• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelayakan Finansial Pengusahaan Kebun Kakao Rakyat di Kabupaten Padang Pariaman

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Kelayakan Finansial Pengusahaan Kebun Kakao Rakyat di Kabupaten Padang Pariaman

Analisis kelayakan finansial pengusahaan kebun kakao rakyat meliputi perhitungan Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net BCR) dan

Internal Rate of Return (IRR) yang merefleksikan tingkat kelayakan pengusahaan kebun kakao rakyat setelah dikoreksi dengan tingkat suku bunga 12% (Discount Rate). Analisis ini dilakukan dalam skala pengusahaan kebun kakao seluas satu hektar, selama umur produktif tanaman kakao yaitu tanaman sampai berumur dua puluh tahun. Sampel nagari yang diambil merupakan perwakilan dari tiap kelas kesesuaian lahan yang sesuai untuk pengembangan tanaman kakao yaitu kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Disamping itu juga dipilih nagari yang sebagian besar penduduknya mengusahakan kebun kakao.

Asumsi yang digunakan dalam analisis ini bahwa produktivitas tanaman kakao mengalami peningkatan sampai umur lima belas tahun dan akan menurun sampai umur dua puluh tahun. Selain itu, juga diasumsikan bahwa tidak terjadi perubahan iklim yang ekstrim dan tidak terjadinya wabah hama penyakit sehingga produktifitas tanaman kakao tidak terjadi fluktuatif yang signifikan.

Hasil analisis kelayakan finansial pada dua nagari terpilih tertera pada Tabel 12, sedangkan rincian perhitungan analisis finansial dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8. Perhitungan analisis finansial ini berdasarkan data rataan struktur input dan

output dari masing-masing nagari, yang terdiri dari dua puluh responden sampel di masing-masing nagari.

Tabel 12 Analisis Kelayakan Finansial (NPV, Net B/C Ratio, IRR dan Payback Period) Kebun Kakao Rakyat dalam 1 ha di Kabupaten Padang Pariaman

Nagari/Kecamatan Kelas Kesesuaian Lahan NPV (DR = 12%) Net B/C Ratio IRR Payback Period Pilubang

(Kec. Sungai Limau) S2 45.094.495 7,23 40,45%

5 tahun 11 bulan Kuranji Hulu

(Kec. Sungai Geringging) S3 35.985.486 5,07 33,39%

7 tahun 2 bulan

Pola asumsi harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga konstan yaitu sebesar Rp. 18.000 per kilogram, yaitu harga yang berlaku di tingkat petani pada saat melakukan pengumpulan data ke lapangan (bulan Juli 2013). Tingkat suku bunga yang berlaku di asumsikan sebesar 12%. Perbandingan atau perbedaan rataan komponen input dan output dalam pengusahaan kebun kakao rakyat pada tiap kesesuaian lahan dapat dilihat pada Lampiran 15.

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa, pengusahaan kebun kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman secara finansial layak untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan dengan dengan nilai NPV, Net BCR dan IRR yang memenuhi kriteria layak. Nilai NPV bernilai positif yaitu sebesar Rp 45.094.495 pada kelas cukup sesuai (S2) dan Rp 35.985.486 pada kelas sesuai marginal (S3), angka ini menunjukkan keuntungan yang diperoleh selama umur produktif tanaman kakao. Nilai Net BCR yang lebih besar dari satu yaitu sebesar 7,23 pada kelas S2 dan 5,07 pada kelas S3, angka ini berarti bahwa setiap satu

rupiah (Rp 1) yang diinvestasikan untuk pengusahaan kebun kakao pada kelas S2 akan memberikan tambahan manfaat atau keuntungan sebesar Rp 7,23 sedangkan pada kelas S3 sebesar Rp 5,07. Nilai IRR melebihi tingkat suku bunga yang berlaku (12%) yaitu sebesar 40,45% pada kelas S2 dan 33,39% pada kelas S3, hal ini menandakan pengusahaan kebun kakao rakyat masih memberikan keuntungan bagi para petani di Kabupaten Padang Pariaman.

