• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Kearifan Lokal Adat To Lotang

Penganut Hindu To Lotang adalah penganut kepercayaan Bugis kuno yang semula tinggal di wilayah Kerajaan Wajo. Pada awal abad ke-17 Kerajaan Wajo dikalahkan oleh Sultan Alauddin dari Kesultanan Gowa. Setelah dikuasai Kerajaan Gowa, terjadi upaya Islamisasi, sehingga pada akhirnya Raja Wajo yang bernama La Sangkuru Arung Mata, berhasil diislamkan. La Sangkuru

54

Arung Mata kemudian mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Wajo masuk ke agama Islam. Sebagian besar penduduk Wajo mematuhi perintah raja, namun sebagian masyarakat yang tinggal di Wani tidak mau mengikuti perintah tersebut. Raja kemudian mengumumkan bahwa mereka yang menolak perintah sang raja harus meninggalkan Kerajaan Wajo dan mencari tempat di luar wilayah kerajaan. Orang-orang yang tidak mau masuk agama Islam tersebut kemudian melarikan diri ke wilayah Kerajaan Sidenreng, yang sebenarnya telah terlebih dahulu menerima Islam daripada Kerajaan Wajo (BUDPAR 2011).

Komunitas tersebut kemudian diterima di Kerajaan Sidenreng oleh Raja Sidenreng VII bernama La Pattiroi, namun dengan syarat mematuhi perjanjian yang dibuat dengan sang raja, yang disebut dengan perjanjian Mappura Omrona Sidenreng. Isi perjanjian tersebut adalah masyarakat yang melarikan diri dari Wajo tersebut harus tetap melakukan ritual pemakaman dan pernikahan secara Islam, namun di luar kedua ketentuan tersebut mereka diperbolehkan menjalankan adat-istiadat mereka. Kemudian mereka diberi tempat tinggal di sebelah selatan pasar dyang selanjutnya disebut masyarakat To Lotang. Istilah “To Lotang” muncul dari ucapan raja ketika memanggil mereka, yaitu: “oliie renga tolotange pasarenge (panggil mereka yang di selatan pasar itu).” Sejak perjanjian tersebut warga To Lotang terpaksa mengikuti ketentuan tersebut, walaupun tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Perjanjian tersebut mereka taati dari generasi ke generasi selama ratusan tahun.

Komunitas To Lotang tidak memiliki perbedaan dengan orang Bugis pada umumnya, dalam keseharian mereka tetap menggunakan bahasa Bugis. Ajaran To Lotang merupakan ajaran yang bersifat lisan karena memang tidak memiliki kitab untuk merangkum semua ajarannya. Kepercayaan lokal komunitas tersebut didasarkan pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kemudian dikonsepsikan dengan penyebutan Dewata Seuwae atau Patotoe (Tuhan yang menentukan nasib). Dewata Seuwae adalah penguasa tertinggi yang melebihi kekuasaan manusia, menciptakan alam dan isinya serta tujuan penyembahan. Selain menyembah kepada Tuhan, masyarakat setempat juga melaksanakan penyembahan terhadap dewa-dewa lain. Seperti halnya agama pada umumnya, komunitas To Lotang juga memiliki lokasi atau tempat yang disakralkan yang disebut dengan Parinyameng. Lokasi tersebut merupakan makam leluhur komunitas To Lotang yaitu Ipabbereq, seorang tokoh wanita yang melarikan diri dari Wajo ke Rappang. Ipabbereq sebelum meninggal, berpesan agar penganut kepercayaan To Lotang membuat acara tahunan di Parinyameng yang disebut sipulung, yang berarti bertemu dan bersatu. Sampai sekarang setiap tahun, tepatnya pada pertengahan Januari diadakan upacara tersebut. Ajaran To Lotang pada awalnya bersumber dari ajaran keagamaan yang diceritakan dalam naskah I Lagaligo, berbagai tokoh yang digambarkan memiliki kekuatan yang lahir dari keberdayaan agama (BUDPAR 2011).

