• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuatan Pembuktian Surat Elektronik Dalam Hukum Perjanjian Di Indonesia

BAB IV ANALISIS YURIDIS JUAL-BELI YANG DILAKUKAN PERUSAHAAN PT.ASIA PACIFIC FIBERS TBK DENGAN

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN JUAL-BELI DENGAN MENGGUNAKAN SURAT ELEKTRONIK (E-COTRACT)

5. Kekuatan Pembuktian Surat Elektronik Dalam Hukum Perjanjian Di Indonesia

Dari keseluruhan tahap persidangan perkara perdata maka pembuktian merupakan tahap spesifik dan menentukan. Dikatakan spesifik oleh karena pada tahap pembuktian ini para pihak diberi kesempatan untuk menunjukkan kebenaran terhadap fakta-fakta hukum yang menjadi titik pokok sengketa. Sedangkan

disebut sebagai tahap menentukan oleh karena hakim dalam rangka proses mengadili dan memutus perkara tergantung terhadap pembuktian para pihak di persidangan. Akan tetapi dalam praktek, substansi pembuktian ini diterapkan secara selektif. Dalam artian, tidak semua fakta-fakta harus dibuktikan di persidangan. Karena esensi pembuktian ini elementer sifatnya maka pandangan para doktrina atau teoretis dan praktisi terhadap pembuktian ini cukup variatif.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1866 KUH Perdata atau 164 HIR, dikenal 5 (lima) macam alat-alat bukti utama dalam perkara perdata, yaitu Bukti Surat, Bukti Saksi, Persangkaan, Pengakuan dan Sumpah. Terhadap kelima macam alat bukti tersebut, pada asasnya Majelis Hakim/ Hakim tunggal yang menyidangkan perkara perdata haruslah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pihak berperkara untuk mengajukan alat bukti tersebut guna meneguhkan dalil-dalil gugatannya atau dalil-dalil bantahannya. Kemudian majelis hakim/hakim tunggal meneliti, menilai, mempertimbangkan serta mengadili (memutus) semua itu dalam putusannya. Dalam praktek peradilan maka kelima macam alat-alat bukti tersebut bersifat baku.113

E-mail sebagai alat bukti dalam persidangan. Suatu surat yang dikirim dalam bentuk e-mail akan dijadikan alat bukti di pengadilan, maka pihak yang menunjukkan bukti surat dalam bentuk e-mail tersebut harus dapat memperlihatkan yang aslinya dalam proses pembuktian dipersidangan. Sebab dengan adanya bukti surat dalam bentuk e-mail yang asli yang diajukan dalam persidangan maka kekuatan pembuktian e-mail dalam persidangan tersebut

113 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan (Jakarta :Indonesia Djambatan, 1999), Hlm. 150.

mempunyai kekuatan yang sama dengan alat bukti otentik. Oleh karena itu, alat bukti berupa e-mail tersebut dapat dipergunakan pada persidangan kelima dan persidangan keenam, sebab di dalam persidangan kelima dan persidangan keenam, pihak penggugat maupun pihak tergugat dapat menggunakan alat bukti berupa e-mail yang sudah dicetak (Agenda Pembuktian). Maka alat bukti berupa e-mail yang sudah dicetak itu dapat dianggap sama dengan surat asli, karena surat yang dikirim oleh pengirim e-mail isinya sama dengan surat yang diterima oleh penerima e-mail, tetapi cara pengiriman tersebut tidak mengubah status surat yang semula berstatus akta otentik menjadi akta dibawah tangan, Sehingga dari pihak penggugat mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membuktikan kebenaran dari dalil-dalil gugatannya serta pihak tergugat pun dapat menyangkal bukti-bukti yang telah diajukan oleh pihak penggugat.114

Bahwa surat elektronik dalam bentuk e-mail tersebut dianggap mempunyai kekuatan yang sama dengan akta otentik. Meskipun surat elektronik dalam bentuk e-mail tersebut dapat direkayasa dan mudah dihapus keberadaannya, tetapi dalam sistem komputer ada suatu jaringan yaitu grand centrum-nya, itulah yang harus diselidiki dan main record-nya. Oleh karena itu, jika semua ini terlacak maka surat elektronik dalam bentuk e-mail tersebut mempunyai kekuatan hukum dalam persidangan. Perluasan pengertian mengenai alat bukti dipersidangan dengan menjadikan elektronik mail (e-mail) menjadi salah satu alat bukti yang sah, sebab bukan tidak mungkin dikemudian hari nantinya sesuai dengan perkembangan

114 Asril Situmpol, Hukum Internet dan Pengenalan Mengenai Masalah Hukum Cyberspace (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), Hlm. 89.

teknologi yang semakin maju surat-surat yang dikirim itu akan berbentuk e-mail semuanya.

Dengan di berlakukannya Undang-Undang No 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada tanggal 25 November 2016, maka secara yuridis terciptalah suatu dasar hukum bagi transaksi-transaksi elektronik dan informasi yang terjadi di wilayah hukum Indonesia. Setiap kegiatan yang berurusan dengan sistem elektronik harus mendasarkan hubungan tersebut pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang ini. Oleh karena UU ITE ini mengatur suatu dimensi baru yang belum pernah di atur sebelumnya maka muncullah beberapa istilah maupun karakteristik baru yang bersesuaian dengan kegiatan di dunia cyber. Salah satu hal yang baru adanya suatu bentuk alat bukti yang baru dan sah secara hukum, yaitu Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik atau pun hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik Pasal 5 ayat (1) UU ITE. E-mail merupakan salah satu bentuk dokumen elektronik yang berisi informasi elektronik dari pemilik e-mail nya. Sebenarnya keberadaan e-mail ini sudah di kenal oleh masyarakat, hanya saja dalam hukum pembuktian (terutama alat bukti) belum di akui secara sah. Pengakuan secara yuridis melalui Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 44 UU ITE terhadap ketiga alat bukti yang baru ini membawa akibat yuridis di akuinya ketiga alat bukti tersebut sebagai bagian dalam alat bukti yang selama ini berlaku. Pengakuan alat bukti elektronik ini merupakan suatu langkah maju dalam hukum pembuktian. Apabila muncul suatu perkara perdata yang mana mempersengketakan dokumen elektronik, maka dokumen tersebut

