• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian Konflik

Menurut Fisher, et.al. (2000), konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Menurut Pruit dan Rubin dalam Susan (2009), konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak tertentu tidak dicapai secara simultan. Menurut Widjarjo, et.al. (2002), konflik merupakan situasi yang apabila seseorang atau sekelompok orang (bisa lebih) menunjukkan praktek-praktek untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai benda atau kedudukan yang diperebutkan. Maka secara sederhana, konflik dapat diartikan sebagai pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan.

Dari pengertian-pengertian konflik yang begitu panjang, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan jika akan melakukan kajian mengenai konflik. Pertama, adanya keterlibatan dua pihak atau lebih atas suatu hal, baik bersifat abstrak atau konkrit. Berangkat dari suatu hal yang menjadi sumber konflik ini, terjadilah perbedaan antar pihak-pihak yang terlibat. Perbedaaan yang ada merupakan potensi untuk terjadinya konflik. Kedua, secara general dapat dikatakan bahwa konflik merupakan suatu proses yang eksis dan innate atau melekat dalam kehidupan manusia. Ketiga, konflik mengacu pada suatu proses sosial yang disosiatif (saling menjauhkan). Namun demikian, konflik juga merupakan unsur terpenting daam kehidupan manusia karena konflik memiliki fungsi positif (Coser, 1957). Konflik tidak hanya berwajah negatif, tetapi juga berfungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan- perubahan sosial yang diakibatkannya.

2.1.2 Teori Konflik

Teori konflik pada dasarnya berusaha menjelaskan dan menganalisis secara komprehensif konflik dalam kehidupan sosial yang meliputi ; 1) sebab/

isu konflik, 2) fungsi konflik, 3) bentuk/ ekspresi (intensitas) konflik, dan 4) aktor/ pelaku konflik. Teori konflik merupakan teori penting masa kini yang menekankan kenyataan sosial di tingkat struktur sosial daripada tingkat individual, antarpribadi, atau antarbudaya. Berdasarkan titik berat teori konflik, yaitu pada sebab, fungsi, ekspresi dan pelaku konflik, maka secara berurutan teori-teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Konflik Berdasarkan Sebab/ isu konflik

Coser (1957) membuat suatu pembedaan yang penting mengenai konflik yang disebabkan isu-isu realistik, yang selanjutnya disebut konflik realistik dengan konflik yang disebabkan isu-isu non realistik yang selanjutnya disebut konflik non realistik. Konflik realistik memiliki sumber yang konkret atau bersifat material, seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Konflik realistik merupakan suatu alat untuk suatu tujuan tertentu yang jika tujuan itu tercapai mungkin akan menghilangkan sebab-sebab dasar dari konflik itu. Artinya, jika masing-masing aktor konflik telah memperoleh sumber konflik yang berupa materi, maka konflik akan berhenti dengan sendirinya. Bila sumber itu dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka sangat memungkinkan konflik dapat diatasi dengan mudah. Secara sederhana, konflik yang realistik diarahkan ke objek/sumber dari konflik itu. Konflik ini merupakan rangsangan utama untuk perubahan sosial. Hal ini dikemukakan Coser (1957) dalam The Function of Social Conflict sebagai berikut :

“in realistic conflict, there exist functional alternatives with regard to the means of carrying out the conflict, as well as with regard to accomplishing desired results short of conflict” (Coser, 1957 : 156)

Berbeda dengan konflik realistik, konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis misalnya konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik non realistik merupakan tujuan dari konflik itu sendiri. Konflik ini merupakan suatu cara untuk menurunkan ketegangan di dalam kelompok atau mempertegas identitas suatu kelompok. Cara ini mewujudkan bentuk-bentuk kekerasan yang

sesungguhnya berasal dari sumber-sumber lain. Statement Coser mengenai konflik non-realistik dalam The function of Social Conflict adalah sebagai berikut :

“in realistic conflict, there exist functional alternatives with regard to the means of carrying out the conflict, as well as with regard to accomplishing desired results short of conflict” (Coser, 1957 : 156)

