• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluhuran Seks, Seksualitas,Perkawinan, Hidup Berkeluarga Menurut Kitab Suci dan Ajaran Gereja

Dalam dokumen PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (Halaman 113-118)

IMAN YANG MEMASYARAKAT

B. TANGGUNG JAWAB SOSIAL

6. Keluhuran Seks, Seksualitas,Perkawinan, Hidup Berkeluarga Menurut Kitab Suci dan Ajaran Gereja

a. Kitab Suci

Kesetiaan dalam perkawinan bertujuan untuk melindungi perkawinan yang sah (bdk. Kel 20:14; Ul 5: 18; Mat 5:27. 31-32). Dan dalam sepuluh perintah Allah ditegaskan dengan ajaran ”jangan berzinah”. Pandangan Israel kuno tentang berzinah adalah ”apabila seorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka keduanya harus dibunuh: laki-laki yang tidur dengan perempuan itu dan juga perempuan itu”. Larangan perzinahan itu melindungi tata sosial. Pandangan Israel tentang seksualitas sangat duniawi.

Dalam Perjanjian Baru, kesetiaan dalam perkawinan menjadi pokok perhatian Yesus. Wejangan Yesus mengenai perkawinan menegaskan kembali akan sifat dan ciri perkawinan yang tidak terceraikan. Yesus mengingatkan soal menjaga kesetiaan perkawinan dan menganjurkan untuk membina hidup bersama sedemikian satu sama lain dan tidak merongong perkawinan orang lain. Dalam Mrk 10:1-12, Yesus ditanya murid-murid-Nya mengenai perceraian. Dan Yesus mengatakan bahwa cerai sama dengan zinah. Setiap orang yang menceraikan isterinya membuatnya berzinah dan setiap orang yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, berbuat zinah. Ketika bersoal jawab dengan orang Farisi mengenai kehendak Allah sendiri yang menginginkan perkawinan yang setia,Yesus mengatakan bahwa apa yang disatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Dalam hal ini Yesus mau menegaskan kembali maksud tradisi bangsa Israel mengenai perceraian, yaitu bukan Musa yang menyuruh untuk memberi surat cerai namun karena ketegaran hati bangsa Israel yang menginginkan demikian. Pokok ajaran dalam Perjanjian Lama adalah kesatuan yang diinginkan Allah sebagaimana Allah setia dengan umat-Nya. Kesetiaan Allah yang merupakan terwujudnya kerajaan Allah hadir dalam diri Yesus, dan kesetiaan Allah itu menjadi efekif dalam kesetiaa n suami isteri. Paulus dalam suratnyajuga menegaskan kembali ajaran Yesus mengenai perkawinan. Tuntutan untuk tidak bercerai dalam perrkawinan merupakan perintah Tuhan (1 Kor 7:10-11). Hal ini menunjukkan betapa luhurnya perkawinan itu. Paulus mengajak umat untuk membangun hidup bersama sehingga mereka yang menikah dibantu untuk setia dalam perkawinannya.

Seksualitas menunjuk pada fakta bahwa manusia selalu ada sebagai pria dan wanita. Seks berarti segala sesuatu yang mengkhususkan manusia serta membedakannya sebagai pria dan wanita. Maka seksualitas adalah sesuatu yang manusiawi, bukan biologi semata-mata. Seksualitas adalah daya naluri yang

88

memungkinkan adanya hidup manusia. Oleh sebab itu mesti dipertanggugjawabkan pula. Iman Kristiani mengakui manusia seperti itu sebagai ciptaan Tuhan, maka seksualitas yang dipertanggungjawabkan itu dipandang sesuai dengan rencana Allah. Manusia menjadi diri sebagai pria dan wanita, maka seks amat erat berkaitan dengan penampilan individu dan dengan hidup pribadi. Seksulitas merupakan nilai sangat tinggi, karena hubungan erat dengan manusia. Segala tindakan yang menyangkut seksualitas juga menyangkut hormat terhadap manusia sebagai pribadi, yang tidak boleh dijadikan sarana untuk tujuan apapun juga.

Sebagai sesuatu yang amat pribadi, seksualitas tidak dibiarkan tumbuh begitu saja, tetapi mesti dibina oleh setiap orang agar berkembang dan menjadi dewasa. Seksualitas mesti diatur dalam lingkungan untuk mencapai pengertian dalam kebersamaan, sebab perbedaan antara pria dan wanita tidak hanya menyangkut pribadi melainkan penting juga untuk susunan hidup bersama, maka penting untuk mengindahkan kaidah berikut ini: laku seks mesti menjadi tanggung jawab pribadi, laku seks mesti menghormati pribadi orang lain dan mengindahkan kepentingan bersama.

