• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Kontraktual

PENGANGGURAN DALAM TREN KEBIJAKAN EKONOM

E. Kebijakan Kontraktual

upah. Hasilnya, upah akan meninggi dan tingkat bekerja akan menurun daripada dalam kondisi di mana pengaruh serikat tidak ada.

Namun kelemahan teori ini adalah terkait hal-hal yang tidak disampaikannya. Contohnya, mengapa teori ini tidak mengungkap- kan kenapa orang-orang menganggur tidak meninggalkan serikat pekerja yang justru tidak mewakili kepentingan mereka, lalu mem- bentuk serikat baru yang membuat klaim upah yang lebih rendah, misalnya.

Ciri lain dari kebijakan institusional adalah adanya reformasi atas sistem tawar-menawar upah. Kebijakan ini berdasarkan pada analisis dari L. Calmfors dan J. Driffill yang menguraikan bagaimana efisiensi ekonomi terkait tawar-menawar upah adalah tergantung dengan jumlah agen independen yang terlibat dalam ta- war-menawar tersebut.53Namun demikian, dalam praktiknya, reformasi sistem ini sulit dilakukan. Oleh karena itu kebijakan struktual ini harus dilihat sebagai instrumen jangka panjang.

Dalam dua dekade terakhir, Richard Layard dan S. J. Nickell dapat dianggap sebagai dua orang tokoh sentral yang menggunakan

framework kebijakan institusional ini dalam menyikapi realitas pengangguran. Inti mekanisme yang mereka tawarkan adalah terkait dengan pengaturan upah dan harga—yang selanjutnya di- pengaruhi oleh institusi pekerja seperti perlindungan pekerja, ta- war-menawar kolektif, pajak, dan seterusnya.54Nampaknya kekuatan kerangka ini lahir dari konsep pentingnya memahami kanal implikasi dari institusi pasar pekerja terhadap performa pasar pekerja itu sendiri.

E.

Kebijakan Kontraktual

53 Argumentasinya adalah ketika terjadi tingkat tinggi sentralisasi dalam

hal tawar-menawar—dengan beberapa serikat buruh yang menghadapi beberapa konfederasi manajemen perusahaan seperti di Swedia dan Austria—maka para mitra negosiasi akan menginternalisasi sebagian besar dari efek klaim mereka. Khususnya, serikat memperhitungkan kenaikan harga terkait dengan klaim upah mereka, sementara pengusaha memperhitungkan kenaikan upah. (Lars Calmfors & John Driffill, “Bargaining Structure, Corporatism and Macroeconomic Per- formance,” Economic Policy, vol. 3, no. 6 [1988]: 13-61).

54 Richard Layard & Stephen J. Nickell, Combatting Unemployment, ed.

46

Tipologi yang kelima adalah kebijakan kontraktual. Dalam ke- bijakan ini, setidaknya terdapat enam fitur: (1) berbagi kerja dan pensiun dini. Hal ini berdasarkan pada pandangan ekonomi bahwa “terdapat jumlah yang baku terkait pekerjaan yang harus dilakukan pada waktu tertentu.”Oleh karena inilah pemegang kebijakan harus dapat mendistribusikan pekerjaan itu pada angkatan kerja yang tersedia. Namun bila pada kenyataannya pekerjaan ini terdistribusi dengan tidak merata, dengan mayoritas angkatan kerja yang beker- ja full time dan sementara angkatan kerja yang tidak bekerja secara berkepanjangan, maka berbagi pekerjaan dan pensiun dini dapat membagi kesempatan kerja secara lebih merata.55 (2) kebijakan berpihak pada biaya perputaran tenaga kerja. Dalam konteks ini, kebijakan bertujuan untuk menekan angka pengangguran dengan melakukan mitigasi terhadap efek-efek negatif biaya pergantian pekerja.56(3) profit sharing atau bagi keuntungan. Dalam konteks ini, remunerasi atau pemberian upah merupakan pecahan (friction) dari keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan itu sendiri.57(4) subsidi upah rendah dan pengurangan pajak penggajian. Satuan ke- bijakan ini dimaksudkan untuk mengatasi problem yang biasanya terjadi terkait posisi relatif pekerja yang berada di bagian bawah distribusi pendapatan.58 (5) Subsidi rekruitmen pekerja baru. Hal

56 Pendekatan kebijakan ini terletak pada domain teori insider-outsider.

Teori ini dapat menjelaskan berbagai varietas keteraturan pada perilaku penganggur (Lihat misalnya: Lindbeck & Snower, “Long Term Unemployment and Macroeconomic Policy,” American Economic Review, vol. 78 [1988]: 38- 43).

57 M. Weitzman, The Share Economy: Conquering Stagflation (Cam-

bridge, MA: Harvard University Press, 1984), 106.

