• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian yang dilakukan oleh Rony (1996) mengenai transaksi jual beli lahan di kota Bogor menunjukkan bahwa biaya transaksi yang muncul pada saat jual beli tersebut dapat digolongkan menjadi tiga yaitu (i) biaya kontrak, (ii) biaya pengawasan dan penegakan hukum, dan (iii) biaya informasi. Biaya kontrak adalah biaya yang diperlukan untuk pembuatan akta kesepakatan jual beli, dalam hal ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk jasa pejabat pembuat akta tanah (camat dan notaris) berikut para saksi. Biaya pengawasan dan penegakan hukum adalah biaya yang diperlukan untuk melakukan pengamanan dan jaminan bahwa pelaksanaan suatu keputusan hukum jual-beli dapat berlangsung lancar dan mencegah pihak luar yang tidak berkompeten terlibat dalam kegiatan transaksi. Biaya informasi adalah biaya yang diperlukan untuk memperoleh seluruh informasi mengenai lahan, penjual, pembeli, harga, kondisi, dan mekanisme perolehannya. Biaya ini berbentuk biaya jasa yang diberikan kepada calo tanah atas keterlibatannya dalam jual beli lahan (Rony 1996).

Beberapa temuan penting dari penelitian tersebut adalah (i) hak kepemilikan yang semakin lengkap (dalam bentuk lahan yang berstatus hak milik) dapat lebih menurunkan biaya transaksi. Pada hak kepemilikan yang kurang lengkap (dalam bentuk lahan yang berstatus milik adat), biaya transaksinya menjadi lebih besar utamanya pada biaya kontrak, (ii) kelembagaan formal yang kurang ditegakkan (dalam bentuk aturan mengenai biaya legalisasi akta jual beli dan biaya administrasi pengurusan izin prinsip) menyebabkan biaya transaksi menjadi meningkat karena pungutan-pungutan dikenakan melebihi ketentuan. Praktek-praktek inipun sebenarnya juga telah melembaga. Chhibber (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) memang menyebutkan bahwa praktek-praktek korupsi menjadi kontributor biaya transaksi, (iii) meskipun keterlibatan pihak ketiga (dalam penelitian ini adalah calo tanah) meningkatkan biaya transaksi, namun keterlibatannya tetap saja dibutuhkan karena para calo tanah ini menyediakan segala informasi yang diperlukan sehingga calon pembeli dapat menghindarkan diri dari kerugian atas suatu transaksi.

Penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2005) di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa setiap Rp 100,00 dari penerimaan petani pemilik, maka Rp 19,00 harus dikeluarkan sebagai biaya transaksi atau dengan kata lain rasio biaya transaksi terhadap penerimaan (transaction cost to

benefit ratio) adalah sebesar 0,19. Untuk petani penggarap, rasionya lebih kecil yaitu 0,18.

Jika dilihat rasio biaya transaksi terhadap biaya total (transaction cost to total cost ratio), maka petani pemilik memiliki rasio lebih besar yaitu 0,30 bila dibandingkan dengan petani penggarap yang memiliki rasio 0,21. Artinya, untuk petani pemilik, setiap Rp 100,00 yang dikeluarkan sebagai biaya produksi maka sebesar Rp 30,00 adalah biaya yang dikeluarkan untuk biaya transaksi.

Nelayan, yang juga diteliti pada penelitian yang sama, menghadapi biaya transaksi pula. Nelayan dibedakan atas nelayan kincang dan nelayan diesel. Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan nelayan kincang sebesar 0,17 sedangkan untuk nelayan diesel sebesar 0,10. Rasio biaya transaksi terhadap biaya total untuk nelayan kincang sebesar 0,24 sedangkan untuk nelayan diesel sebesar 0,15. Selengkapnya mengenai biaya transaksi yang dihadapi petani dan nelayan di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Rasio biaya transaksi yang dihadapi petani dan nelayan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi

Petani Nelayan Rasio

Pemilik Penggarap Kincang Diesel

Rasio biaya transaksi terhadap biaya total

(transaction cost to total cost ratio) 0.30 0.21 0.24 0.15

Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan

(transaction cost to benefit ratio) 0.19 0.18 0.17 0.10

Sumber: Diolah dari Anggraini (2005)

Komponen biaya transaksi yang dihadapi oleh setiap pelaku ekonomi pada penelitian Anggraini (2005) tidaklah sama. Petani pemilik menghadapi komponen biaya transaksi meliputi (i) biaya transaksi tetap (fixed transaction costs) yaitu biaya pengesahan jual beli tanah dan biaya peralihan hak tanah dan bangunan (BPHTB), dan (ii) biaya transaksi peubah (variable transaction cost) meliputi biaya mempertahankan kontrak, biaya perantara (middlemen costs), biaya pengangkutan hasil panen, dan pungutan penggunaan irigasi. Petani penggarap menghadapi komponen biaya transaksi yang sama seperti petani pemilik kecuali untuk biaya transaksi tetap dan biaya mempertahankan kontrak. Nelayan diesel menghadapi komponen biaya transaksi meliputi biaya manajemen, retribusi hasil tangkapan, biaya tambat dan keamanan kapal, dan biaya pelaksanaan tradisi laut. Nelayan kincang menghadapi biaya transaksi meliputi biaya perantara bakul

(middlemen costs), biaya tambat dan keamanan perahu, dan biaya pelaksanaan tradisi laut. Hal ini mendukung pernyataan Sadoulet & de Janvry (1995, diacu dalam Gabre-Madhin 2001) yang menyatakan bahwa biaya transaksi bersifat spesifik untuk masing-masing aktor pasar dan tidak ada satu harga pasar yang efektif (single effective market price) pada saat pertukaran terjadi.