Selain konflik realistik dan non realistik menurut Coser, konflik berdasarkan sebab/ isu yang melatarbelakanginya juga dijelaskan oleh Fisher, et.al (2000). Sebab/ isu yang melatarbelakangi konflik dapat dijelaskan menurut teori sumber konflik diantaranya adalah : (1) Teori Hubungan Masyarakat. Konflik ini disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. (2) Teori Negosiasi Prinsip. Konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. (3) Teori Kebutuhan Manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak dipenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. (4) Teori Identitas. Dalam teori ini dijelaskan bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan dimasa lalu yang tidak diselesaikan. Identitas sangat dipengaruhi oleh hubungan dengan orang lain dan oleh budaya yang dominan. (5) Teori Kesalahpahaman antar Budaya. Konflik disebabkan oleh ketidakcocokkan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. (6) Transformasi Konflik. Konflik dianggap disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah- masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Teori-teori mengenai penyebab konflik menurut Fisher, et.al. (2000) sangat membantu dalam mengelola konflik. Sebagai contoh, dalam menganalisis konflik non realistik yang terjadi dalam masyarakat, teori negosiasi prinsip sangat berperan dalam memahami fenomena konflik yang terjadi. Teori negosiasi prinsip

berupaya untuk memahami dan menganalisis konflik dari perbedaan sudut pandang/penafsiran kedua aktor yang berkonflik. Perbedaan sudut

pandang/penafsiran tersebut biasanya menyangkut isu penyebab konflik. Seringkali kedua aktor konflik mengungkapkan isu yang berbeda mengenai penyebab konflik. Perbedaan sudut pandang ini dikarenakan posisi kedua aktor yang berbeda sehingga menyebabkan kepentingan yang berbeda.

Teori identitas juga dapat digunakan dalam menganalisis konflik non realistik dan realistik yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Dalam teori ini, dapat dilihat bagaimana kedua aktor konflik memandang diri mereka sendiri, sedangkan cara pandang pihak lain terhadap mereka berbeda. Salah satu aktor beranggapan bahwa dirinya yang paling kuat dan paling berkuasa, namun aktor lain menganggap sebaliknya dan menilai kekuatan dan kekuasaan tersebut untuk dirinya sendiri. Selain itu, teori identitas berusaha “menguak” akar permasalahan yang terpendam di masa lalu yang mengakibatkan konflik “diperpanjang” bahkan isu konflik berubah menjadi isu lain. Sebagai contoh adalah konflik tanah di suatu daerah yang terjadi selama puluhan tahun dapat berubah menjadi konflik yang tidak jelas lagi isunya atau menjadi non realistik pada generasi aktor konflik berikutnya.

2) Fungsi Konflik dan Kekerasan Konflik

Fungsi konflik merupakan salah satu bagian dalam teori konflik. Teori fungsi konflik menjelaskan kaitan antara kekerasan konflik dan fungsi konflik. Acuan teori ini adalah pandangan Coser (1957) mengenai konflik sosial sebagai suatu hasil dari faktor-faktor lain daripada perlawanan kelompok kepentingan, serta pandangan bahwa konflik berdampak pada stabilitas dan perubahan sosial. Pada dimensi ini, Coser memperlihatkan bagaimana konflik memiliki fungsi terhadap sistem sosial. Ia menolak bahwa hanya konsensus dan kerjasama yang memiliki fungsi terhadap integrasi sosial.

Menurut Coser, konflik tidak hanya berwajah negatif. Konflik memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan sosial yang diakibatkannya. Coser menekankan bahwa konflik sosial berfungsi dalam sistem sosial, khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, produktivitas, dan kemudian memperhatikan hubungan antara konflik dan perubahan sosial. Konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi fungsi positif dalam masyarakat.

Dalam bukunya The Function of Social Conflict, Coser memberi perhatian pada fungsi konflik terhadap kohesi kelompok (group cohesion). Dalam hal ini Coser mengaitkan antara konflik eksternal dan internal kelompok terhadap keeratan hubungan di antara anggota kelompok. Istilah kohesi kelompok sebagaimana yang disebutkan Coser dapat dilihat pada solidaritas kelompok, atau dalam istilah sehari-hari disebut kekompakan atau kesetiakawanan kelompok. Secara rinci, Coser menjelaskan dua jenis konflik yang dapat mempengaruhi sistem dalam kelompok sebagai berikut :

1) Konflik Eksternal.

