• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGANAN GIZI BURUK DAN STUNTING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EVALUASI KEBIJAKAN PENANGANAN GIZI BURUK DAN STUNTING"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGANAN GIZI BURUK DAN STUNTING DI JAWA TENGAH

(Studi Kasus di Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Tegal dan Kota Surakarta)

Oleh :

Drs. Mursid Zuhri, M.Si Arif Sofianto, S.IP, M.Si Noviati Fuada, SP, MKM

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

TAHUN 2019

(2)

ii

LAPORAN PENELITIAN

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGANAN GIZI BURUK DAN STUNTING DI JAWA TENGAH

(Studi Kasus di Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Tegal dan Kota Surakarta)

Oleh :

Drs. Mursid Zuhri, M.Si Arif Sofianto, S.IP, M.Si Noviati Fuada, SP, MKM

Dokumen ini Disusun Sebagai Laporan Pelaksanaan Penelitian

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

TAHUN 2019

(3)

iii

REFORMASI PELAYANAN PUBLIK TERINTEGRASI BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DI JAWA TENGAH

Penulis :

Drs. Mursid Zuhri, M.Si Arif Sofianto, S.IP, M.Si Noviati Fuada, SP, MKM

Editor :

dr. Hartanto Hardjono, M.MedSc

Tahun : 2019 Penerbit :

Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Tengah

Jalan Pemuda No. 127 – 133 Semarang

(4)
(5)
(6)

vi ABSTRAK

Masalah gizi buruk dan stunting secara global masih mendapatkan perhatian dunia.

Pemerintah telah memiliki beberapa kebijakan program dalam kerangka intervensi gizi buruk dan stunting yang mencakup intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.

Telah ditetapkan 100 kabupaten prioritas penanganan stunting yang pelaksanaannya dimulai tahun 2018. Dari 100 kabupaten tersebut pada tahun 2019 menjadi 120 kabupaten dan pada tahun 2020 260 Kabupaten se-Indonesia, dan di Jawa Tengah terdapat 12 kabupaten lokus. Namun, masih diperlukan kajian tentang sejauhmana kebijakan program nasional maupun daerah dalam percepatan penanggulangan stunting di daerah prioritas telah efektif diimplementasikan oleh daerah sampai di level desa. Tujuan penelitian ini untuk memotret implementasi kebijakan penanganan gizi buruk dan stunting di Jawa Tengah terutama di kabupaten prioritas dan sebagian wilayah pembanding. Metode penelitian ini berupa deskriptif dengan pendekatan utama kualitatif dan diperkuat dengan kuantiatif. Lokasi penelitian di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap yang merupakan wilayah lokus stunting, serta Kabupaten Tegal dan Kota Surakarta sebagai wilayah pembanding. Informan yang terlibat adalah para pemangku kepentingan yaitu pejabat pemerintah daerah, petugas puskesmas, kepala desa, bidan desa, dan kader kesehatan desa. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, FGD, studi literatur, dan observasi/ dokumentasi. Analisis data dengan model simultan versi Miles dan Huberman, yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi. Kesimpulan penelitian ini adalah: 1) Implementasi kebijakan program percepatan penurunan gizi buruk dan stunting di Jawa Tengah belum berjalan sesuai harapan, karena belum ada komitmen semua sektor terkait terutama di lini bawah. 2) Implementasi kebijakan dan program penanganan gizi buruk dan stunting di Jawa Tengah masih belum terintegrasi dengan baik, karena masing- masing sektor melaksanakan kegiatannya tanpa koordinasi. 3) Pola intervensi penanganan gizi buruk dan stunting yang ideal di Jawa Tengah adalah yang menerapkan sinergi dengan fokus intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif. Rekomendasi penelitian ini adalah:

1) Komitmen politis harus kuat diwujudkan melalui regulasi; 2) Peraturan Gubernur Jawa Tengah nomor 34 Tahun 2019 lebih gencar disosialisasikan kepada semua pihak; 3) perlunya sosialisasi dan advokasi roadmap percepatan perbaikan gizi sampai tingkat desa;

4) penanganan gizi buruk dan stunting agar menjadi salahsatu fokus pelayanan publik sampai tingkat desa; 5) monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan.

Kata kunci : gizi buruk, stunting, implementasi kebijakan, Jawa Tengah

(7)

vii ABSTRACT

The problem of malnutrition and stunting globally still receives worldwide attention. The Indonesian government has several program policies within the framework of malnutrition and stunting interventions which include specific nutrition interventions and sensitive nutrition interventions. 100 priority districts for stunting handling have been established, the implementation of which starts in 2018. In 2019 there will be 120 districts, and in 2020 will be 260 districts in Indonesia, and in Central Java will have 12 locus districts. However, studies are still needed on the extent to which national and regional program policies in the acceleration of stunting prevention in priority areas have been effectively implemented by the regions up to the village level. The purpose of this study is to portray the implementation of policies on handling malnutrition and stunting in Central Java, especially in priority districts and parts of comparative regions.

This research method is descriptive with the main qualitative approach and strengthened by quantitative. The research sites are Brebes Regency and Cilacap Regency which are stunting locus areas, and Tegal Regency and Surakarta City as comparison areas. The informants involved were stakeholders, namely local government officials, puskesmas officers, village heads, village midwives, and village health cadres. Data collection techniques by interview, FGD, literature study, and observation/documentation. Data analysis with the simultaneous version of Miles and Huberman, which consists of three activities that are simultaneously, namely data reduction, data presentation, and drawing conclusions or verification. The conclusions of this study are: 1) The implementation of the policy program for the acceleration of the reduction of malnutrition and stunting in Central Java has not gone as expected, because there is no commitment from all related sectors, especially at the bottom line. 2) The implementation of policies and programs dealing with malnutrition and stunting in Central Java is still not well integrated, because each sector carries out its activities without coordination. 3) The ideal pattern of intervention handling malnutrition and stunting in Central Java is that which applies synergy with the focus of specific nutrition and sensitive nutrition interventions. The recommendations of this study are: 1) Political commitment must be strongly realized through regulation; 2) Central Java Governor Regulation number 34 of 2019 is more socialized to all parties; 3) the need for information dissemination and advocacy for the roadmap to accelerate nutrition improvement at the village level; 4) handling malnutrition and stunting to become one of the focuses of public services up to the village level; 5) ongoing monitoring and evaluation.

