• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.3. Tujuan

Diperoleh informasi implementasi kebijakan program penurunan stunting di daerah prioritas (lokus stunting) di Jawa Tengah.

2. Tujuan khusus

a. Mendeskripsikan implementasi kebijakan dan program pemerintah daerah kabupaten/kota dalam rangka penanganan gizi buruk dan stunting di Jawa Tengah

b. Mengdentifikasi integrasi implementasi kebijakan dan program penanganan gizi buruk dan stunting di Jawa Tengah

c. Menganalisis pola intervensi penanganan gizi buruk dan stunting yang dibutuhkan di Jawa Tengah

12 1.4. MANFAAT

1. Penentu Kebijakan

Sebagai bahan masukan para pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan terkait program penanggulangan gizi buruk dan stunting Jawa Tengah.

2. Masyarakat

Sebagai informasi kepada pengambil kebijakan dan elemen masyarakat terkait tentang pentingnya melakukan upaya pencegahan gizi buruk dan stunting.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. GIZI BURUK

Gizi buruk terjadi ketika seorang anak berat badannya kurang dari normal, dimana menurut WHO terjadi karena kurangnya konsumsi makanan mengandung energi dan protein. Kurang gizi rentan terjadi pada masa anak-anak. Kurang gizi pada masa anak-anak ini bersifat ireversible (tidak dapat pulih), karena dapat mempengaruhi perkembangan otak anak (Sholikah, dkk, 2017). Berdasarkan penelitian Sholikah, dkk (2017) ditemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi buruk adalah faktor penyakit infeksi.

Menurut Erna & Rahardjo (2012), gizi kurang dan gizi buruk merupakan penyebab kematian sekitar 55% anak di bawah usia lima tahun (balita) di seluruh dunia. Hal tersbeut berhubungan dengaan dengan diare, infeksi saluran pernapasan, campak, dan malaria, yang secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak terakses pelayanan kesehatan, kekurangan vitamin A dan zink selama dalam kandungan (Erna & Rahardjo, 2012). Hasil penelitian Erna &

Rahardjo (2012) juga menunjukkan bahwa ada pengaruh antara pemanfaatan pelayanan, penyakit infeksi, pola asuh makan, pendapatan keluarga, pengetahuan, dan pekerjaan ibu terhadap status gizi buruk pada anak 6-24 bulan.

2.2. STUNTING

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan rata-rata anak seusianya. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak sesuai ketentuan WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.

14 Stunting menjadi salah satu isu gizi dunia, terutama di negara-negara miskin dan berkembang. Stunting merupakan kegagalan pertumbuhan, berhubungan dengan risiko terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan otak suboptimal sehingga perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya pertumbuhan mental (Mitra, 2015). Kondisi ini terjadi akibat akumulasi ketidak kecukupan nutrisi mulai masa kehamilan sampai usia 24 bulan. Mugianti, dkk (2018) menyatakan bahwa stunting atau balita pendek adalah balita dengan masalah gizi kronik, berdasarkan panjang atau tinggi lebih rendah dibandingkan WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study), yaitu nilai z-score kurang dari -2SD.

Proses stunting terjadi mulai dalam kandungan, yang akan nampak setelah 2 tahun yang akan mempengaruhi fisik dan fungsional tubuh (Mugianti dkk, 2018).

Stunting terjadi karena manifestasi kekurangan nutrisi jangka panjang, kualitas nutrisi rendah, penyakit infeksi berulang, dan lingkungan. Ditemukan bahwa ada hubungan bermakna antara tingkat asupan energi, rerata durasi sakit, berat badan lahir, tingkat pendidikan ibu, dan tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang. Faktor tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan paling dominan (Setiawan, dkk, 2015). Sedangkan menurut Ni’mah &

Nadhiroh (2015) bahwa panjang badan lahir, riwayat ASI Eksklusif, pendapatan keluarga, pendidikan ibu, dan pengetahuan gizi ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Oleh karena itu perlu adanya program yang terintegrasi dan multisektoral untuk meningkatkan pendapatan keluarga, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, dan pemberian ASI eksklusif untuk menanggulangi kejadian stunting pada balita (Ni’mah & Nadhiroh 2015).