58 Pada banyak negara anggota OECD, selama dua dekade terakhir ban-

yak pekerja berupah rendah yang semakin memburuk kesejahteraannya. Di AS dan beberapa negara Eropa hal ini diwakili dengan membanyaknya tingkat pengangguran dan upah riil yang relatif rendah. Dengan dukungan beberapa simulasi ekonometrik, memberi subsidi dan pengurangan pajak gaji untuk peker- ja berupah rendah diharapkan juga dapat meningkatkan permintaan perusahaan terhadap pekerja ini sehingga diharapakan juga mengurangi tingkat penganggu- ran (J. Drèze dan E. Malinvaud, et al., “Growth and Employment: the Scope of an European Initiative,” European Economic Review, vol. 38 [1994]: 489-504; E. S. Phelps, “Wage Subsidy Programs: Alternative Design” dalam Unemploy- ment Policy: Government Options for the Labour Market, ed. Dennis J. Snower & Guillermo de la Dahesa, 206-229).

47

ini ditujukan untuk menurunkan biaya tenaga kerja. Dengan demikian ia diharapkan dapat mempromosikan pekerjaan dan menurunkan tingkat pengangguran. Pada faktanya, mereka diang- gap lebih tepat sasaran, karena hanya diberikan posisi karyawan baru.59 (6) transfer keuntungan. Program ini memberikan kesem- patan kepada para pengangguran jangka panjang untuk me- manfaatkan sebagian dari tunjangan pengangguran mereka sebagai voucher perusahaan yang memecat mereka.60 Semakin lama seseorang menganggur, semakin besar isi voucher tersebut.

Bagian utama dari kubu neo-klasik dalam rancang-bangun makro ekonomi dan penjelasan terkait level agregat pengangguran (Minford, 1983) yaitu terkait dengan penjabaran “sisi pena- waran/supply-side” dalam hal pengangguran individual. Beberapa ekonom seperti Rea (1977) dan Fortin (1984) memilih untuk me- mandang realitas pengangguran adalah ekuivalen terhadap leisure

(waktu luang, santai, kesenangan). Mereka ini juga menekankan bahwa skema asuransi bagi penganggur (Unemployment Insurance) dapat mengubah insentif keuangan bagi para pegawai versus para penganggur. Perbedaan-perbedaan preferensi pekerja (leisure pref- erencies) yang terjadi pada insentif keuangan dan pemasukan keluarga kemudian diyakini sebagai “penawaran penentu” terhadap pekerja, sementara banyak sekali reportasi terkait angka pengang- guran yang menyatakan bahwa keuntungan dana kesejahteraan so- sial justru mengimbas pada peningkatan pengangguran.61Namun demikian, penjelasan neo-klasik terkait aggregat pengangguran

59

Lihat misalnya: J. Bishop dan R. Haveman, “Selective Employment Subsidies: Can Okun’s Law Be Repealed?,” American Economic Review, Papers and Proccedings, 69 (1979): 124-130; N. Kaldor, “Wage Subsidies as a Remedy for Unemployment,” Journal of Political Economy, 44 (1936); P. R. G. Layard dan S. J. Nickell, “The Case for Subsidizing Extra Jobs,” Economic Journal, vol. 90 (1980): 51-73; Alessio J.G. Brown, et al., “Comparing the Effectiveness of Employment Subsidies,” IZA Discussion Paper, no. 2835 (2007):1-34.

60 D. H. Snower, “Unemployment Benefits Versus Conditional Negative

Income Taxes,” IMF Working Paper (1994).

61 Minford (1983) misalnya berargumen bahwa di UK, 10% peningkatan

keuntungan dana itu justru akan mengimbas pada angka pengangguran sebesar 750.000.

48

seringkali dikritisi karena lalai terhadap efek aggregat pada sisi permintaan (demand).62

Dapat dikatakan bahwa semua bentuk tipologi ini mem- benamkan basisnya pada model kompetisi sederhana dalam pasar pekerja (labor market/su>q al-‘umma>l).63Akun mainstream ini lahir dari pandangan bahwa perkembangan teknologi informasi dan dan tekanan persaingan global secara susbtansial dapat menggeser permintaan (labor demand) dari mereka yang kurang ahli kepada yang paling ahli dari seluruh angkatan kerja.64Di Amerika sendiri, misalnya, dengan pasar pekerja yang fleksibel, yang cukup sering terjadi justru adanya ketidaksepadanan (mismatch): dimana angkatan kerja yang kurang ahli belum dapat melakukan penyesuaian yang cukup terhadap perubahan demand, sehingga ter- jadilah inequalitas pada pendapatan.

62 Lars Oseberg, Richard Apostle & Don Clairmont, “The Incidence and

Duration of Individual Unemployment: Supply Side or Demand Side?” Cam- bridge Journal of Economics, (1986) 10 (1): 13-33.

63

David R. Howell dan Friedrich Huebler, “Trends in Earnings Inequality and Unemployment Across the OECD: Labor Market Institutions and Simple Supply and Demand Stories,” Working Paper 23 CEPA (May, 2001): 2.

64 Eli Berman, John Bound & Zvi Griliches, “Changes in the Demand for

Skilled Labor within U.S. Manufactoring: Evidence from the Annual Survey of Manufactures,” Quarterly Journal of Economics 109, no. 2, (1994): 367-397; George Johnson, “Changes in Earnings Inequality: the Role of Demand Shift,”

49

BAB III