• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Kearifan Lokal Komunitas Paggalung

Kehidupan etnis Bugis tidak terlepas dari budidaya pertanian khususnya padi. Kawasan Danau Tempe merupakan sentra penghasil beras dan memegang peran penting dalam menjaga ketahanan pangan di Sulawesi Selatan. Awalnya masyarakat setempat menanam padi dengan berbagai teknik pertanian tradisional yang bersumber dari pengetahuan pertanian dalam naskah I Lagaligo. Namun sejak era modernisasi pertanian, tradisi-tradisi tersebut perlahan mulai ditinggalkan. Salah satu wilayah di kawasan Danau Tempe yang masih melestarikan tradisi pertanian tradisional adalah di Desa Lalabata Riaja, Tottong dan Labokong Kecamatan Marioriawa. Kegiatan pertanian tradisional tersebut tetap berpusat pada beras yang telah dibudidayakan sepanjang sejarah. Nilai-nilai kearifan lokal dalam pertanian tradisional menempatkan padi sebagai pusat tradisi pertanian dan memegang peran penting dalam kehidupan etnis Bugis dengan mitos datu ase atau Sangiang Serri (dewi padi/pertanian). Masyarakat Desa Lalabata Riaja masih melestarikan wujud Sangiang Serri dalam bentuk fosil padi setinggi 2 meter yang disimpan di rumah salah satu warga. Menurut cerita wujudnya ditemukan puluhan tahun yang lalu di sawah melalui mimpi dan dipindahkan dengan ritual adat, hingga saat ini fosil tersebut disakralkan dan diikutsertakan dalam upacara adat mappadendang sebagai penghormatan kepada Sangiang Serri.

Keberhasilan hasil panen dalam setahun ditentukan oleh ketaatan terhadap upacara-upacara pertanian dan mampu mendengarkan petuah ketua adat yang dikenal dengan sanro wanua yang mengetahui isi naskah pertanian warisan leluhur. Kegiatan pertanian tradisional bersumber dari naskah pertanian Bugis yaitu lontara’ palaong nruma yang berisikan seluruh khazanah pengetahuan pertanian yang berasal dari nenek moyang (to riolo), diantaranya yang masih dilestarikan adalah penentuan waktu tanam melalui pengamatan fenomena alam dan rasi bintang pada setiap musim tanam (Pelras 2006). Penentuan hari dan waktu tanam pertama dilakukan dengan mengamati posisi bintang dan rasi bintang tertentu pada waktu subuh dan petang. Setelah dilakukan pengamatan, maka sanro wanua akan mengambil keputusan untuk menentukan hari pertama musim tanam. Mantan Kepala Desa Lalabata Riaja Asake (44) mengemukakan bahwa :

Sanro wanua berasal dari dua suku kata yaitu sanro berarti dukun dan wanua berarti kampung, keberadaannya menciptakan persatuan dari para petani baik sebelum musim tanam maupun pada saat panen, sehingga setiap petani akan menghormati figur beliau. Ketika terjadi kegagalan panen maka sanro wanua akan melakukan ritual khusus untuk mengevaluasi dirinya sendiri maupun peristiwa yang terjadi di kampung tersebut, karena kegagalan panen dinilai berkaitan dengan perilaku masyarakat setempat.”

58

Pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh sanro wanua akan diwariskan secara turun temurun, sehingga menjadikan figurnya sebagai orang yang mampu mempertahankan keberhasilan panen padi selama setahun. Kegiatan memanen di kawasan tersebut berlangsung 2 kali dalam setahun. Siklus pertanian berawal dari proses pengamatan dan penentuan waktu tanam, yang biasanya diamati khusus oleh sanro wanua. Setelah dilakukan pengamatan waktu tanam, siklus pertanian berlanjut pada proses upacara adat attudang- tudangeng, yaitu upacara musyawarah yang dipimpin oleh sanro wanua, dihadiri oleh kepala desa, petani, kaum wanita dan perwakilan dari Dinas Pertanian. Konsep upacara adat attudang-tudangeng adalah warisan turun temurun yang masih tetap terpelihara. Forum ini akan membahas tentang masalah cuaca, pola tanam, jadwal membersihkan saluran, jadwal menabur benih, dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para petani. Upacara tersebut selain memiliki nilai sakral, juga menjadi momentum kebersamaan masyarakat setempat. Konsep attudang-tudangeng telah menjadi warisan budaya sejak zaman pemerintahan La Palaga Nene Malomo seorang cendekiawan Sidenreng, jauh sebelum pemerintah memperkenalkan metode penyuluhan pertanian. Hasil dari upacara adat tersebut kemudian dilaksanakan secara serentak para petani, terutama pada hasil penentuan jadwalhari pertama kegiatan pertanian. Seluruh siklus pertanian tersebut selalu dilengkapi dengan tradisi-tradisi yang bersumber dari pengetahuan tradisional. Para petani tidak boleh membajak sawah (ma’dakkala) sebelum penyelenggaraan upacara khusus, baik upacara perorangan maupun upacara bersama.

