• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN TENTANG ASAL USUL MANUSIA 1. Pandangan Sains Tentang Asal-Usul Manusia

Dalam dokumen PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (Halaman 27-35)

MANUSIA

Pengantar

Setiap orang baik yang beriman maupun yang tidak beriman sepakat bahwa segala sesuatu di dunia ini diarahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncak ciptaan. Apakah manusia itu? Dahulu dan sekarang terdapat banyak pandangan dan pendapat yang sama maupun bertentangan. Manusia seringkali menyanjung dirinya sebagai tolak ukur yang mutlak, atau merendahkan dirinya hingga sampai pada ambang keputusasaan; dan s ebagai akibatnya ia merasa bimbang dan gelisah. Berbagai kesulitan yang dialami manusia turut pula dirasakan oleh Gereja. Berkat karya Allah yang mewahyukan diri, Gereja diterangi sehingga mampu menjawab persoalan-persoalan seputar manusia, melukiskan keadaan manusia yang sesungguhnya, menjelaskan kelemahan serta martabat dan panggilannya.

Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut “gambar dan rupa Allah” artinya manusia secitra dengan Allah. Karena itu ia mampu mengenal dan mengasihi penciptanya. Sejak diciptakan, manusia telah ditetapkan sebagai “tuan” atas ciptaan lain (Kej 1:26; Keb 2:33), untuk menguasai dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah (Sir 17:3-10). Penulis Kitab Mazmur melukiskan dengan indahnya tentang manusia: “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7)

A. PANDANGAN TENTANG ASAL USUL MANUSIA 1. Pandangan Sains Tentang Asal-Usul Manusia.

a. Teori Evolusi

Berbagai pandangan tentang asal-usul manusia di jaman modern ini dikalahkan oleh TEORI EVOLUSI yang muncul pada abad 19. Teori ini mengulas tentang bagaimana asal-usul manusia yang terus berevolusi dari tingkatan yang paling rendah sampai pada tingkatan yang paling tinggi. Melalui pembuktian-pembuktian dilakukan, para ahli penganut teori evolusi agama bersikap kompromi. Kompromi tersebut dikenal dengan “teori evolusi terbatas” yang bersifat moderat. Pandangan pokoknya adalah bahwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia selama ribuan tahun benar-benar mengalami mutasi (perubahan) yang tidak sedikit. Namun mereka menolak mengakui adanya penyeberangan antara tingkatan mahluk yang satu menuju tingkatan mahluk yang lain. Jadi mutasi benda tak berhayat menuju tumbuh-tumbuhan, dan tumbuh-tumbuhan menuju binatang, dan dari binatang menuju manusia tetaplah disangkal dengan kerasnya. Yang terutama ditolak adalah gagasan bahwa manusia seluruhnya, jiwa dan badan, berasal dari binatang. Hal ini karena pihak ilmu pengetahuan pun belum bisa membuktikan secara meyakinkan dengan teori “missing link”nya.

2 b. Pandangan filosofis

Menghadapi permasalahan hidup seperti tersebut di atas, manusia berusaha dengan berbagai kemampuannya untuk mengatasinya. Pertanyaan besar yang selalu mengganggu pikiran manusia adalah mengenai asal-usulnya. Menurut Frans Dahler usaha untuk menjawab hal ini menjadi pangkal lahirnya mitos -mitos, dongeng-dongeng kuno, berbagai macam filsafat dan agama-agama. Sejak ribuan tahun lamanya, manusia menciptakan gambaran akan asal-usulnya sendiri. Dengan segala kemampuannya, ia berusaha memuaskan nafsu dan kehausan untuk mengetahui asal-usulnya sendiri. Dari manakah manusia berasal? Bagaimana ia diciptakan? Bagaimanakah manusia berkembang sehingga memiliki daya rohani yang agung sekaligus yang membedakannya dengan binatang?

Bangsa-bangsa primitif di Afrika, Asia dan Australia bicara tentang semacam “Tuhan purba” yang menciptakan manusia. Sedangkan agama-agama polytheis dari jaman kuno maupun jaman modern membayangkan adanya “Tuhan jamak”, dewa-dewi yang menciptakan dunia dan manusia. Sebaliknya ada aliran filsafat yang pengaruhnya terasa pada agama Hindu dan Buddha yang justru menyangkal adanya “ciptaan”. Manusia dalam pandangan itu dikatakan merupakan unsur dalam “Dunia Ilahi” yang

sudah selalu ada. Alam semesta bersama manusia di dalamnya merupakan kenyataan

ilahi, dan alam ini berputar tanpa henti-hentinya dalam lingkaran reinkarnasi, lingkaran tertutup, dari kekal sampai kekal.