Keywords: malnutrition, stunting, policy implementation, Central Java

(8)

viii

DAFTAR ISI

Hal

Lembar Pengesahan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Abstrak ... iv

Abstract ... v

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakng ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan ... 11

1.4. Manfaat ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Gizi Buruk ... 13

2.2. Stunting ... 13

2.3. Penyebab Stunting ... 14

2.4. Kerangka Intervensi Stunting di Indonesia ... 16

2.5. Kerangka Teori ... 19

2.6. Kerangka Konsep ... 19

BAB III METODE PENELITIAN... 20

3.1. Jenis dan pendekatan ... 20

3.2. Ruang Lingkup ... 21

3.2.1. Fokus ... 21

3.2.2. Lokus ... 22

3.3. Populasi dan Informan Kunci (Responden) Penelitian ... 22

3.4. Jenis Dan Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.5. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 24

3.6. Analisis Data ... 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 26

4.1. Identifikasi kebijakan ... 26

4.1.1. Kebijakan Global dan Nasional ... 26

4.1.2. Kebijakan Pemerintah Daerah di Jawa Tengah ... 30

4.2. Penanganan Gizi Buruk dan Stunting terintegrasi ... 33

4.3. Kesenjangan Kebijakan ... 34

4.4. Kebutuhan Perubahan Kebijakan ... 35

(9)

ix

4.5. Implementasi di level desa dan gambaran masalahnya ... 36

4.5.1. Implementasi di Kabupaten Brebes ... 37

4.5.2. Implementasi di Kabupaten Cilacap ... 40

4.5.3. Implementasi di Kabupaten Tegal ... 44

4.5.4. Implementasi di Kota Surakarta ... 45

4.6. Analisis data sekunder ... 46

4.6.1. Status Gizi Balita ... 46

4.6.2. Indikator Gizi Spesifik ... 49

4.7. Konfirmasi Lapangan ... 51

4.8. Efektifitas implementasi kebijakan ... 62

4.9. Strategi Percepatan Penurunan Stunting ... 66

BAB V PENUTUP... 69

5.1. Simpulan ... 69

5.2. Rekomendasi ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(10)

x

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 4.1. Kebijakan peraturan perundangan tingkat pusat yang

mendukung penanganan gizi buruk dan stunting ... 27 Tabel 4.2. Kebijakan daerah yang mendukung penanganan gizi buruk dan

stunting di Jawa Tengah ... 31 Tabel 4.3. Kabupaten/Desa prioritas penurunan stunting Tahap I/2018 dan

Tahap II/2019 di Jawa Tengah ... 36 Tabel 4.4. Hasil diskusi di Kabupaten prioritas penanganan stunting dan

Kota terbaik meminimalkan stunting dikelompokkan dalam 5 pilar... 52 Tabel 4.5. Analisis Kuantitatif SWOT Faktor Internal Upaya Percepatan

Pencegahan Stunting ... 63 Tabel 4.6. Analisis Kuantitatif SWOT Faktor Eksternal Upaya Percepatan

pencegahan Stunting ... 64 Tabel 4.7. Analisis SWOT Strategi Percepatan Stunting ... 67

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 1.3. Status Gizi Balita dan Baduta Di Provinsi Jawa Tengah ... 5 Gambar 1.4. Prevalensi Stunting Baduta Baduta Di Kabupaten/Kota

Provinsi Jawa Tengah ... 5 Gambar 2.1. Kerangka teori penanggulangan stunting ... 19 Gambar 2.2. Kerangka konsep Kebijakan ... 19 Gambar 4.1. Status Gizi Balita Indonesia Tahun 2013 sampai dengan Tahun

2017 (Riset Kesehatan dasar dan Pemantauan Status Gizi) ... 48 Gambar 4.2. Status Gizi Balita Indonesia PSG Tahun 2013 sampai dengan

Tahun 2017 ... 48 Gambar 4.3. Prevalensi Ibu Hamil KEK di Indonesia Tahun 2013 dan 2016

(Riskesdas 2013 dan Pemantauan Status Gizi 2016) ... 49 Gambar 4.4. Indikator Gizi Spesifik di Indonesia Tahun 2016 dan 2017 ... 49 Gambar 4.5. Fasilitas sanitasi dan perilaku hygiene personal di Indonesia

Tahun 2013 ... 50 Gambar 4.6. Posisi Upaya Penurunan Stunting di Provinsi Jawa Tengah... 66

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Indonesia salah satu negara dengan prevalensi stunting (balita pendek) cukup tinggi dibandingkan negara-negara berpendapatan menengah lainnya.

Beberapa kebijakan dan regulasi telah dikeluarkan oleh Pemerintah yang diharapkan dapat berkontribusi dalam penanganan stunting. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menetapkan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam 10 Kabupaten prioritas 100 desa prioritas stunting di Indonesia. Selanjutnya, berturut-turut Kabupaten Demak, Blora, Grobogan, Klaten ditetapkan 1000 desa dengan koefisien stunting terbesar pada 100 Kabupaten/Kota prioritas intervensi stunting, dan Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo, dan Kota Pekalongan sebagai 160 Kabupaten/Kota prioritas intervensi stunting.

Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh multi- faktorial dan bersifat antar generasi. Di Indonesia masyarakat sering menganggap tumbuh pendek sebagai faktor keturunan. Persepsi yang salah di masyarakat membuat masalah ini tidak mudah diturunkan dan membutuhkan upaya besar dari pemerintah dan berbagai sektor terkait. Hasil studi membuktikan bahwa pengaruh faktor keturunan hanya berkontribusi sebesar 15%, sementara unsur terbesar adalah terkait masalah asupan zat gizi, hormon pertumbuhan dan terjadinya penyakit infeksi berulang. Variabel lain dalam pertumbuhan stunting yang belum banyak disebut adalah pengaruh paparan asap rokok, pestisida maupun polusi asap juga berpengaruh terhadap pertumbuhan stunting.

Periode 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul kritis sebagai awal terjadinya pertumbuhan Stunting, yang sebaliknya berdampak jangka panjang hingga berulang dalam siklus kehidupan. Kurang gizi sebagai penyebab langsung, khususnya pada balita berdampak jangka pendek meningkatnya morbiditas. Bila masalah ini bersifat kronis, maka akan

(13)

2 mempengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Pada kondisi berulang (dalam siklus kehidupan) maka anak yang mengalami kurang gizi diawal kehidupan (periode 1000 HPK) memiliki risiko penyakit tidak menular pada usia dewasa.

Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang harus ditangani secara serius. Hasil-hasil Riskesdas menunjukkan, besaran masalah Stunting yang relatif stagnan sekitar 37% sejak tahun 2007 hingga 2013. Dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, lebih dari separuhnya memiliki angka prevalensi diatas rata-rata nasional. Kesenjangan prevalensi stunting antar provinsi yang masih lebar antara DIY (22,5%) dan NTT (58,4%) menunjukkan adanya ketimpangan dan pembangunan yang tidak merata.

