• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Kearifan Lokal Komunitas Pattenung

Keberadaan tradisi menenun dalam komunitas pattenung di kawasan Danau Tempe merupakan bagian dari peninggalan hubungan dagangan Nusantara dengan China hingga masuknya pedagang Arab yang menjadi saksi lintas sejarah. Sebagai aktivitas budaya dan ekonomi, kegiatan tenun di Wajo telah mengalami proses transformasi yang cukup panjang sejak abad ke-13 sampai saat sekarang ini. Kegiatan menenun pada abad ke-14 dan ke-15 bermula dengan teknik tenun pakan dan lungsi. Benang sutera pada awalnya merupakan barang yang diimpor dari Cina, India dan Siam. Kontak dagang inilah benang dan kain sutera mulai dikenal di Sulawesi Selatan termasuk di Kabupaten Wajo. Masyarakat Bugis menyerap budaya dari luar dan selanjutnya dikembangkan pada masyarakat Bugis. Berbagai peristiwa penting telah dilalui sejak masa kerajaan sampai masa sekarang, dimana para penenun tetap mampu mengikuti perkembangan zaman. Pengaruh asing yang banyak mempengaruhi seni tenunan di Nusantara antara lain; China, Eropa, India, dan Arab. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil-hasil tenunan yang sebelumnya terkesan sederhana yang kemudian berkembang menjadi tenunan yang kompleks, rumit, dan indah. Kemampuan untuk tetap eksis sampai pada saat itu

60

terletak pada kemampuan para penenun untuk bertransformasi dengan terbuka menerima pengaruh dari luar sambil memadukan unsur dari dalam yaitu kreatifitas dan kecerdasan lokal (local genius) yang dimiliki oleh penenun Wajo (Syukur 2013)

Produk menenun pada awalnya berbentuk sarung (lipa sabbe) dan baju (waju ponco) untuk menutupi tubuh, perlahan sistem menenun mengalami perkembangan. Lipa sabbe dan waju ponco kemudian menjadi pakaian tradisional dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Penggunaan warna dan motif yang beragam pada akhirnya diidentikkan dengan berbagai penanda status sosial masyarakat seperti merah dan hijau untuk golongan bangsawan, warna muda dan lembut (merah muda, hijau muda dan lain-lain) untuk golongan gadis dan remaja, warna jingga dan ungu untuk kaum janda dan warna gelap seperti hitam diperuntukkan untuk orang tua atau mereka yang sudah berkeluarga. Proses berikutnya menjadikan lipa sabbe dan waju ponco menjadi benda yang sangat berharga dan mulai menjadi benda penting dalam proses upacara adat terutama perkawinan. Perkembangan zaman menciptakan modernisasi dan perubahan makna dan penggunaan kain tenun tetapi mulai dimanfaatkan sebagai pakaian tradisional dan formal seperti penggunaan untuk pakaian kantor dan seragam sekolah.

Pusat pengrajin tenun di kawasan Danau Tempe berada di Desa Pakkanna dan Ujunge Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo. Kebijakan pemerintah setempat menetapkan kawasan sebagai sentra produksi tenun sekaligus sebagai tujuan wisata dengan atraksi menenun sebagai daya tarik utama. Kegiatan menenun umumnya dilakukan oleh wanita mulai dari usia remaja, kegiatan tersebut telah menjadi warisan berupa keahlian dengan nilai karya seni yang tinggi. Kelestarian tradisi menenun oleh para wanita di kedua desa tersebut diwariskan secara turun temurun, keterampilan diwariskan oleh ibunya sebagai adat yang harus diketahui oleh para remaja wanita. Menenun adalah tanda bukti seorang telah mencapai titik kedewasaan dan cerminan feminisme, namun saat ini tradisi tersebut telah hilang dan tidak lagi menjadi tolak ukur kedewasaan wanita. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aminah (51 tahun) yang mengemukakan bahwa :

riolo riasengngi makundrai narekko maccai mattennung, nasaba alebbrina makundrei engkai ri amacangenna mattenung” (dahulu remaja perempuan baru dikatakan dewasa jika sudah memiliki keahlian menenun, karena sisi kewanitaan dan feminim dicerminkan dengan menenun).