Dari Tabel 12 juga terlihat adanya perbedaan yang cukup signifikan antara nilai-nilai parameter analisis finansial pada nagari dengan kesesuaian lahan S2 di bandingkan kesesuaian lahan S3. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pada komponen input dan output pengusahaan kebun kakao pada masing-masing lahan (Lampiran 15). Perbedaan ini menandakan pada lahan dengan kesesuaian S3 memiliki faktor pembatas lebih besar dari pada lahan dengan kesesuaian S2, atau dengan kata lain kualitas lahan S2 lebih baik dari lahan S3. Keadaan ini dicerminkan produktivitas tanaman kakao pada lahan S2 lebih tinggi dari pada lahan S3. Dari analisis diketahui Nagari Pilubang dengan kesesuaian lahan S2 memiliki produktivitas rata-rata per tahun 733 kg/ha, sedangkan Nagari Kuranji Hulu dengan kesesuaian lahan S3 memiliki produktivitas rata-rata per tahun yang lebih rendah yaitu sebesar 706 kg/ha. Penggunaan input pada masing-masing lahan juga menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, pemakain pupuk pada lahan S2 yaitu sebesar Rp 784.250 per tahun lebih kecil dibandingkan dengan lahan S3 yaitu sebesar Rp 1.457.750 per tahun. Begitu juga pemakaian obat- obatan dan tenaga kerja per tahunnya, pada lahan dengan kesesuaian lahan S2 pemakaian obat-obatan dan tenaga kerja berturut-turut sebesar Rp 469.500 dan Rp 1.855.750, sedangkan pada lahan dengan kesesuaian lahan S3 sebesar Rp 563.000 dan Rp 2.086.500.

Pengusahaan kebun kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman yang tergambar dari dua nagari yang dijadikan sampel, rata-rata membutuhkan investasi awal sebesar Rp 4.340.000. Investasi awal digunakan untuk pembelian bibit kakao, peralatan, upah tenaga kerja, pupuk dan obat-obatan. Biaya untuk sewa lahan tidak dikeluarkan karena lahan yang digunakan petani merupakan lahan kaum atau keluarga yang diusahakan secara turun-temurun. Biaya pemeliharaan per tahun dari tahun pertama sampai umur tanaman tidak produktif lagi (umur 20 tahun) berkisar antara Rp 3.066.075 sampai Rp 3.844.825. Biaya pemeliharaan tersebut meliputi biaya pembelian pupuk, obat-obatan, peralatan dan upah tenaga kerja.

Pemeliharaan kebun kakao yang dilakukan petani di Kabupaten Padang Pariaman secara umum telah mengikuti petunjuk teknis yang dianjurkan oleh instansi yang terkait, dalam hal ini yang menjadi leading sektor yang memberikan pembinaan dan penyuluhan adalah Badan Penyuluhan Pertanian Perikanan Kehutanan dan Ketahanan Pangan (BP3K2P) dan Dinas Pertanian Peternakan dan Kehutanan (Distannakhut). Pemeliharaan yang dilakukan petani meliputi pemupukan, penyiangan, pengendalian hama penyakit dan pemangkasan. Pemupukan umumnya dilakukan dua kali setahun, yaitu awal musim penhujan dan pada akhir musim penghujan. Penyiangan dilakukan saat umur kakao 1–3 tahun dilakukan dua sampai empat kali dalam setahun, bila umur kakao sudah mencapai empat tahun biasanya penyiangan hanya dilakukan satu sampai dua kali setahun karena tajuk tanaman yang sudah rindang sehingga mengurangi atau menghalangi pertumbuhan gulma dibawahnya.

Intensitas pengendalian hama biasanya semakin tinggi seiring dengan bertambahnya umur tanaman kakao, karena serangan hama penyakit semakin meningkat pada saat tanaman sudah berbuah (berproduksi). Secara umum pengendalian hama dilakukan dua sampai empat kali setiap tahunnya, tergantung dari tinggi rendahnya intensitas serangan hama dan penyakit. Hama yang sering ditemuai petani di lapangan adalah Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snellen), kepik penghisap buah yang disebabkan oleh Helopelthis sp dan penggerek batang/cabang. Hama ini biasanya dikendalikan secara mekanis oleh petani dengan melakukan pemangkasan, panen teratur dan sanitasi kulit buah kakao setiap habis panen, secara kimia petani dapat menggunakan obat-obatan (insektisida), sedangkan secara biologis dengan memanfaatkan musuh alami seperti semut.