Pertumbuhan stunting yang terjadi pada usia dini dapat berlanjut dan berisiko untuk tumbuh pendek pada usia remaja. Anak yang tumbuh pendek pada usia dini (0-2 tahun) dan tetap pendek pada usia 4-6 tahun memiliki risiko 27 kali untuk tetap pendek sebelum memasuki usia pubertas; sebaliknya anak yang tumbuh normal pada usia dini dapat mengalami growth faltering pada usia 4-6 tahun memiliki risiko 14 kali tumbuh pendek pada usia pra-pubertas. Oleh karena itu, intervensi untuk mencegah pertumbuhan Stunting masih tetap dibutuhkan bahkan setelah melampaui 1000 HPK. Fenomena tersebut diatas menarik untuk dikaji mengingat masalah stunting memiliki dampak yang cukup serius. Dampak tersebut antara lain pada jangka pendek terkait dengan morbiditas dan mortalitas pada bayi/balita, jangka menengah terkait dengan intelektualitas dan kemampuan kognitif yang rendah, dan jangka panjang terkait dengan kualitas sumberdaya manusia dan masalah penyakit degeneratif di usia dewasa.

Sesuai tujuan SDGs ke 2 “tanpa kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan”, dengan beberapa target, diantaranya adalah “Pada tahun 2030, menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi, termasuk pada tahun 2025 mencapai target yang disepakati secara internasional untuk anak pendek dan kurus di bawah usia 5 tahun, dan memenuhi kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, serta manula. Beberapa indikator pencapaian target tersebut adalah penurunan stunting

(14)

3 balita dan baduta malnutrisi pada balita, anemia pada ibu hamil, ASI ekslusif dan Pola Pangan Harapan. Semua itu untuk menuju pada Sumberdaya Manusia berkualitas dan produktif sehat jasmani dan rohani.

Angka balita gizi buruk di Jawa Tengah tergolong masih tinggi. Kasus gizi buruk pada tahun 2013 tercatat 964 kasus, kemudian tahun 2014 menjadi 933 kasus, dan turun menjadi 922 kasus pada tahun 2015. Angka tersebut kembali naik menjadi 982 di tahun 216, dan turun menjadi 922 kasus di tahun 2017, dan di tahun 2018 tercatat meningkat menjadi 961 kasus.

Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2019 Gambar 1.1.

Angka Kasus Gizi Buruk Di Provinsi Jawa Tengah

Wilayah yang memiliki kasus gizi buruk terbanyak meliputi Kabupaten Brebes (121), Banyumas (80), Wonogiri (61), Tegal (51), dan Cilacap (51).

Sedangkan wilayah memiliki kasus gizi buruk yang sangat sedikit adalah Kota Salatiga (3), Kota Magelang (5), dan Kota Semarang (6), bahkan di Kota Surakarta (0) tidak tercatat adanya kasus gizi buruk pada tahun 2018.

(15)

4 Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2019

Gambar 1.2.

Angka Kasus Gizi Gizi Buruk Di Kabupaten/Kota, Provinsi Jawa Tengah

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, sebagian besar penyebab gizi buruk adalah dipengaruhi kemiskinan, perilaku konsumsi, pola asuh, budaya, serta pengaruh dari pestisida. Pestisida bisa mengakibatkan gangguan reproduksi yaitu gangguan hormon yang disebabkan pestisida dapat mengakibatkan penurunan produksi sperma. Selain itu wanita yang sering bersentuhan dengan pestisida cenderung kurang subur beresiko melahirkan secara prematur. Pestisida mengandung bahan kimia yang dapat merusak syaraf, ibu hamil pada 3 bulan pertama sistem syaraf jenin berkembang pesat. Jika terpapar risiko cacat pada janin, keguguran, dan komplikasi kehamilan akan meningkat.

Salah satu isu penting gizi buruk dan kasus stunting adalah kurangnya kesadaran terhadap ASI eksklusif. Kendala ASI eksklusif antara lain ibu tidak mampu harus bekerja, sementara di tempat kerja tidak ada fasilitas atau kebijakan ASI ekslusif, sehingga tidak bisa menyusui anaknya.

Langkah-langkah pencegahan telah dilakukan antara lain melalui intensifikasi pemantauan tumbuh kembang balita melalui Posyandu, pemantauan status gizi oleh bidan di desa atau petugas kesehatan lainnya. Program pemberian makanan tambahan juga telah dilakukan di beberapa daerah, serta beberapa dilanjutkan dengan perawatan kepada balita gizi buruk. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga telah mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang Peningkatan

(16)

5 Penggunaan ASI ekslusif, dimana semua instansi wajib menyediakan fasilitas menyusui, bahkan ada salah satu pabrik di Jawa Tengah yang menjadi juara nasional fasilitasi ASI ekslusif atau kesempatan menyusui dan fasilitasnya.

Namun upaya ini belum diikuti Peraturan Bupati/Walikota untuk pelaksanaan di daerah.

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018

Gambar 1.3. Status Gizi Balita dan Baduta Di Provinsi Jawa Tengah

Sementara itu prevalensi stunting anak di bawah 2 tahun (0-23 bulan) pada tahun 2015 sebesar 18,8% dan menurun pada 2017 menjadi 18,4%. Akan tetapi untuk usia balita (0-59 bulan) meningkat sebesar 3,7% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018)

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah

Gambar 1.4. Prevalensi Stunting Baduta Baduta Di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah

(17)

6 Terdapat 14 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi stunting diatas rata- rata provinsi yaitu Kabupaten Grobogan, Magelang, Blora, Pekalongan, Tegal, Wonosobo, Rembang, Pati, Kota Pekalongan, Kabupaten Kebumen, Batang, Pemalang, Banjarnegara, dan Temanggung. Sementara itu Kota Semarang, Kabupaten Semarang. Kota Surakarta, dan Kabupaten Karanganyar memiliki prevalensi terendah.

Beberapa penyebab stunting yang sudah teridentifikasi adalah: minimnya pengetahuan tentang pola pangan beragam, bergizi, berimbang sehat, dan aman, pola asuh orang tua, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, risiko akibat pernikahan anak, serta kurangnya ketersediaan akses air minum layak, air bersih, dan sanitasi. Faktor-faktor tersebut dapat dipilah menjadi aspek kesehatan yang disebut sebagai faktor spesifik dan non kesehatan yang disebut sensitif.

Sekitar tahun 1986 dikembangkan program pengukuran Tinggi Badan Anak Baru masuk seokolah. Program ini dapat menjadi indikator adanya kasus stunting saat itu. Namun demikian sebagian besar kasus stunting yang diketahui saat anak masuk SD, yang dapat diidentifikasikan sudah sangat terlambat, karena penanganan seharusnya dilakukan mulai 1.000 hari pertama kehidupan anak yang dimulai dari masa kehamilan.

Sesuai dengan ilmu kesehatan, anak stunting seharusnya dicegah tidak lebih dari 2 tahun, karena masa maksimal pertumbuhan adalah 0-2 tahun, jika lebih dari 2 tahun sudah sulit ditangani. Hal ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat terhadap kualitas sumberdaya manusia, terutama dari masa awal kehidupan masih belum tinggi. Oleh sebab itu, di dalam pendataan stunting bisa menggunakan data riskesdas, dimana ada pemantauan status gizi. Sampai tahun 2017 sudah ada data per kabupaten/kota, selain itu ada juga beberapa kabupaten/kota yang memiliki kegiatan pengukuran setahun sekali.

