• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kearifan Lokal Komunitas Nelayan Pakkaja

Komunitas nelayan tradisional Danau Tempe memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri bahkan telah menjadi landmark pariwisata di Kabupaten Wajo khususnya kebiasaan bermukim masyarakatnya secara terapung di perairan Danau Tempe. Masyarakat yang bermukim di permukiman mengapung berasal dari Desa Pallimae Kecamatan Sabbangparu Kabupaten Wajo, Kelurahan Limpomajang dan Kaca Kecamatan Marioriawa Kabupaten Soppeng. Nelayan diluar desa tersebut adalah nelayan tradisional tanpa kebiasaan bermukim terapung tetapi kelembagaan sosialnya masih sama dengan dipimpin oleh seorang macoa tappareng. Komunitas nelayan tersebut umumnya berasal dari daratan terdekat dengan perairan, sehingga selain memiliki rumah kalampang (terapung), komunitas tersebut juga memiliki rumah panggung di daratan. Kehidupan sehari-hari yang lebih banyak menghabiskan waktu di danau dengan berbagai aktivitas perikanan seperti mabbungka, makkaja atau mappalari lopi, sehingga terdesak untuk bermukim di perairan. Kebiasaan bermukim terapung menjadi alternatif untuk mengefesiensikan waktu dibandingkan dengan kembali ke daratan dan untuk menjaga lokasi penangkapan. Kaum wanita akan melakukan aktivitas sehari- hari seperti memasak, mencuci dan mandi dengan memanfaatkan air di danau serta memelihara hewan ternak seperti ayam dan itik.

Interaksi sosial berlangsung dengan memanfaatkan perahu, sehingga seluruh anggota keluarga mulai dari anak-anak hingga dewasa memiliki keahlian dalam mengendarai perahu. Komunitas ini cenderung terbuka jika ada pendatang yang masuk ke wilayah mereka, terutama kepada para wisatawan lokal dan mancanegara. Aktivitas di perairan berlangsung selama enam hari, selama periode Kamis sore hingga Jumat siang mereka akan kembali ke daratan. Pada rentang waktu tersebut tidak diizinkan untuk melakukan penangkapan ikan dan menyediakan waktu beribadah shalat Jumat, karena memang tidak tersedia mesjid di perairan. Hal ini merupakan bentuk manifestasi yang kuat antara sistem adat lokal dan ajaran Islam. Pemahaman ajaran Islam juga diimplementasikan seperti masyarakat Islam pada umumnya antara lain upacara kematian, perkawinan ataupun syukuran.

52

Komunitas pakkaja merupakan komunitas yang telah ada sejak zaman pemerintahan Kerajaan Wajo. Pada masa kerajaan tersebut, pelaksana tugas harian dalam sistem pemerintah dipegang oleh arung ennengnge memiliki peran untuk mengawasi pemanfaatan sumberdaya alam di Danau Tempe. Mereka akan dibantu oleh macoa tappareng dengan seperangkat aturan lokal yang disebut dengan ada assitureng (perangkat aturan yang telah disepakati). Seiring pelaksanaan pemerintah formal, maka posisi arung ennengnge lambat laun dihilangkan, sehingga pelaksana aturan tersebut dipegang sepenuhnya oleh macoa tappareng. Seperangkat aturan tersebut bersifat larangan yaitu : a. Larangan melakukan penangkapan ikan lebih dari satu alat tangkap.

b. Larangan melakukan penangkapan ikan tiga hari sebelum dan sesudah upacara adat maccera tappareng.

c. Larangan melakukan penangkapan ikan kecil.

d. Larangan melakukan penangkapan ikan pada lokasi-lokasi tertentu.

e. Larangan menyelesaikan permasalahan terutama antar nelayan di perairan. f. Larangan menggunakan alat tangkap yang mencemari lingkungan.

g. Larangan melakukan penangkapan ikan tanpa falo-falo (penutup kepala). Setelah masuknya ajaran Islam, maka terdapat penambahan aturan penangkapan dalam ada assitureng yang diimplementasikan dengan larangan melakukan penangkapan ikan pada Kamis sore hingga sebelum Jumat dan melakukan penangkapan ikan tiga hari sebelum dan sesudah hari raya Idul Fitri. Apabila nelayan melakukan pelanggaran dari aturan tersebut maka akan dikenakan idosa atau denda, sebagaimana dikemukakan Muhammad Nurdin (57) bahwa :

