ndak merugikan masyarakat kok, malahan saya sering dapat penghasilan tambahan dengan iseng-iseng “markiri” mobil-mobil pengunjung, anak-anak muda di sini juga seneng kok duduk-duduk di depan cafe” (SHR, 50 tahun, buruh).

4.2.1 Aktor Utama yang Berkonflik

Gambar 2 menggambarkan secara umum pihak-pihak yang terlibat dalam konflik serta hubungan-hubungannya. Dalam pemetaan konflik, aktor-aktor yang terlibat telah terlebih dulu diidentifikasi dan dari hasil identifikasi para aktor, terdapat dua aktor utama yang berkonflik yaitu Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dan pihak pengelola Cafe X. Garis bergelombang yang menghubungkan kedua aktor utama tersebut menandakan bahwa terjadi konflik atau perselisian yang nyata/terbuka di antara keduanya. Secara umum, gambaran dua aktor utama konflik adalah sebagai berikut:

4.2.1.1 Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa

Kelompok pemuda Islam At-Taqwa merupakan kelompok pemuda masjid dari Kramatsari, yang dinamakan remaja At Taqwa yang bermisi memberantas kejahatan dan kemaksiatan yang ada di wilayah Pekalongan. Kelompok pemuda Islam ini awalnya hanya beranggotakan para pemuda Desa Kramatsari yang tergabung dalam remaja Masjid At-Taqwa, namun akhirnya keanggotaan kelompok ini meluas dan bersifat fleksibel, sehingga memberi ruang kepada siapa pun yang ingin bergabung dalam memberantas kemunkaran. Dalam melakukan aksi-aksinya, baik dalam wujud halus ataupun keras, mereka sering beraksi bersama FPI dan terkadang orang-orang di luar keanggotaan mereka juga sering ikut dalam aksi- aksi mereka. Kelompok pemuda ini sangat berpengaruh di lingkungan mereka, termasuk dalam membentuk karakter masyarakat. Bahkan kelompok pemuda Islam ini lebih berpengaruh daripada aparat desa yang sering mendapat perlawanan dari masyarakat.

Karena keanggotaan yang bersifat fleksibel dan tidak terorganisir, maka anggota sulit dikenali dan dikoordinasi. Akibatnya dalam aksi-aksi mereka cenderung ada pihak luar yang “membonceng” dengan motif hanya untuk kesenangan sehingga aksi-aksi mereka cenderung menyimpang dari yang telah dimusyawarahkan kelompok. Hal ini sering menjadi pemicu buruknya citra mereka di kalangan masyarakat dan aparat kepolisian.

Para anggota kelompok sering bertemu dalam Majelis Ta’lim yang diadakan paling tidak setiap minggu. Majelis Ta’lim membahas tajwid (kaidah Al-Qur’an), aqidah (keyakinan), dan tauhid (meng”esa”kan Tuhan). Dalam Majelis Ta’lim ini juga sering dibahas masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat dan upaya untuk memberantas kejahatan dan penyimpangan nilai-nilai agama. Dalam melakukan aksi-aksinya, kelompok pemuda Islam At-Taqwa terlebih dahulu mengadakan musyawarah anggota untuk menyusun strategi. Sebelum aksi mereka mencapai kekerasan, biasanya didahului oleh proses somasi yang “damai”.

Dalam keseharian kelompok pemuda Islam At-Taqwa, nilai-nilai kebersamaan dan musyawarah merupakan dasar hubungan sosial antar anggota-anggotanya. Salah satunya tampak pada kebiasaan berkumpul dalam suatu majelis

ta’lim yang diadakan setiap minggu, yang bertujuan untuk membahas masalah-masalah umat Islam, serta menambah pengetahuan mengenai Islam yang mencakup tajwid, aqidah, dan tauhid.

Selain itu, kepekaan sosial kelompok pemuda Islam At-Taqwa terhadap lingkungan sekitar juga sangat tinggi, tidak jarang mereka “turun tangan”dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan kenakalan remaja, perjudian, dan tindakan penyimpangan sosial lainnya. Tidak jarang masyarakat yang “menyimpang” pada akhirnya bergabung dengan kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk mendalami agama Islam.