Demikian pula berdasarkan pengalaman eksistensi manusia yang selalu berhadapan dengan “baik” dan “buruk” maka berkembanglah aliran filsafat dualisme yang menyatakan bahwa asal dunia ini dari dua prinsip, dua sumber yaitu sumber kebaikan (Allah) dan sumber kejahatan (Iblis, setan dsb).

1) Pandangan filosofis Kristen, Islam, Yahudi tentang manusia

2) Pandangan filosofis timur yang mempengaruhi agama Hindu dan Budha.

SIKLUS ALAM Alam semesta selalu ada

dalam lingkungan tertutup. Semua akan terulang lagi. Tak ada evolusi, tak ada ciptaan.

Tidak ada perbedaan tajam antara Tuhan dan

manusia

Tuhan menciptakan

Manusia berkembang, berjalan menuju tujuan akhir, yaitu Akhirat.

3 Tubuh dengan

nafsu-nafsu 3) Pandangan filosofis Dualisme tentang manusia.

JIWA

ROH

2. Sains dan Iman

Apakah teori evolusi ini bertentangan dengan iman? Pertama-tama kita harus memegang bahwa karena iman dan akal itu sama-sama berasal dari Allah, maka kita percaya bahwa seharusnya tidak ada pertentangan antara iman dan akal (reason) dan science yang menjadi hasil dari akal tersebut untuk mencapai kebenaran, asalkan pencarian kebenaran tersebut dilakukan dengan tulus tanpa memasukkan ide-ide pribadi yang kemudian dianggap sebagai kebenaran.

Teori Evolusi yang kita kenal sebenarnya merupakan suatu hipotesa, yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, agar dapat dikatakan sebagai kebenaran. Sementara ini, bukti ilmiah belum dapat dikatakan mendukung hipotesa tersebut. Ada dua inti besar teori Evolusi- yang dikenal sebagai "Macroevolution/ evolusi makro" yang dipelopori oleh Darwin:

a. Semua mahluk hidup berasal dari mahluk sederhana yang terdiri dari satu sel atau lebih, yang terbentuk secara kebetulan.

b. Species baru terbentuk dari species lain melalui seleksi alam, dengan melibatkan kemungkinan variasi, di mana variasi tersebut dapat bertahan dan berkembang biak. Dalam abad ke-20, hal ini diperjelas dengan memberi penekanan pada kemungkinan mutasi sebagai cara pembentukan variasi. Posisi ini dikenal sebagai Neo- Darwinism.

Bagaimana pandangan Gereja mengenai hal evolusi? Berikut ini adalah beberapa

penjelasan yang dirumuskan dalam beberapa point:

a. Kita percaya bahwa jiwa manusia diciptakan secara langsung oleh Allah, dari yang tadinya tidak ada jadi ada. Jiwa manusia bukan berasal dari produk evolusi. Dalam surat ensiklik Humani Generis (1950), Paus Pius XII menolak ide evolusi total (yang menyangkut tubuh dan jiwa) manusia dari kera (primate). Dalam Humani Generis

36, Paus Pius XII mengajarkan bahwa meskipun dalam hal asal usul tubuh manusia,

masih dapat diselidiki apakah terjadi dari proses evolusi, namun yang harus dipegang adalah: semua jiwa manusia adalah diciptakan langsung oleh Tuhan. Namun demikian mengenai evolusi tubuh manusia itu sendiri, masih harus diadakan penyelidikan yang cermat, dan tidak begitu saja disimpulkan bahwa manusia yang terbentuk dari 'pre-existing matter' tersebut sebagai sesuatu yang definitif.

