• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

2.3. Keluarga Miskin

Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh standar tingkat kehidupan yang rendah, tingkat kekurangan materi pada golongan tertentu dibandingkan dengan standar yang berlaku di masyarakat Andi Bayo Ala, (1996), yaitu standar kehidupan yang rendah secara langsung, mutu pendidikan yang rendah, serta ketrampilan dan kemampuan yang terbatas untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Dawam Raharjo (1995: 146), kemiskinan adalah: “Sebuah kondisi kekurangan yang dialami seseorang atau suatu keluarga. Orang miskin adalah mereka yang tingkat pendapatannya (diukur dari pengeluaran yang terjadi) berada di bawah garis kemiskinan”.

Kemiskinan sebagai suatu standart tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standart kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standart kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruh terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri mereka yang tergolong orang miskin.

Dari definisi di atas kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan aspek-aspek material saja, tetapi juga menyangkut aspek non material. Selain terbatasnya kemampuan tersebut, secara sosial keluarga miskin juga ditandai oleh adanya keterbatasan dalam pemilikan rumah, atau tempat tinggal kurang layak huni, kurangnya pendidikan, kurang ketrampilan, rendahnya tingkat kesehatan, lemahnya kehidupan beragama, kurangnya hubungan sosial dan sebagainya.

Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan yang bersinambung; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial.

Keluarga miskin adalah keluarga yang tidak mampu memberikan kepada anggotanya untuk makan tiga kali sehari. Sedangkan ukuran yang khas di Indonesia adalah apabila ada rumah tangga yang terus menerus tidak mampu

 

mencukupi kebutuhan pokok hidup, maka rumah tangga tersebut dianggap rumah tangga miskin.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir Miskin, keluarga miskin didefinisikan sebagai: 1. Sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak

mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak.

2. Mempunyai sumber mata penjaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan yang meliputi sandang, papan, pemukiman, kesehatan dan pendidikan.

Menurut Badan Pusat Statistik sebagaimana dikutip Achlis mengolongkan pendapatan atau penghasilan keluarga ditinjau dari kosumsi beras yang dapat dipenuhi. Pengolongan tersebut adalah :

1. Keluarga sangat miskin

Sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai penghasilan di bawah setara dengan 240 kg beras ekuivalen setiap orang tiap tahun untuk penduduk yang tinggal di pedesaan dan yang berpenghasilan setara dengan 360 kg beras untuk yang tinggal di perkotaan.

2. Keluarga miskin

Keluarga yang memiliki penghasilan setara dengan 240 kg beras bagi yang di pedesaan dan yang berpenghasilan 360 sampai dengan 480 beras yang tinggal di perkotaan.

3.Keluarga berpendapatan menengah

Keluarga yang memiliki penghasilan setara dengan 360 sampai dengan 480 kg beras untuk yang di pedesaan dan 480 kg sampai dengan 500 kg beras bagi yang tinggal di perkotaan.

4.Keluarga kaya

Keluarga yang mempunyai penghasilan setara dengan 480-600 kg beras untuk di pedesaan atau 600 - 720 kg untuk daerah perkotaan.

5.Keluarga sangat kaya

Keluarga yang mempunyai penghasilan 600-720 kg beras untuk pedesaan atau 720-840 kg beras di perkotaan.

 

 

13

Dari pengertian keluarga miskin di atas, keluarga miskin mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam menjangkau sistem sumber atau pelayanan sosial yang ada. Hal ini dapat menjadi kendala bagi keluarga miskin dan keluarganya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Dari sudut penggolongan penghasilan keluarga, keluarga miskin itu dapat ukur dengan beras yang dikonsumsi. Lebih lanjut Emil Salim (1989: 75) menyatakan bahwa keterbatasan yang dimiliki keluarga miskin pada umumnya adalah sebagai berikut:

1. Mutu tenaga kerja yang terbatas, 2. Jumlah modal tidak memadai, 3. Luas tanah dan sumber daya terbatas,

4. Kondisi fisik jasmaniah dan rohaniah yang relatif rendah, dan

5. Lingkungan hidup yang kurang memungkinkan perubahan dan kemajuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keluarga miskin mempunyai ciri- ciri: (1) miskin, terutama sangat miskin; (2) mempunyai penghasilan tetapi tidak mencukupi kebutuhan pokok; (3) tempat tinggal kurang layak atau sederhana; (4) tingkat pendidikan rendah; (5) derajat kesehatan dan gizi yang rendah dan buruk; dan (6) pemilikan harta sangat terbatas jumlah dan nilainya.