Adapun menurut Salimar dkk (2013) bahwa besar keluarga, pekerjaan Kepala Keluarga, pendidikan ibu, dan pendidikan Kepala Keluarga merupakan faktor resiko stunting.

2.3. PENYEBAB STUNTING

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami ibu hamil maupun anak balita intervensi yang

15 paling menentukan untuk mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Praktik pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) secara eksklusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) diberikan mulai diperkenalkan ketika balita berusia 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MP-ASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.

2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan-Ante natal care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post natal care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tinkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di tahun 2007 menjadi 64% di tahun 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun yang terdaftar di layanan PUD/Pendidikan anak usia dini).

3. Masih kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih. Beberapa

16 penyebab yang dijelaskan diatas, telah berkontribusi pada masih tingginya prevalensi gizi buruk dan stunting di Indonesia dan oleh karenanya diperlukan rencana intervensi yang komprehensif untuk dapat mengurangi prevalensi gizi buruk dan stunting di Indonesia.

2.4. KERANGKA INTERVENSI STUNTING DI INDONESIA

Pada tahun 2010, gerakan global yang dikenal dengan scaling-up Nutrition (SUN) diluncurkan dengan prinsip dasar bahwa semua penduduk berhak untuk memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi. Pada tahun 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui perancangan dua kerangka besar Intervensi stunting. Kerangka Intervensi Stunting tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai macam program yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait.

Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesfik dan Intervensi Gizi Sensitif.

Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek.

Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk melaksanakan Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita.

1. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran ibu hamil. Intervensi ini antara lain: Pemberian makanan tambahan/PMT untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis; Pemberian tablet tambah darah/

TTD untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat; Pemberian suplementasi kalsium; penyediaan garam beryodium untuk mengatasi kekurangan iodium; Pemeriksaan kehamilan secara teratur; Perlindungan ibu hamil dari malaria, kecacingan dan penularan infeksi HIV.

17 2. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan meliputi: Promosi dan konseling menyusui, termasuk mendorong inisiasi menyusui dini (IMD) dan pemberian ASI ekslusif sampai anak berusia 6 bulan; Promosi dan Konseling pemberian makanan tambahan (PMT) bayi dan anak; Penatalaksanaan anak gizi buruk; Pemberian makanan tambahan pemulihan bagi anak kurus; Pemantauan dan promosi pertumbuhan anak; Pemberian suplementasi kapsul vitamin A dan taburia; Pemberian imunisasi lengkap; Pemberian suplementasi zink untuk pengobatan diare; Penerapan pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS); dan Pencegahan dan pengobatan kecacingan;

Kunjungan nifas dan neonatal sesuai standar.

3. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan, intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian setelah bayi berusia diatas 6 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan suplementasi zink. Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

Kerangka intervensi stunting yang direncanakan oleh Pemerintah yang kedua adalah Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi sensitif adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Gizi Sensitif dapat dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang umunya makro dan dilakukan secara lintas Kementerian dan Lembaga.

Kegiatan yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting melalui intervensi Gizi Spesifik sebagai berikut:

18 1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih dan sanitasi 2. Melakukan fortifikasi bahan pangan

3. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan keluarga berencana (KB).

4. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

5. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

6. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.

7. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.

8. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.

9. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja.

10. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.

11. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

12. Posyandu.

Implementasi program ini lebih fokus kepada aspek sensitif (lingkungan sosial), dengan beberapa indikator sebagai berikut: 1) Peningkatan akses pangan bergizi; 2) Peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; 3) Peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; dan 4) Peningkatan penyediaan air bersih dan sarana sanitasi; 5) pola asuh; 6) asupan gizi; 7) bentuk intervensi; 8) layanan kesehatan; 9) komitmen pemerintah,dan keterlibatan lintas sektor dalam penanggulangan stunting.