dapat di gunakan sebagai acuan bagi para pihak untuk menyelesaikan perkara atau hakim yang nantinya memutus perkara. Melihat hal ini muncullah pertanyaan, termasuk dalam kelompok alat bukti manakah alat bukti elektronik ini dalam hukum perdata. Pemahaman kedudukan alat bukti eletronik (dokumen elektronik) ini sangat penting mengingat dalam memeriksa perkara perdata, hakim memberikan putusannnya dengan mempertimbangkan alat bukti yang sah dan di akui dalam hukum perdata. Sampai saat ini belum dapat di temukan suatu definisi yang jelas tentang apa yang di maksud dengan ‘alat bukti yang sah’ itu. Pasal 1866 BW pun dalam rumusannya hanya menyebutkan “Alat-alat bukti terdiri atas:…”. Oleh karena itu menurut penulis yang di maksud dengan rumusan “alat bukti yang sah” itu adalah alat atau benda yang secara tertulis di sebutkan dan diakui oleh undang-undang sebagai alat bukti yang menunjukkan adanya suatu peristiwa hukum.115

Keabsahan dari alat-alat ini jelas sangat bergantung pada pengakuan secara tegas dan jelas dalam salah satu ketentuan hukum undang-undang. Seperti halnya alat-alat bukti berupa tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah di sebut sebagai alat yang sah secara hukum karena tertulis dalam ketentuan pasal 1866 KUH Perdata sebagai alat bukti. Begitu pula dengan alat bukti elektronik juga dapat di katakan sebagai alat bukti yang sah secara hukum menurut Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 44 UU ITE. Permasalahan yang muncul kemudian, dari kelima macam alat bukti yang diakui dalam hukum perdata (Pasal 1866 KUH Perdata) termasuk dalam kelompok manakah dokumen elektronik itu. Apabila di lihat dari

115 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 44 Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

kelima macam alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata itu, dokumen elektronik hanya bisa di masukkan dalam kategori alat bukti tertulis. Argumentasi yang dapat di kemukakan yaitu bahwa dokumen elektronik ini pada hakekatnya merupakan tulisan yang di tuangkan dalam sebuah surat elektronik. Selanjutnya tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk mewujudkan suatu kejadian yang telah terjadi dan menyatakan perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang.

Terkait dengan hal ini, keberadaan dokumen elektronik pun di maksudkan untuk mengutarakan maksud seseorang atau dua belah pihak dalam bentuk surat elektronik yang di setujui bersama. Oleh karena itu dokumen elektronik ini jelas dapat di kategorikan sebagai alat bukti dalam bentuk tertulis sebagaimana di atur dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Mengenai hal ini Pasal 5 ayat (2) UU ITE menyebut dokumen elektronik sebagai perluasan dari alat bukti yang ada dalam hukum perdata. Alat bukti tertulis dalam hukum perdata memang merupakan alat bukti pertama yang di sebutkan dalam Pasal 1866 BW. Ini berarti alat bukti tertulis ini merupakan alat bukti yang paling krusial dalam pembuktian perkara atau sengketa perdata. Pada prakteknya, bentuk alat bukti tertulis (surat) ini sangat beraneka ragam, ada tulisan yang di buat secara asal-asalan (surat biasa), tulisan yang di buat dengan akta khusus (akta). Akta pun juga dapat di bedakan menjadi akta di bawah tangan dan akta otentik. Lalu bagaimana dengan dokumen elektronik apakah termasuk dalam bentuk surat biasa atau akta. Jika memang akta, termasuk dalam kategori akta di bawah tangan atau akta otentik. Untuk menjawab pertanyaan ini sebaiknya kembali diperhatikan definisi dokumen elektronik

sebagaimana di sebutkan pada Pasal 1 ayat (4) UU ITE, “setiap Informasi Elektronik yang dibuat, di teruskan, dikirimkan, di terima atau di simpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat, di tampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, tidak terbatas pada tulisan, gambar, suara, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka ,kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti dapat di pahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Dari pengertian Pasal 1 ayat (4) UU ITE ini bentuk dokumen elektronik sangat beraneka ragam sangat bergantung pada maksud penggunaan dari dokumen itu sendiri.116

Dengan demikian kedudukan dokumen elektonik sesungguhnya merupakan perluasan dari alat bukti tertulis sebagaimana di kemukakan dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Pemahaman ini begitu krusial mengingat praktek bisnis akhir-akhir ini mulai menggunakan media internet (teknologi informasi) dalam pembuatan dokumen-dokumen perjanjian. Salah membuat dokumen elektronik akan mengakibatkan kesalahan yang fatal pada kekuatan pembuktian dokumen elektornik tersebut sebagai alat bukti yang sah. Kesimpulannya e-mail, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik yang disajikan dalam persidangan.

116http://jonaediefendi.blogspot.co.id/2012/09/kekuatan-hukum-surat-elektroniksebagai_8781.html (diakses pada tanggal 1 Maret 2017).

BAB III

PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM YANG