• Tidak ada hasil yang ditemukan

Quo Vadis Ekonomi Pancasila

Dalam dokumen Kebijakan Stabilisasi terhadap P pmy enganggu (Halaman 162-182)

DALAM PETA PEREKONOMIAN INDONESIA

B. Quo Vadis Ekonomi Pancasila

Pemerintah mengklaim bahwa program penekanan tingkat pengangguran dianggap telah cukup berhasil. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 secara ek- splisit pemerintah melanjutkan tiga strategi pembangunan ekonomi, yaitu 3P: pro growth, pro job dan pro poor. Strategi 3P ini menun- jukkan bahwa Indonesia masih menganut bahwa pertumbuhan ekonomi akan berimbas pada penambangan lapangan kerja dan un-

11 Lihat misalnya: Walter Block & William Barnett II, “A Possitive Pro-

gram for Laissez-Faire Capitalism,” Journal of Corporate Citizenship, vol. 19 (2011).

Pendekatan persepsi

Training dan spesialisasi

Kebijakan Income

Jaminan sosial

Pola hidup/ Hirarki al-Ma’ruf

Sisi supply

Manajemen demand

Kebijakan Kontraktual

163

tuk selanjutnya mengurangi tingkat pengangguran dan kemiski- nan.12

Salah satu indikator keberhasilan pertumbuhan ekonomi ini adalah laporan dari UNDP tahun 2011 terkait dengan Indeks Pem- bangunan Manusia (IPM) yang naik ke peringkat 124 dari 187 negara, bila dibandingkan tahun 2010.13

Indikator lainnya adalah Fitch Rating yang menaikkan pering- kat outlook soverign Indonesia dari BB (stabil) menjadi BB+ (posi- tif). Lembaga pemeringkat internasional yang cukup terpercaya ini meletakkan Indonesia satu tingkat di bawah level investasi (invest- ment grade).14Tentu saja peringkat ini menyisakan beberapa derivat, di antaranya: modal asing jangka pendek (portofolio) akan terus mengalir ke pasar keuangan kita, baik di pasar uang, modal, maupun utang. Nilai tukar rupiah juga nampaknya cenderung men- guat, nilai dan cadangan devisa bertambah. Sementara premi resiko investasi turun. Dengan demikian, kenaikan peringkat menambah bekal moneter sekaligus mengurangi biaya fiskal.

Namun demikian, strategi #3P di atas justru menyimpan para- doks.

12 Hal ini dikonfirmasi oleh Sasaran Pembangunan Ekonomi dan Kese-

jahteraan Indonesia yang secara eksplisit menyebut kombinasi percepatan per- tumbuhan ekonomi dan kebijakan intervensi pemerintah yang terarah diharapkan dapat mempercepat penurunan tingkat pengangguran terbuka hingga di sekitar 5- 6 persen pada akhir tahun 2014 (Lampiran Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014, Buku I Prioritas Nasional [Jakarta: Bappenas, 2010],1-43).

13 UNDP, “Sustainability and Equity: A Better Future for All,” Human

Development Report 2011 (2011): 178. Hal ini berbeda dengan headline salah satu media bisnis yang justru menyampaikan bahwa peringkat Indonesia menurun (http://www.businessnews.co.id/headline/membaca-bahasa-ipm.php). Diakses pada 18 Nopember 2011.

14 Fitch Ratings, Sovereign Ratings History, 5. Data per 24 Februari 2011.

Kamis, 15 Desember 2011, level Indonesia naik ke “investment grade” dengan peringkat BBB-. Kenaikan ini tentu menjadi momentum baik untuk meningkat- kan optimisme pertumbuhan ekonomi, terutama melalui Investasi Asing Lang- sung (FDI) tanpa kehilangan kewaspadaan dalam kebijakan makro ekonomi.

164

Harusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pada triwulan III 2011 mencapai 6,5 persen15meyisakan ruang meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Namun indeks gini yang mengukur ting- kat distribusi pendapatan justru cenderung meningkat.16Sayangnya, ini diperparah oleh iklim usaha (doing business index) kita di tahun 2011 yang malah melorot ke posisi 121, dari posisi 115 tahun 2010 lalu. Maka dalam konteks ini, naiknya peringkat IPM Indonesia – seperti yang dirilis UNDP di atas—menjadi tidak begitu berarti, karena ketimpangan ekonomi makin memburuk.