Kelembagaan lokal dalam komunitas To Lotang ditandai dengan penetapan seorang ketua adat atau pemimpin tertinggi sekaligus pewaris utama ajaran To Lotang yang dikenal dengan uwatta battoae saat ini dipegang oleh uwatta battoae Allo yang baru saja menggantikan posisi ayahnya karena meninggal dunia. Pewarisan posisi tersebut masih bersifat vertikal dengan garis keturunan laki-laki. Pelapisan sosial terbagi atas 2 yaitu lapisan atas uwwa dan

55

Gambar 8 Perbandingan model rumah antara golongan uwwa dan tosama uwwata dan lapisan bawah diduduki oleh masyarakat biasa atau tosama. Pada lapisan atas, juga terbagi yaitu uwwata battoae sebagai pemimpin utama dan uwwa sebagai pendamping uwwata battoae. Golongan uwwa memiliki peran penting dalam mengontrol pemanfaatan sumberdaya alam dan senantiasa mempertahankan kemurnian keturunan dalam rangka keberlanjutan ajarannya, dengan mewariskan pada keturunan mereka yang dikenal dengan tiwi bunga. Rumah golongan tosama tidak boleh melebihi tinggi rumah golongan uwwa seperti pada Gambar 8. Aturan tersebut pada akhirnya menciptakan bentuk arsitektural dalam sistem keruangan yang menunjukkan stratifikasi sosial. Penanda khusus antara golongan uwwa dan tosama dapat ditemui pada penggunaan tiang rumah, sebagaimana yang dikemukakan oleh uwwa Aco (47 tahun) bahwa :

bolana uwa funnai aliri mallebu na maloppo, iyye tosi tosamae alirinna massulapa eppa’i, mancaji tandai”(Rumah golongan Uwa‟ (a) memiliki tiang yang bundar dan ukuran rumah panggungnya lebih besar, sedangkan golongan tosama (b) memiliki tiang yang persegi empat).

Ritual keagamaan atau persembahyangan dalam komunitas To Lotang tidak selalu dipimpin oleh uwwa. Ritual keagamaan biasanya juga dilakukan secara pribadi di rumah masing-masing dengan berdiam diri, sedangkan ritual keagamaan secara bersama-sama, terbagi atas tiga yaitu :

a. Mappanre inanre: mempersembahkan nasi beserta lauk pauk dan daun sirih ke rumah Uwwata atau Uwwa.

b. Tudang sipulung: ritual yang dilakukan bersama untuk memohon keselamatan kepada Dewata Seuawae.

c. Sipulung: ritual tahunan yang dilakukan di Parinyameng untuk melaksanakan ritual di leluhur mereka.

Ritual keagamaan tidak diatur dengan waktu tertentu, tergantung dari kesediaan dan kesepakatan dari golongan uwwa. Khusus untuk ritual sipulung dilakukan pada bulan Januari, yang harinya ditentukan atas kesepakatan para pemimpin adat. Memang dalam proses pelaksanaannya ribuan umat berdatangan, baik yang tinggal di Kabupaten Sidrap maupun yang telah merantau ke kota-kota lain atau bahkan dari luar Sulawesi berkumpul menjadi satu untuk mengikuti upacara ini dengan pakaian tradisional mereka. Upacara sipulung dipusatkan di lokasi yang disakralkan yang terletak sekitar 3 kilometer di sebelah barat Pasar Amparita Kecamatan Panca Lautang. Parinyameng berasal dari kata “pari” yang berarti susah dan “nyameng” yang berarti senang, dengan demikian Parinyameng memiliki makna bahwa

56

bersusah-susah terlebih dahulu, kemudian bersenang-senang. Upacara sipulung dilakukan dengan membawa sesajen berupa sokko patanrupa (nasi ketan 4 warna) kemudian berjalan kaki dari pasar Amaprita menuju Parinyameng tanpa menggunakan alas kaki. Ritual tahunan tersebut juga menjadi momentum kebersamaan seluruh penganut ajaran To Lotang dari berbagai daerah dan pemerintah setempat. Prinsip kesederhanaan dalam komunitas ini tidak hanya terlihat pada upacara adat keagamaan mereka, tetapi juga pada saat upacara pernikahan dari komunitas mereka dengan hanya menambah ruang pada bagian depan rumah dengan menggunakan bambu dan kayu. Berbeda dengan masyarakat diluar komunitas tersebut yang menggunakan tenda dari material besi.

