• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan/ status badan pribadi (orang)

DAN HARTA PERKAWINAN ADAT

5.1. Hukum Keluarga

5.1.2. Kedudukan/ status badan pribadi (orang)

HUKUM KELUARGA

DAN HARTA PERKAWINAN ADAT

Sulastriyono

5.1. Hukum Keluarga

5.1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Keluarga

Istilah keluarga mempunyai dua arti yaitu arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit keluarga adalah gezin (bahasa Belanda)/nuclear family (bahasa Inggris) yaitu merupakan kesatuan kemasyarakatan terkecil yang organisasinya didasarkan pada perkawinan dengan anggota inti seorang laki-laki sebagai ayah dan seorang perempuan sebagai ibu dan idealnya adalah ditambah anak-anak. Adapun keluarga dalam arti luas adalah kerabat (familie) yaitu kesatuan kemasyarakatan dalam hukum adat yang anggotanya terdiri atas keluarga inti ditambah saudara dari pihak ibu dan pihak beserta keturunannya. Untuk menghindari kesalahpahaman istilah maka dalam hukum adat digunakan istilah hukum kekerabatan/ kesanaksaudaraan.

Hukum keluarga dalam arti sempit digunakan dalam hukum Perdata Barat yang mengatur hubungan hukum timbal-balik suami dengan istri, dan hubungan hukum timbal-balik antara orang tua dengan anak. Dalam hukum adat yang dimaksud hukum keluarga adalah dalam arti luas (hukum kekerabatan) karena mengatur kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya serta masalah perwalian. Untuk menghindari kesalahpahaman istilah maka dalam hukum adat digunakan istilah hukum kekekarabatan karena tidak hanya mengatur hubungan hukum secara timbal balik antara suami dengan istri dan hubungan hukum secara timbal balik antara orang tua dengan anak, tetapi juga mengatur hubungan hukum antara anak dengan kerabat/ saudara ayah dan saudara ibu.

5.1.2. Kedudukan/ status badan pribadi (orang)

Orang yang dalam bahasa Belanda, person dalam bahasa Inggris, person adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban

hukum. Dengan kata lain orang merupakan penanggung hak dan kewajiban hukum dalam hubungan pamrih. Orang dapat berupa manusia dan dapat juga badan hukum seperti: perseroan terbatas, koperasi atau yayasan. Manusia sebenarnya mendapatkan status orang, badan pribadi atau person sejak manusia lahir. Oleh karena itu, sejak bayi manusia itu mempunyai kewenangan berhak (kewenangan hukum/ berhak) tetapi belum mempunyai kewenangan bertindak (kecakapan hukum/bertindak). Manusia yang masih bayi dapat dikatakan status keorangannya belum purna atau lengkap. Kepurnaan status orang secara normaliter akan datang setelah dia matang jiwa dan raganya.

Menurut hukum adat, pada prinsipnya manusia menjadi anggota masyarakat mendapatkan status badan pribadi atau orang sebagai subjek hukum yaitu sejak saat ia lahir hidup di dunia. Dengan kata lain bahwa pada asasnya kewenangan hukum/ berhak seseorang (bevoegheid) diperoleh sejak sesorang lahir di dunia dan hidup. yang satu dengan yang lainnya. Adapun kecakapan hukum/ bertindak seseorang di dalam hukum adat dicapai secara penuh ketika sesorang dewasa dengan ciri-ciri, yakni (a) kuat gawe (sudah mampu bekerja sendiri), (b) cakap mengurus harta benda dan keperluannya sendiri dan (c) cakap melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkannya. Hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang sama sekali tidak cakap melakukan perbuatan hukum dengan orang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum (bekwaam). Hal ini karena kecakapan berindak dalam hukum adat diperoleh secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan jiwa dan raga dan mencapai kesempurnaan jika telah kawin dan berumah tangga sendiri. Menurut Hukum adat Indonesia, pada umumnya kepurnaan seseorang didasarkan kepada perkembangan jiwa dan raga (petunjuk alam) dan diperoleh secara berangsur-angsur, atau bertahap. Hal ini karena menurut hukum adat selain perkembangan jiwa dan raga juga terdapat persyaratan lain seperti harus mandiri secara sosial, telah menikah, berakal sehat, kuat gawe, dan berumah tangga sendiri. Jadi, menurut Hukum Adat kepurnaan seseorang tidak digantungkan kepada kepada keadaan dewasa dalam arti biologis melainkan kepada keadaan mandiri dalam arti sosial. Cara mencapainya-pun tidak mendadak tetapi secara gradual sesuai dengan perkembangan jiwa raganya.

