• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan Perubahan Kebijakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. Kebutuhan Perubahan Kebijakan

Kebijakan yang sudah ada masih belum ada komitmen dilaksanakan oleh semua sektor instansi terkait, terutama di lini terbawah, wilayah kecamatan dan desa. Selama ini yang menjadi leading sector, pada umumnya di wilayah kecamatan adalah pukesmas (sektor kesehatan). Kebijakan yang di harapkan adalah kebijakan- kebijakan yang bersifat ketat di lini terbawah, seperti muatan status gizi balita menjadi SPM di setiap sektor di tingkat desa. Kebijakan penentuan desa yang menjadi prioritas pembangunan, memuat data status gizi sebagai indikator prioritas. Hal ini diharapkan dituangkan pada perda atau perbup.

Kebijakan-kebijakan yang telah tertuang di masing-masing sektor akan menjadi gerakan yang masif dilakukan dan mendapat komitmen apabila disosialisasikan secara gencar. Keberadaan peta jalan gerakan percepatan perbaikan gizi perlu ada di daerah sampai level desa. Ini artinya diperlukan kebijakan pembentukan tim sebagai kepanjangan dari sekertariat Gernas di tingkat desa. Tim tersebut dapat sebagai pendamping desa dalam pengentasan masalah gizi dengan entry point stunting.

36 4.5. IMPLEMENTASI DI LEVEL DESA DAN GAMBARAN

MASALAHNYA

TNP2K yang diketuai oleh Wakil Presiden mentapkan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam 10 Kabupaten prioritas 100 desa prioritas stunting di Indonesia. Prioritas ini disusun berdasarkan angka stunting tertinggi. Selanjutnya, berturut-turut Kabupaten Demak, Blora, Grobogan, Klaten, Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo masuk kedalam kebijakan 160 Kabupaten/Kota prioritas intervensi stunting dengan masing-masing 10 desa. Desa tersebut masuk dalam prioritas tahun 2018.

Sedangkan Kota Pekalongan menjadi prioritas intervensi stunting tahun 2019.

Total terdapat 120 desa di 12 kabupaten/kota, provinsi Jawa Tengah yang termasuk dalam prioritas intervensi stunting. Selengkapnya Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah yang menjadi prioritas program intervensi stunting dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3.

Kabupaten/Desa prioritas penurunan stunting Tahap I/2018 dan Tahap II/2019 di Jawa Tengah

Kabupaten/

Kecamatan Desa Kabupaten/

Kecamatan Desa

1. Cilacap 7. Grobogan

Kedungreja 1. Tambakreja Karangrayung 1. Termas

Binangun 2. Karangnangka Toroh 2. Sindurejo

Binangun 3. Sidayu Geyer 3. Rambat

Kroya 4. Karangmangu Geyer 4. Juworo

Kroya 5. Pucung Lor Geyer 5. Geyer

Kroya 6. Bajing Kulon Geyer 6. Ledokdawan

Kawunganten 7. Kawunganten Lor Geyer 7. Karang Anyar

Sawang 8. Brani Pulokulon 8. Sidorejo

Sawang 9. Paketingan Pulokulon 9. Karangharjo

Sawang 10. Karangasem Grobogan 10. Putatsari

2. Banyumas 8. Blora

Jatilawang 1. Gunung Wetan Cepu 1. Cabeyan

Jatilawang 2. Karanglewas Cepu 2. Kapuan

Jatilawang 3. Gentawangi Cepu 3. Getas

Kalibagor 4. Srowot Cepu 4. Sumberpitu

Patikraja 5. Karangendep Jiken 5. Bangowan

Gumelar 6. Paningkaban Kota Blora 6. Temurejo

Pekuncen 7. Banjaranyar Kota Blora 7. Patalan

Cilongok 8. Gununglurah Tunjungan 8. Adirejo

Sumbang 9. Datar Kunduran 9. Klokah

Baturraden 10. Pandak Kunduran 10. Jetak

11. 11.

