• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

2.5. Relevansi Masalah dengan Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial adalah profesi yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial termasuk di dalamnya keluarga miskin. Sebagai suatu profesi kemanusiaan,

 

 

21

pekerjaan sosial memiliki paradigma yang memandang bahwa usaha kesejahteraan sosial merupakan suatu institusi strategis bagi keberhasilan pembangunan Suharto, (1997; 233). Paradigma pekerjaan sosial merefleksikan pembelaan terhadap kaum lemah dan yang dilemahkan, kelompok tidak beruntung dan tidak diuntungkan, golongan terpinggir dan dipinggirkan dalam dan oleh gegap gempita pembangunan. Dengan demikian pekerjaan sosial menjadi penting perannya dalam mengatasi permasalahan keluarga miskin. Hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Soetarso (1993: 5), dikatakan bahwa:

Pekerjaan sosial adalah bidang keahlian yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki dan atau mengembangkan interaksi di antara orang-orang dengan lingkungan sosialnya sehingga orang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas kehidupannya, mengatasi kesulitan-kesulitan mereka serta mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai mereka.

Sedangkan menurut Walter A.Friedlander dalam Syarief Muhiddin,(1997:7). “Pekerjaan sosial adalah suatu pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan ketrampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara perorangan maupun di dalam kelompok untuk mencapai kepuasan dan ketidaktergantungan secara pribadi dan sosial”.

Berdasarkan definsi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pekerjaan sosial merupakan profesi yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan profesional berdasarkan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai profesi kepada individu, kelompok dan masyarakat dengan tujuan membantu menciptakan lingkungan yang memberikan kesempatan dan dukungan sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya, memecahkan masalahnya, melaksankan tugas-tugas kehidupan dan menwujudkan nilai serta aspirasi mereka dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Selanjutnya, Dean H. Hepworth and Jo Ann larson dalam Dwi Heru Sukoco, (1993: 20 – 25) menyatakan bahwa tujuan pekerjaan sosial adalah:

1. Membantu orang memperluas potensinya dan meningkatkan peran mereka untuk menghadapi serta memecahkan masalahnya.

2. Membantu orang memperoleh sumber-sumber.

3. Membantu organisasi-organisasi yang responsef dalam memberikan pelayanan kepada orang.

 

4. Memberikan fasilitas interaksi antar individu lainnya di dalam lingkungannya.

5. Mempengaruhi interaksi antar organisasi dengan institusi yang ada. 6. Mempengaruhi kebijakan sosial maupun kebijakan lingkungan.

Dengan demikian tujuan pekerjaan sosial terkait dengan keluarga miskin adalah membantu mereka memperluas dan meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi dan memecahkan masalah, membantu memperoleh sumber-sumber, penguatan organisasi yang sudah ada di lingkungannya, serta memfasilitasi interaksi antara mereka dengan orang lain di lingkungannya. Usaha ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan peran keluarga miskin dalam memanfaatkan bantuan. Sedangkan fungsi pekerjaan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Allen Pincus and Anne Minahan dalam Dwi Heru Sukoco, (1993: 45 – 46) adalah:

1. Membantu mengkaitkan dengan menggunakan kemampuannya secara efektif untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi.

2. Mengkaitkan orang dengan sistem sumber.

3. Memberikan fasilitas interaksi di dalam sistem-sistem sumber. 4. Memberikan fasilitas interaksi dengan sistem-sistem sumber. 5. Mempengaruhi kebijakan sosial.

6. Memeratakan/menyalurkan sumber-sumber material. 7. Memberikan pelayanan sosial sebagai kontrol sosial.

Berdasarkan fungsi tersebut yang intinya adalah memfokuskan interaksi antara orang dengan sistem sumber di lingkungan sekitarnya supaya mereka dapat menjangkau dan memanfaatkan sistem sumber tersebut untuk memenuhi kebutuhannya.

