• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBEBASAN BERAGAMA DAN HUBUNGAN ANTARA UMAT BERAGAMA 1. Kebebasan Beragama menurut Dokumen Gereja (Dignitatis Humanae)

Dalam dokumen PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (Halaman 47-52)

AGAMA SEBAGAI JALAN HIDUP MANUSIA MENUJU KEBAHAGIAAN

E. KEBEBASAN BERAGAMA DAN HUBUNGAN ANTARA UMAT BERAGAMA 1. Kebebasan Beragama menurut Dokumen Gereja (Dignitatis Humanae)

Dalam Konsili Vatikan II dikatakan bahwa setiap pribadi manusia berhak dan bebas untuk memeluk suatu agama yang diyakininya. Kebebasan itu berarti bahwa semua orang harus kebal terhadap setiap paksaan yang datang dari luar atau pihak orang perorangan

22

maupun kelompok-kelompok sosial dan kuasa manusiawi manapun juga untuk memeluk suatu agama. Dalam hal beragama, seseorang tidak boleh dipaksa untuk melawan suara hatinya atau dihalangi kebebasannya. Kebebasan menganut agama ini harus didasarkan pada martabat manusia itu sendiri. Kebebasan menganut agama ini harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi hak sipil. Semua orang sebagai pribadi yang berkehendak bebas, dan oleh kodratnya sendiri terdorong untuk mencari kebenaran terutama yang menyangkut agama. Manusia hanya dapat memenuhi kewajiban moral dan terikat untuk mencari kebenaran terutama menyangkut agama bila mereka memiliki kebebasan psikologis sekaligus bebas dari paksaan (DH 2). Jadi, kebebasan untuk menganut agama tertentu merupakan hak setiap pribadi manusia

Adapun kebenaran harus dicari dengan cara yang sesui dengan martabat manusia serta kodrat sosialnya yakni melalui penyelidikan yang bebas, melalui pengajaran atau pendidikan, komunikasi dan dialog (DH 3). Manusia bebas mendengarkan suara hatinya untuk mencapai atau menemukan Allah terutama dalam hal keagamaan. Menurut sifatnya sendiri, pengalaman agama pertama-tama terdiri dari tindakan-tindakan batin yang dikehendaki orang secara pribadi serta bersifat bebas. Dan melalui tindakan-tindakan tersebut seseorang mengarahkan dirinya kepada Allah. Tindakan seperti ini tidak dapat dihalangi oleh kuasa manusiawi semata-mata, sedangkan dari kodrat sosialnya manusia dituntut untuk mengungkapkan tindakan-tindakan batin keagamaannya secara lahiriah, berkomunikasi dengan sesama dalam hal keagamaan dan menyatakan keagamaannya secara bersama-sama (DH 3). Apabila tidak diberi kebebasan untuk menganut agama sesuai dengan keyakinan seseorang serta mengamalkannya secara bebas dalam masyarakat, maka hal ini dapat dikatakan sebagai tindakan ketidakadilan terhadap pribadi manusia.

2. Hubungan Antar Umat Beragama

Kenyataan bahwa Negara Indonesia adalah negara plural tidak dapat dipungkiri. Indonesia terdiri dari beraneka macam pulau, suku, budaya, bahasa, adat-istiadat dan juga agama. Nostra Aetate artikel 1 dan 2 mengajarkan kepada kita agar hendaknya kita menghormati agama-agama dan kepercayaan lain, sebagaimana dalam agama-agama tersebut terdapat pula kebenaran dan keselamatan. Kita hendaknya berusaha dan bersatu dalam persaudaraan sejati demi keselamatan manusia dan bumi tempat kita tinggal ini. Kerukunan antar umat beragama menjadi tanggungjawab kita semua tanpa kecuali.