Menurut beberapa hasil penelitian kajian multilevel, status gizi balita dipengaruhi oleh 60% faktor non kesehatan atau sensitif dan hanya 40% dari faktor kesehatan atau spesifik (Poedji Hastoety SP, 2010). Bahkan beberapa hasil penelitian lain menyebutkan penagruh faktor non kesehatan mencapai 70%.

Selanjutnya, disebutkan juga peran provinsi terhadap stunting sebesar 51,9%,

(18)

7 rumah tangga sebesar 13,2% dan individu 34,9% (Sihadi, 2011). Faktor sensitif, pada konteks sosial ekonomi juga disebutkan sebagai faktor yang paling berhubungan dengan status gizi bermasalah, underweight, wasting dan stunting (Fuada N, 2011).

Beberapa hal yang perlu dilakukan di dalam mengurangi prevalensi stunting adalah asupan gizi yang cukup dan seimbang, ASI Ekslusif, serta pola asuh yang baik. Selain itu perlu diperhatikan bagaimana kesehatan calon ibu dan ibu hamil.

Program-program seperti pemberian tambahan zat besi bagi remaja putri, pengawasan ibu hamil, pemberian makanan tambahan, serta perawatan telah dilakukan. Akan tetapi prevalensi stunting yang masih tinggi di beberapa daerah perlu mendapatkan perhatian.

Berdasarkan penjelasan di atas, gizi buruk dan stunting menjadi salahsatu masalah Jawa Tengah, yang sekaligus menjadi salahsatu tujuan dalam SDGs.

Faktor-faktor resiko gizi buruk dan stunting tersebut sebenarnya telah teridentifikasi, serta beberapa kebijakan dan program telah dikeluarkan baik oleh pusat, pemerintah provinsi, maupun kabupaten/kota. Upaya pemerintah telah dilakukan dengan berbagai regulasi dan kebijakan mulai Peraturan Menteri Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan, Peraturan Gubernur dan beberapa daerah dengan Peraturan Bupati. Namun demikian, Jawa Tengah masih menghadapi masalah gizi buruk dan stunting ini. Oleh sebab itu, bagaimana meningkatkan efektifitas program dan kebijakan menjadi salahsatu kebutuhan pembangunan di Jawa Tengah.

Dalam upaya meningkatkan percepatan pencapaian target sasaran yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2018-2023 dan Rencana Strategis (renstra) tahun 2019-2020 serta untuk menjaga kesinambungan perencanaan pembangunan kesehatan yang sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, telah diupayakan melibatkan kerjasama serta komitmen dari seluruh stakeholders, masyarakat termasuk swasta. Pembangunan kesehatan merupakan perwujudan sehat sebagai hak azasi rakyat dan merupakan investasi bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu semua pelaku pembangunan harus memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan status

(19)

8 kesehatan masyarakat. Masalah kesehatan masih banyak yang memerlukan perhatian dalam penanganannya, antara lain tingginya angka kematian ibu dan bayi, gizi buruk, tingginya angka kesakitan/kematian penyakit menular tertentu serta sanitasi yang kurang mendukung kesehatan terutama lingkungan yang merupakan faktor resiko timbulnya masalah kesehatan.

Masalah kesehatan tidak dapat diatasi secara parsial oleh Program KIA saja atau program pengendalian penyakit menular atau program pemberdayaan masyarakat saja. Sinkronisasi program harus lebih ditingkatkan lagi dalam penanganan masalah kesehatan. Di samping itu, masalah kesehatan bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja. Masyarakat harus ikut berperan aktif dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan lingkungannya.

Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak semata-mata ditentukan oleh perencanaan tingkat daerah, tetapi juga dipengaruhi oleh hasil perencanaan di daerah. Keberhasilan pembangunan kesehatan juga ditentukan oleh kesinambungan, integrasi dan sinergi antar upaya program dan sektor-sektor terkait lainnya dan upaya-upaya yang telah dilaksanakan periode sebelumnya.

Untuk tercapainya target prioritas pembangunan kesehatan dan optimalisasi hasil perencanaan dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan maka diperlukan regulasi.

Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan dan regulasi penting diantaranya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/Menkes/PER/VII/2008 tentang standard pelayanan minimal Bidang Kesehatan di kabupaten/kota termasuk pengaturan mekanisme perencanaan dan penganggran bidang kesehatan yaitu Permenkes Nomor 7 tahun 2014. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 375/MENKES/SK/2009 tentang RPJP Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025 dan Kepmenkes Nomor HK02.02/MENKES/52120 2015 tentang Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019. Terakhir, diterbitkannya Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 34 Tahun 2019 tentang Percepatan Pencegahan Stunting di Provinsi Jawa Tengah dengan Pelaksanaan 8 (delapan) aksi konvergensi percepatan pencegahan stunting: 1) Analisis situasi program openurunan stunting; 2) Penyusunan Rencana Kegiatan; 3) Rembug stunting; 4) Penyusunan Peraturan Bupati/

(20)

9 Walikota; 5) Pembinaan Kader pembangunan manusia; 6) Sistem Manajemen data stunting; 7) Pengukuran dan publikasi stunting; dan 8) Review Kinerja Tahunan.

Diharapkan upaya tesebut dapat memberikan kontribusi dalam penanganan stunting dan telah dilakukan berbagai intervensi yang terbagi dalam kerangka intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Outcome dari kerangka intervensi adalah tercapainya penurunan anemia, berat badan lahir rendah (BBLR) dan peningkatan pemberian ASI eksklusif pada sasaran ibu hamil, remaja putri, dan ibu menyusui. Sedangkan pada sasaran baduta adalah tercapainya penurunan kejadian diare, gizi buruk, dan angka kecacingan.

Intervensi gizi spesifik berkontribusi pada 30 persen penurunan stunting, ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Sasarannya adalah pertama, calon ibu/ibu hamil, yang meliputi pemberian makanan tambahan (PMT) untuk mengatasi KEP, kekurangan zat gizi besi, asam folat dan iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil dan melindungi ibu hamil dari malaria.

Kedua, adalah ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan, intervensinya meliputi kegiatan yang mendorong inisiasi menyusui dini untuk mendorong pemberian kolostrum dan ASI eksklusif. Ketiga, ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan, intervensinya meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian ASI hingga anak usia 23 bulan. Bayi berusia diatas 6 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, suplementasi zink, fortifikasi zat besi kedalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

Intervensi gizi sensitif berkontribusi pada 70% penurunan stunting, melibatkan sektor- sektor di luar kesehatan. Kegiatannya meliputi penyediaan dan akses terhadap air bersih dan sanitasi, fortifikasi bahan pangan, menyediakan akses pelayanan kesehatan dan KB, menyediakan jaminan kesehatan nasional, jaminan persalinan universal, pendidikan pengasuhan kepada orang tua, pendidikan anak usia dini universal, pendidikan gizi masyarakat, edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja, memberikan bantuan dan jaminan sosial keluarga miskin, serta meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

(21)

10 Sebuah penelitian observasional pada program intervensi multisektor untuk akselerasi penurunan stunting di 9 negara Afrika sub-Sahara menunjukkan intervensi multisektor memilki potensi untuk menurunkan angka stunting. Selama satu tahun pelaksanaan program mampu meningkatkan ketahanan dan keragaman konsumsi pangan. Kondisi ini mampu menurunkan 43% angka stunting dibanding angka awal pada anak bawah dua tahun (baduta) di tahun ketiga program berjalan.