Sehubungan dengan itu, tradisi pekerjaan sosial mengajarkan bahwa ciri praktek pekerjaan sosial dalam suatu pendekatan generalist, yaitu:

1. Pekerjaan Sosial dengan Individu

Menurut Zastrow (1982: 483) sebagian besar pekerja sosial baik yang bekerja di lembaga pemerintahan maupun swasta menghabiskan waktunya untuk menerapkan metode ini. Metode pekerjaan sosial dengan individu adalah serangkaian pendekatan dan teknik pekerjaan sosial yang ditujukan

 

 

23

untuk membantu individu-individu yang mengalami masalah secara perorangan atau berdasarkan relasi satu persatu (Suharto, 1997: 243 – 244). Dengan demikian peran pekerja sosial dalam metode ini (Suharto, 1997: 245 – 246) adalah:

a. Broker, yaitu membantu menyediakan pelayanan sosial kepada klien.

b. Mediator, yaitu menghubungkan klien dengan berbagai sumber pelayanan

sosial yang ada dalam masyarakat.

c. Public Education, memberikan dan menyebarluaskan informasi mengenai

masalah dan pelayanan-pelayanan sosial yang tersedia.

d. Advocate, yaitu membela klien dalam memperjuangkan hak-haknya

memperoleh pelayanan atau menjadi penyambun lidah klien agar lembaga lebih responsif memenuhi kebutuhan klien.

e. Outreach, yaitu pekerja sosial menjangkau atau mendatangi klien yang

karena suatu sebab tidak dapat menjangkau pelayanan.

f. Behavioral Specialist, yaitu menjadi ahli yang dapat melakukan berbagai

strategi dan teknik pengubahan perilaku.

g. Konselor, yaitu memberikan pelayanan konseling kepada klien. Peranan

ini merupakan ketrampilan dan tugas yang paling utama dari pekerja sosial dalam menerapkan metode pekerjaan sosial dengan individu.

2. Pekerjaan Sosial dengan Keluarga

Keluarga adalah sistem yang sangat cenderung untuk mempengaruhi keberfungsian individu, di mana keluarga merupakan sistem utama yang bertanggungjawab untuk menyediakan kebutuhan individu. Masalah- masalah yang muncul dari ketidakberfungsian individu sering muncul dari ketidakberfungsian keluarga. Untuk menimbulkan keberfungsian individu, perlu memahami keluarga sebagai suatu sistem sosial, hal mana merupakan tempat individu-individu berada sehingga ketika ingin memahami seorang individu maka sistem keluarga individu tersebut harus menjadi perhatian atau sebagai klien Louise C. Johnson, (1983). Jadi dalam sistem keluarga mungkin termasuk beberapa anggota keluarga luas yang bisa jadi tidak tinggal dalam satu rumah, seperti kakek/nenek atau paman/bibi. Hal ini karena keluarga adalah sebagai suatu sistem di mana para anggota keluarga adalah orang-orang yang memiliki relasi yang lebih kuat di antara mereka daripada dengan orang lain dan batas Dubois and Milley ,(1992).

Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dalam masyarakat. Agar masyarakat berfungsi, keluarga harus melaksanakan peranan-peranan yang diberikan kepada mereka oleh masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut mencakup

 

penyediaan utama dari kebutuhan umum manusia bagi individu-individu, perawatan dan pengasuhan anak, dan kelanjutan dari kebudayaan Gerungan, (1996:65). Sehingga aspek penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan cara- cara suatu keluarga berfungsi adalah pola-pola komunikasi, cara keputusan dibuat, dan cara peranan didelegasikan kepada anggota keluarga.

Aspek terakhir untuk memahami keluarga sebagai suatu sistem sosial adalah perkembangan keluarga, yang dimulai dalam akar keluarga. Sebagaimana dikemukakan Sonya Rhodes dalam Louise C. Johnson, (1983: 107) bahwa terdapat tujuh tahap perkembangan dalam kehidupan keluarga, yaitu: intimacy vs idealization; replenishment vs turning inward; individualization of family members vs pseudomutual organization; companionship vs isolation; regrouping

vs binding or expulsion; recovery vs despair; and mutual aid vs uselessness.