Serangan penyakit yang sering ditemui petani berupa serangan jamur yang menyerang bagian batang, akar dan buah. Serangan jamur ini disebabkan oleh

Phytophthora sp. Penyakit ini meningkat pada saat musim penghujan karena kondisi kelembaban kebun yang cukup tinggi. Biasanya pengendalian penyakit ini secara mekanis dapat dilakukan oleh petani dengan pemangkasan teratur, sanitasi yaitu menimbun buah yang terserang penyakit, sedangkan dengan cara kimia melakukan penyemprotan fungisida.

Petani kakao di Kabupaten Padang Pariaman pada umumnya mulai melakukan pemangkasan pertama kali pada saat umur tanaman tiga tahun atau saat tanaman kakao sudah mulai berbuah. Pemangkasan ini bertujuan untuk membentuk cabang produksi primer tanaman kakao. Pada tahun-tahun berikutnya pemangkasan dilakukan dua sampai enam kali dalam setahun, sesuai dengan kondisi kebun. Pemangkasan ini burtujuan untuk membentuk cabang produksi sekunder, membuang cabang air atau dengan maksud ingin mengurangi kelembaban udara pada kebun.

Tenaga kerja yang digunakan dalam pemeliharaan sebagian besar adalah tenaga kerja dalam keluarga, walaupun ada tenaga kerja luar keluarga tapi hanya pada saat tertentu saja, bilamana tenaga kerja keluarga sudah tidak mencukupi lagi. Biasanya pemakaian tenaga kerja luar keluarga pada saat penanaman, panen raya (dua kali dalam setahun) dan pada saat pemangkasan dalam skala besar satu kali sampai dua kali setahun. Dalam perhitungan analisis finansial tenaga kerja dalam keluarga tetap dihitung sebagai biaya. Rata-rata upah tenaga kerja yang berlaku pada saat penelitian sebesar Rp 65.000/orang/hari.

Berdasarkan hasil analisis juga dapat diketahui waktu pengembalian modal (payback period). Pada lahan kelas cukup sesuai (S2) tingkat pengembalian modalnya lebih capat dari dari lahan kelas sesuai marginal (S3), dimana pada lahan S2 pengembalian modal sudah tercapai pada saat tanaman kakao berumur 5 tahun 11 bulan, sedangkan pada lahan S3 pada saat umur tanaman 7 tahun 2 bulan. Hal ini disebabkan karena produktivitas tanaman kakao pada lahan S2 lebih tinggi dari lahan S3.

Pada penelitian ini juga dilakukan analisis sensitivitas (sensitivity analysis). Menurut Gitingger (1986), analisis sensitivitas dilakukan untuk meneliti kembali kelayakan suatu kegiatan usaha, agar dapat mengetahui pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah atau ada kesalahan dalam menghitung biaya dan manfaat.

Pada penelitian ini dilakukan analisis sensitivitas dengan menaikan biaya

input, mengetahui sampai sejauh mana pengusahaan kebun kakao rakyat masih layak untuk dipertahan apabila terjadi kenaikan pada biaya input. Disamping itu juga ingin mengetahui sampai sejauh mana penurunan harga dan produksi kebun kakao yang masih ditoleransi untuk pengusahaan kebun kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman. Analisis ini dilakukan dengan asumsi faktor-faktor lain tidak mempengaruhi (ceteris paribus).

Hasil analisis sensitivitas dengan skenario menaikan biaya input

pengusahaan kebun kakao rakyat pada lahan kelas cukup sesuai (S2) dari layak menjadi tidak layak terjadi pada saat biaya input dinaikan sebesar 189,89%, sedangkan pada lahan kelas sesuai marginal (S3) apabila biaya input dinaikan sebesar 122,71%. Apabila biaya input dinaikan sebesar nilai-nilai tersebut maka pengusahaan kebun kakao yang dilakukan petani tidak layak dilanjutkan atau merugikan petani, seperti disajikan pada Tabel 13. Rincian perhitungan analisis sensitivitas skenario menaikan biaya input pada lahan S2 dan S3 dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10.

