• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transisi Ekonom

Dalam dokumen Kebijakan Stabilisasi terhadap P pmy enganggu (Halaman 157-162)

DALAM PETA PEREKONOMIAN INDONESIA

A. Transisi Ekonom

Transisi perekonomian Indonesia pasca reformasi 1998 setid- aknya dapat dilihat dari gambaran berikut. Pada periode 1997- 1999, krisis ekonomi menyebabkan volume perekonomian menciut rata-rata minus 2,9 persen per tahun. Pada periode berikutnya (2000-2004) perekonomian kembali tumbuh positif sekitar 4,5 per- sen. Ini berarti terjadi pemulihan ekonomi. Data menunjukkan bahwa pada periode 2005-2008 perekonomian tumbuh rata-rata 6

158

persen. Sampai triwulan III Tahun 2009, pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 4,2 persen. (Lihat gambar 5.)

Gambar 5.

Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan PDB Indonesia per kapita1

Data BPS per Februari 2011 menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia. Hal ini mengingat jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2011 mencapai 119,4 juta orang, bertambah 2,9 juta dari angkatan kerja per Agustus 2010. Namun setahun terakhir (Februari 2010-Februari 2011) semua sektor dinilai mengalami kenaikan jumlah pekerja, kecuali sektor pertanian dan sektor transportasi. Penurunan tingkat pengangguran terbuka ini juga disumbang oleh penempatan TKI ke luar negeri yang trendnya relatif masih tinggi (dengan pertambahan sekitar 21 persen/tahun).2Hasilnya, tingkat pengangguran terbuka

1 Lampiran Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Ta-

hun 2010-2014, Buku I Prioritas Nasional (Jakarta: Bappenas,2010), 10.

2Sebagai gambaran: tahun 2004 jumlah penempatan TKI ke luar negeri

sebanyak 380.690 orang. Pada tahun 2007 jumlah itu meningkat menjadi 696.746.

159

(TPT) per Februari 2011 mencapai 6,80 persen. Ini menurun dibanding TPT Agustus 2010 yang mencapai 7,14 persen.3

Gambar 6. Jumlah angkatan kerja, bekerja, dan pengangguran terbuka4

Sementara laju inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2011 sebesar 2,69 persen dan laju inflasi setahun (Agustus 2011 terhadap Agustus 2010) sebesar 4,79 persen. Inflasi ini terjadi karena adanya kenaikan harga yang diukur dari kenaikan indeks pada kelompok bahan makanan 1,07 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,46 persen, kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,33 persen; kelompok sandang 3,07 persen; kelompok kesehatan 0,26 persen; kelompok pendidikan, rekreasi, olahraga 2,14 persen; dan kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan 0,80 persen.5Dengan bahasa lain, hal ini seakan

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1700& Itemid=195. Diakses pada 19/09/2011.

3 Lihat: Badan Pusat Statistik, “Keadaan Ketenagakerjaan Februari

2011,” Berita Resmi Statistik, no. 33/05/Th. XIV (5 Mei 2011): 1-5.

http://www.bps.go.id/index.php?news=849. Diakses pada 19/9/2011.

4 Lampiran Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Ta-

hun 2010-2014, Buku I Prioritas Nasional (Jakarta: Bappenas,2010), I-13.

5

Badan Pusat Statistik, “Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi,”

160

mengkonfirmasi adanya tradeoff antara tingkat pengangguran dan tingkat inflasi.6 Namun sejujurnya, dalam kasus ini, agak sulit me- mastikan faktor utamanya. Karena hipotesis bahwa kenaikan harga ini lebih disebabkan oleh tibanya siklus tahunan terkait kenaikan harga menjelang Ramadan dan Lebaran.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karakter penganggu- ran di Indonesia didominasi oleh kalangan berusia muda, berpen- didikan minimal 12 tahun, yang notabene kurang pengalaman kerja dan masih bergantung pada orang tuanya.7Penelitian lain menemukan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia sangat di- pengaruhi oleh guncangan labor supply dan ditopang oleh aggre- gate demand. Kondisi pengangguran hysteresis di Indonesia juga turut mencerminkan bahwa pengangguran ini dapat dipengengaruhi oleh adanya intervensi terhadap pertumbuhan tenaga kerja baru.