Pendekatan multisektor juga telah berhasil menurunkan angka stunting di Peru, Bolivia, dan India.

Pemerintah melalui Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai Wakil Presiden RI pada tahun 2017 mencanangkan program percepatan penanggulangan stunting. Rencana aksi nasional yang disusun melibatkan berbagai sektor dari tingkat Pusat hingga Daerah. Program ini diharapkan mampu mengintegrasikan seluruh program baik gizi spesifik maupun sensitif yang dilakukan oleh berbagai sektor pemangku kebijakan.

Terdapat lima pilar penting dalam penanganan masalah stunting, salah satunya adalah monitoring dan evaluasi program. Sejauhmana kebijakan program percepatan penurunan stunting di kabupaten prioritas telah diimplementasikan oleh daerah sampai di level desa, bagaimana integrasi program antar lembaga serta monitoring dan evaluasinya, perlu dilakukan penelitian. Penelitian terkait dengan bagaimana kebijakan dan implementasinya dilakukan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota diperlukan karena Jawa Tengah sebagai salahsatu wilayah pertumbuhan di Indonesia masih mengalami kasus gizi buruk dan stunting. Setidaknya 10 kabupaten/kota mendapatkan status prioritas dari Kementerian Kesehatan. Kemudian yang diperlukan adalah analisis bagaimana program penanganan gizi buruk dan stunting dilaksanakan, efektifitasnya, serta langka-langkah perbaikan apa yang diperlukan.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Kebijakan Penanganan gizi buruk dan stunting di Jawa Tengah atau Program percepatan penanggulangan stunting telah dilakukan dengan berbagai intervensi yang terbagi dalam intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.

(22)

11 Berdasarkan penjelasan terdahulu, maka persoalan yang perlu diteliti adalah apakah pola kebijakan dan intervensi porgram yang telah dijalankan oleh peemrintah kabupaten/kota dalam rangka penanganan gizi buruk dan stunting sudah tepat sasaran, sejauhmana kebijakan program tersebut telah dilaksanakan sampai ke level desa serta pengaruhnya terhadap penurunan gizi buruk dan stunting. Serta bagaimanakah konsep intervensi yang ideal untuk Jawa Tengah di kemudian hari. Berdasarkan permasalahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian terhadap bagaimana implementasi, integrasi multisektor, efektifitas program, serta kesesuaian antara kebijakan dan implementasinya.

Sesuai dengan pokok permasalahan tersebut, maka pertanyaan penelitian yang hendak dijawab adalah:

1. Bagaimana implementasi kebijakan dan program pemerintah daerah kabupaten/kota dalam rangka penanganan gizi buruk dan stunting di Jawa Tengah?

2. Apakah implementasi kebijakan dan program penanganan gizi buruk dan stunting di Jawa Tengah sudah terintegrasi?

3. Bagaimana pola intervensi penanganan gizi buruk dan stunting yang ideal di Jawa Tengah?

1.3. TUJUAN 1. Tujuan umum

Diperoleh informasi implementasi kebijakan program penurunan stunting di daerah prioritas (lokus stunting) di Jawa Tengah.

2. Tujuan khusus

a. Mendeskripsikan implementasi kebijakan dan program pemerintah daerah kabupaten/kota dalam rangka penanganan gizi buruk dan stunting di Jawa Tengah

b. Mengdentifikasi integrasi implementasi kebijakan dan program penanganan gizi buruk dan stunting di Jawa Tengah

c. Menganalisis pola intervensi penanganan gizi buruk dan stunting yang dibutuhkan di Jawa Tengah

(23)

12 1.4. MANFAAT

1. Penentu Kebijakan

Sebagai bahan masukan para pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan terkait program penanggulangan gizi buruk dan stunting Jawa Tengah.

2. Masyarakat

Sebagai informasi kepada pengambil kebijakan dan elemen masyarakat terkait tentang pentingnya melakukan upaya pencegahan gizi buruk dan stunting.

(24)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. GIZI BURUK

Gizi buruk terjadi ketika seorang anak berat badannya kurang dari normal, dimana menurut WHO terjadi karena kurangnya konsumsi makanan mengandung energi dan protein. Kurang gizi rentan terjadi pada masa anak-anak. Kurang gizi pada masa anak-anak ini bersifat ireversible (tidak dapat pulih), karena dapat mempengaruhi perkembangan otak anak (Sholikah, dkk, 2017). Berdasarkan penelitian Sholikah, dkk (2017) ditemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi buruk adalah faktor penyakit infeksi.

Menurut Erna & Rahardjo (2012), gizi kurang dan gizi buruk merupakan penyebab kematian sekitar 55% anak di bawah usia lima tahun (balita) di seluruh dunia. Hal tersbeut berhubungan dengaan dengan diare, infeksi saluran pernapasan, campak, dan malaria, yang secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak terakses pelayanan kesehatan, kekurangan vitamin A dan zink selama dalam kandungan (Erna & Rahardjo, 2012). Hasil penelitian Erna &

Rahardjo (2012) juga menunjukkan bahwa ada pengaruh antara pemanfaatan pelayanan, penyakit infeksi, pola asuh makan, pendapatan keluarga, pengetahuan, dan pekerjaan ibu terhadap status gizi buruk pada anak 6-24 bulan.

2.2. STUNTING

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan rata-rata anak seusianya. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak sesuai ketentuan WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.

(25)

14 Stunting menjadi salah satu isu gizi dunia, terutama di negara-negara miskin dan berkembang. Stunting merupakan kegagalan pertumbuhan, berhubungan dengan risiko terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan otak suboptimal sehingga perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya pertumbuhan mental (Mitra, 2015). Kondisi ini terjadi akibat akumulasi ketidak kecukupan nutrisi mulai masa kehamilan sampai usia 24 bulan. Mugianti, dkk (2018) menyatakan bahwa stunting atau balita pendek adalah balita dengan masalah gizi kronik, berdasarkan panjang atau tinggi lebih rendah dibandingkan WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study), yaitu nilai z-score kurang dari -2SD.

Proses stunting terjadi mulai dalam kandungan, yang akan nampak setelah 2 tahun yang akan mempengaruhi fisik dan fungsional tubuh (Mugianti dkk, 2018).