19 2.5. KERANGKA TEORI

(Sumber: WB 2011 diadaptasi dari Unicef, 1990 dan Ruel, 2008) Gambar 2.1.

Kerangka teori penanggulangan stunting

2.6. KERANGKA KONSEP

Gambar 2.2.

Kerangka konsep Kebijakan

20

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. JENIS DAN PENDEKATAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Menurut Suharsini Arikunto (2002:30), penelitian deskriptif dilakukan untuk mengetahui keadaan sesuatu mengenai apa dan bagaimana, berapa banyak, sejauh mana dan sebagainya.

Penelitian ini bersifat deskriptif karena bermaksud membuat pemeriaan (penyandaraan) secara sistimatis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu (Usman Husaini, 2009).

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah mixed method, yaitu kombinasi penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif. Menurut Bungin (2008:6) penelitian kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritis ilmiah yaitu seorang peneliti memulai berpikir induktif, menangkap berbagai fakta dan fenomena-fenomena sosial melalui pengamatan lapangan, kemudian menganalisis dan melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah (lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti merupakan instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Afifuddin, dkk, 2009). Menurut Sugiyono (2009: 7-9), metode penelitian kualitatif adalah penelitian dimana data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif, sedangkan penelitian kuantitaif adalah penelitian yang data dan analisisnya bersifat kuantitatif.

Tipe penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus yang digali adalah entitas tunggal atau fenomena (kasus) dari suatu masa tertentu dan aktivitas (bisa berupa program) kejadian, proses, institusi atau kelompok sosial), serta mengumpulkan detail informasi dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama kasus itu terjadi. Dalam penelitian studi kasus terdapat dua pendapat yang dapat dipergunakan untuk memahami kasus sebagai masalah yang penting untuk diteliti. Pertama, kasus sebagai kejadian tunggal yang berpisah atau berbeda

21 secara diskriminatif dengan tingkah laku dan tradisi pada umumnya, sehingga kasus tersebut dipandang sebagai penyimpangan atau deviasi sosial. Kedua, kasus yang merupakan tradisi normatif yang bukan sekedar gejala melainkan sebagai trade mark dari keadaan masyarakat tertentu yang dikategorikan sebagai kebu dayaan (Afifuddin, dkk, 2009).

3.2. RUANG LINGKUP 3.2.1. Fokus

Fokus penelitian ini ialah mengkaji secara substansial faktor gizi buruk dan stunting meliputi kondisi ekonomi, pola asuh, asupan gizi, bentuk intervensi, layanan kesehatan, komitmen pemerintah, akses kesehatan, peran puskesmas, logistik, tenaga kesehatan, program kesehatan, dan keterlibatan lintas sektor dalam penanggulangan gizi buruk dan stunting. Faktor tersebut terbagi ke dalam 2 (dua) ranah yaitu gizi spesifik dan gizi sensitif. Selanjutnya penelitian ini fokus pada kebijakan dan program intervensi meliputi kedua jenis tersebut, yaitu:

1. Intervensi Gizi Spesifik

a. Pemberian Makanan Tambahan untuk mengatasi Kekurangan Eenegri Kronis pada ibu hamil

b. Tablet Tambah Darah untuk anemia ibu hamil c. Konsumsi Garam Beriodium

d. ASI Ekslusif (6 bulan)

e. Pemberian ASI sampai usia 2 tahun didampingi dengan Makanan Pendamping ASI adekuat

f. Imunisasi

g. Suplementasi Zink.

h. Fortifikasi zat besi ke dalam makanan.

i. Obat Cacing j. Vitamin A

k. Tata Laksana Gizi Buruk l. Penanggulangan Malaria

m. Pencegahan dan Pengobatan diare

22 n. Cuci tangan dengan benar

2. Intervensi Gizi Sensitif a. Air Bersih dan Sanitasi.

b. Fortifikasi-Ketahanan Pangan.