TUHAN Sumber kebaikan

Iblis, setan, benda: sumber kegelapan & kejahatan

4

b. Mengenai penciptaan tubuh manusia dari materi yang sudah ada sebenarnya tidak bertentangan dengan sabda Tuhan yang menciptakan tubuh Adam dari tanah/debu, yang kemudian dihembusi oleh kehidupan, yang menjadi jiwa manusia (Kejadian 2:7). Namun hal ini tidak bertentangan dengan penciptaan manusia seturut gambaran Allah, sebab yang dimaksudkan di sini adalah manusia sebagai mahluk rohani yang berakal dan memiliki kehendak bebas.

c. Jadi diperbolehkan jika orang berpikir bahwa kemungkinan tubuh kera dapat berkembang mendekati tubuh manusia dan pada titik tertentu (di tengah jalan), Tuhan menghembusi jiwa manusia ke dalam tubuh manusia itu yang kemudian terus berevolusi (evolusi mikro) sampai menjadi manusia yang kita ketahui sekarang. St. Thomas Aquinas I, q.76, a.5, menyebutkan bahwa teori yang

menyebutkan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari kera (evolusi makro), harus kita tolak. Tubuh Adam haruslah merupakan hasil dari campur tangan Tuhan

untuk mengubah materi apapun yang sudah ada (pre-existing matter) dan menjadikannya layak sebagai tubuh yang dapat menerima jiwa manusia. Campur tangan ini mungkin saja luput dari pengamatan ilmiah, seperti yang diakui sendiri oleh Monod, saat mengatakan bahwa asal usul hidup manusia adalah suatu teka -teki. Tidak mungkin bahwa dalam satu tubuh dapat terdapat dua macam jiwa, yang satu adalah rational (manusia) dan yang kedua, irrational (kera), sebab terdapat perbedaan yang teramat besar, yang tidak terjembatani antara jiwa kera dan jiwa manusia. Lagipula tubuh kera bersifat spesifik yang diadaptasikan dengan lingkungan hidup yang tertentu. Jadi tidak mungkin bahwa tubuh manusia merupakan hasil dari perubahan-perubahan ‘kebetulan’ dari tubuh kera. Kemungkinan yang lebih masuk akal adalah, jika manusia diciptakan melalui

‘pre-existing matter’ seperti dari tubuh kera sekalipun, terdapat campur tangan Tuhan

untuk mengubah tubuh tersebut menjadi tubuh manusia, yang tidak merupakan kelanjutan dari tubuh kera tersebut, seperti halnya terdapat campur tangan Tuhan untuk menghembuskan jiwa manusia ke dalam tubuh manusia itu, yang bukan merupakan kelanjutan dari jiwa kera. Inilah yang secara ilmiah dikenal sebagai ‘lompatan genetik’, namun bedanya, ilmuwan mengatakan itu disebabkan karena kebetulan semata, sedangkan oleh Gereja dikatakan sebagai sesuatu yang disebabkan oleh campur tangan Tuhan.

d. Cardinal Schonborn dalam artikel di New York Times tgl 7 Juli 2005 menjelaskan bahwa pengamatan pada mahluk hidup yang telah menunjukkan ciri-ciri yang final menyebabkan kita terkagum dan mengarahkan pandangan kepada Sang Pencipta. Membicarakan bahwa alam semesta yang kompleks dan terdiri dari mahluk-mahluk yang ciri-cirinya sudah final ini, sebagai suatu hasil ‘kebetulan’, sama saja dengan ‘menyerah’ untuk menyelidiki dunia lebih lanjut. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa akibat terjadi tanpa sebab. Ini tentu saja seperti membuang pemikiran akal manusia yang selalu mencari solusi dari masalah." e. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa, akal sehat manusia pasti dapat

memperoleh jawaban untuk pertanyaan yang menyangkut asal usul manusia. Keberadaan Tuhan Pencipta dapat diketahui secara pasti melalui karya-karya ciptaan-Nya, dengan terang akal budi manusia… KGK no 295 mengatakan, "Kita percaya bahwa Allah menciptakan dunia menurut kebijaksanaan-Nya. Dunia bukan merupakan hasil dari kebutuhan apapun juga, ataupun takdir yang buta atau kebetulan."