Tindakan kolektif tampak pula ketika kelompok mereka harus berhadapan dengan sekelompok orang yang secara terang-terangan menentang keberadaan mereka dalam menegakkan aturan-aturan Islam di masyarakat. Ekspresi-ekspresi kolektif akan muncul secara spontan untuk tetap menjaga nilai-nilai agama Islam di Pekalongan, terutama di sekitar desa mereka. Ekspresi-ekspresi kolektif tersebut meliputi pemberian somasi kepada pihak terkait, protes secara lisan, dan permohonan dukungan kepada pihak kepolisian untuk menangani masalah-masalah tersebut. Tidak jarang upaya-upaya tersebut mendapat dukungan dari FPI di wilayah Pekalongan.

4.2.1.2 Kelompok Pengelola Cafe X

Cafe X berlokasi di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Cafe ini didirikan pada awal tahun 2008 dengan jumlah karyawan kurang lebih 20 orang. Karyawan-karyawan tersebut bertempat tinggal menyebar di wilayah Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan. Seperti cafe pada umumnya, Cafe X memiliki fasilitas hiburan dan restoran yang cukup banyak dikunjungi tamu dari berbagai usia. Cafe ini dimiliki oleh seorang pengusaha bernama DSR. Sebagian besar karyawan cafe ini adalah wanita. Dalam mempertahankan eksistensi cafenya, pemilik cafe juga mempekerjakan pemuda-pemuda yang bertempat tinggal di sekitar cafe sebagai petugas keamanan. Menurut hasil penelitian dan keterangan informan, cafe ini juga menjual beberapa jenis minuman beralkohol, namun penjualannya tersembunyi. Menurut keterangan masyarakat sekitar, cafe ini cukup meresahkan karena keberadaannya sangat tertutup. Namun sebenarnya,

keberadaan Cafe X ini legal dan telah sesuai dengan Perda Kabupaten Pekalongan.

4.2.2 Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Dua Aktor

Utama Konflik

Dalam analisis konflik, ingin dipahami apakah ada perbedaan “versi” mengenai berbagai unsur dalam konflik yang meliputi isu dan kronologi konflik diantara dua pihak yang berkonflik. Perbedaan pemahaman mengenai konflik dapat dianalisis dari tanggapan-tanggapan dan penjabaran kedua aktor utama mengenai konflik.

4.2.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa Konflik antar Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola Cafe X sudah terjadi sejak awal pendirian Cafe X tersebut di wilayah Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, namun diawali dalam wujud konflik laten. Pada dasarnya, aksi brutal yang terjadi pada tanggal 25 April 2009 yang dilakukan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa terhadap pengelola Cafe X merupakan akumulasi dari konflik laten antara kelompok pemuda Islam At-Taqwa dengan Pemerintah Daerah serta aparat kepolisian yang dianggap membiarkan masuknya minuman keras dan tempat-tempat hiburan malam ke wilayah Pekalongan. Keinginan kelompok ini adalah membebaskan seluruh wilayah Pekalongan termasuk wilayah Kabupaten Pekalongan dari minuman keras. Namun, Perda Kabupaten Pekalongan mengesahkan penjualan minuman dengan kadar alkohol tertentu untuk diperjual belikan di wilayah Kabupaten Pekalongan (Lampiran 4). Perda ini ternyata tidak sejalan dengan visi dan misi kelompok ini untuk memberantas “kemunkaran” dan “kemaksiatan” dalam tujuannya mewujudkan Pekalongan sebagai kota santri termasuk dalam hal ini mencegah peredaran minuman keras dan keberadaan tempat-tempat hiburan malam.

Sebelum terjadi konflik dengan pengelola Cafe X, kelompok Pemuda Islam ini sudah memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dengan aparat kepolisian. Mereka menilai bahwa gerak aparat kepolisian cenderung tidak tegas dan kurang netral dalam menyikapi masalah minuman keras dan “tempat-tempat asusila” di wilayah Pekalongan.