Stunting terjadi karena manifestasi kekurangan nutrisi jangka panjang, kualitas nutrisi rendah, penyakit infeksi berulang, dan lingkungan. Ditemukan bahwa ada hubungan bermakna antara tingkat asupan energi, rerata durasi sakit, berat badan lahir, tingkat pendidikan ibu, dan tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang. Faktor tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan paling dominan (Setiawan, dkk, 2015). Sedangkan menurut Ni’mah &

Nadhiroh (2015) bahwa panjang badan lahir, riwayat ASI Eksklusif, pendapatan keluarga, pendidikan ibu, dan pengetahuan gizi ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Oleh karena itu perlu adanya program yang terintegrasi dan multisektoral untuk meningkatkan pendapatan keluarga, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, dan pemberian ASI eksklusif untuk menanggulangi kejadian stunting pada balita (Ni’mah & Nadhiroh 2015).

Adapun menurut Salimar dkk (2013) bahwa besar keluarga, pekerjaan Kepala Keluarga, pendidikan ibu, dan pendidikan Kepala Keluarga merupakan faktor resiko stunting.

2.3. PENYEBAB STUNTING

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami ibu hamil maupun anak balita intervensi yang

(26)

15 paling menentukan untuk mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Praktik pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) secara eksklusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) diberikan mulai diperkenalkan ketika balita berusia 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MP-ASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.

2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan-Ante natal care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post natal care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tinkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di tahun 2007 menjadi 64% di tahun 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun yang terdaftar di layanan PUD/Pendidikan anak usia dini).

3. Masih kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih. Beberapa

(27)

16 penyebab yang dijelaskan diatas, telah berkontribusi pada masih tingginya prevalensi gizi buruk dan stunting di Indonesia dan oleh karenanya diperlukan rencana intervensi yang komprehensif untuk dapat mengurangi prevalensi gizi buruk dan stunting di Indonesia.

2.4. KERANGKA INTERVENSI STUNTING DI INDONESIA

Pada tahun 2010, gerakan global yang dikenal dengan scaling-up Nutrition (SUN) diluncurkan dengan prinsip dasar bahwa semua penduduk berhak untuk memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi. Pada tahun 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui perancangan dua kerangka besar Intervensi stunting. Kerangka Intervensi Stunting tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai macam program yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait.

Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesfik dan Intervensi Gizi Sensitif.

Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek.

Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk melaksanakan Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita.

1. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran ibu hamil. Intervensi ini antara lain: Pemberian makanan tambahan/PMT untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis; Pemberian tablet tambah darah/

TTD untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat; Pemberian suplementasi kalsium; penyediaan garam beryodium untuk mengatasi kekurangan iodium; Pemeriksaan kehamilan secara teratur; Perlindungan ibu hamil dari malaria, kecacingan dan penularan infeksi HIV.

(28)

17 2. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan meliputi: Promosi dan konseling menyusui, termasuk mendorong inisiasi menyusui dini (IMD) dan pemberian ASI ekslusif sampai anak berusia 6 bulan; Promosi dan Konseling pemberian makanan tambahan (PMT) bayi dan anak; Penatalaksanaan anak gizi buruk; Pemberian makanan tambahan pemulihan bagi anak kurus; Pemantauan dan promosi pertumbuhan anak; Pemberian suplementasi kapsul vitamin A dan taburia; Pemberian imunisasi lengkap; Pemberian suplementasi zink untuk pengobatan diare; Penerapan pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS); dan Pencegahan dan pengobatan kecacingan;

Kunjungan nifas dan neonatal sesuai standar.

3. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan, intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian setelah bayi berusia diatas 6 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan suplementasi zink. Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

Kerangka intervensi stunting yang direncanakan oleh Pemerintah yang kedua adalah Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi sensitif adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Gizi Sensitif dapat dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang umunya makro dan dilakukan secara lintas Kementerian dan Lembaga.

Kegiatan yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting melalui intervensi Gizi Spesifik sebagai berikut:

(29)

18 1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih dan sanitasi 2. Melakukan fortifikasi bahan pangan

3. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan keluarga berencana (KB).

4. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

5. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

6. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.

7. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.

8. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.

9. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja.

10. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.

11. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

12. Posyandu.

Implementasi program ini lebih fokus kepada aspek sensitif (lingkungan sosial), dengan beberapa indikator sebagai berikut: 1) Peningkatan akses pangan bergizi; 2) Peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; 3) Peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; dan 4) Peningkatan penyediaan air bersih dan sarana sanitasi; 5) pola asuh; 6) asupan gizi; 7) bentuk intervensi; 8) layanan kesehatan; 9) komitmen pemerintah,dan keterlibatan lintas sektor dalam penanggulangan stunting.

(30)

19 2.5. KERANGKA TEORI

(Sumber: WB 2011 diadaptasi dari Unicef, 1990 dan Ruel, 2008) Gambar 2.1.

Kerangka teori penanggulangan stunting

2.6. KERANGKA KONSEP

Gambar 2.2.

Kerangka konsep Kebijakan

(31)

20

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. JENIS DAN PENDEKATAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Menurut Suharsini Arikunto (2002:30), penelitian deskriptif dilakukan untuk mengetahui keadaan sesuatu mengenai apa dan bagaimana, berapa banyak, sejauh mana dan sebagainya.

Penelitian ini bersifat deskriptif karena bermaksud membuat pemeriaan (penyandaraan) secara sistimatis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu (Usman Husaini, 2009).

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah mixed method, yaitu kombinasi penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif. Menurut Bungin (2008:6) penelitian kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritis ilmiah yaitu seorang peneliti memulai berpikir induktif, menangkap berbagai fakta dan fenomena-fenomena sosial melalui pengamatan lapangan, kemudian menganalisis dan melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah (lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti merupakan instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Afifuddin, dkk, 2009). Menurut Sugiyono (2009: 7-9), metode penelitian kualitatif adalah penelitian dimana data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif, sedangkan penelitian kuantitaif adalah penelitian yang data dan analisisnya bersifat kuantitatif.

Tipe penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus yang digali adalah entitas tunggal atau fenomena (kasus) dari suatu masa tertentu dan aktivitas (bisa berupa program) kejadian, proses, institusi atau kelompok sosial), serta mengumpulkan detail informasi dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama kasus itu terjadi. Dalam penelitian studi kasus terdapat dua pendapat yang dapat dipergunakan untuk memahami kasus sebagai masalah yang penting untuk diteliti. Pertama, kasus sebagai kejadian tunggal yang berpisah atau berbeda

(32)

21 secara diskriminatif dengan tingkah laku dan tradisi pada umumnya, sehingga kasus tersebut dipandang sebagai penyimpangan atau deviasi sosial. Kedua, kasus yang merupakan tradisi normatif yang bukan sekedar gejala melainkan sebagai trade mark dari keadaan masyarakat tertentu yang dikategorikan sebagai kebu dayaan (Afifuddin, dkk, 2009).