5 3. Pandangan Kitab Suci Tentang Asal-Usul Manusia

Berawal dari kisah penciptaan seperti terungkap dalam Kitab Suci, manusia menemukan bahwa ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri (Kej 1:27). Ia dipanggil untuk mewujudnyatakan kepenuhan citra Allah tersebut. “Secitra dengan Allah” berarti pribadi manusia diciptakan dalam wujud jasmani dan rohani yang tidak terpisahdan merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam kisah penciptaan manusia, dikisahkan tentang Allah yang menciptakan manusia dari debu tanah lalu menghembuskan nafas kehidupan (Roh) dalam dirinya, sehingga manusia menjadi utuh (bdk. Kej 2:7). Beberapa ungkapan yang dipakai untuk menyatakan nafas hidup antara lain: Nefes atau Nous yang berarti nyawa, nafas, pernapasan (dalam arti: nafas yang keluar dari tenggorokan sebagai tanda kehidupan). Ada juga ungkapan lain yaitu Ruah (roh) yang berarti nafas kehidupan yang menunjukkan keutuhan makhluk. Bahkan Kitab Kejadian menceritakan bahwa manusia pertama yang ciptakan Allah adalah Adam dan Hawa. Adam berarti tanah (manusia yang dibentuk dari debu tanah). Sedangkan Hawa berarti kehidupan (Kej 2:20). Apa yang diberikan Tuhan Allah bukanlah suatu bagian yang dimasukkan kedalam tubuh tetapi merupakan daya kekuatan yang menciptakan dan memberi hidup.

Dari semua ciptaan yang ada, manusialah satu-satunya yang “mampu mengenal dan mencintai penciptaNya” (GS art. 12). Hanya manusialah yang dipanggil supaya dalam pengertin dan kehendaknya mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri. Untuk tujuan inilah manusia diciptakan dan inilah yang menjadi dasar dari martabanya yang sungguh luhur dan mulia. Mengapa Allah memberikan keistimewaan kepada manusia dengan mengangkatnya ke dalam martabat yang begitu mulia? Apa maksudnya? Keluhuran dan keagungan manusia sebagai ciptaan tertinggi merupakan cinta yang tak ternilai dari Sang Penciptanya. Karena cinta-Nya, Allah menganugerahkan keinginan dalam kodrat kemanusiaan kita suatu keinginan dan kerinduan terdalam untuk berelasi dengan Allah. Kitapun turut mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri. Kita diciptakan oleh Allah dengan tujuan agar kita tetap berada dalam hubungan dengan Allah. Inilh yang menjadi kunci kebahagiaan manusia itu sendiri.

4. Usaha Manusia dalam Menjawab Persoalan Dasar Kehidupannya.

Berbagai persoalan dasar yang muncul dalam kehidupan manusia menimbulkan pertanyaan serius tentang dirinya. Manusia mulai memikirkan dan merefleksikan pengalamannya dalam dinamika perjalanan hidupnya. Dalam keterbatasan, manusia berusaha mengetahui asal, tujuan dan makna hidupnya. Refleksi terhadap pengalaman hidupnya membawa manusia pada sebuah kesadaran bahwa ia diciptakan oleh Allah dan terarah kepada-Nya. Manusia makin menyadari bahwa Allah terus menariknya ke dalam pelukan-Nya, karena itu muncul kesadaran dalam diri manusia bahwa hanya dalam Allahlah manusia dapat menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang secara terus menerus dicarinya ( KGK art 28). Allah adalah sumber kehidupan dan hanya pada Allah saja manusia dapat menemukan identitas dirinya. Hal ini ditegaskan dalam pernyataan berikut:

“Makna paling luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak awal mula manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup, karena ia diciptakan Allah dalam cinta kasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup menurut kebenaran, bila tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih itu, serta menyerahkan diri kepada pencipta-Nya.” (GS art 19)

6

Untuk bisa menjawab persoalan-persoalan dasar yang dihadapinya, manusia berusaha menemukan Allah dalam kehidupannya. Beberapa usaha yang dilakukan misalnya: doa, kurban, upacara, meditasi, dll. Hal ini mau menunjukkan bahwa inti kebahagiaan manusia terletak dalam persatuannya dengan Allah dalam relasi yang mesra. Namun dalam kenyataannya, manusia seringkali mengingkari bahkan menolak hal tersebut karena berbagai sebab. Beberapa penolakan yang dilakukan manusia misalnya: protes terhadap kejahatan yang ada di dunia ini, ketidakpahaman atau ketidakpedulian religious, kesusahan hidup, godaan harta, hawa nafsu, teladan hidup yang kurang baik dari orang beriman, kesombongan manusia yang berdosa sehingga menyembunyikan diri dari Allah karena rasa takut, dsbnya. Walau demikian Tuhan senantiasa memanggil manusia untuk kembali kepadaNya; Tuhan berharap agar manusia tidak pernah berhenti mencari-Nya sehingga dapat mengalami kebahagiaan bersama Dia.