Sebelum konflik berujung pada tindakan penyerangan dan kekerasan yang ditujukan pada Cafe X, konflik telah ada dalam wujud konflik laten yang dimulai sejak masyarakat di sekitar Cafe X ini merasa resah dengan keberadaan Cafe X dan melaporkannya pada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, karena mereka adalah kelompok Islam yang cukup dikenal masyarakat di Kecamatan Tirto. Akhirnya, kelompok pemuda Islam At-Taqwa berusaha memberikan somasi dan peneguran-peneguran secara “halus” serta permohonan untuk bertemu dengan pemilik Cafe X untuk mendiskusikan perihal keberadaan Cafe X di tengah-tengah masyarakat Kecamatan Tirto. Namun, upaya-upaya ini tidak berhasil karena mereka mendapat perlawanan/intimidasi dari pihak-pihak yang melindungi Cafe X, yang diduga adalah sekelompok preman yang berasal dari Kota Pekalongan, dan menurut keterangan salah satu informan, cafe ini juga mendapat perlindungan dari aparat kepolisian di tingkat Polwil. Hal ini diungkapkan Bapak TOK (37,wiraswasta) sebagai berikut :

“Kami tidak “ujuk-ujuk” (tiba-tiba) menyerang, sebelumnya sudah berupaya menegur dan mengajukan permohonan untuk bertemu pemilik dan berdiskusi, tetapi kelompok kami malah diintimidasi oleh preman-preman landungsari yang membacking Cafe X tersebut dan menurut isu yang luas, Cafe X itu juga dilindungi aparat kepolisian dari tingkat Polwil”(TOK, 37 tahun).

Akhirnya, sebagai bentuk “hilang kesabaran” karena merasa ditantang dan diremehkan, mereka melakukan peyerangan secara keras terhadap Cafe X pada malam hari dengan melibatkan 20 orang. Mereka memakai pakaian serba hitam dan cadar. Aksi penyerangan yang mereka sebut “sweeping” ini disertai aksi pemukulan terhadap sejumlah pengelola cafe dan pengunjung karena merasa geram. Mereka juga merusak properti milik cafe, sehingga pada saat itu keadaan cafe benar-benar hancur.

Beberapa menit setelah aksi penyerangan, aparat kepolisian langsung datang ke TKP dan meringkus pelaku penyerangan. Dari 20 orang pelaku, hanya 3 orang yang berhasil diringkus dan sisanya masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mereka dijerat pasal 170 KUHP. Pelaku juga mendapat tuduhan pencurian karena dari pihak pengelola cafe melaporkan bahwa setelah penyerangan banyak barang milik karyawan dan pengunjung yang hilang. Namun,

menurut informan dari pihak kelompok ini, keterangan tersebut hanya bentuk “akal-akalan” dari pihak Cafe agar pelaku dikenai sangsi yang lebih berat. Hal ini dikemukakan oleh Bapak TOK sebagai berikut :

“Mereka mengaku banyak barang yang hilang, tapi kami tahu itu hanya akal-akalan saja, sudah biasa setelah aksi sweeping pasti dari pihak yang bersangkutan membuat laporan palsu ada barang yang hilang, dan sebagainya. Mereka juga bilangnya dipukuli pakai kayu, tapi padahal kayu-kayu itu sudah ada di cafenya, tinggal ambil saja”. (TOK,37)

Menurut informan dari pihak kepolisian, aksi mereka tidak perlu dilakukan karena Perda miras di Kabupaten Pekalongan mengesahkan penjualan miras dengan kadar alkohol tertentu. Di sisi lain, kelompok pemuda Islam At-Taqwa menganggap bahwa minuman keras dengan kadar berapapun tetap tidak diperbolehkan beredar di Kabupaten Pekalongan. Kasus ini hanya salah satu gambaran konflik kepentingan antara sekelompok orang yang bermisi mewujudkan masyarakat yang taat pada agama Islam dengan aparat kepolisian yang bermisi melindungi kebebasan dan ketenangan di masyarakat. Namun, cara mereka tidak sejalan sehingga seringkali terjadi perbedaan pandangan yang akhirnya mengakibatkan rasa saling tidak percaya. Hal ini merupakan salah satu wujud konflik laten antara Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan aparat kepolisian. Hal ini diungkapkan salah seorang informan dalam Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa sebagai berikut :