3.2. RUANG LINGKUP 3.2.1. Fokus

Fokus penelitian ini ialah mengkaji secara substansial faktor gizi buruk dan stunting meliputi kondisi ekonomi, pola asuh, asupan gizi, bentuk intervensi, layanan kesehatan, komitmen pemerintah, akses kesehatan, peran puskesmas, logistik, tenaga kesehatan, program kesehatan, dan keterlibatan lintas sektor dalam penanggulangan gizi buruk dan stunting. Faktor tersebut terbagi ke dalam 2 (dua) ranah yaitu gizi spesifik dan gizi sensitif. Selanjutnya penelitian ini fokus pada kebijakan dan program intervensi meliputi kedua jenis tersebut, yaitu:

1. Intervensi Gizi Spesifik

a. Pemberian Makanan Tambahan untuk mengatasi Kekurangan Eenegri Kronis pada ibu hamil

b. Tablet Tambah Darah untuk anemia ibu hamil c. Konsumsi Garam Beriodium

d. ASI Ekslusif (6 bulan)

e. Pemberian ASI sampai usia 2 tahun didampingi dengan Makanan Pendamping ASI adekuat

f. Imunisasi

g. Suplementasi Zink.

h. Fortifikasi zat besi ke dalam makanan.

i. Obat Cacing j. Vitamin A

k. Tata Laksana Gizi Buruk l. Penanggulangan Malaria

m. Pencegahan dan Pengobatan diare

(33)

22 n. Cuci tangan dengan benar

2. Intervensi Gizi Sensitif a. Air Bersih dan Sanitasi.

b. Fortifikasi-Ketahanan Pangan.

c. Akses kepada Layanan Kesehatan dan KB d. JKN, Jampersal, Jamsos lain

e. Pendidikan Pola Asuh Ortu.

f. PAUD HI- SDIDTK

g. Pendidikan Gizi Masyarakat.

h. Edukasi Kesehatan Seksual dan i. Reproduksi, serta Gizi pada Remaja.

j. Program Padat Karya Tunai

3.2.2. Lokus

Spasial yaitu Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Tegal yang termasuk lima kabupaten dengan gizi buruk dan stunting tinggi. Sebagai pembanding wilayah dengan gizi dan stunting rendah yaitu Kota Surakarta tidak tercatat adanya kasus gizi buruk dan stunting pada tahun 2018.

3.3. POPULASI DAN INFORMAN KUNCI (RESPONDEN) PENELITIAN 1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh tenaga kesehatan tingkat Kabupaten, Puskesmas, Posyandu, Kader dan Penerima program di lokasi penelitian.

2. Responden Penelitian

Responden penelitian ini ditentukan secara purposive yaitu berasal dari tenaga Petugas Kesehatan (dinas Kesehatan) Kabupaten/Kota, Petugas Puskesmas, Petugas posyandu, Kader desa, Bidan Desa, pejabat BAPPEDA, Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Tegal, dan Kota Surakarta.

(34)

23 3.4. JENIS DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

1. Jenis Data

a. Data Primer, diperoleh melalui wawancara mendalam dengan informan terpilih, yaitu: Petugas Dinas Kesehatan, Petugas BAPPEDA, Petugas Puskesmas, Kader Kesehatan dan bidan.

b. Data Sekunder, diperoleh dari buku-buku, laporan, dokumen- dokumen, jurnal, koran, majalah, dan internet.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian kualitatif dikumpulkan secara langsung dari alam nyata, seperti apa adanya, di mana masyarakat berperilaku setiap harinya.

Untuk itu sedapat mungkin peneliti berusaha membuat dirinya bersatu dengan obyek penelitiannya. Dengan kata lain berusaha untuk melakukan penghayatan terhadap masyarakat yang diteliti yaitu masyarakat di lokasi penelitian. Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif maka teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara ini mempunyai sifat open ended atau berujung terbuka, yaitu jawabannya tidak terbatas hanya pada satu tanggapan, sehingga peneliti dapat bertanya kepada responden utama tidak hanya tentang hakekat suatu peristiwa, tetapi juga pendapatnya tentang peristiwa itu. Juga kadang-kadang peneliti meminta kepada responden supaya mengemukakan pengertiannya sendiri tentang suatu peristiwa, yang kemudian dapat dipakai sebagai batu loncatan untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut. Dalam pelaksanaan penelitian ternyata apabila banyak responden yang mematuhi keinginan peneliti maka responden itu telah berperan sebagai informan. Disamping wawancara dilakukan FGD untuk menjaring informasi para pengambil kebijakan terkait gizi buruk dan stunting di wilayah tersebut. Dengan dmeikian, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dapat disederhanakan menjadi:

a. Wawancara. Wawancara dilakukan secara mendalam dengan informan yang meliputi: Petugas Kesehatan dari Kabupaten Brebes,

(35)

24 Kabupaten Cilacap, Kabupaten Tegal, dan Kota Surakarta sebagai salah satu wilayah yang memiliki prevalensi stunting rendah.

b. FGD dengan para pengambil kebijakan melibatkan Bappeda, Dinas Kesehatan, angota DPRD, Kecamatan, dan Puskesmas, Bidan, Polindes, dan Kader Desa.

c. Dokumentasi; dilakukan dengan cara mengumpulkan data tertulis, terutama yang berupa arsip-arsip, dukomen resmi, buku-buku, maupun data statistik yang berhubungan dengan penelitian.

3.5. TEKNIK PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA

Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan Triangulasi. Triangulasi, adalah upaya memeriksa validitas data dengan memanfaatkan hal lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding.

Triangulasi dapat dilakukan atas dasar sumber data, teknik pengambilan data, waktu, dan teori. Dalam penelitian ini trianggulasi akan dilakukan atas dasar sumber data yaitu dengan memeriksa kembali data yang telah diperoleh pada kesempatan lain, membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara, dan membandingkan data hasil wawancara dengan dokumen yang terkait, serta membandingkan data dari narasumber tertentu dengan nara sumber lain (Moleong, 2000: 178).

3.6. ANALISIS DATA

Analisis data ialah kegiatan mengategorikan data untuk mendapatkan pola hubungan, tema, menaksirkan apa yang bermakna, serta menyampaikan atau melaporkannya kepada orang lain yang berminat. Ada beberapa cara untuk menganalisis data dengan model penelitian kualitatif versi Miles dan Huberman, analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi:

1. Reduksi data, reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi dilakukan

(36)

25 sejak pengumpulan data, dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, menulis memo, dan lain sebagainya, dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengategorisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data yang terkumpul dapat diverifikasi.

2. Display data (penyajian data), adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajian juga dapat berbentuk matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah dipahami oleh para pengambil kebijakan untuk membuat perencanaan, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait dengan layanan kesehatan utamanya gizi buruk dan stunting.