Dalam perspektif demikian, keluarga miskin dalam segala sisi sangat rentan yang berdampak pada masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial menghadapi birokrasi, tingginya rasio ketergantungan dan semua itu, dalam pandangan Oscar Lewis terefleksikan dalam budaya kemiskinan. Namun demikian, pemerintah sudah berupaya meningkatkan kehidupan keluarga miskin yang ada di seluruh Indonesia, kenyataan ini dilakukan melalui pemerataan pendidikan dan program-program bantuan pengentasan kemiskinan yang dimaksudkan agar meningkatnya kualitas sumber daya manusia di mana keluarga miskin diharapkan mempunyai daya dan kemampuan mengubah kehidupan yang lebih baik dan manusiawi.

1. Dimensi Kemiskinan

Suharto (1997: 74 – 75) bentuk kemiskian dapat dikategorikan pada empat dimensi utama, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Pertama, kemiskinan absulut adalah keadaan miskin diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau kelompok orang dalam

 

memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Penentuan kemiskian absulut ini biasanya diukur melalui batasan kemiskinan atau garis kemiskinan (poverty line) baik yang berupa indikator tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapatan, pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk mempermudah pengukuran atau indikator tersebut umumnya di konvensikan dalam bentuk uang (pendapatan atau pengeluaran).

Dengan demikian seseorang atau sekelompok orang yang kemampuan ekonominya berada di bawah garis kemiskinan, dikategorikan sebagai miskin secara absulut. Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok dibandingkan dengan kondisi umumnya suatu masyarakat. Jika batas kemiskinan misalnya Rp. 100.000 perkapita/bulan, seseorang yang memiliki pendapatan Rp. 200.000 perkapita/ bulan secara absulut tidak miskin, tetapi jika pendapatan rata-rata masyarakat sekitar adalah Rp. 300.000/kapita, maka secara relatif orang atau keluarga tersebut termasuk orang miskin. Ketiga, kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai, orentasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (moderenisasi).

Sikap malas, tidak memiliki kebutuhan berprestasi (need for achievement), fatalis, berorentasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha adalah beberapa ciri yang memadai untuk kemiskinan kultural.Keempat, kemiskinan struktural adalah kemiskinan diakibatkan oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang, selompok orang menjangkau sumber-sumber kehidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Proses dan praktek monopoli, oligopoli dalam bidang ekonomi misalnya, melahirkan mata rantai pemiskinan yang sulit dipatahkan. Sekuat apapun motivasi dan kerja keras seseorang, dalam kondisi struktur demikian, tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinan, karena aset yang ada serta akses terhadap sumber-sumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh golongan orang-orang tertentu. Contohnya para petani yang tidak memiliki tanah sendiri atau memiliki hanya sedikit lahan tanah, para nelayan yang tidak mempunyai perahu dan peralatan menangkap ikan, para pekerja yang tidak

 

 

15

trampil (unskilled labour), termasuk ke dalam mereka yang berada dalam golongan kemiskinan struktural.

2. Ciri- ciri Keluarga Miskin.

Ciri-ciri keluarga miskin antara daerah satu dengan daerah lain berbeda, ciri kemiskinan biasanya disesuai dengan kondisi, tempat dan keadaan suatu wilayah. Sedangkan ciri-ciri umum sebagaimana dikemukakan Emil Salim (1994: 105) adalah:

a. Mereka pada umumnya tidak memiliki faktor sendiri seperti tanah, modal, ketrampilan, faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan terbatas.

b. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk mendapatkan aset produksi dengan kekuatan sendiri, masalah ini dapat menghambat usaha keluarga miskin untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Akibat yang ditimbulkan keluarga miskin tidak dapat menjangkau pelayanan yang ada dan aset produksi dimonopoli oleh gologan orang yang mampu.

c. Tingkat pendidikan keluarga miskin pada umumnya rendah, waktu mereka habis untuk mencari nafkah sehingga tidak ada waktu untuk belajar, dan anak-anak keluarga miskin tidak dapat menyelesaikan sekolah karena membantu orang tua.

d. Kebanyakan keluarga miskin tinggal di pedesaan, banyak di antara mereka tidak memiliki tanah, menjadi buruh tani, pekerja kasar di luar pertanian. e. Banyak diantara keluarga miskin hidup dikota dengan usia muda dan tidak

mempunyai ketrampilan dan pendidikan. 3. Sebab-sebab Kemiskinan.

Dengan mengikuti pendapat para ahli sebab terjadinya kemiskinan dapat dibagi menjadi tujuh, yaitu:

a. Kesempatan kerja. Seseorang miskin karena menganggur sehingga tidak memperoleh penghasilan atau kalau bekerja tidak penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan atau tahun.

b. Upah gaji di bawah standar minimum. c. Produktivitas kerja yang rendah.

 

d. Ketiadaan aset. Pertanian, kemiskinan terjadi karena petani tidak memiliki lahan tanah untuk bertani atau mempunyai lahan tetapi lahannya sempit. e. Adanya diskriminasi sehingga menyebabkan terjadinya kemiskinan.

f. Kemiskinan dapat terjadi karena tekanan harga. Harga yang mahal menyebabkan daya beli melemah sehingga tidak dapat melalukan taransaksi pembeliaan.

g. Penjualan tanah baik tanah pertanian, pertambakan ataupun perumahan bisa meimbulkan kejatuhan dan akhirnya kemiskinan.

4. Dampak Atau Akibat Masalah

Dampak yang ditimbulkan oleh kemiskinan (Andi Bayo Ala, 1996: 34; Dawam Rahardjo: 113, 1995; Emil Salim, 1994: 136) adalah:

a. Masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan;

b. Kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada peluang kerja;

c. Kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial mengahadapi birokrasi;

d. Kemiskinan juga berarti menghabiskan semua atau sebagian besar pengahasilan golongan miskin untuk konsumsi pangan dengan kualitas yang terbatas;

e. Kemiskinan juga ditandai dengan tingginya rasio ketergantungan, karena besarnya keluarga dan beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan mengganggu tingkat kecerdasan mereka; dan

f. Kemiskinan juga terefleksikan dalam budaya kemiskinan yaitu pewarisan dari generasi ke generasi lainnya.

2.4. Penanganan dan partisipasi dalam pengentasan kemiskinan dipedesaan

Spesifik permasalahan kemiskinan, yang semuanya di tandai dengan adanya berbagai keterbatasan, menuntut segala program pemberdayaan bagi masyarakat miskin memiliki spirit yang tulus untuk melakukannya. Semangat yang tulus bagi pihak-pihak yang berfungsi sebagai pendamping pemberdayaan masyarakat yang memiliki berbagai keterbatasan. Secara konkret, strategi yang harus dilakukan Scott Thorson, ( 2000 ), antara lain :

 

 

17

1. Pemberdayaan sosial, yaitu pembinaan bagi aparatur pemerintah sebagai pelaku pembangunan kesejahteraan sosial untuk meningkatkan profesionlisme dan kinerja serta pemberian kepercayaan dan peluang pada masyarakat maupun dunia usaha serta penyandang permasalahan kesejahteraan sosial dalam mencegah dan mengatasi masalah yang ada dilingkungannya.

2. Kemitraan sosial, yaitu adanya kerja sama, kepedulian, kesetaraan, kebersamaan dan jaringan kerja yang dapat menumbuh kembangkan kemanfaatan timbal balik antara pihak-pihak yang bermitra.

3. Partisipasi sosial, yaitu adanya prakarsa dan peranan dari penerima pelayanan dan lingkungan sosialnya dalam mengambil keputusan serta melakukan peranan yang terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.