Kelurga adalah tempat normal bagi laku seks, karena kelurga dapat memberi perlindungan, persekutuan pribadi dan bebas serta sekaligus lembaga tetap dalam masyarakat. Persekutuan pribadi dan bebas dalam wujud lembaga dan tetap dalam menciptakan rasa aman yang perlu sehingga partner laku seks tidak dipandang sebagai objek. Perekutuan pribadi dan lembaga yang tetap dapat merupakan lingkngan dan sarana unuk mebesarkan an mendidik anak-anak menjadi manusia mandiri. Melalui lembaga yang dibentuk secara bebas dan diakui oleh masyarakat, laku seks diakui dan sekaligus dibatasi; seks tidak dikutuk sebagai sesuatu yang jahat dalam masyarakat. Jika ditempatkan dalam hidup dan perkembangan kelurga pengertian dan pelaksanaan seks berkembng menurut perkembangan pengertian dan gaya hidup keluarga. Penghayatan seks mengikuti irama keluarga.

Hubungan seks adalah komunikasi yang paling intim dan paling menyeluruh dalam hubugan suami isteri sebagai perwujutan nyata dari bersatu padunya dua pribadi jiwa dan raga. Akan tetapi hubungan seks juga dapat menjadi sumber kekecewaan, frustrasi dan percekcokan yang pling menekan. Seks bukan pertama-tama suatu kegiatan yang dilakukan untuk mencari kepuasan biologis melainkan merupakan sebuah komunikasi yang dimaksudkan untuk mempererat hubungan suami dan isteri dalam kasih mesra. Hubungan seks pada dasarnya hanya ”meragakan” relasi yang ada. Bila hati dekat, hubungan seks juga memuaskan. Akan tetapi bila hati tidak merasa dekat maka segala teknik seks yang paling canggih sekalipun tidak akan membuat perkawinan menjadi sukses. Sebaliknya relasi yang baik membuat seks menjadi sebuah pengalaman yang indah dan membahagiakan. Dapat dikatakan bahwa hubungn seks bukan sekedar masalah ”tempat tidur” melainkan masalah seluruh hubungan sepanjang hari.

b. Ajaran Gereja

Dalam dokumen Konsili Vatikan II, yaitu Konstitusi Pastoral Gudium Et Spes, perkawinan dimengerti sebagai kesatuan mesra dalam hidup dan kasih antara pria dan wanita yang merupakan lembaga tetap yang berhadapan dengan masyarakat. Dalam hal ini perkawinan menurut bentuknya merupakan suatu lembaga dalam kehidupan masyarakat. Tanpa pengakuan lembaga perkawinan menjadi semacam hidup perkawinan yang liar. Menurut maksud dan intinya perkawinan merupakan kesatuan hidup dari dua pribadi. Maka perkawinan akan terwujud dengan persetujuan antara

89

seorang pria dan seorang wanita yang diungkap secarakan secara bebas untuk membagi hidup satu sama lain, persetujuan itu dinyatakan secara publik dihadapan saksi -saksi dan menurut aturan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat.

Perkawinan itu mempunyai pelbagai tujuan sosial. Kedua partner saling membantu dan bukan hanya meringankan hidup melainkan membentuk kesatuan sosial yang kecil, yang kendati terbatas namun paling kodrati sehingga tidak boleh diabdikan pada tujuan manapun juga. Suami isteri saling membantu satu sama lain, dengan saling memberikan dan mendapat pengertian dan mengalami berkat perkembangan satu sama lain. Dalam perkawinan anak-anak yang lahir dididik dan dibesarkan dan sehingga kelangsungan hidup mereka dapat terjamin. Dalam kebanyakan lingkungan kebudayaan, lembaga perkawinan pandang sebagai tempat yang sah untuk melakukan hubungan suami isteri. Dalam perkawinan yang sah, laku seks menjadi wajar. Jadi tujuan hidup bersama suami isteri adalah membantu satu sama lain dan membiarkan diri dibantu oleh pasangan dalam perjalan hidup menuju kebahagiaan didunia ini dan diakhirat.

Dalam pandangan Gereja Katolik, perkawinan adalah sakramen, di mana Allah bertemu dengan suami isteri tersebut. Perkawinan katolik adalah sakramen karena Allah sendirilah yang menguduskan hubungan suami isteri. Sakramen berarti tanda. Karena itu yang ditandakan dalam sakramen perkawinan adalah:

1) Cinta Allah

Dalam sakramen perkawinan, suami adalah tanda kehadiran Allah untuk mencintai sang isteri dan isteri menjadi tanda cinta dan kebaikan Allah kepada sang suami. Bukan hanya sekedar tanda, tetapi dipilih menjadi utusan atautangan Tuhan. Melalui suami atau isteri Tuhan hadir menolong, menguatkan, dan membahagiakan pasangannya. Tuhan memilih suami dan isteri kristen supaya menjadi tanda dan sarana kasih setia-Nya bagi satu sama lain dalam hidup bersama. Dalam kitab Kejadian pasangan manusia dicita-citaka oleh Tuhan menurut hakikat-Nya sendiri: ”baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita supaya mereka berkuasa... maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya laki-laki dan perempuan...(Kej 1:26-28). Hakikat Tuhan adalah cinta yang maha sempurna yang menyatukan Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Allah juga menghendaki supaya manusia menjadi seperti hakikat-Nyayaitu, satudalam cinta mesra. Manusia yang menjadi dua ketika Allah menciptakan Hawa dari tulang usuk Adam dan langsung disatukan kembali secara lebih sempurna dalam cinta. Allah membimbing Hawa kepada Adam dan Adam menyambut dengan ucapan ”inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” sejak saat itu laki-laki meninggalkan bapa dan ibunya untuk bersatu jiwa dan raga dengan isterinya. Mereka bukan lagi dua melainkan satu. Persatuan cinta antara pria dan wanita menjadi tanda cinta-Nya.

