• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ilmu sosiologi dan antropologi menerjemahkan institution sebagai pranata. Pranata adalah sistem aturan-aturan yang menata rangkaian tindakan sehingga dapat berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat 2002). Institution seringkali juga dialihbahasakan menjadi institusi. Terjemahan dari buku The Sociology of Social Change karya PiÖtr Sztompka menyebutkan bahwa institusi sosial adalah ikatan dalam bentuk aturan (seperti nilai, norma, ketentuan, dan cita-cita) yang menghubungkan antar individu dalam kehidupan bersama (Sztompka 1993).

Ilmu ekonomi menerjemahkan institution sebagai kelembagaan. North (1991, diacu dalam Williamson 1993) menyebutkan bahwa kelembagaan adalah batasan-batasan yang dibuat oleh manusia (humanly devised constraints) sehingga interaksi politik, ekonomi, dan sosial dapat lebih terstruktur. Schotter (1981, diacu dalam Williamson 1993) menyebutkan bahwa kelembagaan adalah kebiasaan dalam bertingkahlaku yang disetujui bersama oleh para anggota masyarakat sekaligus sebagai pengatur dalam bertingkahlaku pada situasi- situasi tertentu. Satu definisi yang cukup lengkap mengenai kelembagaan diajukan oleh Lin & Nugent (1995, diacu dalam Rodrik 1999) yang menyatakan bahwa kelembagaan adalah seperangkat aturan mengenai perilaku yang dibuat oleh manusia yang mengatur dan membentuk interaksi antar individu sehingga orang dapat terbantu untuk membangun perkiraan tentang apa yang orang lain akan lakukan.

Beragam kata yang menjadi terjemahan dari kata institution tersebut memiliki garis kesamaan substansi. Kesamaan tersebut adalah (i) di dalam

dari kumpulan manusia tersebut, dan (iii) karena ditata, maka tindakan atau perilaku tersebut menjadi berpola atau menjadi kebiasaan. Mengingat penelitian ini dibangun dari ilmu ekonomi dan nomenklatur kelembagaan lebih umum digunakan dibandingkan dengan pranata, maka penelitian ini menggunakan nomenklatur kelembagaan.

Kelembagaan (institution) seringkali disangka orang memiliki arti yang sama dengan organisasi. Ini adalah sebuah kesalahan karena organisasi sebenarnya subkomponen dari kelembagaan (Poel 2005). Jika kelembagaan adalah aturan main, maka organisasi adalah pemainnya. Secara lengkapnya, organisasi didefinisikan sebagai sekelompok individu yang diikat oleh satu keinginan bersama untuk mencapai tujuan tertentu (North, diacu dalam Shirley 2004, diacu dalam Poel 2005).

Kehidupan bermasyarakat menuntut adanya kelembagaan. Ungkapan Latin kuno menyatakan ubi societas ibi ius yang berarti dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Setiap jenis interaksi dan kerjasama mensyaratkan adanya norma bersama. Norma bersama adalah salah satu hal yang menyebabkan orang dapat memprediksi perilaku orang lain (Segerstedt, diacu dalam Sztompka 1993). Norma bersama adalah salah satu contoh dari kelembagaan.

Adanya kebutuhan akan kelembagaan mendorong manusia untuk membuatnya. Sistem aturan sosial adalah buatan manusia (Burns & Flam, diacu dalam Sztompka 1993). Manusia melakukannya melalui tiga cara (i) penciptaan, (ii) penafsiran (interpretasi), dan (iii) penerapan. Pembuatan kelembagaan menjadi medan konflik sosial dan perjuangan dan medan politik. Kelembagaan, yang dilahirkan dari tindakan manusia, pada akhirnya juga akan memaksa tindakan manusia (Sztompka 1993).

Jumlah kelembagaan yang dibuat oleh suatu masyarakat tergantung pada kompleksitas kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Semakin kompleks kebudayaan, maka akan semakin banyak jumlah kelembagaannya. Mengingat masyarakat selalu menjadi semakin kompleks, maka jumlah kelembagaan pun menjadi selalu bertambah (Koentjaraningrat 2002).

2.2.1 Kelembagaan dan Sumber Daya Wilayah

Kelembagaan menjadi salah satu pilar dari ilmu wilayah (regional science). Jika ilmu wilayah bertitik tolak dari fakta bahwa sumber daya tidak hanay langka tetapi juga tersebar tidak merata secara spasial, maka kelembagaan berperan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumber daya yang langka dan tersebar tidak merata tersebut secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Sistem kelembagaan yang ada mempengaruhi penguasaan dan pengelolaan sumber daya tersebut, misalnya penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat adat sekitar hutan yang dipengaruhi oleh aturan adat (Rustiadi et al. 2006).

Kelembagaan dapat dilihat sebagai distribusi hak kepemilikan, yaitu seperangkat aturan yang mendefinisikan kapasitas seseorang untuk menentukan pilihan atas penggunaan suatu sumber daya (Allen 2005). Tanpa distribusi hak kepemilikan, maka kompetisi atas suatu sumber daya akan berlangsung dengan kekerasan hingga menjadi dunia yang anarkis (Alchian 2002; Allen 2005).