Karakter khas dan kesederhanaan dari komunitas To Lotang dibandingkan dengan masyarakat Bugis pada umumnya, juga dapat diamati pada cara berpakaian. Kaum perempuan menggunakan kebaya dan sarung batik, sedangkan kaum pria menggunakan sarung dan atasan berupa jas (untuk perkawinan) atau kemeja serta dilengkapi dengan kopiah, kebiasaan ini dilakukan baik pada aktivitas sehari-hari maupun pada acara keagamaan, adat maupun pesta perkawinan. Kekhasan lainnya yang ditemui adalah golongan Uwwa tidak menggunakan kursi sebagai perabotan rumah melainkan hanya menggunakan tikar juga sebagai bentuk kesederhanaan. Seiring dengan perkembangan zaman dan arus modernisasi, komunitas ini mampu bertahan dengan sakralnya kepercayaan mereka. Kunci dari eksistensi mereka terletak pada prinsip tettong atau pendirian kuat atas kepercayaannya. Konsekuesi tersebut sebagai bagian untuk mempertahankan eksistensi komunitas mereka dan menjaga kesakralan kepercayaan yang dianutnya. Hal ini dapat diinterpretasikan dari wawancara dengan uwwa Eja (37) yang mengemukakan bahwa :

rekko engka melo botting fole asolangeng, makunrainna To Lotang uruanenna saliweng, isuroi messu afa dena tettong, makkutofaro sibale’na” (jika terjadi perkawinan diluar nikah, wanita merupakan penganut To Lotang sedangkan si pria dari luar, maka perempuan akan dikeluarkan dari komunitas, begitupun sebaliknya).

Interaksi sosial terjalin dengan mengedepankan komunikasi keagamaan baik antara uwwa maupun tosama dan komunikasi dengan bahasa formal terjalin lebih kuat antara interaksi keduanya. Interaksi diluar komunitas mereka berjalan dengan harmonis tanpa adanya saling bertentangan. Keberadaan Islam ditengah-tengah mereka tidak menjadikan penghalang dalam kehidupan sehari- hari, melainkan hidup berdampingan, sebagaimana menurut uwwa Aco (47) bahwa :

idi To Lotange na Selleng, fada-fadamui seddimi tujuan, naikia denatofappada jalur” (antara Islam dan To Lotang memiliki tujuan yang sama, tetapi berbeda jalur).

Komunitas ini terkonsentrasi pada beberapa desa/kelurahan antara lain Kelurahan Amparita, Baula, Toddangpulu, Lautang Benteng, Dualimpoe, Desa Arateng dan Kayuara. Pada dasarnya kearifan lokal komunitas adat To Lotang merupakan bentuk eksistensi dari kesakralan ajaran mereka. Kearifan lokal yang dibentuk dengan berbagai ritual keagamaan dalam konsep

57 kesederhanaan menjadi alternatif komunikasi vertikal dengan Dewata Seuwae. Jika diidentifikasi, kearifan lokal komunitas To Lotang lebih berorientasi pada proses keberlanjutan ajaran kepercayaan mereka dan menjaga kesakralan baik ajaran maupun ritual keagamaan yang diwariskan secara turun temurun dengan tradisi lisan. Maka dari itu ajaran dan kebudayaan mereka perlu disinergikan dengan penataan ruang sebagai upaya menjaga keberlanjutannya.