Tuhan selalu membuka jalan bagi manusia untuk mengenal-Nya secara lebih dekat. Manusia dapat menempuh berbagai jalan untuk dapat mencapai pengenalannya akan Allah. Jalan-jalan itu disebut juga sebagai “pembuktian Allah”. Jalan-jalan pengenalan menuju Allah bertitik tolak dari adanya dunia dan segala isinya serta keberadaan manusia itu sendiri. Melalui jalan-jalan itulah manusia dapat menemukan Allah.

a. Dunia

Dalam diri manusia muncul pertanyaan ketika melihat dunia dengan segala isinya yang begitu menakjubkan. Manusia bertanya tentang asal-usul dunia dan keteraturan yang terjadi di alam semesta juga tentang siapa yang berada dibalik semuanya itu. Melalui berbagai pertanyaan tersebut, manusia dihantar untuk mengenal Allah melalui dunia ini. Dengan melihat gerak dan perkembangan, tatanan dan keindahan dunia ini, manusia dituntun untuk mengenal Allah sebagai sumber dan tujuan alam semesta (KGK, 32). Dunia dapat mengenalkan manusia pada Allah yang adalah sang “Arsitek Agung”. Dialah yang merancang dunia dan segala isinya sedemikian rupa sehingga manusia dapat mengagumi keindahannya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak manusi bermuara pada satu jawaban yang pasti, yakni adanya “Sang Pencipta” yang menciptakan dunia. Dialah yang disebut Allah.

b. Manusia

Dengan keterbukaannya kepada keindahan dunia dan kenyataan akan adanya alam semesta dengan segala isinya; dengan pengertiannya akan kebaikan moral, kebebasan, suara hati; serta dengan kerinduannya akan ketidakterbatasan dan akan kebahagiaan, manusia terus bertanya-tanya akan adanya Allah. Dalam semuanya itu manusia menemukan dalam dirinya adanya tanda-tanda jiwa rohani. Karena benih keabadian yang ia bawa dalam dirinya tidak dapat dijelaskan hanya dengan asal dalam materi saja (GS 18,1),maka jiwanya hanya dapat mempunyai Tuhan sebagai sumber. Manusia dapat sampai kepada realitas yang merupakan Causa Prima (Sebab Pertama) dan Causa Finita (Tujuan Akhir) dari segala sesuatu. Realitas itulah yang dinamakan Allah. Manusia dengan keberadaannya mampu menghantarnya untuk mencari dan menemukan Allah dalam hidupnya.

7 c. Hidup Manusia Sangat Bernilai, Indah, namun Terbatas dan Penuh Misteri

1) Hidup Manusia Sangat Berharga

Sepanjang hidupnya manusia terus berusaha untuk menggapai kebadian. Ia ingin terus hidup karena bagi manusia hidup itu sangat berarti dan bernilai. Bagaimanapun juga manusia senantiasa berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Berbagai cara akan dilakukannya, misalnya: apabila sakit manusia akan berobat atau dengan perawatan; ketika nyawanya teracam karena berbagai sebab ia akan mempertahankannya, jika perlu dengan senjata. Karena hidup itu sangat berharga, masyarakat kita sangat menjunjug tinggi kehidupan. Mereka berusaha mengamankan hidupnya dengan menjaga hubungan yang selaras dengan sesama, alam/lingkungan dan dengan dunia adikodrati. Manusia juga melanggengkan hidupnya melalui keturunan.

Kehidupan itu sungguh sangat bernilai. Manusia tidak akan menukarkannya dengan apapun atau menyia-nyiakan hidupnya. Kitab Suci mengatakan, “apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia tetapi ia kehilangan nyawanya?” (Mrk 8:36). Apapun yang ada di dunia ini tidak sebanding dengan hidup. Maka Ayub mengatakan: “orang akan memberikan segala yang dipunyainya sebagai ganti nyawanya” (Ayb 2:4). Hidup memang sangat bernilai, dan karena itu harus diselamatkan.

2) Hidup Manusia Indah Dan Mengagumkan

Hidup tidak hanya bernilai tetapi juga indah. Manusia bisa saja mengatakan bahwa hidup ini terasa pahit karena penderitaan dan tantangan yang dialami. Namun hal ini tidak akan mengaburkan kenyataan yang sesungguhnya bahwa hidup kita indah dan sungguh mengagumkan. Pada saat manusia berada dalam kondisi normal, ia cenderung tidak menyadari keindahan hidup itu. Baru pada saat saat mengalami cobaan, penderitaan, sakit dan mendapat vonis bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, manusia mulai berpikir tentang mutu hidupnya. Pada saat ini segala sesuatu yang dilakukan manusia mempunyai sisi yang lebih tajam dan mereka seakan melihat makna hidup.