Tabel 13 Analisis Kelayakan Finansial (NPV, Net B/C Ratio dan IRR) Kebun Kakao Rakyat dalam 1 ha di Kabupaten Padang Pariaman dengan skenario menaikan biaya input

Nagari/Kecamatan Kelas Kesesuaian Lahan NPV (DR = 12%) Net B/C Ratio IRR Kenaikan biaya input sebesar Pilubang

(Kec. Sungai Limau) S2 0 1,00 12% 189,89%

Kuranji Hulu

(Kec. Sungai Geringging) S3 0 1,00 12% 122,71%

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa apabila biaya-biaya input dinaikan sebesar nilai-nilai tersebut dengan asumsi faktor lain tetap (ceteris paribus) maka secara finansial pengusahaan kebun kakao rakyat tidak layak lagi untuk diusahakan, hal ini dicerminkan dengan nilai NPV, Net BCR dan IRR tidak lagi memenuhi kriteria suatu usaha layak untuk dijalankan. Nilai NPV sama dengan nol, berarti pengusahaan kebun kakao selama umur ekonomisnya tidak memberikan manfaat/keuntungan kepada petani. Nilai IRR sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku (12%) mengindikasikan bahwa pengusahaan kebun kakao tidak lagi memberikan keuntungan bagi petani, dengan kata lain petani lebih baik menginvestasikan dana/modalnya pada lembaga keuangan (bank) atau usaha lain yang lebih menguntungkan. Begitu juga dengan nilai Net BCR sama dengan satu, berarti setiap penanaman modal sebesar Rp 1 untuk pengusahaan kebun kakao petani hanya memperoleh keuntungan sebesar Rp 1 (TC=TR).

Selanjutnya analisis sensitivitas juga dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana penurunan harga jual komoditas kakao dan penurunan produksi kakao per tahunnya yang menyebabkan terjadinya titik impas (Break Even Point/BEP). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa titik impas (BEP) terjadi pada saat harga jual biji kakao sebesar Rp 6.209/kg pada lahan S2 dan Rp 8.082/kg pada lahan S3 dengan asumsi ceteris paribus. Ditinjau dari volume produksi titik impas (BEP) terjadi pada saat produksi kakao sebesar 228,28 kg/ha/tahun pada lahan S2 dan 281,89 kg/ha/tahun pada lahan S3. Hasil analisis

BEP (Break Event Point) pengusahaan kebun kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman di sajikan pada Tabel 14, sedangkan rincian perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 11, 12, 13 dan 14.

Tabel 14 Nilai BEP (Break Event Point) pengusahaan kebun kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman

Nagari/Kecamatan

Kelas Kesesuaian

Lahan

Break Event Point

Harga jual (Rp/kg)

Produksi (kg/ha/tahun) Pilubang

(Kec. Sungai Limau) S2 6.209 228,28

Kuranji Hulu

(Kec. Sungai Geringging) S3 8.082 281,89

Pada lahan S2 titik impas (BEP) tercapai pada saat harga jual biji kakao sebesar Rp 6.209/kg dan volume produksi sebesar 228,28 kg/ha/tahun, sedangkan pada lahan S3 pada saat harga jual biji kakao sebesar Rp 8.082/kg dan volume produksi sebesar 281,89 kg/ha/tahun. Interpretasi dari angka-angka diatas adalah, bila harga jual biji kakao dan volume produksi pada masing-masing lahan (S2 dan S3) lebih kecil dari nilai-nilai tersebut, maka pengusahaan kebun kakao tidak lagi memberikan keuntungan/manfaat bagi petani.

Bila dicermati pada saat tercapainya BEP, nilai harga jual dan volume produksi pada lahan S3 lebih tinggi dari lahan S2. Hal ini menandakan bahwa biaya input yang harus diberikan pada lahan S3 lebih besar dari pada lahan S2. Biaya input yang dikeluarkan meliputi biaya pupuk, obat-obatan dan upah tenaga kerja, seperti tertera pada Lampiran 15. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kualitas lahan S2 lebih baik dari lahan S3.

5.3 Rantai dan Margin Pemasaran serta Integrasi Pasar Komoditas Kakao