• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rosa Agustina

3.6. Perjanjian perkawinan

Pengaturan perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diatur dalam pasal 29, dimana disebutkan perjanjian yang dibuat tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Mengenai isi dari perjanjian perkawinan, tidak diatur dalam undang-undang ini . Untuk membuat sebuah perjanjian perkawinan, berapakah batas usia minimum yang harus dipenuhi oleh para pihak?

Batas usia dewasa berdasarkan pasal 330 KUHPerdata adalah 21 tahun dan berdasarkan pasal 47 ayat 1 kepada Undang-undang Perkawinan adalah 18 tahun . Pengadilan pun dalam pendiriannaya tidak konsisten dengan patokan umur dewasa. 7 Putusan pengadilan menyatakan usia dewasa adalah 21 tahun, yaitu dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1138/Pdt.P/1987, Putusan Mahkamah Agung No. 59/K/ AG/2007, Mahkamah Agung No.95/K/AG/2009, Putusan Mahkamah Agung No. 294K/AG/2009, Putusan Pengadilan Agama Wonosari No. 0432/Pdt.G/2008/PA.Wno, Putusan Pengadilan Agama Malang No. 482/ Pdt.G/2008 dan Pengadilan Tinggi Palembang No. 41/1975 PT Perdata. Sementara terdapat 2 putusan yang berpatokan pada usia 18 yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 1530/Pdt/1987/PN Jakut dan Putusan Mahkamah Agung No. 447/K/Sip/1976 .

Namun sejak diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, terdapat pergeseran dalam menentukan batas usia dewasa. Pasal 39 ayat 1 menyebutkan bahwa para penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Paling sedikit berusia 18 tahun atau telah menikah; dan b. Cakap melakukan perbuatan hukum.

Dari uraian pasal 47 dan 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditetapkan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah menikah berada dibawah kekuasaan orang tua atau walinya. Atas dasar hal tersebut J.Satrio menyimpulkan:

a. dalam hal mempelai laki-laki maupun perempuan telah mencapai usia 18 tahun atau sebelumnya telah pernah menikah, maka mereka boleh membuat perjanjian kawin sendiri baik sebelum maupun pada saat melangsungkan perkawinan

b. Dalam hal mempelai perempuan telah mencapai umur untuk menikah, tetapi belum genap berumur 18 tahun dan sebelumnya belum pernah menikah, maka ia harus diwakili atau paling tidak didampingi (mendapat bijsand dari) oleh orang tua atau walinya c. Dalam hal mempelai laki-laki maupun perempuan menikah dengan

dispensasi umur, maka ia/mereka harus diwakili atau didampingi oleh orang tua atau walinya

Berdasarkan pasal 29 ayat 4 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan itu tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Sejauh mana kedua belah pihak dapat mengubah isi perjanjian perkawinan, termasuk apakah bisa seluruh isi perjanjian perkawinan diubah asal tidak merugikan pihak ketiga, tidak ditentukan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

Bandingkan dengan ketentuan dalam KUHPerdata pasal 149 yang menyebutkan bahwa setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun, tak boleh diubah.

Perjanjian perkawinan juga diatur dalam pasal 45-52 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku bagi masyarakat muslim. Pasal 47 ayat 1 KHI menyebutkan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri dan wajib mendaftarkannya ke kantor pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan dan tidak boleh merugikan pihak ketiga (Pasal 50 ayat 2 dan 4 KHI).

Kemudian pasal 51 menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Karena Islam membolehkan menikah lebih dari satu istri (poligami), selanjutnya pasal 52 menyebutkan bahwa pada saat dilangsungkannya perkawinan dengan istri kedua, ketiga atau keempat boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya.

Mengenai bentuk perjanjian perkawinan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam hanya menyebutkan perjanjian tersebut dibuat secara tertulis, sementara dalam pasal 147 KUHPerdata disebutkan bahwa setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris.

3.7. Poligami

Berbeda dengan KUHPerdata yang menganut asas monogami mutlak sebagaimana yang diatur dalam pasal 27 dimana pada saat yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya dan seorang perempuan hanya dapat mempunyai seorang laki-laki sebagai suaminya, Undang-Undang 1/1974 membolehkan poligami atau menikah dengan lebih dari satu istri.

Namun pada dasarnya Undang-Undang 1/1974 menganut asas monogami, dimana hal tersebut dapat kita lihat di dalam Pasal 3 ayat (1). Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Sehingga dapat disimpulkan asas monogami yang terkandung di dalam pasal tersebut tidaklah bersifat mutlak sebagaimana asas yang terkandung di dalam KUHPerdata. Dan mengacu pada pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Untuk perkawinan poligami pun hanya dapat dilakukan jika dibolehkan oleh agama yang dianut oleh para pihak.

Dalam pasal 4 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa jika seorang suami akan beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan. Adapun pengadilan hanya memberikan izin beristri lebih dari satu jika :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Pengaturan lain yang terkait dengan beristri lebih dari seorang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 40-44.

Selain permohonan izin menikah lebih dari seorang istri harus diajukan secara tertulis di pengadilan, dalam melakukan pemeriksaan permohonan, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri (para istri) yang bersangkutan.

Lebih lanjut pasal 44 PP 9/1975 menyebutkan bahwa pegawai pencatat dilarang mencatatkan perkawinan tersebut sebelum ada izin dari pengadilan. Tehadap pelanggaran ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana, yaitu denda bagi para pihak dan bagi pegawai pencatat yang melanggar ketentuan ini dihukum dengan kurungan atau denda.

Terhadap alasan poligami terdapat penetapan pengadilan agama Bandung No. 1762/Pdt.G/2006/PA.Bdg yang cukup menarik karena hakim memperluas persyaratan izin poligami. Izin poligami dimohonkan oleh seorang da’i atau mubalig yang mempunyai kegiatan ceramah keagamaan yang padat diberbagai tempat, sehingga membutuhkan mobilitas yang tinggi dan memerlukan beberapa orang sebagai pembantu termasuk istri sebagai pendamping. Pertimbangan hakim mengabulkan izin poligami pemohon adalah karena kegiatan pemohon yang sangat banyak, menyita waktu dan tenaga dimana termohon sebagai istri tidak dapat mendampingi pemohon secara penuh, dimana alasan tersebut dikatagorikan kepada alasan sebagaimana tertuang dalam pasal 4 ayat (2) huruf (a) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni: istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. Kondisi tersebut menurut pertimbangan hakim, tidak hanya berlaku apabila istri sama sekali tidak mampu menjalankan kewajiban dalam melayani suaminya, tetapi dapat diterapkan kepada istri yang mampu melayani suaminya, tetapi tidak dapat sepenuhnya melayani maupun mendampingi suaminya, karena kesibukan mengatur rumah tangga termasuk mengurus dan melayani anak-anaknya dirumah.