Peringkat IPM Indonesia di atas juga menunjukkan bahwa pembangunan sumber daya manusia (tanmiyat al-ra’sima>liyyah al-insa>niyyah) masih merupakan pekerjaan rumah yang belum selesai. Sumber daya manusia inilah yang menentukan bagaimana strategi pemanfaatan sumber daya alam kita yang melimpah.17Dari ketertinggalan dalam pembangunan IPM inilah, seringkali terjadi ketidaksesuaian antara keahlian (calon) pekerja dan kebutuhan pasar. Inilah paradoks terkait pertumbuhan ekonomi, arah strategi sumber daya alam, dan kualitas sumber daya manusia.

Harusnya lagi, dengan kenaikan peringkat utang, membuat biaya mendapat dana (cost of capital) lebih murah dan mudah, na- mun yang terjadi justru sebaliknya. Banjirnya likuiditas justru dis- ertai macetnya proses intermediasi. Masih banyak pengusaha— terutama yang kecil—agak kesulitan untuk mendapatkan kredit bank dengan bunga 9-14 persen. Pembangunan infrastruktur masih jalan di tempat. Di sisi lain, peringkat investasi sejatinya menun- jukkan iklim usaha membaik sehingga rasio pajak terhadap PDB meningkat. Tapi kenyataannya, rasio pajak kita tidak pernah naik.

15Badan Pusat Statistik, “Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III-

2011,” Berita Resmi Statistik, no. 72/11/th. XIV (Nopember 2011).

16 Badan Pusat Statistik, Perkembangan Beberapa Indikator Utama So-

sial-Ekonomi Indonesia Mei 2011 (Jakarta: BPS, 2011), 45.

17 Di sinilah pangkal arah kebijakan sumber daya alam Indonesia. Misal-

nya dalam kasus ekspor komoditas baku rotan yang seringkali dikeluhkan oleh pengusaha nasional, karena kurangnya kesiapan dan daya saing mereka menghadapi gempuran rotan yang diimpor oleh pasar luar negeri. Atau dalam kasus di mana anggaran Indonesia babak belur karena kenaikan harga minyak.

165

Inilah paradoks kedua tentang likuiditas: ada kesenjangan antara sektor keuangan dan sektor riil.

Sementara yang ketiga adalah paradoks terkait sektor usaha. Hal ini ditunjukkan oleh sulitnya unit usaha mikro untuk mendapat sumber dana. Padahal rasio unit usaha mikro di Indonesia mencapai 98 persen lebih. Hal ini berbanding terbalik dengan perlakuan yang diterima oleh unit usaha besar yang relatif lebih mudah mengakses pundi-pundi dana. Meskipun jumlahnya hanya sekitar 0,01 persen, wajar saja pengusaha-pengusaha besar dapat menyumbang hampir setengah dari produk domestik bruto (PDB) dan 82,98 persen ek- spor.18Sementara sektor usaha menengah juga sangat kecil yaitu sekitar 0,08 persen.

Terkait pengangguran, pemerintah mengaku menumpukan arah umum pembangunan nasional terkait pengurangan tingkat pengangguran pada tiga program utama: (1) perbaikan sumber daya manusia, (2) perbaikan infrastruktur dasar, dan (3) terjaga dan ter- peliharanya lingkungan hidup secara berkelanjutan.19

Namun bila melihat beberapa paradoks di atas, kenyataannya tiga program ini masih harus berjibaku dengan berbagai tantangan dan rintangan.

Maka sesungguhnya arah perekonomian kita masih di persim- pangan jalan. Beberapa “pekerjaan rumah” di atas harus terus di- perbaiki secara konsisten. Bila tidak, dalam konteks pengangguran, strategi menekan tingkat pengangguran tidak akan mengalami per- cepatan. Sementara tantangan perekonomian justru tidak semakin mudah. Terlebih saat ini perekonomian dunia masih mengalami perlambatan akibat krisis ekonomi US dan Eropa.