c. Akses kepada Layanan Kesehatan dan KB d. JKN, Jampersal, Jamsos lain

e. Pendidikan Pola Asuh Ortu.

f. PAUD HI- SDIDTK

g. Pendidikan Gizi Masyarakat.

h. Edukasi Kesehatan Seksual dan i. Reproduksi, serta Gizi pada Remaja.

j. Program Padat Karya Tunai

3.2.2. Lokus

Spasial yaitu Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Tegal yang termasuk lima kabupaten dengan gizi buruk dan stunting tinggi. Sebagai pembanding wilayah dengan gizi dan stunting rendah yaitu Kota Surakarta tidak tercatat adanya kasus gizi buruk dan stunting pada tahun 2018.

3.3. POPULASI DAN INFORMAN KUNCI (RESPONDEN) PENELITIAN 1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh tenaga kesehatan tingkat Kabupaten, Puskesmas, Posyandu, Kader dan Penerima program di lokasi penelitian.

2. Responden Penelitian

Responden penelitian ini ditentukan secara purposive yaitu berasal dari tenaga Petugas Kesehatan (dinas Kesehatan) Kabupaten/Kota, Petugas Puskesmas, Petugas posyandu, Kader desa, Bidan Desa, pejabat BAPPEDA, Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Tegal, dan Kota Surakarta.

23 3.4. JENIS DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

1. Jenis Data

a. Data Primer, diperoleh melalui wawancara mendalam dengan informan terpilih, yaitu: Petugas Dinas Kesehatan, Petugas BAPPEDA, Petugas Puskesmas, Kader Kesehatan dan bidan.

b. Data Sekunder, diperoleh dari buku-buku, laporan, dokumen-dokumen, jurnal, koran, majalah, dan internet.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian kualitatif dikumpulkan secara langsung dari alam nyata, seperti apa adanya, di mana masyarakat berperilaku setiap harinya.

Untuk itu sedapat mungkin peneliti berusaha membuat dirinya bersatu dengan obyek penelitiannya. Dengan kata lain berusaha untuk melakukan penghayatan terhadap masyarakat yang diteliti yaitu masyarakat di lokasi penelitian. Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif maka teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara ini mempunyai sifat open ended atau berujung terbuka, yaitu jawabannya tidak terbatas hanya pada satu tanggapan, sehingga peneliti dapat bertanya kepada responden utama tidak hanya tentang hakekat suatu peristiwa, tetapi juga pendapatnya tentang peristiwa itu. Juga kadang-kadang peneliti meminta kepada responden supaya mengemukakan pengertiannya sendiri tentang suatu peristiwa, yang kemudian dapat dipakai sebagai batu loncatan untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut. Dalam pelaksanaan penelitian ternyata apabila banyak responden yang mematuhi keinginan peneliti maka responden itu telah berperan sebagai informan. Disamping wawancara dilakukan FGD untuk menjaring informasi para pengambil kebijakan terkait gizi buruk dan stunting di wilayah tersebut. Dengan dmeikian, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dapat disederhanakan menjadi:

a. Wawancara. Wawancara dilakukan secara mendalam dengan informan yang meliputi: Petugas Kesehatan dari Kabupaten Brebes,

24 Kabupaten Cilacap, Kabupaten Tegal, dan Kota Surakarta sebagai salah satu wilayah yang memiliki prevalensi stunting rendah.

b. FGD dengan para pengambil kebijakan melibatkan Bappeda, Dinas Kesehatan, angota DPRD, Kecamatan, dan Puskesmas, Bidan, Polindes, dan Kader Desa.

c. Dokumentasi; dilakukan dengan cara mengumpulkan data tertulis, terutama yang berupa arsip-arsip, dukomen resmi, buku-buku, maupun data statistik yang berhubungan dengan penelitian.