Konflik eksternal (external conflict) dianggap dapat mampu menciptakan dan memperkuat identitas kelompok. Coser menyatakan bahwa konflik dapat memperjelas batasan di antara kedua kelompok dalam sistem sosial dengan memperkuat kesadaran anggota-anggota dalam suatu kelompok bahwa mereka merupakan bagian dari kelompoknya sehingga tercipta kesadaran identitas kelompok dalam sistem. Konflik eksternal dengan kelompok lain dapat mengalihkan “ketegangan” dan permusuhan dalam kelompok kepada musuh di luar kelompok (common enemies), sehingga masing-masing anggota kelompok berusaha untuk mempererat kembali hubungannya dengan anggota kelompok yang lain. Penjelasan ini secara rinci dikemukakan oleh pernyataan Coser sebagai berikut:

"… conflict sets boundaries between groups by strengthening group consciousness and awareness of separateness from other groups” ( Coser, 1957:37).

“… external conflict will be change to be a process of referancy identity groups identity referancy about outgroup so that it improves participation of each members to group organization. Identity group out of them is a negative reference group” ( Coser, 1957: 90).

2) Konflik Internal

Selain konflik eksternal, konflik internal (internal conflict) memberi fungsi positif terhadap kelompok identitas mengenai kesalahan perilaku. Ada perilaku anggota yang dianggap menyimpang dari teks norma kelompok sehingga perlu dikoreksi oleh kelompok tersebut. Konflik yang terjadi dalam kelompok dapat menjadi faktor yang dapat “mencairkan” ketegangan-ketegangan dalam hubungan di antara anggota kelompok, sehingga tidak ada efek dipendamnya suatu

kebencian dalam kelompok. Coser menyatakan bahwa konflik di dalam kelompok berfungsi sebagai penyeimbangan (balancing system).

Dengan demikian, konflik internal dan eksternal dinilai dapat berfungsi positif terhadap sistem dalam kelompok, namun fungsi konflik lebih tampak pada konflik eksternal karena lebih memperkuat keeratan dalam kelompok akibat ancaman-ancaman dari pihak luar. Kekuatan solidaritas internal dapat meningkat ketika terjadi konflik dengan out group. Namun demikian, konflik yang terjadi dengan kelompok luar (out group) dapat berfungsi maksimal jika telah sampai pada tahap manifest (terbuka) yang keras.

Berkaitan dengan kekerasan konflik, yang disebut Coser sebagai kebrutalan konflik, fungsi konflik terhadap kohesi kelompok dalam akan menguat jika kekerasan konflik juga semakin kuat. Kekerasan pada dasarnya berbeda dengan konflik. Menurut Fisher, et. al. (2000), kekerasan adalah bentuk tindakan, perkataan, sikap berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Kekerasan dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lain dan menyebabkan luka-luka. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan kelompok lainnya juga merupakan bentuk kekerasan. Ancaman atau teror dari satu kelompok yang menyebabkan ketakutan atau trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan. Tidak semua konflik berujung pada kekerasan. Beberapa konflik dapat mencapai konsensus dan perdamaian sebelum mencapai tahap kekerasan. Namun, dalam kaitannya dengan fungsi konflik, konflik yang telah mencapai tahap kekerasan yang melibatkan dua kelompok lebih berfungsi secara nyata terhadap kohesivitas kelompok dalam (in group cohesion).

Secara rinci, Coser membuat preposisi mengenai fungsi konflik berkaitan dengan kekerasan/kebrutalan yaitu: (1) semakin brutal atau intens konflik, semakin menyebabkan jelasnya batasan kelompok, sentralisasi struktur pengambilan keputusan, solidaritas anggota, penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap norma. (2) semakin suatu konflik menyebabkan pusat kekuasaan menekan konformitas dalam

kelompok, semkin besar akumulasi permusuhan, dan semakin besar kemungkinan konflik internal muncul dalam jangka panjang.

Dalam preposisi tersebut, Coser menekankan bahwa fungsi konflik bagi kohesivitas kelompok akan lebih terlihat nyata pada saat konflik semakin keras/brutal dengan kelompok luar. Preposisi Coser yang lain mengenai kebrutalan konflik dan isu konflik adalah sebagai berikut: (1) jika konflik menyangkut isu yang realistik, kemungkinan terjadi kompromi untuk mencari jalan bagi pencapaian tujuan, dan karena itu kurang brutal. (2) Jika konflik menyangkut isu yang tidak realistik, maka akan semakin besar tingkat keterlibatan dan emosi dalam konflik, sehingga semakin brutal konflik yang terjadi, khususnya jika: a) menyangkut nilai pokok/ dasar, b) konflik yang berlarut- larut.