“saya sudah pernah beberapa kali masuk penjara karena aksi-aksi semacam ini, pada waktu di penjara,polisi itu bertindak berlebihan terhadap saya,karena saya dianggap berbahaya, ketakutan mereka itu terlalu berlebihan terhadap orang-orang seperti kami. Masa saya mau solat aja harus dikawal 4 orang polisi, itu juga katanya masih terlalu longgar pengamanannya, sepertinya saya ini penjahat saja” (DW,30 tahun).

Kelompok pemuda Islam At-Taqwa menganggap bahwa aparat kepolisian hanya sebatas menegakkan hukum dengan “buta”, yang artinya mereka tidak mengetahui secara persis keadaan yang sebenarnya di masyarakat. Kelompok pemuda Islam At-Taqwa merasa lebih berhak dan tepat melakukan aksi mereka daripada upaya penegakkan aparat kepolisian yang tidak netral. Kasus penyerangan yang dilakukan pemuda Islam At-Taqwa terhadap Cafe X

yang terjadi pada 25 April 2009 sampai saat ini masih diperkarakan di Pengadilan Negeri Pekalongan, sedangkan Cafe X yang diduga menjual minuman keras, hingga kini masih dibebaskan melanjutkan usahanya. Tuntutan untuk segera menutup Cafe X tersebut tetap diajukan oleh anggota kelompok pemuda At-Taqwa yang lain. Dari hasil wawancara mendalam peneliti dengan beberapa informan dan responden dari pihak kelompok pemuda Islam At-Taqwa, maka secara analitis, pemahaman konflik berdasarkan urutan kejadiannya menurut Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dapat digambarkan dalam kronologi konflik pada Gambar 3.

Awal berdirinya Cafe X yang belum cukup mendapat perhatian masyarakat.

Cafe X mulai memancing perhatian masyarakat sekitar karena kondisinya yang cukup “tertutup”. Masyarakat sekitar mulai memi tolong pada para remaja untuk melakukan Januari 2008

Pertengahan 2008

nta penggeledahan terhadap Cafe X.

Informasi mengenai keberadaan Cafe X mulai sampai ke telinga Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, dan kelompok ini mulai berupaya untuk melayangkan somasi dan permohonan untuk bertemu dengan pemilikCafe X

September 2008

Oktober-November 2008

Kelompok Pemuda At-Taqwa mendapat intimidasi dari sekelompok preman yang membacking Cafe X.

Perwakilan kelompok Pemuda At-Taqwa mengajukan permohonan pada aparat kepolisian setempat untuk mendampingi penggeledahan Cafe X tetapi tidak mendapat respon

Kelompok Pemuda At-Taqwa melakukan penyerangan secara keras terhadap Cafe X dengan membawa anggota sebanyak 20 orang.  Januari 2009

April 2009

Gambar 3. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa.

Menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa, sejak awal dibukanya Cafe X, yaitu pada Januari 2008, telah muncul berbagai polemik dalam masyarakat. Sebagian masyarakat menaruh curiga terhadap Cafe X. Pada pertengahan 2008, beberapa pemuda di sekitar Cafe X melaporkan perihal keberadaan Cafe X tersebut kepada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang berlokasi di Desa Kramatsari, kecamatan Tirto. Pada bulan September 2008, pihak Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa mulai berupaya untuk mengatasi kecurigaan masyarakat dengan cara mengajukan permohonan untuk bertemu dengan pihak pengelola dan pemilik Cafe X untuk mengetahui apa saja yang ada di dalam Cafe X tersebut, namun somasi mereka tidak ditanggapi oleh pihak yang bersangkutan. Pada sekitar bulan Oktober dan November, pihak pemuda Islam At-Taqwa mengaku mendapat intimidasi dari sekelompok preman yang melindungi Cafe X. namun bentuk intimidasi yang telah dilakukan tidak diungkapkan oleh informan. Pada Januari 2009, Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa telah mengajukan permohonan kepada aparat kepolisian untuk mendampingi mereka dlam melakukan penggeledahan terhadap Cafe X untuk membuktikan kecurigaan masyarakat, namun permohonan mereka tidak dihiraukan. Akhirnya, sebagai bentuk “kegeraman” mereka karena terus-menerus tidak ditanggapi oleh pihak Cafe X dan aparat kepolisian, pada bulan April 2009 lalu mereka melakukan aksi “sweeping” terhadap Cafe X.

