Sistem Pembayaran
Pengawasan sistem pembayaran merupakan salah satufungsi bank sentral dalam mencapai tujuan
terwujudnya sistem pembayaran yang aman dan efisien untuk mendukung stabilitas sistem keuangan
dengan memperhatikan prinsip perlindungan
konsumen. Pengawasan dilakukan melalui kegiatan monitoring, assessment dan, apabila diperlukan, upaya mendorong ke arah perubahan (inducing change). Obyek pengawasan sistem pembayaran meliputi sistem yang dikategorikan sebagai Systemically Important Payment Systems (SIPS) maupun yang non SIPS. Sistem pembayaran yang dikategorikan sebagai SIPS adalah Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). Sementara sistem pembayaran yang non-SIPS adalah Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) yang meliputi kartu kredit dan kartu ATM/Debet, Uang
Elektronik (e-money) dan kegiatan usaha pengiriman uang (KUPU).
Pengawasan Penyelenggaraan Sistem Pembayaran oleh Bank Indonesia
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Sistem
BI-RTGS dan BI-SSSS
Secara umum, penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS sepanjang periode laporan berjalan dengan baik dan lancar. Hal ini terlihat antara lain dari ketersediaan atau tingkat availability Sistem BI-RTGS yang telah memenuhi service level yang telah ditetapkan. Sebagai upaya untuk menjaga tingkat ketersediaan Sistem BI-RTGS, Bank Indonesia memiliki infrastruktur back up dan business continuity plan yang baik dan handal serta melakukan uji coba terhadap kehandalan sistem tersebut secara berkala. Tingkat ketersediaan sistem yang memadai tersebut sejauh ini telah mampu mendukung pelaksanaan setelmen atas transaksi yang diproses melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS sehingga tingkat setelmen transaksi secara keseluruhan mencapai 100%.
Dari sisi efisiensi waktu penyelenggaraan, selama periode laporan terdapat beberapa kali perpanjangan waktu operasional yang sebagian besar dimaksudkan untuk mengakomodasi permintaan peserta. Persentase jumlah perpanjangan waktu operasional terhadap total waktu operasional sistem sepanjang tahun 2010 adalah 1,33%, yang dilakukan untuk mengakomodasi perbankan dalam menyelesaikan transaksi masyarakat. Persentase perpanjangan waktu operasional ini masih di bawah threshold (toleransi) yang ditetapkan. Seperti pada tahun sebelumnya, pengelolaan likuiditas oleh peserta pada Sistem BI-RTGS juga berjalan dengan baik. Hal ini antara lain terlihat dari pemenuhan target throughput guideline oleh seluruh peserta, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Nomor 12/1/DASP tanggal 21 Januari 2010 perihal Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. Throughput guideline adalah suatu
Halaman 51
menyelesaikan transaksi melalui Sistem BI-RTGS dengan pola distribusi sebagai berikut:
30% dari total nilai transaksi per hari diselesaikan sebelum pukul 10.30 WIB;
30% dari total nilai transaksi per hari diselesaikan antara pukul 10.30 sampai dengan 14.30 WIB; dan
40% dari total nilai transaksi per hari diselesaikan antara jam 14.30 sampai dengan 16.30 WIB. Dengan pengelolaan likuiditas yang mengikuti throughput guideline tersebut kelancaran sistem pembayaran yang melalui Sistem BI-RTGS dapat selalu terjaga.
Pengawasan terhadap Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia (SKNBI)
Penyelenggaraan SKNBI secara umum sampai dengan akhir Desember 2010 juga berjalan dengan baik dan lancar. Terdapat perpanjangan waktu layanan sebesar 0,81% dari total waktu operasional normal, namun hal tersebut tidak mengganggu penyelenggaraan SKNBI secara keseluruhan. Service level yang diberikan penyelenggara SKNBI kepada peserta selama periode laporan telah memenuhi service level yang ditetapkan. Sama halnya dengan Sistem BI-RTGS, untuk menjaga kelancaran operasional SKNBI, Bank Indonesia juga memiliki prosedur contingency yang didukung dengan infrastruktur back up yang baik dan handal.
