• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

C. Keputusan Tata Usaha Negara

2. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara

Kedudukan suatu Keputusan Tata Usaha Negara erat kaitannya dengan proses pembuatannya. Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara harus memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum (rechmatig). Berbicara mengenai Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat suatu permasalahan dalam Keputusan Tata

40 Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 156

41

Usaha Negara yang dikeluarkan Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Kota Administrasi Jakarta Selatan oleh Penggugat dianggap tidak memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang sah. Dalam hal ini Penggugat menganggap bahwa Tergugat telah melanggar ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Informasi dan Komunikasi, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Jo Peraturan Gubernur Nomor 89 Tahun 2006 Jo Peraturan gubernur Nomor 138 Tahun 2007 dan Peraturan Gurbernur Nomor 126 Tahun 2009 serta melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam mengeluarkan Surat Peritah Bongkar.

Sehingga agar tidak terjadi suatu permasalahan seperti di atas, Keputusan Tata Usaha Negara dalam pembuatannya harus memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan beschiking ini mencakup syarat materiil dan syarat formil.

a. Syarat materiil:

1) Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus pejabat yang berwenang;

2) Karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak, maka keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis, seperti penipuan, paksaan atau suap (omkoping) maupun kesesatan

(dwaling);

3) Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu; 4) Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar

peraturan-peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

b. Syarat formil:

1) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;

2) Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan itu;

3) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu harus dipenuhi;

4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkan keputusan itu harus diperhatikan.42

S.F. Marbun menyatakan, suatu Keputusan Tata Usaha Negara dianggap sah harus mencakup syarat materiil dan syarat formal yaitu: 1. Wewenang, ditinjau dari segi wewenang terdapat beberapa ketentuan

mengenai keabsahan surat keputusan obyek sengketa, antara lain: a. Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang b. Karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak

(wilsverklaring), maka keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yang bersifat yuridis (geen jurisdische gebreken in de wilsvorming), seperti penipuan (bedrog), paksaan

(dwang), atau suapa (omkoping), kesesatan (dwaling),

c. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu

d. Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

2. Substansi, mengenai isi pokok perkara yang terdapat dalam perkara di persidangan

3. Prosedur, ditinjau dari segi prosedur terdapat beberapa ketentuan mengenai keabsahan surat keputusan objek sengketa, antara lain:

a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi.

b. Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan ini

c. Syarat-syarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu harus dipenuhi

d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus diperhatikan.43

42 SF. Marbun dan Moh.Mahfud MD, Op. Cit., hlm. 49

43

Keputusan sah menurut hukum (rechtsgelding) apabila syarat materiil dan syarat formil di atas telah terpenuhi, artinya keputusan dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara prosedural atau formil maupun materiil. Sebaliknya, bila satu atau beberapa persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka keputusan itu mengandung kekurangan dan menjadi tidak sah. F.H. van der Burg dan kawan-kawan menyebutkan bahwa keputusan dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ yang tidak berwenang

(onbevoegdheid), mengandung cacat bentuk (vormgebreken), cacat isi

(inhoudsgebreken), dan cacat kehendak (wilsgebreken). A.M. donner mengemukakan akibat-akibat dari keputusan yang tidak sah yaitu sebagai berikut:

a. Keputusan itu harus dianggap batal sama sekali; b. Berlakunya keputusan itu dapat digugat:

1) dalam banding (beroep)

2) dalam pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernietiging) karena bertentangan dengan undang-undang.

3) Dalam penarikan kembali (interkking) oleh kekuasaan yang berhak

(competent) mengeluarkan keputusan itu.

c. Dalam hal keputusan tersebut, sebelum dapat berlaku, memerlukan persetujuan (peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi.

d. Keputusan itu diberi tujuan lain daripada tujuan permulaannya

(conversie)44.

W. Riawan Tjandra memberikan penegasan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai kewenangan (bevoegdheidsgebreken), yang meliputi:

44

a. Onbevoegdheid riatione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang mengeluarkannya.

b. Onbevoegdheid riatione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut menyangkut hal yang berada di luar batas wilayahnya (geografis).

c. Onbevoegdheid riatione temporis, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya karena jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru.45

Van der Wel menyebutkan enam macam akibat suatu keputusan yang mengandung kekurangan, yaitu sebagai berikut:

a. Batal karena hukum.

b. Kekurangan itu sebab atau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan keputusan itu untuk sebagiannya atau seluruhnya.

c. Kekurangan itu menyebabkan bahwa alat pemerintah yang lebih tinggi dan yang berkompeten untuk menyetujui atau meneguhkannya, tidak sanggup memberi persetujuan atau peneguhan itu.

d. Kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya keputusan.

e. Karena kekurangan itu, keputusan yang bersangkutan dikonversi ke dalam keputusan lain.

f. Hakim sipil (biasa) menganggap keputusan yang bersangkutan tidak mengikat.46

Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang tidak memenuhi persyaratan di atas dapat dinyatakan batal. Batal menurut Muchsan ada 3 (tiga), yaitu:

a. Batal mutlak.

Batal mutlak adalah semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada. Aparat yang berhak menyatakan adalah Hakim melalui putusannya.

b. Batal demi Hukum. Terdapat 2 (dua) alternatif batal demi hukum, yaitu: 1) Semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah

ada.

45

W. Riawan. Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2005, hlm. 73

46

2) Sebagian perbuatan dianggap sah, yang batal hanya sebagiannya saja. Aparat yang berhak menyatakan adalah yudikatif dan eksekutif. c. Dapat dibatalkan.

Dapat dibatalkan adalah semua perbuatan yang dilakukan dianggap sah, pembatalan berlaku semenjak dinyatakan batal. Aparat yang berhak menyatakan adalah umum (eksekutif, legislatif dan lain-lain).47

Menurut teori functionare de faite, suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap dianggap berlaku walaupun tidak memenuhi syarat di atas, apabila memenuhi 2 (dua) syarat yang bersifat komulatif, yaitu:

1. Tidak absahnya keputusan itu karena kabur, terutama bagi penerima keputusan.

2. Akibat dari keputusan itu berguna bagi kepentingan masyarakat.48 Indroharto menyatakan, penilaian mengenai kriteria keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dilakukan dengan cara:

a. Menguji Keputusan Tata Usaha Negara tersebut terhadap peraturan perundang-undangan yang mendasari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dan;

b. Pengujian suatu Keputusan Tata Usaha Negara terhadap peraturan dasarnya dilakukan hanya terhadap peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai dasar menetapkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut walaupun barangkali setelah Keputusan Tata Usaha Negara itu ditetapkan terjadi perubahan peraturan perundang-undangan.49

Keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai dengan tolok ukur Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa

47

Ikhwan, Muhamad., 2010., Studi Hukum Keputusan Tata Usaha Negara (Syarat Sah,

Batal, Hapus, Kekuatan Hukum serta Metode Pembentukan).

http://studihukum.blogspot.com/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-2-syarat_20.html. Diakses pada Senin, 10 November 2014. Pukul 12.05 WIB

48Menurut Van Der Pot yang dikutip oleh W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002, hlm. 33

49 W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002, hlm. 13

yang dimaksud dengan Asas-asas Pemerintahan Umum yang Baik adalah meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.