Sumber daya baru dapat dikatakan sebagai sumberdaya apabila telah memenuhi dua kriteria yaitu (i) manusia memiliki pengetahuan dan teknologi untuk memanfaatkannya, dan (ii) ada permintaan terhadap sumberdaya tersebut (Fauzi 2004). Sebagai gambaran, pada masa dimana manusia belum mengetahui bagaimana eksplorasi minyak bumi dan manusia juga masih menggunakan kuda sebagai alat transportasi, maka pada masa itu minyak bumi bukanlah sumberdaya.

Sumber daya (resources) berbeda dengan modal (capital). Jika sumber daya adalah aset untuk memenuhi kepuasan manusia (Grima dan Berkes, diacu dalam Fauzi 2004) atau kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu (Ensiklopedia Webster, diacu dalam Fauzi 2004) atau sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Fauzi 2004), maka modal adalah sumber daya yang tidak dikonsumsi saat ini melainkan pada masa mendatang mengingat ada kemungkinan bahwa tingkat konsumsi di masa mendatang dapat lebih tinggi dibanding saat ini (Bates 1990, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).

Secara garis besar, modal dibagi menjadi dua yaitu modal alam (natural capital) dan modal buatan manusia (human-made capital, untuk selanjutnya disebut modal buatan) (Ostrom 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).

Jelas bahwa pembeda utama antara kedua golongan itu adalah apakah keberadaan sumber daya tersebut dibuat oleh manusia ataukah terbentuk melalui proses alamiah (Fauzi 2004). Modal alam adalah sumber paling utama (ultimate source) dan gudang bagi seluruh produktivitas manusia (Jansson et al.

1994, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Modal buatan itu terbagi lagi menjadi modal fisik (physical capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital). Modal fisik meliputi banyak jenis seperti bangunan, jalan, bahkan hewan ternak dan berbagai peralatan (tools). Modal manusia adalah pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan dan diimplementasikan manusia pada aktivitasnya. Modal manusia ini dapat dibentuk secara sadar melalui pendidikan dan pelatihan maupun dibentuk secara tak sadar melalui pengalaman (Ostrom 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Modal sosial akan dijelaskan dalam sub bab tersendiri selanjutnya.

2.2.2 New Institutional Economics

Secara konseptual, biaya transaksi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1937 oleh Ronald Coase dengan makalahnya berjudul The Nature of the Firm.

Tetapi makalah tersebut tidak hanya memperkenalkan biaya transaksi ke dalam analisis ekonomi semata, melainkan juga menjadi awal dari apa yang disebut dengan New Institutional Economics. Istilah New Institutional Economics sendiri diciptakan oleh Oliver Williamson untuk membedakannya dengan Old Institutional Economics (Coase 1998).

New Institutional Economics berangkat dari pemahaman bahwa kesejahteraan (welfare) masyarakat ditentukan oleh aliran barang dan jasa, sedangkan aliran ini ditentukan oleh produktivitas sistem ekonomi. Adam Smith menjelaskan bahwa produktivitas sistem ekonomi bergantung pada pembagian kerja (division of labor) atau spesialisasi, tetapi spesialisasi ini hanya dapat terjadi ketika pertukaran (exchange) dapat dilakukan. Ada biaya untuk melakukan pertukaran, dan ketika pertukaran dapat dilakukan dengan biaya yang semakin rendah, maka pada gilirannya spesialisasi akan semakin banyak sehingga produktivitas dari sistem ekonomi menjadi meningkat (Coase 1998). Artinya, tinggi rendahnya biaya untuk melakukan pertukaran (the costs of exchange) mempengaruhi tingkat produktivitas dari suatu sistem ekonomi.

Tetapi biaya untuk melakukan pertukaran ini dipengaruhi oleh kelembagaan yang ada dimana di dalam kelembagaan tersebut mencakup sistem hukum, sistem politik, sistem sosial, sistem pendidikan, budaya, dan lainnya. Melihat keterkaitan ini, maka dapat dinyatakan bahwa kelembagaanlah yang menentukan kinerja perekonomian dan hal ini yang menjadi arti penting dari

New Institutional Economics (Coase 1998). Allen (2005) menyatakan bahwa:

“institutions are chosen (either explicitly through a conscious act or implicitly through trial and error) to maximize the gains from trade and production net of transaction costs.”

Ini disebut oleh Allen sebagai hipotesis utama (grand hypothesis) dari New Institutional Economics. Pada hipotesis ini dapat dilihat perpaduan antara kerangka neoklasik (maximize the gains from trade and production) dengan kerangka kelembagaan (net of transaction costs).

Allen (2005) selanjutnya menambahkan bahwa New Institutional Economics memiliki dua karakter kritis (critical characteristics): pertama,

asumsinya bahwa biaya transaksi selalu positif, dan kedua, kelembagaan yang dijadikan subyek penelitian ekonomi adalah kelembagaan yang telah lama bertahan (long lived institutions) karena menandakan bahwa kelembagaan tersebut efisien (Allen 2005).