Sesuai dengan strategi dan upaya penanganan kemiskinan untuk pembangunan kesejahteraan sosial, maka dalam menanggani Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dilakukan secara bertahap sampai mereka dapat hidup layak serta berkembang dengan wajar, terus menerus sampai pada titik terminasi dan manpu hidup mandiri.

Partisipasi dalam konteks ini diartikan sebagai keikutsertaan atau peranserta dalam proses pembangunan, baik perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil dan evaluasinya Tjokroamidjoyo,(1996). Dalam pelaksanaan pembangunan misalnya, partisipasi dimaknai tidak boleh menjadi menonton atau membiarkan orang lain bekerja, tetapi harus memiliki partner kerjasama, sehingga diperlukan adanya semangat demokratis, bersifat terangsang dan sukarela.

Berdasarkan analisisnya terhadap kasus-kasus di negara berkembang, Carlson (1985:233), mengetengahkan bahwa sesungguhnya kemampuan rakyat untuk menolong diri sendiri dapat diperbesar dan ditingkatkan hanya dengan memberi bimbingan dan pengarahan seperlunya. Namun demikian diperlukan syarat Totten, (1985:320), bahwa rakyat akan lebih mudah menerima program pembangunan apabila mereka dapat merasa bahwa hal itu secara wajar, sesuai dengan kebutuhan mereka, serta sesuai dengan kebudayaannya. Dengan kata lain, bahwa tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pimpinan haruslah yang paling cocok bagi masyarakat itu.

 

Pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan didasarkan setidaknya pada tiga alasan Conyers, (1994) sebagai berikut: pertama, partisipasi merupakan alat untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat, yang tanpa kehadirannya pembangunan bisa gagal; kedua, masyarakat akan percaya dimana ia ikut dilibatkan dalam tahap persiapan dan perencanaannya; dan ketiga, bahwa partisipasi merupakan hak demokrasi masyarakat apabila ia dilibatkan dalam pembangunan masyarakatnya.

Partisipasi masyarakat dapat dilakukan sepanjang proses pembangunan, namun juga dapat dilakukan hanya terhadap suatu tahapan pembangunan. Cohen dan Uphoff (1997) menyebut yang pertama sebagai partisipasi prosesual, sedang yang kemudian sebagai partisipasi parsial. Berdasarkan tahapan proses pembangunan inilah kemudian Cohen dan Uphoff selanjutnya membedakan partisipasi menjadi: (1) partisipasi dalam perencanaan program pembangunan; (2) partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan; (3) partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan; (4) partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan.

Dusseldorp (1992) membedakan partisipasi berdasarkan tingkatan sebagai berikut: (1) partisipasi sukarela (free participation); (2) partisipasi karena kebiasaan

(customary participation) dan (3) partisipasi yang dipaksakan (force

participation).

Partisipasi sukarela adalah partisipasi yang berasal dari inisiatif dan prakarsa masyarakat sendiri. Ndraha (1996) menyebutnya sebagai partisipasi sejati. Partisipasi karena kebiasaan adalah partisipasi yang dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Sedangkan partisipasi paksaan adalah partisipasi masyarakat karena ada paksaan dari pihak lain, misalnya aparat pemerintah.

Oleh karena itu apabila ingin mengembangkan dan melembagakan sistem pembangunan wilayah yang partisipatif, meminjam istilah Soetrisno (1995:222), kita harus meninggalkan definisi yang mengarah pada mobilisasi dan model perencanaan yang mekanistik. Sehingga yang muncul adalah partisipasi sukarela, dimana masyarakat mampu berinisiatif dan menampilkan prakarsa dalam mengidentifikasi permasalahan pembangunan dan mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapinya. Sehubungan dengan perencanaan pembangunan,

 

 

19

khususnya dalam penentuan program pembangunan desa, partisipasi yang diharapkan muncul adalah kesempatan kepada warga desa untuk menggali permasalahan masyarakat dan potensi yang dimilikinya, menentukan alternatif pemecahan masalah dan merumuskan sendiri rencana tindakan berdasarkan sumberdaya dan waktu yang tersedia.