37

Kabupaten/

Kecamatan Desa Kabupaten/

Kecamatan Desa

3. Purbalingga 9. Demak

Kemangkon 1. Plumutan Karangawen 1. Bumirejo

Kaligondang 2. Cilapar Guntur 2. Guntur

Rembang 9. Bantarbarang Bonang 9. Kembangan

Padamara 10. Kalitinggar Kidul Bonang 10. Betahwalang

4. Kebumen 10. Pemalang

Buayan 1. Rangkah Moga 1. Mandiraja

Bulupesantren 2. Indrosari Moga 2. Wangkelang

Ambal 3. Plempukankembaran Bodeh 3. Longkeyang

Ambal 4. Kaibonpetangkuran Bodeh 4. Parunggalih

Mirit 5. Tlogopragoto Bodeh 5. Kebandungan

Pejagoan 6. Kebagoran Bantarbolang 6. Purana

Adimulyo 7. Temanggal Pemalang 7. Tambakrejo

Sempor 8. Semali Petarukan 8. Kalirandu

Karanggayam 9. Pagebangan Ampelgading 9. Losari

Bonorowo 10. Patukrejo Comal 10. Tumbal

5. Wonosobo 11. Brebes

Wadaslintas 1. Sumbersari Bumiayu 1. Jatisawit

Kepil 2. Ngalian Bumiayu 2. Kaliangkap

Kepil 3. Tanjunganom Bumiayu 3. Kalinusu

Kepil 4. Pulosaren Bumiayu 4. Pruwatan

Selomerto 5. Pakuncen Jatibarang 5. Janegara

Kalikajar 6. Kwadungan Wanasari 6. Glonggong

Kalikajar 7. Purwojiwo Wanasari 7. Wanasari

Kretek 8. Pagerejo Songgom 8. Dukuhmaja

Kejajar 9. Sigedang Bulakkamba 9. Grinting

Kejajar 10. Igirmranak Banjarharjo 10. Cigadung

6. Klaten 12. Kota Pekalongan

Prambanan 1. Sanggrahan Pekalongan Timur 1. Gamer Prambanan 2. Randusari Pekalongan Utara 2. Bandengan

Jogonalan 3. Titang Pekalongan Utara 3. Padukuhan

Kraton

Jogonalan 4. Sumyang Pekalongan Utara 4. Degayu

Jogonalan 5. Granting Pekalongan Utara 5. Panjang Baru

Pedan 6. Ngaren Pekalongan Timur 6. Baros

Delanggu 7. Butuhan Pekalongan Barat 7. Kergon

Polanharjo 8. Keprabon Pekalongan Selatan 8. Jenggot Jatinom 9. Tibayan Pekalongan Selatan 9. Yosoorejo Kalikotes 10. Gemblegan Pekalongan Selatan 10. Sokoduwet

4.5.1. Implementasi di Kabupaten Brebes

Di Kabupaten Brebes sudah dikeluarkan regulasi terkait penanganan stunting yaitu Peraturan Bupati nomor 50 tahun 2018. Menurut penjelasan Dinkes

38 Kab Brebes (dr Utami) sebagai daerah lokus stunting, sudah terbentuk Tim Penanggulangan stunting Kabupaten Brebes. Menurutnya, salahsatu permasalahan penyebab stunting dan gizi buruk adalah angka ODF yang rendah, masih banyak BAB sembarangan, oleh sebab itu di tahun 2020 target Brebes ODF tercapai 100 persen.

Secara lebih mendalam. faktor penyebab stunting belum diteliti, tetapi secara umum ada 2, yaitu spesifik dan sensitif. Spesifik disebabkan karena kekurangan gizi terus menerus, banyak penyebab antara lain kemiskinan.

Sedangkan sensitif tediri dari kondisi air bersih dan lingkungan. Faktor budaya cukup berpenagruh misalnya memberi asupan tidak tepat, seharusnya dikasih susu tetapi dikasih pisang, anak nangis harus disuap. Ada juga ditemui kasus bayi baru lahir diasuh oleh neneknya.

Keluarga yang rentan anak stunting ternyata tidak hanya orang miskin, orang kayapun bisa terjadi tetapi yang merawat adalah pembantunya, pola asuh, pola makan - disemua lapisan sosial. Pola diet ibu-ibu mempengaruhi gizinya dan berdampak pada anaknya. Banyak kasus ditemukan karena anak kurang gizi, sering sakit, sanitasi yang buruk, usus tidak normal sehingga penyerapan tidak selektif dalam menyerap nutrisi yang berguna.

Adapun kasus gizi buruk ditangani dengan pola TFC dan CFS, melalui pemberdayaan dan pelibatan masyarakat. Penanganan stunting mengedepankan strategi komunikasi dimana kader di tingkat bawah mengupayakan perubahan perilaku masyarakat.