Sejak terjadinya “aksi brutal” yang dilakukan oleh pemuda Islam At-Taqwa terhadap Cafe X, masalah miras dan tempat-tempat hiburan di Pekalongan

masih sering dipermasalahkan karena dianggap merusak umat. Hal ini berarti harus ada peninjauan ulang terhadap Perda Kabupaten Pekalongan yang dianggap tidak wajar dan tidak berusaha membentuk masyarakat yang baik. Namun, kelompok pemuda Islam At-Taqwa tidak dapat dengan mudah merealisasikan visi dan misi mereka.

Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok dengan kedua belah pihak yang berkonflik, yaitu Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dan Pengelola Cafe X, mengungkapkan bahwa terdapat masalah inti yang berbeda yang menimbulkan konflik diantara keduanya yang berujung pada tindak kekerasan. Masalah inti dari konflik yang terjadi menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah penyimpangan nilai-nilai agama Islam yang diperlihatkan oleh aktivitas Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Akar dari masalah tersebut adalah Peraturan Daerah yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakat di Kabupaten Pekalongan yang dikenal sebagai masyarakat Kota Santri. Akar masalah yang lain adalah tindakan aparat keamanan yang dinilai tidak amanat, yaitu cenderung mendukung keberadaan tempat-tempat hiburan yang menyalahi aturan-aturan Islam, bahkan cenderung melindunginya. Hal ini menunjukkan indikasi adanya konflik laten antara kelompok pemuda Islam At-Taqwa dengan aparat keamanan. Dari konflik yang terjadi, muncul efek positif dan negatif yang dirasakan oleh pihak Kelompok pemuda Islam At-Taqwa. Efek positif yang muncul diantaranya adalah keeratan kelompok dan kewaspadaan kelompok. Efek negatif yang dirasakan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah kebencian terhadap aparat keamanan, dendam dan kecurigaan, serta ketidakadilan hukum yang diperoleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa akibat konflik. Berbagai aspek yang berhubungan dengan terjadinya konflik yang meliputi masalah inti, sebab-sebab awal, dan efek-efek yang muncul akibat konflik menurut pandangan kelompok pemuda Islam At-Taqwa dapat digambarkan dalam bentuk pohon konflik sebagai berikut (Gambar 4).

Kewaspadaan kelompok (+)

Dendam dan kecurigaan (-) EFEK

Kebencian (-) Ketidakadilan hukum (-) Keeratan kelompok MASALAH INTI (+) Aparat keamanan AKAR Peraturan Daerah yang tidak amanat

yang tidak sesuai

Penyimpangan

nilai-nilai

agama Islam

Gambar 4. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa.

4.2.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Pengelola Cafe X

Menurut pihak pengelola Cafe X, pada Sabtu malam, tepatnya tanggal 25 April 2009 pukul 21.30 malam, terjadi aksi penyerangan brutal terhadap Cafe X yang dilakukan oleh puluhan orang dengan pakaian “ninja”. Aksi mereka dikatakan brutal karena mereka tidak hanya melukai beberapa pengelola cafe dan pengunjung, tetapi juga merusak properti cafe. Sekelompok penyerang tersebut datang secara bergerombol dengan mobil dan beberapa diantaranya menggunakan motor. Setelah tiba di pintu gerbang Cafe X, sebagian dari mereka menjaga di