Percepatan usaha menekan tingkat pengangguran ini diper- lukan tidak hanya karena alasan di atas yang cenderung bersifat eksternal. Secara internal, sesungguhnya pengangguran berten- tangan dengan hak asasi manusia dan ideologi perekonomian kita sendiri. Di sinilah urgensi arah ekonomi berbasis konsistusi Pan- casila.

18 Lihat misalnya: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang defin-

isi usaha mikro, kecil, dan menengah

19

Lampiran Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014, Buku I Prioritas Nasional (Jakarta: Bappenas,2010), 10.

166

Pasal 27 D ayat 2 UUD 1945 dan perubahannya yang berbun- yi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, memberikan pema- haman bahwa setidaknya (1) tiap warga negara berhak mendapat- kan pekerjaan di samping penghasilan dari pekerjaan itu juga layak dalam koridor kemanusiaan; (2) kewajiban negara untuk memenuhi hal itu; (3) segala usaha dan upaya yang berlandaskan semangat UUD ini harus ditempuh oleh negara; (4) adanya simbiosis- mutualisme: warganegara mendapat pekerjaan dan dengan demikian, negara dapat dikatakan berhasil menjalankan fungsi negara seperti diamanahkan UUD.

Namun demikian, tidak berarti ketika lapangan pekerjaan tersedia, calon pekerja—yang merupakan warga negara—serta merta mengambil pekerjaan itu. Preferensi calon pekerja atas suatu pekerjaan juga ditentukan oleh banyak faktor, di antaranya faktor tingkat upah, keahlian, tempat, dan seterusnya.20

Di sisi yang berbeda, tantangan problematika pengangguran di Indonesia cukup kompleks. Bila pada fase Abbasiyah, tantangan yang terjadi bersifat lokal, maka kasus pengangguran di Indonesia menghadapi arus globalisasi yang nampaknya sulit terbendung.

Contoh yang masih gress adalah terkait diterapkannya AC- FTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) yang sesungguhnya belum terlalu siap Indonesia hadapi. Maka indikasi deindustrialisasi kemudian terjadi di berbagai sektor, sesuatu yang sesungguhnya mesti diwaspadai. Dalam hal ini, persaingan justru berbuah hub- ungan predatorik, bukan gemblengan untuk efisiensi, free entry dan

free exit. Yang justru timbul adalah kekhawatiran bahwa free entry

berakibat pada akuisisi. Free exit yang membunuh perusahaan- perusahaan nasional, untuk selanjutnya menyimbahkan PHK dalam jumlah besar.21

20

Di sinilah, konteks di mana kenyamanan memilih pekerjaan sebagai hak asasi, diakomodasi oleh UU No. 39 Tahun 1999 terkait Hak Asasi Manusia.

21 Diskusi lebih lanjut tentang tantangan globalisasi dalam konteks Indo-

nesia dapat dilihat misalnya pada karya Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonmika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila, 2010), 161-162.

167

Jadi, permasalahan pengangguran kita sesungguhnya cukup kompleks, tidak hanya tantangan yang berdimensi lokal tapi juga tantangan berdimensi global. Oleh karena itu, kebijakan yang pro kesempatan kerja penuh sejatinya tidak hanya dilaksanakan secara konsisten, juga harus bersifat komprehensif.

Oleh karena itulah, sudah seharusnya pemerintah bersikap ter- buka untuk menerima masukan dari berbagai pihak yang kompeten. Dalam kaitannya dengan alternatif kebijakan dan program-program menekan pengangguran ini, inisiasi al-Shayba>ni menjadi relevan. Artinya, kebijakan yang bersifat konvergentif dapat menjadi alter- natif kebijakan melawan pengangguran, bersama dengan alternatif- alternatif lain seperti kebijakan yang ditawarkan oleh Bank Dunia dan OKI.

Tapi sekali lagi kompetensi amat ditentukan oleh setepat apa indentifikasi atau diagnosis terhadap realitas pengangguran tersebut untuk kemudian lahirlah skema kebijakan terhadap pengangguran.

C.

Menuju Eksekusi

Paling tidak, terhadap masalah pengangguran berkisar pada 6 (enam) tipologi diagnosis: (1) diagnosis struktural yaitu yang meni- tikberatkan pada adanya imbalansi (ketidakseimbangan) pada kualifikasi dan pekerjaan yang tersedia;22(2) diagnosis teknologi yaitu yang “menyalahkan” peran negatif teknologi yang justru mengurangi produktivitas;23(3) diagnosis siklus bisnis yaitu pen- jelasan pengangguran yang fokus pada kurangnya demand dan adanya resesi ekonomi;24; (4) diagnosis moneter yang terkait dengan inflasi dan pasar pekerja yang mengatur dirinya sendiri: bahwa uang menentukan harga dan pasar mengatur segala sesuatu

22

G. Sheldon, “The Impact of Foreign Labor on Relative Wages and Growth in Switzerland,” Labor market and Industrial Organization Research Unit (FAI), Program 39 (2000): 1-23.

23

Rødseth, T. “Utfordringer fra ny teknologi,” in R.J. Brunstad and T. Colbjørnsen (red.) Sysselsettingen isøkelyset, Bergen: Universitetsforlaget, (1981).

24

Knut Halvorsen, “How to Combat Unemployment?,” Cost A 13 Con- ference, Keynote Speech Session III: A Positive Outlook, (2001): 7.

168

yang lain;25(5) Diagnosis terkait perubahan demografi yang diang- gap sebagai faktor pada sisi penawaran;26(6) diagnosis terkait gon- cangan ekternal yang merugikan, seperti kenaikan harga minyak tahun 1973 dan 1979,27unifikasi Jerman,28atau agresi-akupasi AS dan sekutunya terhadap Irak beberapa tahun yang lalu.

Meski kadang belum sepenuhnya koheren, dari diagnosis di atas maka lahirlah solusi yang bermacam-macam, di antaranya,

yang pertama, solusi ala Keynesian yang dianggap tidak dapat dit- erapkan (hanya) di satu negara.29

Dalam pandangan ini, penyeragaman atau sinkronisasi ini di- perlukan mengingat globalisasi mengakibatkan kemudi negara menjadi terbatas, meski tidak hilang sama sekali. Namun kompetisi internasional, globalisasi justru memberi tekanan pada biaya upah dan non-upah. Maka pada tingkat perusahaan, ada kebutuhan untuk

25Di titik inilah terdapat diskursus mengenai NAIRU. Kebijakan konven-

sional dari sebagian ekonom neo-liberal bahwa tingkat alamiah pengangguran telah bergeser. Penyebabnya adalah “kegagalan” upah untuk menyesuaikan diri turun terhadap turunnya permintaan harga pekerja dan/atau terhadap pertum- buhan pengangguran yang disebabkan meningkatnya proporsi angkatan kerja melalui kurangnya skill dan motivasi kerja (R. Tarling dan F. Wilkinson, “Eco- nomic Functioning, Self-Sufficiency and Full Employment,” dalam J. Christian- sen, P Koistinen & A. Kovalainen, ed. Working Europe. Reshaping European employment systems (Aldershot: Ashgate, 1999).

26 Dekade 1980-1990 mencatat banyaknya permintaan tenaga kerja. Per-

mintaan ini tidak lantas mengkompensasi peningkatan simultan pada penawaran pekerja. Perubahan demografis juga dapat berupa gelombang imigran dan ban- yaknya usia muda yang secara bersamaan masuk ke pasar kerja (Lihat misalnya: Knut Halvorsen, “How to Combat Unemployment?,” Cost A 13 Conference, Keynote Speech Session III: A Positive Outlook, (2001): 8.

27

P. Ormerud (1998) “Unemployment and Social Ezclusion: An Eco- nomic View,” dalam M. Rhodes and Mény, ed., The Future of European Wel- fare, A New Social Contract? (New York: Palgrave, 1998).

28 Hinrichs, K. “Combating unemployment: What can be learned from

whom?,” Paper presented at the Year 2000 International Research Conference on Social Security, Helsinki, (25-27 September 2000).

