• Tidak ada hasil yang ditemukan

Martabat Manusia dalam Pandangan Konsili Vatikan II

Dalam dokumen PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (Halaman 37-40)

B. MARTABAT MANUSIA

2. Martabat Manusia dalam Pandangan Konsili Vatikan II

Pandangan mengenai martabat manusia secara jelas dikemukakan dalam Gaudium et Spes art. 12. Acapkali manusia melihat dirinya sebagai tolok ukur yang mutlak atau merendahkan dirinya hingga sampai pada ambang keputusasaan. Hal ini menyebabkan manusia menjadi bimbang dan gelisah. Gereja menyadari kegelisahan dan ikut merasakan berbagai kesulitan manusia yang dialami secara mendalam. Dengan diterangi oleh Allah yang mewahyukan diri, Gereja berusaha untuk menjawab kesukaran-kesukaran tersebut untuk melukiskan keadaan manusia yang sebenarnya, menjelaskan kelemahan-kelemahannya, agar dapat mengenali dirinya, martabat dan penggilannya (GS art 12).

Dari kodratnya manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup dengan sesamanya. Tanpa orang lain manusia tidak dapat hidup dan mengembangkan dirinya dengan segala bakat dan kemampuannya. Manusia yang diciptakan Allah ditempatkan lebih tinggi dari ciptaan lain. Ia dianugerahi keistimewaan berupa akal budi, hati nurani dan kehendak bebas.

a. Manusia sebagai makhluk berakal budi

Satu hal yang menjadikan manusia sebagai makhluk bermartabat dan otonom adalah akal budinya. Akal budi adalah ciri khas manusia yang unik dan sekaligus membedakannya dengan makhluk ciptaan lain, khususnya binatang. Akal budi menjadi bentuk keunggulan manusia. Maka hidup dan tindakannya harus didasarkan pada akal budinya. Dengan akal budi yang dimilikinya, manusia mampu mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan empiris, dalam ketrampilan teknis dan dalam ilmu-ilmu kerohanian. Bahkan pada zaman sekarang manusia telah mencapai taraf pengetahuan yang paling tinggi dengan menyelidiki alam bendawi dan menaklukkannyakepada dirinya. Namun demikian ia masih terus mencari dan menemukan kebenaran yang semakin mendalam (GS art 15). Akal budi memperkaya manusia dengan pelbagai kemampuan, seperti:

12

Ini berarti bahwa manusia sadar akan keberadaannya, tindakannya, sikapnya, dsbnya. Seorang filsuf Perancis (Rene Descartes), pernah berkata: “Cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada).Maka dengan kesadarannya, manusia merefleksikan diri dan tindakannya. Namun ia tidak hanya mengerti dirinya sendiri saja, tetapi juga mengerti akan dunia luar. Artinya, manusia menyadari keberadaan segala sesuatu dalam dunia ini dan hubungan-hubungannya. Dengan akal budinya ia dapat mencari hubungan antara segala sesuatu yang terjadi disekitarnya.

2) Berkembang, membangun kebudayaan dan menciptakan sejarah.

Dengan akal budinya manusia bertanya, lalu mencari jawabannya. Berkat akal budi itu pula manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hasilnya dapat dinikmati saat ini. Manusia juga membangun kebudayaan terutama yang berhubungan dengan kesenian, seperti: seni musik, lukis, bangunan, sastra, suara, tari, dsbnya. Semua itu berasal dari budi dan hati manusia. Selain itu manusia masih dapat menciptakan sejarah. Bukan saja sejarah dunia atau sejarah nasional, tetapi juga “sejarah” pribadi kita masing-masing. Setiap orang pasti pernah menorehkan sejarah dalam perjalanan hidupnya sendiri.

3) Bekerja

Manusia adalah makhluk pekerja. Kerja yang dilakukan manusia memerlukan pemikiran. Maka kegiatan harus diarahkan kepada satu tujuan tertentu. Pekerjaan merupakan kekhasan makhluk berakal budi. Dan hanya manusialah yang dapat merencanakan, mengatur dan menguasai ciptaan lain. Kerja juga merupakan kegiatan insani. Kerja menjadi sarana seorang manusia untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Melalui kerja manusia dapat menuangkan segala ide-ide kreatifnya, gagasannya yang cemerlang, dan segala daya upayanya. Kerja bukan hanya sekedar sarana untuk mencari nafkah, tetapi lebih dari itu merupakan wadah bagi aktualisasi diri.

4) Mengembangkan hubungan yang khas dengan manusia lain

Dengan akal budinya manusia dapat “bertemu” dan “bersama” dengan sesamanya. Karena itu manusia mampu menciptakan bahasa, membangun cinta, perhatian, harapan, relasi, dsbnya. Manusia dapat hidup bersama dan berkomunikasi; ia mampu menjalin persahabatan dan cinta dengan orang lain. Kemampuan-kemampuan itulah yang membuat manusia semakin bermutu dan sungguh-sungguh menjadi manusia.

Namun tidak dapat disangkal bahwa akal budi telah kabur dan lemah akibat dosa. Maka pada akhirnya, kodrat nalariah manusia disempurnakan oleh kebijaksanaan yang dapat menarik budi manusia untuk mencari dan mencintai yang benar dan baik. Manusia membutuhkan kebijaksanaan untuk memahami hidupnya di dunia, sehingga diharapkan akan semakin dekat dengan Sang Penciptanya.

b. Manusia sebagai makhluk berhati nurani.