Dari preposisi Coser mengenai kebrutalan konflik, dapat disimpulkan bahwa terdapat alur untuk mencapai fungsi konflik bagi kohesi kelompok yang titik awalnya adalah isu konflik. Isu non realistik lebih berpotensi untuk mewujudkan konflik yang keras atau brutal. Maka pada saat aktor-aktor konflik menghadapi situasi konflik yang berakar pada isu realistik, potensi terjadi kekerasan/ kebrutalan di antara keduanya sangat besar. Jika telah mencapai tahap ini, fungsi konflik pada kohesi kelompok dalam akan semakin terlihat.

3) Konflik Berdasarkan Sasaran dan Perilaku

Konflik dibedakan di antara dua sumbu, yaitu sasaran dan perilaku. Hal ini sesuai dengan definisi konflik menurut Fisher, et.al. (2000) bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu dan kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sasaran adalah objek/ apa yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak. Sedangkan perilaku yang dimaksud adalah bagaimana cara mereka bertindak untuk memperoleh sasaran-sasaran tersebut. Perilaku dapat selaras satu sama lain dan bertentangan satu sama lain. Jika perilaku selaras, potensi terjadinya konflik kecil dan memungkinkan kondisi tanpa konflik. Sedangkan perilaku bertentangan satu sama lain akan menimbulkan konflik. Bentuk konflik tergantung dari bentuk perilaku masing-masing pihak yang berkonflik.

Berdasarkan sasaran dan perilaku, konflik dapat diklasifikasikan dalam 4 (empat) tipe, yaitu ; (1) tanpa konflik. Setiap kelompok atau masyarakat ingin

hidup damai. Jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. (2) konflik laten. Konflik laten adalah konflik yang sifatnya tersembunyi sehingga perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara efektif. (3) konflik terbuka, adalah konflik yang berakar “dalam” dan “sangat nyata”, sehingga memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. (4) konflik di permukaan, yaitu konflik yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.

4) Konflik Berdasarkan Tahapan/Intensitas

Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktifitas, intensitas, ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Tahap- tahap ini penting sekali diketahui dan digunakan bersama alat bantu lain untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik. Konflik dapat terjadi dalam beberapa tahap, yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik (Fisher, et.al., 2000). Tahapan-tahapan tersebut dapat dideskripsikan sebagai yaitu: (1) Prakonflik. Tahapan Ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. (2) Konfrontasi. Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua belah pihak. Hubungan di antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di antara para pendukung di masing-masing pihak. (3) Krisis. Tahap ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/ atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar ini ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara kedua belah pihak kemungkinan terputus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lain. (4) Akibat. Pada tahapan ini, tingkat ketegangan,

konfrontasi, dan kekerasan agak menurun dengan memungkinkan adanya penyelesaian. Sebagai contoh adalah perubahan pola hubungan masyarakat, kerekatan hubungan antara masyarakat dengan pemerintah, munculnya tata aturan baru dan lain-lain. (5) Pascakonflik. Situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah- masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak dapat disesesaikan dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra konflik.

Menurut Nader dan Todd dalam Lintong (2005), berdasarkan tahapan evolusi atau prosesnya, konflik mengalami suatu siklus sebagai berikut :

1) Grievance (keluhan) atau tahap pra-konflik.

Tahapan ini disebut sebagai tahapan yang bersifat monadic karena hanya melibatkan satu pihak saja. Pada tahapan ini, seseorang atau satu kelompok orang melihat suatu kondisi dimana mereka merasa tidak mendapatkan keadilan atau apa yang seharusnya didapatkan. Keadaan ini merupakan suatu kebenaran subjektif yang mungkin secara objektif benar tapi mungkin saja tidak benar. Namun, dari sinilah kemarahan dan keluha muncul. Situasi ini merupakan kondisi potensial untuk terjadinya eskalasi konflik. Pada saat satu pihak merasa dirugikan, ia dihadapkan pada pilihan-pilihan tindakan yang pengaruhnya besar pada kondisi selanjutnya.

2) Conflict

Tahapan kedua adalah tahapan yang disebut sebagai tahapan conflict, dimana pihak yang merasa dirugikan tadi memilih untuk menyampaikan ketidakadilan yang dialami atau dirasakannya pada pihak lain yang memberikan ketidakadilan itu dengan berbagai macam cara, baik verbal maupun non verbal. Dengan diungkapkannya rasa ketidakadilan ini, maka ada dua pihak yang kini memiliki dan mengetahui kebenaran subjektif masing- masing yang saling berlawanan. Karena ada dua pihak yang menyadari dan terlibat dalam tahapan ini, maka tahapan ini disebut sebagai tahapan dyadic. Apa yang terjadi kemudian, kini bergantung pula pada kedua pihak ini,

apakah mereka akan menyelesaikan sendiri atau menaikkan suhu konflik memasuki tahapan lebih lanjut.