2) Cinta Kristus kepada Gereja-Nya

Perkawinan Kristen merupakan gambaran dari hubungan yang lebih mulia, yaitu persatuan Kristus dengan umat-Nya. Adanya suami disamping isteri atausebaliknya adalah ikatan cinta, tanda bahwa Kristus selalu menyertai kita, dan mereka sebagai suami isteri selalu semakin dipersatukan dalam Dia. Santo Paulus menegaskan hal ini dengan mengatakan: ”hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan. Karena suami adalah kepala isteri sama seperi Kristus adalah kepala jemaat...hai suami kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah

90

menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya...demikian juga suami harus mengasihi isterinya seperti tubuhnya sendiri...sebab tidak ada orang yang membenci diriya, tetapi mengasihinya dan merawatnya seperti Kristus terhadap jemaat karena kita adalah anggota tubuh-Nya” (Ef. 5:22-33). Dalam hal ini kasih Kristuslah yang harus menjadi dasar hidup suami isteri. Suami dan isteri dipilih Tuhan untuk menjadi suatu sakramen. Mereka diangkat untuk menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu menguduskan, menguatkan dan menghibur tanpa syarat apapun. Karena Kristus dengan setia menyertai dan menolong suami isteri, maka merekapun sanggup untuk setia satu sama lain, karena itu perkawinan tersebut sifat monogam dan tak terceraikan.

91

Adeney, B. T. (2000). Etika Sosial Linta Budaya. Yogyakarta: Kanisius.

Alkitab Deuterokanonika. (2001). Ende: Arnoldus.

Andang, A. (1998). Agama Yang Berpijak dan Berpihak. Yogyakarta: Kanisius. Antonich, R. (1991). Iman dan Keadilan. Yogyakarta: Kanisius.

Bakker, A. (1988). Ajaran Iman Katolik 1 Untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Kanisius.

Brownlee, M. (2000). Pengambilan Keputusan etis dan Faktor-Faktor di Dalamnya. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

Coward, H. (1998). Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius. Dahler, F. (1990). Masalah Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Dahler, F. (2000). Pijar Peradaban Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Dister, N. S. (1987). Kristologi Sebuah Sketsa. Yogyakarta: Kanisius.

Dister, N. S. (1988). Pengalaman dan Motivasi Beragama. Yogyakarta: Kanisius.

Dokumen Konsili Vatikan II. (1996). Jakarta: Obor.

Gultom, R. (2007). Kulian Agama Katolik di Perguruan Tinggi Umum. Medan: Bina Media Perintis. Hardowirjana, R. (2000). Zimat Kristiani: Awam Masa Kini Berevangelisasi Baru. Yogyakarta: Kanisius. Hendro, D. (1983). Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Ismartono, I. (1993). Kuliah Agama Katolik di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Obor. Jacobs, T. (1987). Gereja Menurut Konsili Vatikan II. Yogyakarta: Kanisius.

Jacobs, T. (2000). Imanuel: Perubahan dan Perumusan Iman Akan Yesus Kristus. Yoyakarta: Kanisius.

Katekismus Gereja Katolik. (2007). Ende: Arnoldus.

Kieser, B. (1992). Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius.

Kircberger, G. (1999). Allah: Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen. Ende: Arnoldus. KWI. (1999). Hidup Beriman (Moral). Jakarta: Komisi Kateketik.

KWI. (1996). Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi. Jakaarta, Yogyakarta: Obor, Kanisius. KWI. (2000). Kuliah Agama Katolik, UT. Jakarta: Obor.

92 Mangunhardjana, A. (1983). Penghayatan Agama: Yang otentik dan Tidak Otentik. Yogyakarta: Kanisius.

Panikar, R. (1998). Dialog Interreligius. Yogyakarta: Kanisius. Paulus II, Y. Familiaris Consotio, Ensiklik.

Paulus IV, P. (1968). Humanae Vitae, Ensiklik.

Riyanto, F. E. (1995). Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius. Siauwarjaya, A., & Huber, T. (1987). Mengenal Iman Katolik. Jakarta: Obor.

Simon, & Dances, C. (1999). Moral Sosial Aktual dalam Perspektif Iman Kristen. Yogyakarta: Kanisius. Smith, H. (1985). Agama-Agama Manusia. Jakarata: Obor.

Dalam dokumen PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (Halaman 113-118)