Berbeda dengan kecakapan berindak yang diatur dalam KUHPerdata bahwa kecakapan bertindak seseorang diperoleh secara tiba-tiba yaitu ketika seseorang telah meerderjarig yaitu telah berusia 21 tahun tau telah menikah. Berdasarkan BW manusia mendapat kecakapan hukum/ bertindak pada saat beralihnya dari minderjarig ke meerderjarig. Peralihan tersebut secara mendadak tidak berangsur-angsur. Syarat

atau kriteria manusia dikatakan minderjarig diatur dalam pasal 330 alinea 1 KUH Perdata yaitu harus belum mencapai umur 21 tahun dan juga harus belum menikah. Berdasarkan argumentum a contrario, maka dapat ditafsirkan untuk meerderjarig kriterianya jika salah satu syarat minderjarig tidak terpenuhi, otomatis manusia tersebut termasuk kriteria meerderjarig. Menurut ketentuan KUH Perdata 330 alinea 2 seseorang yang sudah menjadi meerderjarig tidak dimungkinkan kembali menjadi minderjarig walaupun sebetulnya kedua kriteria minderjarig sudah sudah tidak terpenuhi, misalnya dalam keadaan tidak menikah (cerai).

Kriteria untuk menentukan seseorang cakap melakukan perbuatan hukum dalam hukum adat adalah kriteria sosial, sedangkan dalam KUHPerdata digunakan kriteria biologis. Kedua kriteria tersebut mempunyai keelebihan dan kekurangan. Kelebihan kriteria sosial yang dipakai hukum adat adalah lebih mendekati fakta atau kenyataan, tetapi kelemahannya adalah bersifat kasuistis sehingga pencapaian kecakapan hukum setiap orang akan berbeda satu dengan lainnya. Sedangkan kelebihan kriteria biologis yang dipakai dalam KUHPerdata yaitu ada kepastian hukum sehingga setiap orang akan memperoleh kecakapan pada saat yang sama yaitu ketika seseorang telah mencapai usia 21 tahun atau telah menikah. Namun kelemahan kriteria biologis yang dipakai dalam KUHPerdata adalah sering tidak mendekati kenyataan.

Berdasarkan pasal 47 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dinyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah menikah di bawah kekuasaan orangtuanya. Ketentuan dewasa atau sudah cukup umur pada aturan ini yang mensyaratkan minimal berumur 18 tahun terdapat perkecualian, yaitu dalam hal masalah nikah. Batasan umur kedewasaan 18 tahun sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini juga terdapat pada Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur batas umur kedewasaan yang berbeda dengan ketentuan Undang-undang Perkawinan adalah pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pada pasal tersebut dinyatakan bahwa orang yang belum cukup umur atau minderjarig adalah orang yang belum berumur 18 tahun. Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario dapat dilihat bahwa menurut ketentuan KUHP ini untuk dapat disebut orang sudah cukup umur atau dewasa adalah harus telah berusia 18 tahun.

Di samping berbagai peraturan hukum tertulis yang menentukan kedewasaan atau kecakapan bertindak berdasarkan batas umur tertentu terdapat pula peraturam hukum yang lebih mendasarkan kriteria yang mirip dengan hukum adat, yaitu ketentuan hukum Islam. Oleh karena menurut hukum Islam dalam mencapai kecakapan bertindak yang sempurna, manusia harus melalui beberapa masa, yaitu masa

kanak-kanak, masa tamyiz dan masa baligh. Dengan melihat penahapan dalam mencapai kesempurnaan status orang tersebut maka Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa menurut Islam akal sangat menentukan sempurna atau tidaknya status orang.