Pola intervensi yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Brebes adalah intervensi gizi spesifik dan sensitif. Intervensi Gizi spesifik melalui kegiatan dari puskesmas, seperti PMT, Imunisasi, penyuluhan makanan bergizi.

Adapaun intervensi sensitif sudah dilakukan oleh berbagai pihak, kesehatan dan luar kesehatan. Sudah dilakukan berbagai penyuluhan seperti PHMS, penyuluhan penggunaan jamban sehat, pembangunan infrastruktur sanitasi oleh Perwaskim, menanam makanan bergizi (pertanian), pemakaian pestisida.

Hasil intervensi tersebut paling cepat bisa dilihat 2 tahun setelahnya. Saat ini yang sedang mendapat perhatian dari sisi sensitif, terutama sanitasi. Upaya

39 sensitif yang dilakukan puskesmas antara lain penyuluhan, penghijauan, pemberdayaan. Bantuan jamban untuk peningkatkan akses sanitasi sudah dimulai sejak 2013 yang saat itu hanya 51% di tahun ini sudah mencapai 80,87%.

Pelibatan lembaga non pemerintah sudah optimal, terutama perkumpulan masyarakat untuk program pengadaan jamban. Komitmen Pemerintah Kabupaten Brebes antara lain melalui Perbup Germas dan Perbub APBDes. Saat ini sedang melakukan intervensi sanitasi di 8 desa berupa kegiatan jamban keluarga, air limbah, sampah. Hambatan terkait sanitasi atau ODF adalah perilaku masyarakat yang meskipun memiliki jamban tetapi tinja langsung dibuang ke sungai.

Dari sisi spesifik telah dibantu makanan tambahan untuk keluarga balita.

Kegiatan simultan sudah dilakukan yaitu harus merujuk 3 hal, angka stunting, kualitas imunisasi, dan eliminasi TBC. Di tahun 2019 ditambah penurunan AKI/AKB dan penuruan penyakit tidak menular. Sudah dikeluarkan juga Peraturan Bupati tentang penggunaan dana desa untuk melengkapi peralatan Posyandu, yang minimal 4%.

Program Provinsi Jawa tengah berupa Jateng gayeng Nginceng Wong Meteng juga sudah dilakukan massif. Ada efek negatif semua desa menganggarkan dana desa untuk ambulan desa.

Implementasi sampai tingkat desa, sebagaiman dikemukakan Kades Dukuhmaja, bahwa masalah stunting dan gizi buruk terkait dengan kemiskinan.

Permasalahannya adalah sasaran program penanggulangan kemisikinan seperti PKH, BPNT tidak tepat sasaran kepada yang membutuhkan, yaitu kalangan miskin. Sehingga penerima manfaat bukan mereka yang membutuhkan dari kalangan miskin, dengan demikian kurang memberi manfaat bagi penanganna stunting dan gizi buruk. Perlu sinergi sasaran program kepada yang membutuhkan. Kebutuhan masyarakat saat ini adalah rumah layak huni, sehat, sanitasi dan air bersih.

Menurut petugas Puskesams Jatirokeh bahwa kendala dalam penanganan gizi buruk dan stunting adalah kurangnya koordinasi. Masalah yang perlu diatasi adalah ODF, perlunya jambanisasi. Menurut Suharni dari Puskesmas Jatibarang, bahwa telah dieketahui 70% masalah stunting karena aspek sensitif, yang

40 salahsatunya disebabkan kurangnya koordinasi kebijakan dan program di tingkat OPD. Berbagai kegiatan OPD belum dipusatkan pada lokus atau wilayah rawan.

Banyak program OPD tidak tepat sasaran

4.5.2. Implementasi di Kabupaten Cilacap

Data Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap menunjukkan prevalensi balita gizi buruk Kabupaten Cilacap tahun 2017 sebesar 0,035% (48 kasus) dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 0,039% (51 kasus). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, prevalensi stunting di Indonesia mencapai 37,2 dan Kabupaten Cilacap 36,1% tahun 2016 serta 32,1% tahun 2017 (Rikesdas 2018).

Data lain hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) prevalensi stunting Kabupaten Cilacap Tahun 2016, mencapai 27,5% dan Tahun 2017 sebesar 22,8%, cukup tinggi yaitu > 20% standar WHO.

Kasus gizi buruk di Kabupaten Cilacap adanya penyebab langsung yaitu faktor infeksi dan penyakit kelainan bawaan, seperti hidrocephalus, kelainan jantung, kelainan tumbuh kembang, Cerebral Palsi/Kelainan otak dan lain sebagainya, kasus yang demikian biasanya mempunyai risiko kematian yang cukup besar. Sedangkan penyebab tidak langsung antara lain lingkungan yang kurang, kesadaran perilaku terhadap pola konsumsi gizi & PHBS serta keluarga miskin.

Stunting juga menjadi masalah di Kabupaten Cilacap. Faktor dominan stunting adalah masalah gizi buruk, sanitasi, ASI eksklusif masih rendah. Ibu-ibu muda banyak mengalami problem menyusui, tidak keluar. Penyebab lain yang tidak kalah penting adalah kekurangan zat gizi kronik pada masa kehamilan, pola asuh orang tua (contoh Masih banyak bayi dibawah 6 bulan dikasih pisang) dan lingkungan yang kurang sehat. Faktor lain karena masalah perilaku dimana tingkat pendidikan rendah, pengetahuan kurang, meskipun di posyandu sudah ada penyuluhan, pendampingan BOK Puskesmas. Rata-rata stunting karena kurang gizi disebabkan karena kemiskinan sehingga pada saat hamil kurang gizi, makanan kurang gizi, faktor infeksi, penyakit penyerta. Selain itu, faktor yang sangat berpengaruh adalah lingkungan yang buruk, terutama sanitasi dimana ODF

41 baru 28%, dari 269 dan 15 kelurahan. Faktor lain faktor karena kebiasaan, budaya, dll, terutama di wilayah barat, faktor pernikahan dini tinggi, banyak kasus perceraian.

Menurut Dwi Hartati (Bappeda Kabupaten Cilacap) bahwa berbagai upaya telah dilakukan sampai tingkat desa. Telah dilakukan pemantauan dan pendampingan di 10 desa berupa monitoring GAKI, bantuan 1.000 jamban- sanitasi. Kegiatan GAKI berupa monitoring ke toko dan warung di lokus stunting.

Pendampingan dilakukan melalui tes kuantitatif dan kualitatif, sosialisasi cara memasak, menyimpan, dampak-dampak kelebihan dan kekurangan iodium.

Intervensi.

Selain itu sudah ada bantuan 1.000 jamban, penanganan gizi buruk, pemeriksaan kasus dengan DSA. Untuk ibu hamil KEK (kurang gizi kronik) ditambah program PMT, juga untuk balita gizi buruk dan kurus ditambah PMT.

Kendala saat ini pengadaan PMT baru bisa dilakukan pemerintah kabupaten, karena penyediaan PMT lokal mengalami kesulitan karena kasusnya jauh untuk memesan dan susah untuk dibelikan makanan pabrikan. Di tingkat Posyandu kegiatan PMT hanya berupa penyuluhan saja. PMT untuk pemulihan untuk kasus tertentu minimal 90 hari melalui bidan desa - kader - sasaran. Selain itu ada program pemberian zat besi untuk anak sekolah SMP-SMA untuk mencegah anemia.

Peran Puskesmas juga sudah dioptimalkan untuk penyuluhan. Puskesmas melaukan pelacakan/surveilence, tetapi data belum lengkap sehingga belum bisa menganalisis faktor utamanya. Pendampingan terhadap Berat bayi lahir rendah, dll. Terhadap ditemukannya kasus kekurangan energi kronis (KEK) maka dilakukan pendampingan, konsultasi ahli gizi di setiap puskesmas. Selain itu dilakukan juga pengawasan kehamilan berisiko; ibu hamil resiko tinggi, dilakukan pendampingan oleh bidan sampai melahirkan, kunjungan neonatal 0-28 hari, sampai masa nifas.

Posyandu juga diberi fasilitasi untuk meningkatkan perannya. Dinas Kesehatan memberikan pelatihan keterampilan kader, karena masih banyak kader yang salah cara mengukur dan menimbang. Ada 2000 lebih posyandu, pelatihan

42 kader hanya perwakilan. Selain itu diberikan pelatihan motivator ASI, pelatihan pemberian makan bayi dan anak. Peralatan di Posyandu juga dipenuhi antara lain antropometri KIT berisi: pengukur berat badan, pengukur lingkar kepala, lingkar lengan atas, timbangan.

Pemerintah daerah sudah memberikan bantuan makanan pendamping ASI untuk masyarakat miskin. Problem pemberian MPASI berbahan lokal, tidak ada yang masak, lokasi penerima bantuan jauh-jauh sehingga sulit mengantar ke lokasi, maka dipakai bahan pabrikan.

Problemnya adalah perilaku masyarakat. Masyaakat malas membawa anak ke Posyandu, karena umur 2 tahun ke PAUD, sehingga anak sekolah, tidak ke Posyandu dan tidak terkontrol perkembangannya. Seharusnya anak dibawa ke posyandu umur 0-5 tahun.

Hal-hal yang sedang dilakukan pemerintah daerah kedepan adalah mulai penataan kebijakan sampai program dan implementasi di lapangan. Saat ini sedang menyusun RAD stunting. Pemerintah Kabupaten Cilacap juga sedang mengupayakan integrasi dengan PAUD, tetapi guru PAUD belum bisa membaca hasil pengukuran, apakah ada resikonya, dan tidak ada tindaklanjutnya.

Mengembangkan Posyandu terintegarsi dengan PAUD, pada saat penimbangan anka PAUD dibawa ke Posyandu tetapi masih banyak petugas yg tidak paham interpretasi hasil, dan tidak ada tindak lanjut. Pada saat pelatihan guru PAUD ada materi tentang tumbuh kembang anak, tetapi belum diimplementasikan di lapangan. Pola intervensi terhadap kasus yaitu swadaya dari orang tua, dan masyarakat melalui iuran sukarela pemberian PMT.

Dalam hal pendanaan, dda dana PMTAS dari Kemendiknas yang dialokasikan untuk lokus stunting. Stakeholder terkait seperti Bappeda, Permasdes, Kesehatan, Pendidikan terus berkoordinasi. CSR dari Pertamina dan Holcim langsung ke puskesmas di sekitar wilayah mereka untuk sarpras fisik, Bank Sayur untuk penanganan gizi buruk dan stunting. CSR ARAMCO untuk anak sekolah dan kesehatan lingkungan; tanam sayur di sekolah, cuci tangan, kantin sehat. Akan tetapi di desa-desa, pemerintah desa belum mengalokasikan

43 PMT. Oleh sebab itu, sudah dimulai peran stakeholder, KPM dari permasdes, sudah diarahkan untuk mendukung.

Di tingkat lapangan, menurut Slamet Kades Karangasem Sampang, masalah dalam penanganan stunting dan gizi buruk adalah kurangnya keterlibatan bapak-bapak, sehingga bapak-bapak diundang dalam penyuluhan. Dalam penangannan stunting dan gizi buruk juga perlu peningkatan ekonomi keluarga, karena masalah tersebut terkait dengan kurangnya kemampuan ekonomi, seperti penyediaan jamban dan air bersih. Perlu diutamakan bantuan peningkatan kemampuan ekonomi. Namun menurut Bu Endah Dinkes Kabupaten Cilacap bahwa bapak-bapak sudah diundang tetapi mereka tidak datang dalam penyuluhan ibu hamil.

Menurut Ari Puskesmas Karangtengah, program penanganan anemia pada remaja putri dengan pemberian pil tambah darah banyak yang belum berjalan karena minimnya peran guru untuk memfasilitasinya, guru belum siap mendukung program tersebut. Sesuai dengan pendapat Adiran Kades Bojonglor, bahwa program intervensi belum sesuai dengan sasaran yang tepat. Penganggaran pemda belum tepat sasaran dan belum memadai, maka jika perlu diberikan anggaran khusus untuk stunting.

Menurut Heni dari Desa Karangmangu Kroya, bahwa diperlukan fokus program OPD ke lokus stunting. Dana Desa sebagian sudah diarahkan ke stunting namun belum diikuti oleh program dan anggaran dari OPD. Perlunya sinergi antara OPD dan desa dengan OPD agar program terfokus. Program bantuan seperti PKH juga sasarannya kurang tepat. Desa tidak mengetahui data-data penerima PKH dan ketika mengusulkan perubahan juga tidak ada perubahan, di sisi lain menjadi sasaran protes warga.

Beberapa langkah usulan kedepan disampaikan oleh para informan, antara lain terkait dengan gizi sepsifik dan sensitif, kebijakan dan anggaran serta koordinasi. Menurut Sri wahyuni Dinkes Cilacap, Purula dari BPPT bisa menjadi salahsatu alternatif penambahan nutrisi bagi remaja putri dan ibu hamil. Usulan dari Puskesmas Kroya I bahwa perlu kebijakan pemerataan SDM kesehatan, terutama dokter spesialis kandungan dan spesialis anak harus ada di setiap puskesmas. Perlu ada kebijakan penyediaan tenaga dokter spesialis anak dan

44 spesialis kandungan melalui APBD. Menurut Endah Dinkes Kabuapten Cilacap untuk mengoptimalkan tenaga kesehatan di bawah yaitu bidan sebaiknya jangan dibebani pekerjaan lain di luar kewenangannya. Saat ini bidan banyak mengerjakan pekerjaan administrasi di luar tugasnya sehingga menghambat pelaksanaan tugas utama. Sebaiknya bidan dikembalikan pada tugas utamanya saja, yaitu kebidanan mengurus ibu hamil dan anak. Catatan Purwati DPRD Kab Cilacap kedepan akan ditetapkan perda stunting. Terkait dengan penganggaran dalam perencanaan penganggaran perlu dimasukkan anggaran khusus stunting, DPRD akan menyetujui. Untuk pelibatan bapak-bapak sebaiknya di hari jumat, selesai jumatan.

4.5.3. Implementasi di Kabupaten Tegal

Kabupaten Tegal termasuk memiliki kasus gizi buruk cukup tinggi di Jawa Tengah di atas rata-raat Jawa Tengah. Sebanyak 51 Balita tercatat sebagai penderita gizi buruk di Kabupaten Tegal. Selain itu, kasus prevalensi stunting juga termasuk tinggi. Kabupaten Tegal masuk dalam 14 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi stunting diatas rata-rata provinsi yaitu Kabupaten Grobogan, Magelang, Blora, Pekalongan, Tegal, Wonosobo, Rembang, Pati, Kota Pekalongan, Kabupaten Kebumen, Batang, Pemalang, Banjarnegara dan Temanggung.

Hal tersebut menjadi dilema, mengingat dari tingkat kesejahteraan Kabupaten tegal tergolong bagus, dengan angka kemiskinan di bawah rata-rata Jawa Tengah. Berdasarkan kondisi tersebut, kasus gizi buruk dan stunting di Kabupaten Tegal lebih disebabkan karena masalah perilaku dan lingkungan, bukan karena kekurangan. Di dalam FGD terungkap bahwa berbagai program oleh puskesmas telah dilakukan namun kurang mendapatkan dukungan pemerintah desa. Ada keraguan dari pemerintah desa ketika ingin memgalokasikan anggaran untuk kesehatan, karena minimnya pengetahuan tentang bentuk kegiatan dan “contoh” pertangungjawabannya ketika mereka mengambil dari dana desa.

45 Adanya opini bahwa penanganan gizi buruk dan stunting itu terpisah dari kegiatan lain harus menjadi kegiatan sendiri, padahal kegiatan dapat berupa sinergi dengan kegiatan sektor lain. Maka perlu suatu edukasi dan pemahaman terhadap pemangku kepentingan sampai tingkat desa untuk sinergi antar kegiatan dalam konteks perbaikan kualitas hidup, baik berupa infrastruktur, sosial, maupun ekonomi.

4.5.4. Implementasi di Kota Surakarta

Di Surakarta tidak ada kasus gizi buruk, tetapi ada stunting meskipun jauh di bawah Jawa Tengah dan Nasional. Langkah awal yang menentukan dimulai dari komitmen pimpinan, dimana walikota hampir setiap pertemuan ada pesan-pesan kesehatan terutama tentang gizi buruk dan stunting. Setiap tahun ada siklus perencanaan mulai dari musdus, kelurahan, kecamatan dan kota, selalu disampaikan pesan-pesan kesehatan. Di Surakarta juga dilakukan kegiatan Jumat sehat (Juse), pemenuhan standar gizi, dan lainnya yang langsung turun kebawah para pejabatnya, sehingga langsung tertangani. Di sisi lain, masyarakat juga memiliki kepedulian terhadap masalah tersebut, ada kader kesehatan berperan penting di setiap wilayah.

Pencegahan stunting di Kota Surakarta sudah dimulai sejak remaja dimulai SD, tumbuh kembang anak SD mulai disupport pemkot, terutama pemberian makanan tambahan anak sekolah dengan paket makanan siap saji. Untuk remaja ada tablet tambah darah pada remaja putri sejak mulai menstruasi memperoleh semingu sekali dalam keadaan normal dan jika HB kurang. Pada saat calon pengantin, ada TT calon pengantin diberikan edukasi; paket informasi calon penganten tentang gizi dan penyakit yang beresiko terhadap kehamilan. Program KB juga mempengaruhi keberhasilan di sisi pelayanan agar kehamilan dan persalinan sesuai yang diharapkan. Selain itu juga ada kelas hamil dimana mempersiapkan kehamilan dan persalinan yang bagus memerlukan edukasi. Kelas hamil ini diikuti oleh ibu dan suaminya.

Kunjungan dokter spesialis Obgyn dan anak ke puskesmas untuk mencegah kelahiran resiko tinggi di puskesmas. Saat ini dipusatkan di 5 puskesmas (dari 17

46 puskesmas) dimana kunjungan dilakukan sebulan sekali. Program garam beryodium (GAKI) dalam mendukung pencegahan stunting juga digencarkan.

Untuk program lain, pemberian obat cacing meskipun tidak ada gejala, diberikan di sekolah-sekolah meskipun status gizi sudah bagus. Pemberian makanan tambahan (PMT) untuk ibu hamil dan balita, untuk ibu hamil KEK dan anemia berupa makaann siap saji (kerjasama dengan catering) sehingga gizi lebih lengkap, setiap tahun di evaluasi untuk pelaksanaannya, dimana setiap tahun unit cost meningkat (15.000/SSH).

Pemberdayaan masyarakat juga berjalan dengan adanya kelompok pendukung ibu, mendukung ibu memberikan ASI ekslusif pada bayi, yang dimulai sejak hamil, dukungan suami dan keluarga. Kebanyakan ibu hamil adalah pekerja, sehingga bagaimana hamil tetap bisa memberikan ASI ekslusif.

Ada upaya mensukseskan progam nasional yaitu Manajemen Terpadu Berbasis Masyarakat MTBSM untuk petugas puskesmas, manajemen terpadu balita sakit dan manejemen terpadu balita muda berjalan di puskesmas, menangani keluhan penyakit balita secara keseluruhan, termasuk status gizinya.

MTBSM juga dilakukan berbasis masyarakat, dimana bisa mendeteksi dini bayi yang sakit, melatih kader mendeteksi dini bayi dan balita yang sakit. Adanya inovasi untuk gizi kurang, membentuk forum komunikasi di tingkat kelurahan untuk mengelola masalah balita. Dilancarkan pula gerakan Bapak sadar gizi, mengalihkan kebiasaan merokok untuk gizi rumah tangga.

Dari aspek sinergi kebijakan, koordinasi lintas sektoral di tingkat Kecamatan sangat membantu, dimulai dari PKK, lurah, LPMK. Serta adanya pelaksanaan lokakarya lintas sektoral di puskesmas (Lokakarya Mini) yang sudah berjalan baik.

4.6. ANALISIS DATA SEKUNDER 4.6.1. Status Gizi Balita

Sebaran kasus balita gizi buruk di kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2017, terdapat kabupaten dengan kasus balita gizi buruk yang masih tinggi yaitu Brebes, Banyumas, Tegal, Pekalongan dan Cilacap. Kondisi prevalensi menurut

47 data RPJMD 2018-2023 di Kabupaten Brebes mulai tahun 2013-2017 berturut-turut adalah 101 di tahun 2013, 47 di tahun 2014, 82 di tahun 2015, 92 di tahun 2016 dan kemudian naik lagi menjadi 140 balita gizi buruk di tahun 2017.

47 data RPJMD 2018-2023 di Kabupaten Brebes mulai tahun 2013-2017 berturut-turut adalah 101 di tahun 2013, 47 di tahun 2014, 82 di tahun 2015, 92 di tahun 2016 dan kemudian naik lagi menjadi 140 balita gizi buruk di tahun 2017.