Manusia adalah makhluk yang dikaruniai suara hati. Suara hati/hati nurani inilah yang menjadi hukum yang harus ditaati. Manusia yang anugerahi martabat luhur harus mematuhi hukum tersebut, karena dengan hukum itu pulalah ia akan diadili. “Hati nurani adalah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; disitulah ia seorang diri bersama Allah yang

13

sapaannya menggema dalam batinnya” (GS art 16). Kepekaan untuk mendengarkan suara hati membawa manusia untuk mencari kebenaran. Dalam kebenaran itulah manusia memecahkan berbagai persoalan yang ada dalam hidupnya. Untuk dapat memahami hati nurani secara baik, maka kita perlu melihat beberapa hal berikut:

1) Kesadaran etis.

Ketika kita berbicara tentang manusia sebagai makhluk berakal budi, kita sudah menyinggung bahwa dengan akal budinya manusia dapat menyadari dirinya dan tindakannya. Ia dapat menyadari dan menilai kalau tindakannya baik dan benar atau salah dan buruk. Dengan akal budinya manusia dapat memiliki kesadaran etis dan moral. Kesadaran etis adalah kesadaran untuk menilai suatu tindakan itu baik atau buruk. Kesadaran etis ini terdiri atas tiga taraf yang berbeda-beda, yakni: Pertama,taraf

naluri. Pada taraf ini segala tindak tanduk manusia didasarkan pada tekanan dan

peraturan dari luar, misalnya adat istiadat atau hukum dan bukan oleh kesadaran diri dan hati nurani. Kedua, taraf kesadaran moral. Pada taraf ini tingkah laku etis lebih didasarkan atas kesadaran dan kebebasan. Artinya, sebagai realisasi pribadi manusia yang berakal budi dan berkehendak bebas. Manusia yang otonom. Sifat moralnya adalah khas manusiawi. Ketiga, tingkat kesadaran kristiani. Pada taraf ini kesadaran moral dilakukan dalam rangka mewujudkn diri sebagai manusia yang berakal budi dan otonom. Dalam bertingkah laku, manusia tidak hanya sekedar melakukannya karena tindakan itu baik, tetapi terutama karena didorong oleh cinta kasih kepada kepada Tuhan dan sesama. Maka yang menjadi hukum pokok dalam taraf ini adalah cinta kasih. 2) Tindakan moral

Jawaban atas undangan Allah dilaksanakan manusia dalam tindakan-tindakan moralnya. Tindakan-tindakan moral baru dapat disebut tindakan moral apabila dilaksanakan secara sadar dan bebas, sesuatu yang khas manusia. Penilaian obyektif dan benar tentang suatu tindakan hendaknya mempertimbangkan seluruh tingkah laku manusia. Tingkah laku ini seringkali dipengaruhi oleh motivasi dasarnya dan juga oleh sikap dasarnya. Tindakan lahiriah manusia harus diukur pula dari disposisi batinnya. Jadi, selain kesadaran dan kebebasan, tujuan dan motivasi sangat menetukan tindakan moral seseorang.

3) Hati nurani

Dalam arti luas, hati nurani dapat diartikan sebagai keinsafan akan adanya kewajiban. Hati nurani merupakan kesadaran moral yang timbul dan bertumbuh dari hati manusia. Kesadaran moral tidak berarti bahwa manusia sudah dibekali dengan aturan yang serba jelas, sehingga ia tahu pasti yang harus ia lakukan. Manusialah yang harus berusaha untuk membuatnya menjadi jelas. Kebiasaan, adat, tradisi serta aturan moral merupakan sarana yang perlu diperhatikan dalam menumbuhkan kesadaran moral. Hati nurani yang terdidik tidak buta terhadap kekayaan tradisi serta norma-norma yang berlaku umum. Sedangkan dalam arti sempit, hati nurani dimaksudkan sebagai kesadaran moral dalam situasi konkret, antara lain menilai suatu tindakan baik atau buruk lalu mendorong kita untuk mengambil keputusan untuk bertindak. Suara hati/hati nurani ini berfungsi untuk mengingatkan manusia untuk melakukan yang baik dan menolak yang jahat, atau mengingatkan kita jika menyimpang dari yang baik. Akan tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidakpedulian dan ketidaktahuan yang tak teratasi tanpa kehilangan martabatnya. Karena ketidakpedulian

14

dan kebiasaaan berdosa itulah hati nurani seseorang lambat laun akan menjadi tumpul dan buta. Agar tidak terjadi demikian maka hati nurani dan kesadaran moral harus selalu diasah atau dibina. Pembinaan hati nurani dapat dilakukan dengan selalu mengikuti hati nurani dalam segala hal; mencari keterangan pada sumber yang baik (Kitab Suci, dokumen-dokumen Gereja, buku-buku yang bermutu atau ikut dalam berbagai kegiatan kerohanian yang ada); koreksi atau introspeks i.

c. Manusia sebagai makluk berkehendak bebas.

Sebagai citra Allah, manusia dianugerahi pula rahmat kekebasan. Manusia hanya akan berpaling kepada kebaikan apabila ia bebas. Karena itu oleh orang-orang zaman sekarang kebebasan sangat dihargai dan dicari dengan penuh semangat. Namun seringkali terjadi bahwa kebebasan selalu disalah-artikan dengan cara yang salah, juga diartikan sebagai kesewenang-wenangan untuk melakukan apa yang dikehendaki manusia. Sesungguhnya yang harus diusahakan manusia adalah kebebasan yang sejati. “Kebebasan sejati merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia. Sebab Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri” (GS art 17). Dengan pilihan bebasnya, manusia diharapkan mengabdi kepada Allah dalam kebebasan yang sempurna. Allah menghendaki bahwa dengan pilihan bebasnya manusia dengan sadar dan bebas digerakkan oleh hatinya yang paling dalam untuk mencari penciptanya dan mengabdi kepada-Nya secara bebas.

3. Implikasi Manusia Sebagai Citra Allah Bagi Kehidupan Sesama

Dalam dokumen PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (Halaman 37-40)