Bila kita cermati, kita akan menemukan bahwa ternyata sebagian orang tidak pernah menjadi manusia yang sungguh-sungguh utuh sebelum mengetahui bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Berhadapan dengan kematian, manusiabaru menyadari betapai indah dan bernilainya hidup ini. Hidup manusia memang sungguh mengagumkan!

3) Hidup Manusia Terbatas

Sekalipun hidup manusia itu berharga dan indah, namun manusia tidak berkuasa atasnya. Manusia akan selalu dihadang oleh berbagai tantangan dan penderitaan, bahkan berakhir dengan kematian. Betapapun kerasnya usaha manusia untuk mencapai keabadian, ia harus menerima kenyataan kalau pada akhirnya ia akan menghadapi maut. Mengapa harus ada penderitaan dan kematian? Apa maknanya?Dari dirinya sendiri, manusia tidak dapat memberi jawaban atas pertanyaan yang sangat mendasar itu. Mungkin karena itu pula,

8

banyak orang yang menjalani hidupnya dengan pesimis, sehingga pada akhirnya mautlah yang berkuasa. Beberapa penyair seperti Chairil Anwar pernah menuliskan bahwa: “Hidup hanya menunda kekalahan!”Begitu pula dengan WS Rendra yang mengungkapkan, “Kelahiran dan kematian adalah keniscayaan. Namun bagi yang

hidup, wafat kerabat adalah kehilangan. Selalu menimbulkan kesedihan.” Dalam

Kitab Ayub 14:1-2, Ayub menuturkan bahwa: “Manusia lahir dari perempuan,

singkat umurnya. Ia hilang, lenyap, dan tidak dapat bertahan”. Serta dalam

Mazmur 90:5-6,10, dikatakan:“Hidup manusia hilang lenyap seperti mimpi, seperti

rumput yang disabit. Pagi-pagi berkembang dan berbunga, waktu sore layu dan kering. Batas umur manusia tujuh puluh tahun, atau delapan puluh jika kuat.”

Sebagai orang beriman, kita dapat belajar dari Yesus yang tidak lari dari penderitaan yang menghadang-Nya. Bagi Yesus seberat apapun penderitaan yang akan Ia tanggung, Ia harus berani menghadapi-Nya sampai akhir. Yesus tidak menjelaskan secara gamblang arti dan makna penderitaan dan maut, tetapi dari Salib dan kebangkitan kita dapat melihat dan menemukan tawaran yang me mberi arti pada penderitaan dan maut tersebut. Bagi orang lain, salib adalah kebodohan, namun bagi kita orang Kristen, salib adalah kekutan Allah (bdk. 1Kor 1:18). Bagi kebanyakan orang, Yesus “mati konyol disalib”. Tetapi ternyata tidak! Terbukti bahwa Allah membangkitkan Dia dari alam maut. Kebangkitan inilah yang memberi arti dari penderitaan dan kematian itu sendiri. Juga menjelaskan bahwa Allah hadir didalam setiap penderitaan yang dialami manusia.

Melalui penderitaan dan wafat Yesus, kita diajar untuk menemukan keselamatan dalam penderitaan dan kematiaan yang kita alami. Karena itu kita boleh berharap dan percaya bahwa:

 Dalam setiap penderitaan, kegagalan, kekecewaan, dan keputusasaan, kita dapat bertemu dengan Allah karena ia senantiasa ada didekat kita

 Allah ikut menderita bersama dengan kita. Ia solider dengan kita. Setiap keberhasilan dan kesuksesan yang kita capai belum tentu memiliki makna bagi Allah, namun sebaliknya justru dalam penderitaan, kegagalan, kehinaan, ketidakberdayaan dan kematianlah kita dirangkul oleh kasih setia Allah.

Dengan demikian, kita tidak dibebaskan dari penderitaan dan maut. Derita dan maut adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita dan pasti aka n kita lalui. Namun kita dapat menerima bahwa derita dan maut bukanlah akhir dari segala-galanya; bukan juga malapetaka yang harus dihindari. Melalui penderitaan kita boleh berharap Allah selalu bersama kita. “Allah sendiri akan hidup dengan

Dalam dokumen PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (Halaman 27-35)