3) Dispute (sengketa)

Jika tahapan conflict tidak juga mereda, dan bahkan persoalan mereka ini diketahui oleh khalayak ramai baik atas inisiatif salah satu pihak, kedua belah pihak ataupun pihak ketiga , maka masuklah tahapan berikutnya, yaitu tahap dispute atau sengketa. Tingkatan ini secara berurutan menunjukkan semakin parahnya keadaan. Tingkatan yang pertama adalah ketegangan (hardening), dimana masing-masing pihak menunjukkan sikap keras dan muncul suatu ketegangan karena masing-masing bertahan pada kebenaran subjektifnya. Tingkatan yang kedua yaitu perdebatan atau polemik mungkin dilakukan. Tahap ini ditandai dengan ketidakmauan masing-masing pihak untuk mendengarkan pihak lain.

Kedua teori tersebut, baik yang dikemukakan oleh Fisher, maupun Nader dan Todd sama-sama menunjukkan tingkat “keparahan” dari suatu konflik, dimana konflik dimulai dari suatu fenomena yang biasa menjadi tidak bisa dengan “dibumbui” ketegangan-ketegangan yang semakin meningkat. Namun, jika diperhatikan, terdapat perbedaan point of view dalam memetakan tahapan- tahapan konflik tersebut. Fisher memetakan tahapan konflik berdasarkan urutan- urutan kejadian yang telah ditempatkan menurut waktu. Urutan kejadian merupakan daftar waktu yang menggambarkan kejadian-kejadian secara kronologis.

Sedangkan menurut Nader dan Todd, penahapan konflik lebih berdasarkan pada keterlibatan aktor-aktor konflik, dimana pada tahap grievance, hanya satu pihak yang terlibat, yaitu pihak yang merasa dirugikan. Kemudian pada tahap conflict, ada dua pihak yang terlibat, karena pihak pertama, atau pihak yang merasa dirugikan telah menyampaikan keluhannya kepada pihak kedua. Tahap ini menentukan apakah akan ada pihak lain yang terlibat dalam konflik. Jika konflik semakin memanas dan mendorong pihak ketiga untuk resolusi konflik, maka tahap konflik telas sampai pada tahap dispute.

Kriesberg (1998), berpendapat bahwa tahapan- tahapan yang luas melalui perjuangan cenderung bergerak, dan bervariasi dalam hal berapa lama suatu tahap

berakhir, transisi dari satu tahap ke tahap berikutnya secara berurutan. Pada tahapan awal konflik, upaya perjuangan menjadi nyata dan manifest. Empat hal yang terjadi pada tahapan ini adalah: (1) paling tidak satu pihak memiliki identitas diri, uang membedakan dari pihak lainnya, (2) salah satu pihak memiliki kondisi- kondisi yang dirasakan tidak adil atau tidak memuaskan, (3) salah satu anggota meyakini bahwa kondisi yangtidak memuaskan tersebut dapat diatasi melalui perubahan pada pihak lainnya, (4) memiliki keyakinan bahwa mereka dapat bertindak untuk mencapai tujuan tersebut.

Konflik menjadi manifest apabila salah satu pihak mengekspresikan keyakinannya tersebut dengan memobilisasi pendukung-pendukung atau dengan mencoba secara tidak langsung mempengaruhi pihak lawannya untuk mencapai tujuan mereka. Kriesberg (1998) membuat penahapan mengenai konflik yang disebut sebagai siklus konflik. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

1) Eskalasi Konflik

Tahap eskalasi merupakan tahapan yang relatif lama. Pada tahapan ini, perlawanan menjadi nyata dan masing-masing berusaha untuk mencapai tujuannya, meningkatkan usaha-usaha mereka dengan memperkuat sarana- sarana yang mereka gunakan dan megumpulkan dukungan-dukungan. Pada awalnya, cara-cara yang digunakan bersifat persuasif dan bisa jadi menjanjikan hasil yang menguntungkan, namun demikian dapat saja terjadi bentuk kekerasan atau