Kondisi likuiditas pada penyelenggaraan SKNBI antara lain dapat dilihat dari penyediaan prefund (baik cash maupun collateral) oleh bank peserta sebagai syarat untuk dapat mengikuti kliring. Dalam hal ini, sepanjang periode laporan, tidak terdapat peserta yang tidak bisa mengikuti kliring karena tidak memenuhi minimum prefund.
Total prefund kliring debet dan kliring kredit yang disediakan peserta sampai dengan bulan Desember 2010 mencapai Rp3.647,29 triliun dengan total nilai transaksi sampai dengan bulan Desember 2010 sebesar Rp1.715,93 triliun. Dengan demikian rata-rata
penggunaan prefund sampai dengan bulan Desember 2010 adalah 48% dengan penggunaan terendah 46% yang terjadi pada bulan Oktober 2010 dan tertinggi 51% yang terjadi pada bulan Mei, Agustus dan November 2010.
Pengawasan terhadap Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (APMK) a. Penyelenggaraan Kartu Kredit
Jumlah kartu kredit yang beredar sampai akhir Desember 2010 tercatat sebanyak 13,58 juta kartu dengan total transaksi sebesar 199,04 juta transaksi dengan nilai mencapai Rp163,21 triliun. Secara umum pertumbuhan industri kartu kredit menunjukkan kecenderungan yang meningkat dengan jumlah penerbit kartu kredit tercatat sebanyak 20 penerbit.
Outstanding kredit per Desember 2010 mengalami
pertumbuhan 0,32% dibandingkan posisi
Desember 2009. Pertumbuhan ini sangat kecil dibandingkan dengan peningkatan jumlah kartu maupun transaksi. Terdapat indikasi bahwa sebagian besar pemegang kartu membayar hampir seluruh tagihannya pada saat jatuh tempo.
Secara umum, jumlah kasus fraud pada tahun 2010 menurun sebesar 7,06% dan nilai kerugian menurun sebesar 20,88% dibanding tahun 2009. Penurunan yang signifikan adalah pada fraud kartu palsu sebesar 45,56%. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan ini adalah karena implementasi teknologi chip dalam industri kartu kredit yang dilakukan sejak 1 Januari 2010.
Implementasi tersebut menyebabkan pula
terjadinya perubahan pola fraud yaitu mengarah kepada fraud transaksi tanpa menggunakan kartu, pencurian identitas, dan aplikasi. Bank Indonesia
melalui consultative meeting dengan
penyelenggara, terus menerus menghimbau agar penyelenggara melakukan tindakan pengamanan
Halaman 52
yang diperlukan dalam rangka memitigasi risiko fraud yang ada.
Sehubungan dengan maraknya kegiatan gesek tunai atau dikenal dengan gestun di industri kartu kredit yakni pengambilan uang tunai di merchant yang dilaporkan oleh merchant sebagai transaksi belanja, Bank Indonesia telah melakukan on-site visit kepada merchant untuk memastikan acquirer melakukan pengawasan terhadap merchant dan memastikan acquirer telah menutup merchant yang melakukan praktek gestun. Bank Indonesia akan terus menerus melakukan pengawasan
terhadap acquirer untuk memastikan
penyelenggaraan kegiatan kartu kredit berjalan sesuai ketentuan.
b. Penyelenggaraan Kartu ATM dan Kartu ATM/Debet Jumlah kartu ATM dan kartu ATM/Debet dalam periode laporan tercatat sebanyak 52,64 juta kartu, terdiri dari 2,76 juta atau 5,38% untuk kartu ATM dan 49,87 juta atau 94,62% untuk kartu ATM/Debet. Berdasarkan data perkembangan sampai akhir periode laporan terlihat bahwa rata-rata penggunaan dari setiap kartu ATM perbulan adalah sebanyak 1,8 kali dengan nominal per transaksi sebesar Rp1,06 juta. Sedangkan rata-rata penggunaan dari setiap kartu ATM/Debet per bulan adalah sebanyak 2,8 kali dengan nominal per transaksi sebesar Rp3,23 juta.
Jumlah kartu ATM dan kartu ATM/Debet yang beredar dalam periode laporan mengalami kenaikan sebesar 18,29% yaitu dari 44,50 juta kartu menjadi 52,64. juta kartu.