Proses penyiapan bibit dilakukan sebelum penanaman. Menyemaikan bibit padi di persemaian (a’bineng) yang telah disiapkan pada sepetak sawah kecil. Sekitar 30 hari kemudian, bibit sudah cukup tinggi dicabut dan dipindahkan ke sawah. Apabila bibit yang dibutuhkan ternyata kurang dari yang disemaikan maka petani meminta bibit ke tetangga untuk menutupi kekurangan. Jika terjadi sebaliknya bibit tersebut dibiarkan tumbuh di petak persemaian, karena ada pantangan membuang kelebihan bibit. Mappano bine dilakukan dengan tradisi mengelilingi salah satu petakan sawah sebanyak 7 kali dan berharap panen akan berhasil.

Sistem pengendalian penyakit tanaman bersumber dari naskah I Lagaligo tentang meongpalo karellae, yang menceritakan tentang Dewi Sangiang Serri menghadap Tuhan di langit dan tidak ingin kembali ke bumi karena perilaku manusia yang amoral terhadap kucing yang digambarkan dengan seseorang memukul kucing hanya karena kucing memakan ikan yang dibeli di pasar (Fachruddin 2002 dalam Baco 2005). Kemudian dari cerita tersebut diinterpretasikan bahwa pada saat masa pertumbuhan padi, kucing memiliki manfaat sebagai pengendali hama penyakit tanaman karena sifatnya sebagai predator hama tikus. Meongpalo karellae sudah menjadi perhatian pada zaman kuno Sulawesi Selatan dan hingga saat ini masih bertahan. Konsep pengendalian inilah yang menjadi bentuk pengendalian hama tikus, sehingga dalam setiap petakan sawah yang dilengkapi pondokan, akan menjadi tempat memlihara kucing oleh para petani. Hal ini memang sangat sesuai ketika sebelum maraknya hama penyakit di Sulawesi Selatan selain tikus seperti wereng, walangsangit, tungro dan lain-lain (Baco 2005). Kondisi tersebut menjadikan pengendalian hama dalam konsep meongpalo karellae lambat laun

59 tidak berjalan maksimal, karena banyaknya jenis hama penyakit kecuali tikus berdasarkan naskah I Lagaligo.

Pada saat musim panen tiba, akan dimulai dengan upacara panen pertama (mappamula). Pemanenan padi tidak menggunakan sabit melainkan ani-ani yang memungkinkan petani menuai padi yang matang secara selektif dan menghindari kehilangan bulir-bulir padi. Sebagaimana halnya menanam, masa panen merupakan kerja kolektif yang melibatkan seluruh anggota keluarga, tetangga dan kerabat baik laki-laki, perempuan tanpa mengenal batasan umur. Eforia kebersamaan dan rasa syukur mulai memuncak, mereka yang tidak memiliki sawah turut membantu dan akan memperoleh upah. Kegiatan panen yang dilakukan secara serentak yang dikontrol oleh sanro wanua dan setelah menghasilkan beras maka dia akan mengumpulkan beras dari masing-masing petani dengan ukuran 1 kaleng. Hasil pengumpulan tersebut tidak dikonsumsi secara pribadi oleh sanro wanua, melainkan akan dimakan bersama pada saat pesta panen yang dikenal dengan mappadendang, yaitu proses adat menumbuk padi di lesung yang diselingi dengan atraksi ketangkasan, musik tradisonal dan permainan lokal. Esensi utama dari mappadendang adalah sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya sehingga petani dapat memetik hasil panen yang memuaskan. Upacara adat tersebut juga dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat dan menjadi daya tarik wisata di kawasan Danau Tempe.

Konsep kearifan lokal dalam komunitas petani tradisional merupakan komunitas mempertahankan sistem pertanian yang bersumber dari naskah I Lagaligo. Pesatnya perkembangan modernisasi pertanian, tidak mengubah tatanan tradisional dalam sistem pertanian. Sistem larangan dan upacara adat (attudang-tudangeng, mappano bine atau mappadendang) menjadi wujud kebersamaan antar petani maupun hubungan dengan pemerintah. Berbagai bentuk praktek kearifan lokal yang tetap bertahan pada prinsipnya merupakan modal sosial masyarakat komunitas tersebut dalam rangka memaksimalkan hasil pertanian setiap musim tanam berlangsung.