“iye manenna fakkaja rekko fegoi anu majaa ri tappareng, iritai ri fakkaja laingnge iyarega macoa tappareng nakkenawi idosa naferellu paccingi alena sibawa to marialena paimeng” (bagi setiap nelayan jika melakukan pelanggaran adat, terutama yang diketahui oleh nelayan dan macoa tappareng akan dikenakan sanksi adat berupa idosa untuk membersihkan diri dan keluarganya).

Selanjutnya menurut Halimah (47) bahwa :

rekko wettu larangangi, fadadananna kamisi araweng nasigoranni fakkajawe natosifarengngerange, jakkammena engka makkaja”(jika waktu larangan penangkapan ikan, seperti Kamis sore, maka antar nelayan akan saling mengingatkan dengan cara berteriak, bahwa waktu tersebut terlarang untuk penangkapan ikan).

Bentuk larangan tersebut merupakan manifestasi pranata lokal yang mengikat nelayan, dimana peran macoa tappareng sangat penting dalam proses keberlanjutan tradisi tersebut. Konsep idosa pada dasarnya merupakan sistem denda jika melakukan pelanggaran, yaitu dengan membayar denda atau melakukan upacara adat maccera tappareng (Gambar 7) dengan biaya ditanggung sepenuhnya oleh pihak yang melanggar. Komunitas pakkaja memiliki kepercayaan bahwa Danau Tempe merupakan ruang yang sangat sakral dan dihuni oleh makhluk yang tidak terlihat dikenal dengan walli atau funnawei, maka dari itu untuk mendapatkan rasa aman selama menangkap ikan dan penghargaan terhadap mereka, nelayan akan memberikan sesajen pada saat

53

Gambar 7 Prosesi melarung sesajen

upacara maccera tappareng dan sesuai aturan tidak boleh melakukan pelanggaran adat.

Maccera tappareng pada dasarnya adalah upacara pembersihan diri baik nelayan, macoa tappareng, pemerintah setempat maupun pembersihan lingkungan sekitarnya secara umum dari mara bahaya setahun kedepan. Selain itu, sebagai momentum kebersamaan untuk memohon agar hasil penangkapan kembali melimpah. Upacara tersebut sebagai proses pembersihan danau yang dilakukan sekali dalam setahun yang dipimpin oleh ketua adat. Prosesi utama ditandai dengan melarung sesajen ke danau yang diikuti dengan doa dan mantra. Masing-masing desa akan melaksanakan upacara maccera tappareng dan saat ini pemerintah ketiga kabupaten menetapkan upacara adat tersebut sebagai daya tarik wisata, bahkan untuk pemerintah Kabupaten Wajo menjadikan maccera tappareng sebagai bagian dari festival Danau Tempe. Sistem kearifan lokal komunitas pakkaja juga ditandai dengan pemanfaatan lahan di pinggiran danau dengan sistem tradisional tana koti, yaitu pemanfaatan tanah hak ulayat dibagikan setiap tahunnya secara bergiliran pada area pasang surut dengan metode pengundian berdasarkan atas posisi lahan bagi setiap kepala keluarga.

Pada dasarnya kearifan lokal komunitas pakkaja merupakan bentuk interaksi Tuhan, manusia dan alam. Aturan-aturan kearifan lokal tersebut bersumber dari kebiasaan masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Seperangkat larangan dan tradisi sangat erat kaitannya dengan upaya untuk menjaga keberlanjutan ekosistem yang mengedepankan sanksi sosial. Proses kearifan lokal berkaitan erat dengan simbolisasi atau pemaknaan yang bersifat magis dan religius terutama yang berdasar dari pengetahuan atau kemampuan macoa tappareng. Manifestasi aturan tersebut menjadi kearifan lokal sebagai wujud upaya pelestarian dan pemanfaatan yang tidak berlebihan agar potensi Danau Tempe dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.