3.5. TEKNIK PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA

Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan Triangulasi. Triangulasi, adalah upaya memeriksa validitas data dengan memanfaatkan hal lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding.

Triangulasi dapat dilakukan atas dasar sumber data, teknik pengambilan data, waktu, dan teori. Dalam penelitian ini trianggulasi akan dilakukan atas dasar sumber data yaitu dengan memeriksa kembali data yang telah diperoleh pada kesempatan lain, membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara, dan membandingkan data hasil wawancara dengan dokumen yang terkait, serta membandingkan data dari narasumber tertentu dengan nara sumber lain (Moleong, 2000: 178).

3.6. ANALISIS DATA

Analisis data ialah kegiatan mengategorikan data untuk mendapatkan pola hubungan, tema, menaksirkan apa yang bermakna, serta menyampaikan atau melaporkannya kepada orang lain yang berminat. Ada beberapa cara untuk menganalisis data dengan model penelitian kualitatif versi Miles dan Huberman, analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi:

1. Reduksi data, reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi dilakukan

25 sejak pengumpulan data, dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, menulis memo, dan lain sebagainya, dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengategorisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data yang terkumpul dapat diverifikasi.

2. Display data (penyajian data), adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajian juga dapat berbentuk matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah dipahami oleh para pengambil kebijakan untuk membuat perencanaan, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait dengan layanan kesehatan utamanya gizi buruk dan stunting.

3. Verifikasi data (Penarikan kesimpulan), merupakan kegiatan di akhir penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh subyek tempat penelitian itu dilaksanakan. Makna yang dirumuskan peneliti dari data harus diuji kebenaran, kecocokan, dan kekokohannya. Peneliti harus menyadari bahwa dalam mencari makna, ia harus mengunakan pendekatan emik, yaitu dari kacamata key informan, dan bukan penafsiran makna menurut pengamatan serta pandangan peneliti yang terjadi dilapangan didalam kesimpulan (Usman Husaini, 2009).

Selain itu untuk analsisis kuantitatif digunakan SWOT yaitu metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam sutau program.

26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. IDENTIFIKASI KEBIJAKAN 4.1.1. Kebijakan Global dan Nasional

Upaya percepatan perbaikan gizi ‘scaling up nutrition’ (SUN) ditetapkan tahun 2013 oleh PBB melalui World Health Assembly, antara lain: menurunkan prevalensi stunting, wasting dan dan mencegah terjadinya overweight pada balita, menurunkan prevalensi anemia pada wanita usia subur, menurunkan prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR), meningkatkan cakupan ASI eksklusif. Indonesia menindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Selanjutnya melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 disusun target penurunan prevalensi stunting menjadi 28% pada tahun 2019. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi stunting menunjukkan angka 30,8%. Di tahun 2019 berdasarkan Survei Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) yang dilaksanakan terintegrasi dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) angka tersebut turun 3.1%

menjadi 27,67%. Namun angka ini masih dibawah target WHO, yaitu di bawah 20%.

Berbagai kebijakan dan program yang lama maupun baru disusun untuk mendukung penyelesaian masalah. Sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) tahun 2015-2030, yaitu tujuan nomor 2 berupa “Tanpa Kelaparan”; menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan. Berbagai kebijakan dan program telah dikeluarkan dalam mencapai tujuan ini. Kebijakan ini juga telah diimplementasikan baik ditingkat Pusat, dapat dilihat pada Tabel 4.1.

27 Tabel 4.1.

Kebijakan Peraturan Perundangan Tingkat Pusat yang mendukung Penanganan Gizi Buruk Dan Stunting PERATURAN

PERUNDANGAN URAIAN

1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025

Pembangunan pangan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya.

2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Arah perbaikan gizi adalah meningkatnya mutu gizi perorangan dan masyarakat melalui, perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan; peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang

Arah perbaikan gizi adalah meningkatnya mutu gizi perorangan dan masyarakat melalui, perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan; peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang