• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3 Biaya Transaksi

2.3.5 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Hak

Penjelasan mengenai keterkaitan antara biaya transaksi dengan hak kepemilikan tentu harus diawali dengan pengertian akan hak kepemilikan itu sendiri. Hak kepemilikan adalah kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh pihak yang memiliki sumber daya untuk menentukan bagaimana sumber daya tersebut digunakan. Anwar (1994) mendefinisikan hak kepemilikan (property rights) sebagai penegasan secara legal mengenai hak-hak kepemilikan dari suatu sumber daya dengan disertai keterbatasan-keterbatasan dalam caranya sumber daya tersebut dimanfaatkan.

Akan tetapi hak kepemilikan bukan saja menjadi ada karena hukum (legal rights), melainkan juga ada karena kenyataan. Definisi yang dikemukakan oleh Anwar (1994) adalah definisi yang belum lengkap. Alchian (1965, 1979, diacu dalam Allen 1999) menyebutkannya sebagai hak ekonomi (economic rights) selain hak legal. Hak ekonomi melekat pada kepemilikan legal, tetapi tidak berlaku sepenuhnya. Seseorang bisa jadi secara hukum memiliki sebuah sepeda motor meskipun pada kenyataannya sepeda motor tersebut ada di tangan

seorang pencuri, artinya hak ekonomi ada di tangan pencuri meskipun nilai dari barang curian itu lebih rendah jika dibandingkan ketika hak ekonomi berada di tangan pemilik sahnya (Allen 1999, 2005). Hak ekonomi adalah hak untuk memilih bentuk-bentuk penggunaan sumber daya yang dikehendaki, sedangkan hak legal adalah bentuk-bentuk pilihan yang didukung oleh hukum (Allen 1999).

Seringkali kedua jenis hak ini saling tumpang tindih tetapi pembedaan yang tegas perlu dilakukan karena perilaku ditentukan oleh hak ekonomi, bukan oleh hak legal (Allen 2005). Dalam bahasa Rodrik (1999), kata kunci dari hak kepemilikan bukanlah kepemilikan (ownership), melainkan kontrol.

Tujuan paling mendasar dari adanya hak kepemilikan ini adalah menghilangkan persaingan-persaingan yang bersifat merusak/dengan kekerasan untuk mendapatkan kontrol atas suatu sumber daya. Hak kepemilikan yang terdefinisikan dan terlindungi dengan sempurna (well-defined and well-protected) akan menggantikan persaingan dengan kekerasan menjadi persaingan secara damai (Alchian 2002). Menggunakan istilah Allen (2005), tidak terdefinisikannya hak kepemilikan akan menyebabkan dunia menjadi dunia yang anarkis (a world of anarchy).

Dibangunnya hak kepemilikan yang terjamin dan stabil menurut argumen North & Thomas (1973) dan North & Weingast (1989) (diacu dalam Rodrik 1999) adalah elemen kunci dari kemajuan negara-negara Barat sekaligus juga sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi modern. Alasan dari argumen ini adalah tanpa hak kepemilikan yang terjamin, maka seorang pengusaha tidak memiliki kontrol yang cukup atas hasil dari suatu aset sehingga pengusaha tersebut tidak mempunyai insentif baik untuk mengumpulkan aset maupun berinovasi.

Berdasarkan rezim pengelolaan sumber daya, hak kepemilikan dapat digolongkan menjadi hak kepemilikan publik/pemerintah (public/state property) dan hak kepemilikan privat (private property) (Alchian 2002). Diantara kedua golongan ini terdapat kategori residual yang disebut sebagai akses terbuka (open access) dan hak kepemilikan bersama (common property) (Kanbur 1992). Hak kepemilikan privat dapat ditransfer menjadi hak kepemilikan publik. Ada kalanya transfer hak ini dapat membuat ekonomi berjalan lebih efektif, ada kalanya juga membuat menjadi tidak efektif (Alchian 2002). Rezim common property pun dapat hancur dikarenakan faktor lingkungan yang berubah (Kanbur 1992). Tentu yang terburuk adalah ketika hak kepemilikan dihilangkan (Alchian 2002).

Hak kepemilikan privat tidak harus dipegang oleh satu individu saja. Hak kepemilikan tersebut bisa dibagi dan setiap orang yang memilikinya mendapat bagian yang jelas dari nilai pasarnya sementara keputusan mengenai bentuk- bentuk penggunaan sumber daya dibuat melalui mekanisme yang disepakati bersama. Contoh klasik dari hak kepemilikan privat ini adalah perusahaan (corporation). Di dalam perusahaan, porsi kepemilikan terdefinisikan dengan jelas dan hak untuk memutuskan bentuk-bentuk penggunaan sumber daya didelegasikan kepada manajemen. Hak kepemilikan privat memiliki tiga elemen dasar (i) eksklusivitas hak untuk memilih bentuk penggunaan sumber daya, (ii) eksklusivitas hak untuk mendapatkan jasa/keuntungan dari sumber daya, dan (iii) hak untuk mempertukarkan sumber daya tersebut dengan berdasarkan pada kesepakatan bersama (Alchian 2002).

Orang meningkatkan hak kepemilikan privatnya melalui tiga jalan (i) mencuri barang, (ii) privatisasi barang yang sebelumnya adalah barang publik, dan (iii) bekerjasama dengan individu lain melalui sebuah kesepakatan yang membagi manfaat ekonomi yang didapatkan dari hak baru (Allen 1999).

Hak kepemilikan publik tentunya ada terhadap barang-barang publik (public goods). Barang publik memiliki dua karakter utama (i) noneksklusif, artinya tidak ada pihak yang dapat dikecualikan untuk turut mendapatkan manfaat dari barang tersebut (atau jika dapat maka proses untuk mengecualikan pihak-pihak tertentu adalah sangat mahal), dan (ii) nonrival, artinya penambahan tingkat konsumsi tidak mengakibatkan penambahan biaya produksi dan pengurangan konsumsi pihak lain. Tetapi, karena banyak juga jenis barang nonrival yang diproduksi secara privat (misalnya kolam renang dan jalan tol dimana konsumen harus membayar untuk menggunakannya) maka barang publik lebih sering dikaitkan dengan karakter noneksklusif (Nicholson 1998). Allen (2005) menyatakan bahwa barang publik adalah barang yang ketika dikonsumsi salah satu pihak tidak mengurangi/menghalangi konsumsi yang bisa dilakukan pihak lain.

Rezim common property (res communes) sebelumnya sering dipertukarkan dengan rezim open access (res nullius). Hal ini dipicu oleh makalah Garrett Hardin pada tahun 1968 yang berjudul The Tragedy of the Commons. Tragedi tersebut diilustrasikan oleh Hardin sebagai berikut: pada suatu ladang penggembalaan yang terbuka bagi siapapun, maka para pengembala yang rasional akan memaksimalkan keuntungan masing-masing dengan terus

menambah hewan gembalanya hingga yang terjadi selanjutnya adalah jumlah rumput yang tidak mencukupi kebutuhan merumput. Inilah tragedi tersebut, dan selanjutnya Hardin (1968) menyatakan bahwa “freedom in a commons brings ruin to all”.

Salah satu mekanisme manajemen sumber daya adalah tidak ada manajemen sama sekali, dan mekanisme inilah yang berlaku pada ilustrasi yang diberikan oleh Hardin. Mekanisme tanpa manajemen adalah rezim open access

yang mengarah menuju tragedi, sedangkan sumber daya yang dikelola secara komunal untuk mengontrol eksploitasi disebut sebagai common property. Rezim

common property justru dapat mengelola sumber daya alam dengan baik selama ribuan tahun. Tragedi yang dimaksudkan oleh Hardin seharusnya bukanlah the tragedy of the common property, melainkan the tragedy of the open access. Open access tidak bisa saling dipertukarkan dengan common property sehingga keduanya menjadi dua kategori residual antara hak kepemilikan privat dan publik (Kanbur 1992).

Hak kepemilikan yang lengkap (complete property right) menyebabkan perilaku diskriminatif menjadi lebih mahal. Hal ini dikarenakan pada situasi hak kepemilikan yang lengkap, maka nilai pasar akan lebih berpengaruh sedangkan status atau ciri-ciri seseorang yang turut berkompetisi menjadi kurang berpengaruh karena status atau ciri-ciri tersebut dapat dikompensasi dengan penyesuaian harga. Sebagai contoh adalah seorang wanita kulit hitam yang ingin menyewa apartemen dari seorang pemilik kulit putih. Jika si pemilik memiliki hak kepemilikan yang lengkap, maka ia dapat menentukan biaya sewa pada tingkat berapapun yang diinginkan. Meskipun sebenarnya si pemilik lebih menghendaki penyewa kulit putih, wanita kulit hitam dapat mengkompensasinya dengan biaya sewa yang lebih tinggi. Andaikan si pemilik pada akhirnya tetap menyewakan apartemennya kepada penyewa kulit putih yang membayar lebih rendah, maka si pemilik menanggung biaya atas perlakuan diskriminatif (Alchian 2002).

