• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan pertanian merupakan salah satu tulang punggung pembangunan nasional dan implementasinya harus sinergis dengan pembangunan sektor lainnya. Pelaku pembangunan pertanian meliputi departemen teknis terkait, pemerintah daerah, petani, pihak swasta, masyarakat, dan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Koordinasi di antara pelaku pembangunan pertanian merupakan kerangka mendasar yang harus diwujudkan guna mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Tujuan pembangunan pertanian adalah: (1) membangun sumberdaya manusia aparatur profesional, petani mandiri dan kelembagaan pertanian yang kokoh; (2) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pertanian secara berkelanjutan; (3) memantapkan ketahanan dan keamanan pangan; (4) meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian; (5) menumbuhkembangkan usaha pertanian yang dapat memacu aktivitas ekonomi pedesaan; dan (6) membangun sistem ketatalaksanaan pembangunan pertanian yang berpihak kepada petani. Sementara itu, sasaran pembangunan pertanian yaitu: (1) terwujudnya sistem pertanian industrial yang memiliki daya saing; (2) mantapnya ketahanan pangan secara mandiri; (3) terciptanya kesempatan kerja bagi masyarakat pertanian; dan (4) terhapusnya kemiskinan di sektor pertanian serta meningkatnya pendapatan petani (Deptan, 2004).

Gambaran selama ini menunjukkan bahwa implementasi program pembangunan pertanian relatif menjadi ranahnya para pemangku kepentingan utama yang secara signifikan berpengaruh atau memiliki posisi penting atas keberlangsungan kegiatannya. Sementara itu, peran pemangku kepentingan lainnya yang terkena dampak, baik positif (penerima manfaat) maupun negatif (di luar kesukarelaan) dari suatu kegiatan, relatif kurang dilibatkan secara hakiki. Oleh karena itu, pemahaman terhadap keberadaan (eksistensi) pemangku kepentingan mutlak diperlukan. Peran pemangku kepentingan seyogianya diwujudkan dalam wadah (forum) organisasi guna penyamaan persepsi, jalinan komitmen, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas dalam menunjang kelancaran program pembangunan pertanian (Iqbal, 2007)

2.6 Prospek Pengembangan Perkebunan Kakao

Pengembangan perkebunan merupakan salah satu program pembangunan di sektor pertanian yang berperan cukup besar dalam rangka perbaikan ekonomi wilayah termasuk ekonomi masyarakat yakni peningkatan pendapatan dan pemerataan usaha yang dapat menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat. Pembangunan perkebunan agar dapat berkembang secara baik, berkelanjutan dan berkesinambungan, sangat berkaitan dengan segala aspek pendukung seperti potensi sumberdaya lahan dan ketersediaan tenaga kerja yang ada di wilayah bersangkutan. Komoditas kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang prospektif serta berpeluang besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena sebagian besar diusahakan melalui perkebunan rakyat (94%). Komoditas kakao penghasil devisa negara, sumber pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja petani, mendorong pengembangan agribisnis dan agroindustri, pengembangan wilayah serta pelestarian lingkungan (Ditjen perkebunan, 2012).

Proporsi kepemilikan usaha perkebunan kakao terbesar di Indonesia adalah perkebunan rakyat seluas 1.555.596 ha (94%) diikuti oleh perusahaan pemerintah seluas 54.443 ha (3%) dan perusahaan swasta seluas 50.220 ha (3%) (Ditjenbun, 2009). Selain areal eksisting, beberapa provinsi di Indonesia masih memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan komoditas tersebut, dengan dukungan ketersediaan lahan cukup luas yang secara teknis memenuhi syarat dan SDM yang memadai. Oleh karenanya usaha pengembangan kakao tersebut sangat positif dan akan memberikan dampak yang mampu menggairahkan masyarakat petani pada umumnya. Hal ini sesuai dengan visi pembangunan perkebunan 2010- 2014 yaitu: ”Terwujudnya peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perkebunan”, (Ditjen perkebunan, 2012).

Komoditas kakao mempunyai peranan penting terhadap perekonomian nasional. Tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga subsektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US$ 701 juta (Depperin, 2007).

Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao curah dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara

dan Sulawesi Tengah. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Negara Ghana dan kakao Indonesia mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka (Depperin, 2007).

Dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman kakao, sekaligus ingin meningkatkan pendapatan masyarakat, maka dilaksanakan kegiatan perluasan tanaman kakao pada wilayah-wilayah yang berpotensi untuk pengembangan tanaman kakao yang tertuang dalam Pedoman Teknis Perluasan Tanaman Kakao Tahun 2012, seperti wilayah yang masyarakatnya memperoleh pendapatan relatif rendah (dibawah rata-rata), wilayah perbatasan dengan negara tetangga dan wilayah pasca konflik serta pasca bencana alam melalui perluasan tanaman yang dialokasikan di pemerintah kabupaten/provinsi (Ditjen perkebunan, 2012).

Sasaran secara nasional dari kegiatan perluasan tanaman kakao antara lain: (1) Meningkatnya produksi, produktivitas, mutu produk dan pendapatan pelaku agribisnis; (2) Berkembangnya usaha agribisnis dan agroindustri di kawasan pengembangan; (3) Meningkatnya keterampilan, kemandirian dan kerjasama kelompok. Adapun Tujuan dari peluasan tanaman kakao yaitu: (1) Meningkatkan produksi, produktivitas kakao nasional; (2) Meningkatkan kesempatan kerja sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani (Ditjen perkebunan, 2012).

Kakao sebagai salah satu komoditas andalan perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia, namun dalam pelaksanaan perluasan dan pengembangan perkebunan kakao mengalami beberapa kendala diantaranya, tanaman kakao sudah tua (umur diatas 30 tahun) atau rusak, serta meluasnya serangan hama dan penyakit (Penggerek Buah Kakao/PBK dan Vascular Streak Dieback/VSD), sehingga produktivitasnya menurun (Ismail, 2011).

Pada perkebunan rakyat penurunan produktivitas diindikasikan terjadi karena mutu benih yang digunakan rendah (benih tidak bersertifikat) dan teknik budidaya tidak sesuai standar. Walaupun telah dilakukan upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut namun hasilnya belum optimal karena masih dilakukan secara parsial dan dalam skala kecil. Oleh karena itu pemerintah melalui Kementerian Pertanian RI melakukan upaya percepatan peningkatan produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao nasional dengan memberdayakan secara optimal seluruh potensi pemangku kepentingan serta sumber daya yang ada melalui kegiatan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (GERNAS) 2009 - 2011 (Ismail, 2011).

Selain produktivitas lahan yang masih rendah permasalahan lain yang dihadapi dalam pengembangan perkebunan kakao yaitu masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao (Depperin, 2007).

Mencermati sejauh mana peluang yang dimiliki Indonesia untuk menjadi produsen kakao terkemuka dunia, beberapa keunggulan komparatif pengusahaan kakao yang dimiliki Indonesia dibandingkan dengan negara produsen kakao lainnya seperti Afrika dan Amerika Latin antara lain: (1) lahan pengembangan yang masih terbuka lebar; (2) jumlah tenaga kerja melimpah; (3) secara geografis Indonesia terletak pada posisi strategis karena dekat dengan negara tujuan ekspor sehingga biaya transportasi jauh lebih murah; dan (4) sistem politik luar negeri bebas aktif memudahkan Indonesia menembus pasar ke negara-negara pengimpor (Husain, 2006).

Bertitik tolak dari keberhasilan pengembangan tanaman kakao di pulau Sulawesi yang cukup mengejutkan dunia dalam periode 1980-1994, Akiyama dan Nishio (1997) menyatakan bahwa keberhasilan pengembangan tanaman kakao di pulau tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu ketersediaan lahan yang sesuai, biaya produksi yang rendah, sistem pasar dengan kompetisi tinggi, infrastruktur transportasi yang mendukung, kebijakan makro ekonomi yang mendukung, dan adanya kewirausahaan petani kecil. Untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen kakao terkemuka di dunia, faktor-faktor keberhasilan di atas bukanlah hal sulit untuk diterapkan di daerah lain. Tentunya diperlukan dukungan semua pihak terutama pemerintah untuk mewujudkannya.