Penelitian tersebut menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab biaya transaksi pada nelayan dan petani diantaranya adalah struktur pasar yang tidak sempurna dan penegakan aturan yang lemah. Struktur pasar yang tidak sempurna ditandai dengan jumlah pembeli yang jauh lebih sedikit dibanding jumlah penjual dan informasi yang bersifat asimetrisantara pembeli dan penjual. Penegakan aturan yang lemah terkait dengan tidak berjalannya pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebagaimana mestinya dan pengawasan terhadap kebijakan harga dasar gabah mengingat petani selalu mendapatkan harga gabah yang lebih rendah dibandingkan harga pasar. Struktur pasar yang tidak sempurna dan penegakan aturan yang lemah sejatinya adalah permasalahan-permasalahan kelembagaan.

Bentuk kelembagaan mempengaruhi biaya transaksi. Berdasarkan disertasi Sukmadinata (1995) mengenai kelembagaan transaksi dalam pemasaran hasil usaha penangkapan ikan di Jawa Timur, diketahui bahwa kelembagaan penjualan hasil tangkapan melalui TPI/PPI (Pusat-pusat Pendaratan Ikan) menyebabkan biaya transaksi yang lebih tinggi bagi nelayan dibandingkan dengan jika nelayan menjual hasil tangkapannya di luar TPI/PPI.

Demikian pula halnya dengan tesis yang disampaikan Yani (1999). Menggunakan kasus budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) di wilayah Kepulauan Riau, disimpulkan bahwa mekanisme kontrak informal antara nelayan KJA dengan tauke (tauke adalah orang-orang yang memiliki modal usaha di bidang perikanan dan memberikan pinjaman modal usaha kepada nelayan) untuk urusan penjualan ikan mampu menurunkan biaya transaksi sebesar Rp 19.436,88 untuk setiap ekor ikan kerapu yang diperdagangkan. Di dalam mekanisme kontrak informal ini, nelayan KJA adalah sebagai penerima harga (price taker) saja, sedangkan tauke sebagai penentu harga.

Mekanisme kontrak informal ini dapat disebut sebagai principal-agent relation (PAR). Principal dapat diartikan sebagai pemimpin atau sponsor dan dalam PAR ini tauke-lah yang menjadi principal karena perannya sebagai

penentu harga. Agent dapat diartikan sebagai anak buah dan ini diperankan oleh nelayan KJA karena nelayan sebagai penerima harga.

PAR adalah salah satu alternatif bentuk kelembagaan yang dipilih oleh

tauke dan nelayan KJA untuk melaksanakan transaksi penjualan ikan. Terdapat alternatif bentuk kelembagaan lain yaitu pasar terbatas, kontrak formal, aliansi strategis, koperasi formal, dan integrasi vertikal. Dasar pemilihan bentuk kelembagaan utamanya adalah tingkat pengurangan ketidakpastian dan biaya transaksi.

Secara umum, kelembagaan pasar terbatas menyebabkan biaya transaksi yang tinggi, sistem kontrak formal bersifat kurang adaptif terhadap perubahan situasi sehingga kurang bisa menghadapai ketidakpastian, dan aliansi strategis melibatkan aset yang bersifat spesifik (assets specificity) sehingga meningkatkan biaya transaksi. Kelembagaan koperasi formal sebenarnya dapat meningkatkan posisi tawar nelayan KJA tetapi belum mampu menawarkan keuntungan finansial kepada anggotanya. Mengenai bentuk kelembagaan integrasi vertikal, ini adalah bentuk kelembagaan ideal karena (i) resiko dan keuntungan ditanggung bersama antara nelayan dan tauke, (ii) hubungan kerjasama bersifat jangka panjang, (iii) informasi sempurna (perfect information) dan terdistribusi merata, (iv) adanya stabilitas usaha, dan (v) kedua belah pihak terikat pada kesepakatan yang dibuat. Hanya saja, untuk menuju bentuk kelembagaan integrasi vertikal ini ada syarat yang harus dipenuhi yaitu produk dengan mutu yang terstandarisasi, memiliki sarana transportasi yang memadai, dan modal yang mendukung. Mengingat syarat ini belum dapat dipenuhi maka integrasi vertikal belum dipilih sebagai bentuk kelembagaan yang menangani transaksi penjualan ikan.

Hal-hal yang mendasari sehingga PAR menjadi bentuk kelembagaan yang meminimumkan biaya transaksi adalah transaksi didasari oleh sikap saling percaya (trust) dan kekeluargaan sebagai kebiasaan yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama dalam struktur masyarakat nelayan pantai. Ketidakpastian pun, sebagai satu faktor penyebab munculnya biaya transaksi, dapat dikurangi baik ketidakpastian dari pihak nelayan seperti pemenuhan kebutuhan operasional dan fluktuasi harga maupun ketidakpastian dari pihak

tauke seperti pasokan ikan kerapu hidup yang tidak berkesinambungan.

Penelitian yang dilakukan oleh Poel (2005) mengenai kelembagaan informal, biaya transaksi, dan rasa saling percaya dengan studi kasus mengenai

pembangunan rumah oleh kaum migran di Ghana menyatakan bahwa kelembagaan baru dapat meminimumkan biaya transaksi jika kelembagaan tersebut dapat mendorong munculnya saling percaya (trust) terlebih dahulu. Saling percaya menghubungkan kelembagaan dengan biaya transaksi.

3 METODOLOGI