Hak kepemilikan privat dapat dikurangi misalnya melalui mekanisme kontrol harga dan pelarangan transfer hak kepemilikan. Menurut Alchian (2002) pengurangan hak kepemilikan privat ini berdampak buruk terhadap masyarakat.

Perilaku diskriminatif menjadi lebih murah, bahkan dapat menjadi nol, ketika pemerintah menerapkan kontrol sewa dengan menetapkan biaya sewa di bawah tingkat pasar. Wanita kulit hitam pada contoh sebelumnya tidak dapat

mengkompensasi kekurangan fisiknya dengan membayar sewa lebih mahal. Si pemilik, yang tidak dapat lagi menerima harga penuh, akan memilih calon penyewa dengan ciri-ciri pribadi yang disukai, seperi usia, jenis kelamin, etnis, dan agama, tanpa menanggung biaya atas perlakuan diskriminatif (Alchian 2002).

Hak kepemilikan yang dikurangi berakibat pada pengurangan tingkat kesejahteraan, dan pada saat hak kepemilikan benar-benar tidak terdefinisikan maka kesejahteraan akan sama dengan nol. Contoh dari hal ini adalah budak yang tidak memiliki hak legal dan hak ekonomi sehingga menjadi orang termiskin diantara semua orang miskin. Contoh lain adalah nilai barang curian yang lebih rendah di pasar gelap menunjukkan bahwa hak kepemilikan yang dikurangi menyebabkan pengurangan kesejahteraan (Allen 2005).

Dua contoh ekstrim dari kasus hak kepemilikan yang dikurangi adalah pada negara-negara sosialis dan sumber daya milik bersama (commonly owned resources). Pada sistem sosialis, agen-agen negara mengontrol sumber daya secara penuh. Orang yang berpikir dapat memanfaatkan sumber daya tersebut secara lebih bernilai tidak dapat membeli hak kepemilikan karena hak tersebut tidak dijual pada harga berapapun. Oleh karena itu, agen negara tidak mendapatkan apapun ketika nilai dari sumber daya yang dikelola meningkat, demikian juga tidak kehilangan apapun ketika nilainya menurun. Akhirnya, tidak ada insentif bagi agen negara untuk memperhatikan perubahan nilai pasar. Demikian pula halnya yang terjadi dengan sumber daya milik bersama, tidak ada insentif bagi siapapun untuk menjaga sumber daya tersebut selain eksploitasi berlebihan (Alchian 2002).

Hak kepemilikan mengandung kompleksitas dan banyak permasalahan yang sulit untuk dipecahkan. Salah satu kompleksitas tersebut adalah eksternalitas. Alchian (2002) dalam pertanyaannya menyebutkan:

“If I operate a factory that emits smoke, foul smells, or airborne acids over your land, am I using your land without your permission?”

“The cost of establishing private property rights-so that I could pay you a mutually agreeable price to pollute your air-may be too expensive.”

Terdapat jenis sumber daya yang terlalu mahal biaya untuk mengawasi dan mengontrolnya, misalnya adalah udara. Biaya inilah yang disebut dengan biaya untuk membangun hak kepemilikan (the cost of establishing property right). Biaya inilah yang oleh Allen (1991, 1999) disebut sebagai biaya transaksi. Ketika

biaya ini menjadi terlalu mahal, maka hak kepemilikan menjadi lebih sulit untuk ditegakkan. Oleh karena itu dibutuhkan mekanisme kontrol lain misalnya melalui kewenangan pemerintah dengan penetapan perundang-undangan (Alchian 2002).

Fauzi (2005) menyatakan bahwa biaya transaksi yang diminimumkan ditambah dengan well-established property rights menyebabkan eksternalitas negatif yang timbul dapat diinternalisasikan melalui proses bargaining. Implikasi dari pernyataan ini adalah eksternalitas negatif menjadi muncul akibat biaya transaksi yang terlalu mahal sehingga hak kepemilikan tidak well-established.

Sejatinya, hak kepemilikan memang tidak pernah lengkap (incomplete) karena adanya eksternalitas atau peraturan-peraturan, baik formal maupun informal, yang membatasi bentuk-bentuk penggunaan sumber daya. Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap ketika sebagian hak berada di tangan orang lain. Barang (goods) adalah bendel hak kepemilikan (bundle of rights), dan tidak keseluruhan dari bendel tersebut berada di tangan satu orang. Hak kepemilikan juga tidak pernah sempurna (imperfect), yaitu ketika penegakan hak tersebut terlalu mahal (too costly) (Allen 2005). Hak kepemilikan yang tidak pernah lengkap dan tidak pernah sempurna menyebabkan biaya transaksi ada dimana- mana (ubiqitous).