Multiplier effect yang diharapkan dari uang primer juga relatif ren- dah.8Ini berarti bahwa dalam perspektif pasar pekerja, diperlukan adanya kebijakan yang dapat mengembalikan keseimbangan pasar dan meningkatkan aggregate demand. Kebijakan moneter untuk menekan tingkat inflasi harus disertai oleh kebijakan fiskal untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi seperti program padat kar- ya yang ditopang oleh swasta. Targetnya adalah terciptanya penye-

6 Dua pionir-nya: M. Friedmen (1968) dan Phelps (1968) memformulasi

hipotesis tingkat alami (NAIRU) di mana dikatakan tidak ada tradeoff permanen antara inflasi dan pengangguran. Fondasi mikro dari Neo-Kurva Phelps biasanya menjelaskan relasi dari formasi: πt = βEtπt+ 1 – α (ut – un) + εt di mana π adalah

tingkat inflasi; u adalah tingkat pengangguran; un adalah tingkat alami pengang- guran atau NAIRU; β adalah faktor diskon; dan εt adalah white noise (deret si-

saan [residu] berdistribusi normal dengan nilai rata-rata sama dengan nol dan varian konstan. Sifat ini menjadi suatu proses gangguan kecil yang tidak perlu dipertimbangkan) (M. Friedmen, “The Role of Monetary Policy,” American Economic Review, vol. 58, 1 [1968]: 1-17; E. S. Phelps, “Money-wage Dyanmics and Labor-Market Equilibrium,” Journal of Political Economy, 76 [1968]: 678- 711).

7

Lihat misalnya: Daniel Suryadarma, Asep Suryahadi, & Sudarno Sumarto, “Reducing Unemployment in Indonesia: Results from a Growth- Employment Elasticity Model,” SMERU Working Paper (January 2007): 12.

8 Dharendra Wardhana & Dhanie Nugroho, “Pengangguran Struktural di

Indonesia: Keterangan dari Analisis SVAR dalam Kerangka Hysteresis,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, vol. 21, no. 4 (2006): 361-375.

161

rapan tenaga kerja yang melimpah (labor intensive). Di samping itu juga diperlukan program pelatihan terukur yang diharapkan dapat menciptakan kesesuaian antara keahlian dan kebutuhan pasar.

Secara lebih khusus, inisiasi al-Shayba>ni> yang mengkonver- gensi berbagai kebijakan terhadap pengangguran nampaknya juga dapat relevan dengan problematika pengangguran di Indonesia. Secara lebih gamblang, kebijakan pertama dan kedua al- Shayba>ni>, yaitu pendekatan persepsi, training, dan spesialisasi dapat diketegorikan dalam kebijakan “sisi supply” yang fokus ter- hadap pembentukan modal manusia (human capital). Hal ini cukup relevan dengan karakter pengangguran di Indonesia yang didominasi usia muda dan kurang berpengalaman di pasar kerja. Sementara kebijakan income (pendapatan) dan jaminan sosial— yang dapat dikategorikan pada kebijakan sisi supply—berfungsi sebagai stimulator terhadap mobilitas pekerja.9

Inisiasi al-Shayba>ni> terkait hirarki “al-ma‘ru>f” dapat di- baca sebagai ukuran untuk melakukan bargaining upah dalam ti- pologi kebijakan institusional. Inisiasi ini nampaknya relevan dengan beberapa peristiwa di mana terjadi “buntunya titik temu” antara upah nominal yang ditetapkan oleh manajemen perusahaan dengan tuntutan upah yang disuarakan oleh pekerja.10

Pada sisi lain, standar hidup al-ma’ruf juga dapat dikaitkan dengan kebijakan manajemen demand, terutama terkait dengan te- ori implikasi-implikasi kejutan harga dan upah. Manajemen per- mintaan ini dapat dilihat dari: (i) pertimbangan dalam kebijakan pemerintah yang langsung merekrut masyarakat pada sektor pub- lik; dan (ii) kebijakan permintaan produk, dengan menstimulasi ketenagakerjaan dengan meningkatkan agregat permintaan produk. Inisiasi al-Shayba>ni> ini dalam batas tertentu, sesungguhnya menegasikan kebijakan laissez-faire klasik yang mengimplikasi

9 UU terkait Jaminan Sosial di Indonesia paling lambat akan dilaksakanan

sekitar tahun 2015.

10

Misalnya pada kasus tuntutan kenaikan tingkat upah pekerja PT Free- port Indonesia di Papua.

162

minimnya intervensi pemerintah, kalau tidak dapat berlepas tangan sama sekali.11

Inisiasi al-Shayba>ni> Tipologi Kebijakan

Gambar 6. Proyeksi Inisiasi al-Shayba>ni> menggunakan bebera- pa tipologi kebijakan terhadap pengangguran

Dalam dokumen Kebijakan Stabilisasi terhadap P pmy enganggu (Halaman 157-162)