• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bambang (2003) yang melakukan penelitian berjudul “Formulasi strategi pengembangan agribisnis kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Tenggara” menunjukkan bahwa ada delapan set formulasi strategi dalam pengembangan agribisnis kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu: (1) Perluasan areal, intensifikasi, dan rehabilitasi kakao rakyat; (2) Fasilitasi jalinan kemitraan antara petani dengan pabrik pengolahan kakao di Makasar dan mendukung percepatan pembangunan pabrik kakao di Kendari; (3) Peningkatan mutu SDM; (4) Fasilitasi penyediaan sarana produksi dan pembangunan sarana serta prasarana penunjang; (5) Peningkatan mutu hasil kakao serta penerapan standarisasi sesuai kebutuhan konsumen; (6) Optimalisasi fungsi dan peranan lembaga penelitian dan pengembangan; (7) Kerja sama dengan lembaga terkait mengupayakan keanggotaan Indonesia dalam Asosiasi Kakao Internasional serta menyelenggarakan promosi; dan (8) Pemberdayaan lembaga petani dan peningkatan peranan lembaga penunjang.

Baktiawan (2008) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis

pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Lampung Timur”

menyatakan bahwa Kelayakan investasi usaha tani kakao pada tiap kelas kesesuaian lahan yang ada di Lampung Timur (S2 dan S3) menunjukkan nilai yang menguntungkan. Hal tersebut terlihat dari nilai NPV antara Rp 19.014.723- Rp 31.990.514, nilai BCR antara 4-6, dan nilai IRR antara 20%-31% yang keseluruhan parameter tersebut dihitung berdasarkan discount faktor 17%. Kinerja pemasaran kakao di Lampung Timur cenderung belum efisien. Hal tersebut ditunjukkan dengan besarnya share keuntungan yang masuk ke lembaga pemasaran yang terlibat (31,06%) dan tidak adanya keterpaduan harga pasar jangka panjang antara pasar tingkat petani dan tingkat eksportir (pedagang besar).

Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh panjangnya rantai pemasaran yang ada dan adanya senjang informasi harga yang terjadi.

Ashari (2006) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis kelayakan

finansial konversi tanaman kayu manis menjadi kakao di Kecamatan Gunung

Raya Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi” menyatakan bahwa hasil perhitungan

pada tingkat diskonto 11,47%, penanaman tanaman kayu manis dan kakao sama- sama menguntungkan. Namun, dari kriteria investasi tersebut tanaman kakao lebih menguntungkan dibandingkan dengan tanaman kayu manis, sehingga dapat dinyatakan bahwa kakao layak untuk menggantikan tanaman kayu manis.

Febryano (2008) melakukan penelitian berjudul “Analisis finansial

agroforestri kakao di lahan hutan negara dan lahan milik” menyatakan bahwa jenis tanaman utama yang dipilih oleh petani adalah kakao; dengan kombinasi utama pola tanam kakao+pisang di lahan hutan negara, dan kakao+petai serta kakao+durian di lahan milik sendiri. Ketiga pola tanam tersebut layak untuk diusahakan berdasarkan hasil analisis finansial. Pola tanam kakao+durian dan kakao+petai lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan pola tanam kakao+pisang, tetapi petani yang berusaha di lahan hutan negara lebih memilih pola tanam kakao+pisang, karena tidak adanya keamanan penguasaan lahan di lahan hutan negara. Sementara berdasarkan struktur pendapatan rumah tangga, pola tanam kakao+petai dan kakao+durian lebih baik dibandingkan pola tanam kakao+pisang.

Syarfi et al. (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Potensi

pengembangan pengolahan industri kakao di Sumatera Barat” menyatakan bahwa

Sumatera Barat memiliki potensi untuk pengembangan industri pengolahan kakao. Hal ini terlihat dari (1) Sumberdaya Manusia: petani yang sebagian telah berpendidikan menengah dan tinggi, mempunyai kemauan yang tinggi untuk berusahatani kakao; (2) SDA yaitu: terdapat peningkatan yang tinggi dalam luas tanam kakao dan terdapat lahan potensial untuk pengembangan usahatani kakao; (3) Pembibitan, yaitu: telah terdapat usaha pembibitan kakao oleh petani dan penangkar resmi; (4) Pascapanen; telah ada bantuan alat fermentasi untuk petani kakao serta telah ada industri pengolahan kakao bubuk dan pasta; (5) Pemasaran: kelompok tani atau koperasi telah mampu membeli kakao petani mendekati harga pasar dan telah mampu menjalin kerjasama pemasaran dengan lembaga terkait; dan (6) Kelembagaan petani: Sudah ada kelompok tani dan Gapoktan di sentra pengembangan kakao. Sudah dilakukan upaya penguatan lembaga melalui pembentukan unit usaha, serta pembentukan gabungan kelompok tani kakao pada sentra-sentra produksi di seluruh kabupaten/kota Provinsi Sumatera Barat.

Damanik (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Prospek dan Strategi

Pengembangan Perkebunan Kakao Berkelanjutan di Sumatera Barat” menyatakan bahwa perkebunan kakao cukup penting bagi perekonomian regional Sumatera Barat dan prospektif untuk terus dikembangkan. Adapun faktor strategis yang mempengaruhi pengembangan dan keberlanjutan perkebunan kakao di Sumatera Barat yaitu: ketersediaan teknologi, tenaga pembina, pelatihan petani, dukungan kebijakan, luas perkebunan kakao, produktivitas, keterampilan petani dan kelembagaan ekonomi petani.

Goenadi et al. (2005) melakukan penelitian berjudul “Prospek dan arah

pengembangan agribisnis kakao di Indonesia” menyatakan bahwa arah

dengan menggunakan bibit unggul dengan teknik sambung samping; (2) Peremajaan kebun tua/rusak dengan bibit unggul; (3) Perluasan areal pada lahan- lahan potensial dengan menggunakan bibit unggul; (4) Peningkatan upaya pengendalian hama PBK; (5) Perbaikan mutu produksi sesuai dengan tuntutan pasar; (6) Pengembangan industri pengolahan hasil mulai dari hulu sampai hilir, sesuai dengan kebutuhan; (7) Pengembangan sub sistem penunjang agribisnis kakao yang meliputi: bidang usaha pengadaan sarana produksi, kelembagaan petani dan lembaga keuangan.

Yosfirman (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Potensi pengembangan perkebunan kakao di Kecamatan Sungai Geringging Kabupaten

Padang Pariaman” menyatakan bahwa terdapat potensi pengembangan

perkebunan kakao di Kecamatan Sungai Geringging dilihat dari: (1) Peningkatan luas areal; (2) Adanya usaha penangkaran benih; (3) Memadainya sarana dan prasarana usaha tani kakao; (4) Adanya kebijakan dan program pemerintah. Namun demikian ada beberapa yang menjadi ancaman pengembangan perkebunan kakao di wilayah tersebut yaitu: (1) Aspek permodalan; (2) Belum ada pengembangan usaha industri kakao fermentasi dan pendirian industri pengolahan kakao; (3) Produksi kakao rendah karena mutu benih rendah (tidak berstifikat), serangan hama PBK, pemangkasan dan pemeliharaan belum optimal, pemupukan belum sesuai rekomendasi.

3

METODE PENELITIAN