29

Ramesh Mishra, Globalization and Welfare State (Cheltenham: Edward Elgar, 1999), 94; Andersen, J. Goul and K. Halvorsen, “Unemployment, welfare policies and citizenship: Different paths in Western Europe,” dalam J. Andersen Goul and P. Jensen, ed., Changing Labour Markets, Welfare Policies andCiti- zenship (Bristol: The Policy Press, 2001), 3-4.

169

menaikkan flesksibelitas fungsional (internal), fleksibelitas nominal (eksternal), dan fleksibelitas dalam pembayaran (upah) lebih be- sar.30Implikasinya, dalam perekonomian terbuka agak sulit menaikkan agregat permintaan melalui defisit pengeluaran. Di sisi lain, penyesuaian tingkat suku bunga dan nilai tukar (exchange rate) tidak pula menjadi alat yang cukup layak. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kasus di mana member dari zona-Eropa yang sep- erti putus asa menggunakan alat tradisional itu untuk mengatur perekonomian mereka. Alat tradisional yang dimaksud seperti de- valuasi mata uang atau mendefisitkan anggaran.31

Pertumbuhan ekonomi diyakini amat krusial sebagai usaha un- tuk melawan pengangguran. Beberapa kasus menunjukkan bahwa alfanya kerjasama demi mewujudkan pertumbuhan ekonomi justru meyebabkan resesi ekonomi.32

Pada kasus Indonesia, globalisasi mengakibatkan stuktur ekonomi jadi terbuka, sehingga defisit anggaran adalah momok yang selalu dihindari. Untuk mencukupi cadangan anggaran, pemerintah seringkali mencari sumber dana baik dari investasi atau hutang luar negeri dan lain sebagainya. Kerangka kerjasama ekonomi untuk kepentingan sinkronisasi sistem ekonomi dunia ju- ga diintensifkan.

Tawaran solusi yang kedua adalah kliring pasar atau model upah rendah (komodifikasi). Kliring pasar ini diperlukan karena pada beberapa kasus, tingginya upah justru tidak dapat menjelaskan tingginya tingkat pengangguran.33Namun tentu saja, upah rendah

30 M. Rhodes, “Globalization, Labour Markets and Welfare States: A Fu-

ture of ‘Competitive Corporism’?,daslam M. Rhodes and Mény (eds.) The Fu- ture of European Welfare, A New Social Contract? (New York: Palgrave, 1998).

31 Lihat misalnya: J. W. Moses, “Floating Fortunes: Scandinavian Full

Employment in the Tumultuous 1970s-1980s,” dalam R.Geyer, C. Ingebritsen & J.W. Moses, ed., Globalization, Europeanization and the End of Scandinavian SocialDemocracy (London: Macmillan Pub. Co., 2000).

32 Diskusi lebih lanjut lihat: P. Ughetto dan D. Boughet, “France, the im-

possible new social compromise?,” Working paper for Cost Action 13, (2000).

33 Contoh yang sering dikemukakan adalah upah riil di Eropa pada tahun

1990-1998 yang meningkat rata-rata 0,9 persen per tahun. Di AS, peningkatan hanya 0,8 persen. Namun, justru AS lebih banyak menciptakan banyak lapangan

170

menjadi sangat beresiko di tengah tuntutan kebebasan ekspersi dan tuntutan ‘kesejahteraan lebih’ bagi pekerja. Untuk menghindari gejolak sosial ini, sistem perekonomian Indonesia sendiri mengakomodasi adanya upah minimal bagi pekerja yang sangat terkait dengan IHK lokal. Volatilitas IHK menyebabkan adanya upaya penyesuaian batas minimal upah. Dengan demikian, sistem ekonomi Indonesia tidak mengadopsi model upah rendah. Dengan ungkapan yang lebih tepat, Indonesia mengadopsi sistem upah min- imal.

Tawaran solusi yang ketiga yaitu model maksimalisasi pekerja (komodifikasi dan rekomodifikasi). Model ini bertujuan untuk meningkatkan isi pertumbuhan (growth) dari pekerjaan. Menurut Clasen, model ini bertujuan untuk mengurangi masalah ketidakco- cokan dalam hal pasar pekerja: kualifikasi, aktif mencari pekerjaan, aktivasi, lingkup kerja, perjanjian baru, dan membuat pekerjaan yang membayar perusahaan.34Parameter yang digunakan dalam program di atas sejatinya tidak terbatas pada “bekerja lagi”, namun harus lebih integral.35Program seperti inilah yang nampaknya turut menggerakkan adanya sistem pelatihan berdasarkan jurusan terten- tu.