Perkembangan jumlah dan nilai transaksi kartu ATM pada periode laporan yaitu sebanyak 61,10 juta transaksi dengan nilai transaksi mencapai Rp35 triliun. Perkembangan jumlah dan nilai transaksi kartu ATM/Debet pada periode laporan yaitu sebanyak 1,69 miliar transaksi dengan nilai transaksi mencapai Rp1.933 triliun.
Fraud kartu ATM/Debet pada periode laporan mengalami peningkatan kerugian sebesar Rp11
miliar dibandingkan pada periode laporan
sebelumnya. Namun demikian, dari sisi jumlah kasus mengalami penurunan sebanyak 8.477 kasus. Kerugian fraud terbesar berasal dari kartu palsu dengan kerugian yaitu Rp10,3 miliar dan transaksi offline yaitu sebesar Rp4,2 miliar. Berdasarkan pantauan hasil pengawasan, sebagian besar fraud terjadi dengan menggunakan metode skimming16. Bank Indonesia telah meminta kepada penyelenggara untuk segera melakukan investigasi untuk mengidentifikasi penyebab fraud, memitigasi risiko, meningkatkan keamanan sistem dan melaporkannya kepada Bank Indonesia. Hampir
seluruh bank telah melakukan kebijakan
pengamanan dalam penyelenggaraan ATM, yaitu dengan melakukan pemasangan PIN Cover, Anti skimmer dan CCTV sebagai langkah pengamanan awal. Namun industri menyadari bahwa masih terdapat banyak peluang terjadinya fraud, dan untuk itu disepakati bahwa perlu dilakukan tindakan pengamanan lain seperti:
a. Melakukan monitoring kebersihan lingkungan
ATM terhadap hal-hal yang tidak
wajar/mencurigakan.
b. Melakukan pengamanan fisik ATM dengan menggunakan pass key untuk mencegah adanya trapping terhadap kartu ATM.
c. Meningkatkan awareness bank untuk melakukan monitoring transaksi.
d. Bank Indonesia bekerjasama dengan industri
melakukan edukasi terkait peningkatan
keamanan penggunaan kartu ATM/Debet.
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Uang
Elektronik (E-Money)
Penyelenggara Uang Elektronik (e-money) posisi akhir periode laporan tercatat sebanyak 11
16 Skimming adalah salah satu metode fraud yang dilakukan dengan mencuri data nasabah yang tersimpan dalam kartu.
Halaman 53
(sebelas) penerbit yang terdiri dari 6 (enam) bank dan 5 (lima) lembaga selain bank. Sampai dengan akhir tahun ini terdapat 1 penerbit baru yang telah memperoleh izin namun belum melakukan kegiatan operasional. Jumlah instrumen yang diterbitkan sampai dengan akhir periode tercatat sebesar 7,91 juta.
Transaksi e-money sampai dengan akhir periode laporan sebanyak 26,54 juta dan nilai transaksi sebesar Rp693,47 miliar. Rata-rata nilai transaksi per instrumen e-money pada periode laporan adalah Rp26 ribu.
Dana float yang tersimpan di instrumen laporan sebesar Rp91 miliar. Secara industri, rata-rata dana yang tersimpan pada 1 (satu) instrumen adalah Rp12 ribu. Jumlah merchant pada periode laporan sebesar 5.226 dengan jumlah terminal 36.664. Dari frekuensi pemakaian yang rata-rata hanya 1 kali/bulan ini, dapat disimpulkan bahwa instrumen e-money saat ini masih kurang populer.
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Kegiatan
Usaha Pengiriman Uang (KUPU)
Pengawasan terhadap penyelenggara KUPU non-bank dilakukan secara desentralisasi oleh Kantor Pusat Bank Indonesia dan Kantor Bank Indonesia.
Jumlah penyelenggara KUPU yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia tercatat sebanyak 71 Penyelenggara. Dari jumlah tersebut 27 penyelenggara berada di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
Berdasarkan hasil on-site visit yang telah dilakukan terhadap beberapa penyelenggara terlihat bahwa pemahaman penyelenggara KUPU terhadap proses identifikasi Know Your Customer dan Anti Money Laundering masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan hal ini, Bank Indonesia telah menyusun beberapa kegiatan untuk meningkatkan pemahaman para penyelenggara KUPU terhadap penerapan aspek Know Your Customer dan Anti Money Laundering.