3. Verifikasi data (Penarikan kesimpulan), merupakan kegiatan di akhir penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh subyek tempat penelitian itu dilaksanakan. Makna yang dirumuskan peneliti dari data harus diuji kebenaran, kecocokan, dan kekokohannya. Peneliti harus menyadari bahwa dalam mencari makna, ia harus mengunakan pendekatan emik, yaitu dari kacamata key informan, dan bukan penafsiran makna menurut pengamatan serta pandangan peneliti yang terjadi dilapangan didalam kesimpulan (Usman Husaini, 2009).

Selain itu untuk analsisis kuantitatif digunakan SWOT yaitu metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam sutau program.

(37)

26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. IDENTIFIKASI KEBIJAKAN 4.1.1. Kebijakan Global dan Nasional

Upaya percepatan perbaikan gizi ‘scaling up nutrition’ (SUN) ditetapkan tahun 2013 oleh PBB melalui World Health Assembly, antara lain: menurunkan prevalensi stunting, wasting dan dan mencegah terjadinya overweight pada balita, menurunkan prevalensi anemia pada wanita usia subur, menurunkan prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR), meningkatkan cakupan ASI eksklusif. Indonesia menindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Selanjutnya melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 disusun target penurunan prevalensi stunting menjadi 28% pada tahun 2019. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi stunting menunjukkan angka 30,8%. Di tahun 2019 berdasarkan Survei Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) yang dilaksanakan terintegrasi dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) angka tersebut turun 3.1%

menjadi 27,67%. Namun angka ini masih dibawah target WHO, yaitu di bawah 20%.

Berbagai kebijakan dan program yang lama maupun baru disusun untuk mendukung penyelesaian masalah. Sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) tahun 2015-2030, yaitu tujuan nomor 2 berupa “Tanpa Kelaparan”; menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan. Berbagai kebijakan dan program telah dikeluarkan dalam mencapai tujuan ini. Kebijakan ini juga telah diimplementasikan baik ditingkat Pusat, dapat dilihat pada Tabel 4.1.

(38)

27 Tabel 4.1.

Kebijakan Peraturan Perundangan Tingkat Pusat yang mendukung Penanganan Gizi Buruk Dan Stunting PERATURAN

PERUNDANGAN URAIAN

1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025

Pembangunan pangan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya.

2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Arah perbaikan gizi adalah meningkatnya mutu gizi perorangan dan masyarakat melalui, perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan; peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.

3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Kebijakan di bidang pangan untuk perbaikan status gizi masyarakat. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi setiap 5 (lima) tahun.

4 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif

Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk: a. menjamin pemenuhan hak Bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya; b.

memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya; dan c. meningkatkan peran dan dukungan Keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap pemberian ASI Eksklusif.

5 Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi

Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi adalah upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada seribu hari pertama kehidupan.

Tujuan: a. meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan gizi masyarakat;

b. meningkatkan kemampuan pengelolaan program gizi, khususnya koordinasi antar sektor untuk mempercepat sasaran perbaikan gizi;

dan c. memperkuat implementasi konsep program gizi yang bersifat langsung dan tidak langsung.

Dalam rangka pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dibentuk Gugus Tugas Gerakan Nasional Percepatan

Perbaikan Gizi berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden

6 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

7 Peraturan Pemerintah Nomor 166 Tahun 2014tentang Program Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan

Penanggulangan Kemiskinan adalah kebijakan dan program pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat.

Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, serta masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.

(39)

28

PERATURAN

PERUNDANGAN URAIAN

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan merupakan tim lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di tingkat pusat untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pemerintah menetapkan program perlindungan sosial untuk percepatan penanggulangan kemiskinan,, meliputi : a. Program Simpanan Keluarga Sejahtera; b. Program Indonesia Pintar; c.

Program Indonesia Sehat.

8 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal

Ketentuan mengenai Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh setiap Warga Negara secara minimal.

Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar terdiri atas: a. Pendidikan; b. Kesehatan; c. Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; d. Perumahan Rakyat dan Kawasan

permukiman; e. Ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarkat, dan f. Sosial

9 Perpres No. 83 tahun 2017 tentang KSRANPG

Rencana Aksi Nasional TPB 2017-2019

10 Inpres No. 1 tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat

 Menteri Kesehatan : Meningkatkan pendidikan mengenai gizi seimbang dan pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif

 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: Meningkatkan pendidikan keluarga untuk hidup sehat.

 Menteri Agama: Melaksanakan bimbingan kesehatan pranikah untuk mendorong perilaku hidup sehat dan peningkatan status gizi calon pengantin

 Menteri Pertanian: 1. Meningkatkan produksi buah dan sayur dalam negeri; 2. Mengawasi keamanan dan mutu pangan

 Menteri Kelautan dan Perikanan: 1. Meningkatkan dan memperluas pelaksanaan Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan); 2. Mengawasi mutu dan keamanan hasil perikanan

 Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat:

Memfasilitasi penyediaan air bersih dan sanitasi dasar pada fasilitas umum

 Menteri Ketenagakerjaan: Mendorong dan memfasilitasi perusahaan untuk menyediakan sarana ruang menyusui

 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: Mendorong instansi pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan sarana ruang menyusui

11 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15/2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.

Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum harus mendukung program ASI Eksklusif melalui: a. penyediaan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI; b.

pemberian kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di Tempat Kerja; c. pembuatan peraturan internal yang mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif; dan d. penyediaan Tenaga Terlatih Pemberian ASI.

12 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis

Masyarakat (STBM)

Pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan bertujuan untuk mewujudkan perilaku masyarakat yang higienis dan saniter secara mandiri dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Gambar

Gambar 1.3. Status Gizi Balita dan Baduta   Di Provinsi Jawa Tengah

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi dan peran para pemangku kepentigan yaitu Instasi pemerintah, Swasta dan Masyrakat yang di kategorikan sebagai kelompok

Karena itu, sejak awal dekade 1980an, telah muncul berbagai upaya sistematis untuk mengembangkan institusi pendidikan tinggi dalam bidang ekonomi dan keuangan Islam, yang

Hiasan tersebut antara lain membentuk ambang pintu utama, membentuk jendela semu yang berada di kiri dan kanan pintu utama, membentuk ceruk tempat patung Bunda Maria

PENERAPAN METODE DEMONSTRASI UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA KELAS I SD.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Berdasarkan RPS (Rencana Pembelajaran Semester) atau silabus semester genap 2015/2016, Kompetensi Dasar mata kuliah ini yaitu mampu memahami dialog singkat dalam

Kedua, Kualitas Layanan dari aspek kesederhanaan pelayanan sudah cukup baik ini dibuktikan melalui keterangan dari masyarakat yang mengatakan proses pelayanan administrasi

 Ns Rizka : terima kasih ners Ipong, jadi kemarin dari hasil wawancara dari ketua RT di kecamatan Bunga Bakung di dapatkan bahwa disana ada sekelompok remaja

Dengan jumlah penduduk dan sarana kesehatan swasta yang relatif banyak pelayanan pengobatan tidak terkonsentrasi di UPT Puskesmas Garuda, hal ini terlihat dari persentase