Dalam tahapan ini warga masyarakat tidak hanya terbuka kesempatan untuk menilai rencana pembangunan yang akan diterapkan, tetapi yang lebih penting adalah keberanian mengemukakan pendapat dan aspirasinya dalam suatu bentuk rencana tindakan penyelesaian masalah. Dalam proses ini yang lebih penting bahwa masyarakat telah melakukan proses belajar (learning process) dalam menentukan masa depannya secara demokratis tanpa paksaan.

Dalam proses belajar ini masyarakat mengalami suatu keterlibatan secara mental dan emosional. Oleh karenanya Davis dalam Sholahuddin (1997), memaknai partisipasi sebagai suatu dorongan mental dan emosi dari seseorang atau kelompok yang menggerakkan mereka untuk bersama-sama mencapai tujuan dan ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaannya.

Dalam partisipasi setidak-tidaknya diperlukan tiga prasyarat, yaitu: pertama, adanya keterlibatan mental dan emosional daripada keterlibatan secara fisik, sehingga yang muncul adalah partisipasi sukarela dan bukannya partisipasi yang dipaksakan; kedua, ada dorongan untuk menyumbang atau mendukung (to

contribute) dalam situasi tertentu dan bukan sekedar menyetujui (to consent)

terhadap sesuatu; dan ketiga, ada dorongan untuk ikut bertanggung jawab dalam suatu ide atau kegiatan, karena apa yang disumbangkan atas dasar sukarela.

Namun demikian yang menjadi masalah utamanya adalah bagaimana pemerintah mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi munculnya kepekaan, inisiatif dan daya kreasi masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu diperlukan adanya keterbukaan dan kesempatan yang luas bagi munculnya partisipasi warga desa dalam proses pembangunan desa.

Kenyataan menunjukkan, bahwa pengalaman hidup sehari-hari sering mengakibatkan masyarakat kurang bersikap terbuka untuk secara jujur menyatakan pendapatnya mengenai suatu program yang secara resmi diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam hal ini, menurut Huntington (1990)

 

mengungkapkan seharusnya aparat waspada terhadap kelompok masyarakat yang berpartisipasi secara semu itu, karena bisa menghambat dan mempersulit tujuan secara utuh dan mantap.

Berkaitan dengan proses penentuan program pembangunan desa, ada baiknya diperhatikan bahwa sahnya keputusan-keputusan komunitas sangat tergantung kepada mereka yang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Dengan partisipasi dimaksudkan, bahwa setiap anggota masyarakat memegang peranan dalam satu tahap atau lebih dari proses pembangunan dan hal itu sangat tergantung dari siapa yang memprakarsai dan siapa yang terlibat dalam proses pengabsahannya.

Jika ditinjau produk hukum terdahulu sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian di revisi dan diganti dengan no. 32 Tahun 2004 masih terdapat adanya peraturan yang justru melemahkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan ini. Misalnya, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang membuat kekuasaan kepala desa dan pemerintah desa menjadi sedemikian kuatnya, sehingga menyebabkan Kepala Desa lebih menonjolkan pelaksanaan perintah atasan daripada sebagai seorang pengayom rakyatnya. Akibatnya, rakyat tidak berani atau tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan aspirasi dan pendapatnya.

Untuk melihat sejauhmana partisipasi masyarakat benar-benar terwujud dalam perencanaan pembangunan desa, maka perlu diperhatikan dimensi-dimensi dan bentuk-bentuk partisipasi sebagaimana dikemukakan oleh Cohen dan Uphoff (1977) sebagai berikut: dimensi partisipasi meliputi apa, siapa dan bagaimana

partisipasi itu dilaksanakan. Dimensi apa artinya dalam hal apa saja partisipasi

itu dilakukan. Ini menyangkut arti, pengertian atau definisi partisipasi. Dimensi siapa artinya siapa saja yang ada kemungkinan terlibat dalam partisipasi. Mereka adalah warga setempat, pimpinan setempat dan pejabat pemerintah. Sedangkan dimensi bagaimana berkaitan dengan bagaimana terjadinya partisipasi dalam pembangunan.

Dokumen terkait