Di tengah situasi bangsa yang kurang stabil dalam berbagai bidang (politik, ekonomi, social, keamanan dan juga hubungan antar agama) seperti yang terjadi akhir-akhir ini, sangat riskan untuk mengarah kepada disintegrasi bangsa. Di tengah situasi seperti ini kita diharapkan untuk mencari solusi yang terbaik. Di sinilah peranan para tokoh beragama sangat penting, karena mereka bisa mengajak umatnya untuk membina hidup rukun dalam kebersamaan baik dengan yang seiman maupun yang bergama lain.

a. Ajaran dan Pandangan Gereja Katolik

Pada prinsipnya Gereja Katolik sangat mencintai persaudaraan universal, yang tidak membeda-bedakan suku bangsa, warna kulit, bahasa, agama, dsbnya. Gereja berpedoman pada sikap Yesus sendiri yang semasa hidupnya yang selalu menyapa dan bersahabat dengan siapapun tanpa melihat agama dan kayakinannya, misalnya:

 Yesus berdialog dengan perempuan Samaria di sumur Sikhar, padahal bagi orang Yahudi, orang Samaria adalah orang-orang kafir (bdk. Yoh 4:1-24).

23

 Yesus menolong hamba perwira Romawi yang sakit, sedangkan bangsa Romawi adalah penyembah berhala (lih. Mat 8:5-13).

 Yesus mendengarkan permintaan perempuan Siro-Fenesia (orang asing dari suku penyembah berhala) yang anak kerasukan roh jahat (lih. Mrk 7:24-34)

 Yesus menceritakan kisah tentang orang Samaria yang baik hati untuk menegaskan sikap-Nya yang tidak mempersoalkan agama tetapi lebih mengutamakan belas kasih dan persaudaraan. (lih. Luk 10:25-37). Orang Samaria itu sanggup menjadi sesama bagi orang lain yang sungguh membutuhkan pertolongan tanpa memandang asal-usul dan latar belakang hidupnya. Orang yang berbeda suku, agama, cara beribadah dan kebudayaan dikasihi dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa, dan akal budi. Itulah yang disebut persaudaraan sejati. Dalam persaudaraan sejati tidak ada sekat berupa perbedaan suku, bahasa, budaya, agama, ras, dsbnya. Yang ada hanyalah kasih sebagai saudara dan sesama.

b. Usaha-usaha membina Kerja Sama dan Dialog Antar Umat Beragama

Dunia ditandai dengan pluralisme agama dan budaya. Oleh karena itu perlu dibangun dialog antar agama. Sikap yang penting untuk menanamkan semangat dialog antar umat beragama adalah adanya keterbukaan dari pihak-pihak yang berdialog. Dialog sejati memprasyaratkan pengetahuan agama lain, bahkan pembacaan Kitab Suci agama lain. Dialog sejati tidak sama begitu saja dengan kerukunan. Gereja sendiri pada prinsipnya menempatkan keberadaan umat Kristiani di tengah dunia yang masyarakatnya beraneka ragam suku, bahasa, budaya, adat-istidat, aliran kepercayaan dan agama, sehingga sangat membutuhkan dialog. Beberapa dokumen Konsili Vatikan II yang membahas tentang kerja sama dan dialog antara agama antara lain: LG, GS, NA, AG, UR. Hal ini mau menunjukkan bahwa dialog mendapat perhatian penting dari Gereja. Kata dialog berasal dari bahasa Yunani: ‘dia-logos’ yang berarti berbicara, berfirmn dari dua arah. Maka dialog berarti saling memberi diri (informasi) dan saling mendengarkan untuk saling memahami (mengerti) secara bergantian. Di sini, perlu usaha untuk menciptakan persaudaraan sejati antar pemeluk agama. Usaha yang dimaksud adalah dengan mengadakan berbagai bentuk dialog dan kerja sama.

Beberapa bentuk dialog yang bisa diusahakan dan dikembangkan dengan saudara-saudari umat Islam, Hindu, Budha, Konghucu, Aliran Kepercayaan dan Agama Asli antara lain:

1) Dialog kehidupan

Dialog kehidupan ini dalap dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, dimana kita sering hidup berdampingan dengan sesama yang beragama lain. Dalam hidup bersama kita selalu saling bertegur sapa, bergaul, saling mendukung dan saling membantu satu sama lain. Hal ini dilakukan tentu saja bukan hanya karena tuntutan etika hidup bersama, pergaulan dan sopan santun, melainkan juga tuntutan iman kita. Melalui hal-hal sederhana semacam itulah kita membangun dialog kehidupan. Selain itu dialog kehidupan tampak nyata antara lain: dalam komunitas buruh, petani, anak jalanan, nelayan, pemberdayaan perempuan, dsbnya.