Di Indonesia, model seperti ini nampaknya juga dilakukan oleh pemerintah, swasta, atau kerjasama antara keduanya. Bahkan Pemerintah akhir-akhir ini cukup gencar mensosialisasikan Sekolah Menengah Kejuruan untuk mensuplai keperluan pasar pekerja.

Meski demikian efek agregat yang ditimbulkan dari program kebijakan ini masih diperdebatkan, karena ada “keyakinan” terkait kerja. Padahal ada faktor lain yang menyebabkan meningkatnya upah riil terse- but.

34

J. Clasen, “Unemployment and unemployment policy in Britain. In- creasing employability as a panacea to spatial disparities?,” Working Paper SOCSCI (2001): 1-20.

35 J. Goul Andersen, “From the Edge of the Abyss to a sustainable third

way model?,” Draft Paper for Working Group Unemployment, COST A13

(2001); C. Albrekt Larsen, “Challenging the Hegemonic Discourse of Structural Unemployment,” Paper presentet at the ESF Helsinki conference (20-25 April, 2000); J. P. Martin, “What works among active labour market policies: Evidence from OECD Countries Experiences,” OECD Economic Studies No. 30, (2000): 1-35.

171

mekanisme lock-in yang membuat orang tidak tersedia untuk suatu pekerjaan.36Yang jelas bahwa usia dan tipe program (spesifikasi program dan desain basis penelitian) sangat menentukan keberhasi- lan program tersebut.37

Perlu dicatat, bahwa hambatan kerja dapat berupa “diskrimi- nasi statistik” dan “prasangka” pengusaha yang seringkali justru mengakibatkan proses screening tidak memasukkan penganggur jangka panjang.38Namun hambatan ini tidak selalu berdampak pada agregat total pengangguran. Dampaknya boleh saja pada komposisi terbatas dari para penganggur.

Solusi keempat yang ditawarkan adalah penciptaan lapangan kerja di sektor publik (jasa). Sejatinya sektor publik ini dilindungi dari persaingan bebas internasional39dan tahan guncangan (adverse shocks). Solusi inipun dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan memaksimalkan penciptaan lapangan kerja di sektor jasa.

Anggapan bahwa ekspansi pada sektor publik justru dapat membuat pertumbuhan ekonomi menurun dan pengangguran meningkat nampaknya tidak cukup terbukti.40Dengan kata lain, pencipataan lowongan kerja di sektor publik justru mendorong ter- ciptanya pertumbuhan dan lapangan kerja.

Yang kelima adalah solusi model reduksi pekerja atau dekomodifikasi. Model ini digunakan secara ekstensif di beberapa

36 B. Furaker, Is High Unemployment due to Welfare State Protection?

Lessons from the Swedish Experience” dalam Europe’s New State of Welfare, ed., J.G. Andersen, et al.(Bristol: The Policy Press, 2001), 123-142.

37 Lihat misalnya: I. Hardoy, “Arbeidsmarkedstiltak for ungdom: Hvor-

for er empiri om tiltakseffekter så sprikende,” Søkelys på arbeidsmarkedet 2001,årgang, 18 (2001): 41-49.

38Harkman, A., “Om långtidsarbetslõshetens orsaker,” Arbetsmarknad &

Arbetsliv, 5 (3), (1999):171-188.

39

H. Gansmann, “Labour Market Responsens to the Challenges of Glob- alisation,” Paper presented at the EISS-conference in Bergen, (September, 2001).

40 Bowitz dan Å. Cappelen, “Velferdsstatens økonomiske grunnlag,” in

A. Hatland, S. Kuhnle and T.I. Romøren (eds.) Den norske velferdsstaten, Oslo: Gyldendal Akademisk (2001).

172

negara seperti Denmark, Finlandia, Swedia, dan lain-lain.41Secara lebih gamblang, program-program seperti pensiun dini, penundaan angkatan baru untuk memasuki pasar kerja—misalnya dengan memperpanjang masa pendidikan/pelatihan mereka.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini juga melakukan program reduksi pekerja, namun agak longgar. Belakangan ini, isu penghen- tian sementara penerimaan pegawai negeri menghangat. Dalam konteks reduksi pekerja, kebijakan ini dapat dipahami.