Pemahaman tentang kegiatan menenun sebagai tolak ukur kedewasaan wanita pada prinsipnya adalah bentuk upaya pelestarian nilai tradisi lokal dan menjaga eksistensi lipa sabbe yang kemudian dibentuk menjadi sebuah mitos atau pandangan khusus. Kegiatan menenun oleh para wanita dimulai sekitar pukul 09.00 pagi setelah para wanita melakukan aktivitas utama seperti mencuci, memasak dan kegiatan rumah tangga lainnya, menjelang shalat Dzuhur mereka akan beristirahat dan kembali menenun mulai pukul 14.00 hingga pukul 15.00 dan dilanjutkan hingga sebelum magrib. Proses efisiensi waktu dan tempat menenun, maka alat tenun (walida) akan ditempatkan di kolong rumah ataupun di dekat dapur, untuk memudahkan mereka mengerjakan kegiatan rumah tangga seperti pada Gambar 9. Berbagai

61 rangkaian kegiatan penenun tersebut mencerminkan adanya etos kerja (reso) dan ketekunan (tinulu) yang terbentuk dalam rangkaian kegiatan yang dijalani oleh penenun setiap harinya (Syukur 2013). Proses menenun dari bahan baku sampai menjadi sarung dilakukan secara terus menerus dengan penuh keterampilan dan kecermatan. Tahap awal proses menenun adalah apparisi yaitu memasukkan benang dalam benang utama yang sudah dianai satu persatu dengan menggunakan sisir tenun dan menghasilkan bunyi hentakan yang keras, proses tersebut terus berlangsung hingga menjadi sarung.

Proses menenun hingga menjadi sarung membutuhkan waktu 2 hingga 3 minggu, tergantung dari motif dan corak yang diinginkan. Bahan baku benang saat ini menggunakan benang impor dari Cina dan India, walaupun masyarakat tetap mempertahankan proses pembuatan bahan baku dari benang yang diproduksi setempat, tetapi kalah bersaing dengan bahan baku impor yang lebih murah. Kegiatan menenun menciptakan jaringan sosial yang kompak antara punggawa diposisikan oleh pengusaha benang dan ana guru’ diposisikan pada mereka yang menenun. Jaringan sosial tersebut umumnya berdasar dari hubungan kekerabatan maupun tetangga.

Kearifan lokal komunitas pattenung memiliki aturan dan larangan dalam proses menenun yang diinterpretasikan sebagai sebuah mitos yang tidak boleh dilakukan, antara lain jika seorang laki-laki terkena pukulan dari walida (alat tenun) dari wanita karena dalam kondisi yang tidak aman, maka laki-laki tersebut akan mendapat musibah. Hal ini mengandung pesan moral terhadap penghargaan penenun wanita oleh kaum lelaki sebagai bagian dari kesetaraan gender. Selanjutnya larangan berbicara sebelum sampai putaran ketujuh kali benang. Hal ini sebagai pesan kepada penenun untuk berkonsentrasi menyelesaikan tenunnya. Penghargaan terhadap peralatan menenun juga menjadi bagian kearifan lokal dimana tidak boleh menyentuh tanah. Kegiatan menenun memiliki aturan waktu untuk memulai dan menyelesaikan sesuai dengan kalender Bugis kuno. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kegiatan menenun sarat akan pesan moral disamping sebagai pendidikan kepada anggota keluarga, juga sebagai sumber penghasilan masyarakat setempat. Hingga saat ini kerajinan tenun sutera telah diekspor ke luar Sulawesi hingga ke mancanegara seperti Malaysia, Brunei hingga ke Eropa.

Potensi kearifan lokal komunitas penenun sutera ini selanjutnya menjadi bagian dari penataan ruang berkearifan lokal dari sudut kepentingan sosial budaya yang harus dijaga kelestariannya. Kearifan lokal komunitas pattenung

62

merupakan simbol sejarah peradaban di kawasan Danau Tempe pada khususnya dan etnis Bugis pada umumnya. Komunitas pattenung lebih berorientasi pada memposisikan kearifan lokal dalam konteks ekonomi dengan pembentukan jaringan sosial. Kegiatan menenun merupakan alternatif dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau sebagai sumber ekonomi utama dan tidak lagi menjadi tolak ukur kedewasaan wanita seperti awal perkembangannya.