2) Dialog karya

Dalam hidup bersama dengan orang lain kita didorong untuk bekerja sama demi kepentingan bersama atau kepentingan yang lebih luas dan luhur. Berbagai kegiatan dapat kita lakukan secara bersama-sama seperti kegitan-kegiatan sosial

24

kemasyarakatan, kegiatan sosial karitatif, kegiatan rekreatif, dsbnya. Melalui kegiatan itulah terjadi interaksi yang dapat menghantar kita untuk saling mengenal lebih dalam dan saling menghargai.

3) Dialog iman

Dalam hidup beriman kita dituntut untuk saling memperkaya. Walaupun kita berbeda agama. Banyak ajaran iman juga visi dan misi agama yang sama. Dialog iman ini muncul dalam bentuk forum antar umat beragama, gerakan ekumene dan kerukunan umat. Lebih dari itu, semua orang mempunyai perjuangan yang sama dalam menghayati ajaran imannya. Dalam hal inilah kita saling belajar, saling meneguhkan dan saling memperkaya, misalnya:

 Dari kita umat Katolik, kita dapat memberi kesaksian iman tentang bagaimana kita menghayati nilai-nilai Injil seperti cinta kasih, solidaritas, pengampunan, kebenaran, kejujuran, perdamaian, dsbnya.

 Dari agama Islam, kita dapat belajar tentang sikap pasrah, kepercayaan yang teguh pada Allah Yang Maha Esa, ketekunan utuk berdoa secara teratur dan sikap tegas dalam menolak kemaksiatan.

 Dari agama Hindu dan Budha (juga aliran kepercayaan), kita dapat belajar tentang penekanan pada doa bathin, meditasi dan kontemplasi, yoga dan berbagai seni bermeditasi lainnya yang sangat disukai dan dipraktekkan di seluruh dunia.

 Dari agama Konghucu (juga Budha), kita dapat belajar tentang penekanan dan penghayatan umatnya pada hidup moral dan perilaku. Mereka sangat menekankan praktek hidup yang baik. Maka agama Konghucu dan Budha seringkali disebut sebagai agama moral

 Dari agama asli, kita dapat belajar tentang kedekatan mereka pada alam dan lingkungan hidup. Agama asli sangat menekankan kepercayaan pada keharmonisan seluruh kosmis. Ada mata rantai kehidupn yang melingkupi seluruh alam raya yang tidak boleh dirusak. Maka umat agama asli selalu membuat upacara sebelum mereka mengolah tanah, menebang pohon, dsbnya. Hal ini dilakukan sebagai semacam tindakan penghormatan dan minta ijin kepada sesama saudara kehidupan. Dalam gerakan melestarikan ekologi saat ini, kita perlu menimba inspirasi dari agama asli ini.

Dialog yang sehat tidak hanya melihat kesamaan, tetapi juga mampu melihat perbedaan sebagai kekayaan. Maka sekalipun Gereja memiliki sikap hormat yang tulus terhadap agama-agama lain, Gereja tiada hentinya mewartakan keyakinan imannya bahwa Kristus adalah jalan kebenaran dan hidup (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan; dalam Dia juga Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya (2 Kor 5:18-19).

c. Akar masalah yang dihadapi berkaitan dengan dialog dan kerukunan hidup beragama

Setiap orang memiliki cita-cita yang luhur untuk menggalakkan persaudaraan sejati antar pemeluk agama. Dan tidak ada agama yang mengajarkan keburukan dan kejahatan kepada umatnya. Yang diajarkan agama adalah nilai-nilai luhur yang mentor keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungannya serta dengan diri sendiri. Namun dalam upaya membangun dialog dengan sesama yang

25

berbeda agama selalu terjadi kesulitan. Beberapa hambatan yang dianalisis berkaitan dengan usaha membangun dialog antar umat beragama adalah:

 Kurangnya wawasan (pengetahuan) tentang agama lain yang menimbulkan sikap kecurigaan terhadap agama dan umat beragama lain.

 Keengganan untuk secara aktif menjalin kontak dengan penganut agama lain

 Para penganut agama sangat tergantung dengan sikap atau gerakan yang diakukan oleh pemimpin masing-masing

26 Bab III

Dalam dokumen PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (Halaman 47-52)