Model reduksi para pekerja ini nampaknya dilakukan ber- dasarkan asumsi bahwa jumlah pekerjaan itu tidak pernah tetap. Yang tetap hanya pembagiannya (the share of labor) dalam pema- sukan negara pada tingkat pertumbuhan tertentu. Maka tantangann- ya adalah bagaimana mengendalikan partisipasi masyarakat ini tanpa membuat masalah baru, seperti beban fiskal yang tidak dapat ditanggung.

Tawaran solusi yang keenam adalah mengurai “trilema” dari layanan ekonomi.42Trilema yang dimaksud adalah (1) ekualitas yang menyertai: pekerja miskin, kemiskinan di antara para penganggur, dan tidak ada jaminan keamanan kerja; (2) ketenagakerjaan; (3) kendala anggaran. Gansman mencatat bahwa pada umumnya kalangan demokrat-sosialis menekankan pada poin (1) dan (2); neo-liberal menekankan pada poin (2) dan (3); semen- tara kalangan demokrat-kristen memprioritaskan poin (2) dan (3).43

Trilema ini nampaknya lahir dari sistem ekonomi dan prioritas kebijakan politik. Skala prioritas antara ekualitas dan pekerjaan44;

41

Knut Halvorsen, “How to Combat Unemployment?,” Cost A 13 Con- ference, Keynote Speech Session III: A Positive Outlook, (2001): 14.

42

Iversen, T. and A. Wren, “Equality, Employment and Budgetary Re- straint. The Trilemma of the Service Economy,” World Politics, 50 (1998): 507- 546.

43

H. Gansmann, “Labour Market Responsens to the Challenges of Glob- alisation,” Paper presented at the EISS-conference in Bergen (2001): 13.

44 G. Esping-Andersen, “Households, families and Children,” paper pre-

sented at the RC19 Meeting, (September, 2001); K. Hinrichs, “Combating un- employment: What can be learned from whom?,” Paper presented at the Year 2000 International Research Conference on Social Security, (Helsinki 25-27 September): 5.

173

efisiensi dan ekualitas.45Oleh sementara ekonom seperti Hinrich, misalnya, untuk menghadapi kondisi trilema ini diperlukan ke- bijakan fiskal, moneter dan upah yang terkordinasi.46Sebagai con- toh kasus, Denmark memiliki performa yang cukup konsisten da- lam menangani tiga hal tersebut (ekualitas, ketenagakerjaan, dan keterbatasan anggaran), meskipun di tengah persoalan cukup ting- ginya tingkat pengangguran di negara Eropa pada resesi tahun 1991.

Rahasianya adalah memposisikan perang terhadap penganggu- ran sebagai prioritas tertinggi.47 Hal ini ditandai dengan tingginya jaminan (keamanan) sosial dan rendahnya intervensi pemerintah terhadap sistem ketenagakerjaan.48Adanya perhatian besar untuk menyediakan pekerjaan di sektor publik, bahkan menyumbang ba- gian besar dari perbaikan performa ekonomi.49

Hasil diagnosis itulah yang menderivasi berbagai kebijakan terhadap pengangguran. Dalam skema Bank Dunia, misalnya, ter- dapat beberapa kebijakan untuk menekan pengangguran termasuk percepatan ekspansi industri, skema lowongan kerja bagi publik, intensitas pekerja dalam memproduksi sektor manufaktur, reduksi terhadap faktor distorsi harga, pembangunan ekonomi dan pela- yanan sosial pada daerah desa, program pendidikan yang relevan, konsistensi antara kebijakan pendidikan dan perencanaan ekonomi,

45

Agnar Sandmo, “Globalization and the Welfare State: More Inequality

Dalam dokumen Kebijakan Stabilisasi terhadap P pmy enganggu (Halaman 162-182)