Sehubungan dengan itu, peran pekerja sosial adalah menentukan motivasi, kemampuan dan kesempatan sistem keluarga untuk berubah dan melibatkan sistem keluarga tersebut dalam proses pertolongan. Dengan demikian keluarga menjalani proses menjadi klien, yaitu memahami keluarga sebagai klien dari sudut pandang struktural, fungsional dan perkembangan.

Dalam memahami skema keluarga Louise C. Johnson (1983: 103) membagi ke dalam empat bagian, yaitu informasi identifikasi yang perlu; gambaran keluarga sebagai suatu sistem; identifikasi tentang keprihatinan, kebutuhan, dan masalah dari sistem keluarga; dan identifikasi tentang kekuatan dan keterbatasan dari sistem keluarga untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah.

Dengan demikian faktor-faktor penting untuk dipertimbangkan dalam memahami keberfungsian klien adalah bagaimana klien mengisi peranan-peranan yang vital dari pekerjaan, perkawinan, dan orang tua; bagaimana perbedaan manusia mempengaruhi kebrfungsian sosial individu; motivasi klien pada upaya pertolongan; dan tingkat krisis serta stress yang dialami klien.

Adapun tugas pekerja sosial agar suatu keluarga berfungsi adalah: (1) membantu semua anggota keluarga untuk berpartisipasi; (2) mengklarifikasi proses pembuatan keputusan; dan (3) mendorong proses demokratisasi dalam keluarga Louise C. Johnson, (1983: 195).

 

 

25

Social group work atau pekerjaan sosial dengan kelompok adalah salah satu

metode pekerjaan sosial yang menggunakan kelompok sebagai media dalam proses pertolongan profesionalnya Suharto, (1997: 273). Pada saat ini para pekerja sosial menyakini bahwa intervensi pekerjaan sosial yang berbasis pada kelompok sangat efektif dan efesien dalam memecahkan masalah individu maupun masalah sosial. Terdapat beberapa alasan mengapa kelompok dipandang sebagai media yang penting dalam proses pertolongan pekerjaan sosial diantaranya adalah orang-orang yang terlibat dalam kelompok terlibat relasi, interaksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Selain itu, metode ini lebih efesien dilihat dari segi waktu, tenaga dan dana karena proses pemecahan masalah tidak dilakukan secara individual, melainkan bersama.

Pekerjaan sosial dengan kelompok menurut National Association of Social Work dalam Suharto, (1997: 274) adalah: “Suatu pelayanan kepada kelompok yang tujuannya untuk membantu anggota-anggota kelompok memperbaiki penyesuaian sosial mereka (social adjustmant), dan tujuan keduanya untuk membantu kelompok mencapai tujuan-tujuan yang disepakati oleh masyarakat”. Sebagaimana dikatakan oleh Hartford dalam Alissi, (1980: 66 – 67) metode Pekerja Sosial Kecamatan (PSK) digunakan untuk memelihara atau memperbaiki keberfungsian personal dan sosial para anggota kelompok dalam beragam tujuan, yaitu (a) tujuan korektif; (b) tujuan preventif; (c) tujuan pertumbuhan sosial normal; (d) tujuan peningkatan personal; dan (e) tujuan peningkatan partisipasi dan tanggungjawab masyarakat.

Proses perencanaan dan pengimplementasian metode Pekerja Sosial Kecamatan (PSK) tidaklah terlalu jauh berbeda dengan tahap-tahap praktek pekerjaan sosial pada umumnya. Sebagaimana dikemukakan Zastrow (1985, dalam Suharto: 289 – 290), tahap-tahap dalam PSK adalah:

a. Tahap intake. Tahap ini ditandai oleh adanya pengakuan mengenai masalah spesifik yang mungkin tepat dipecahkan melalui pendekatan kelompok. Tahap ini disebut juga tahap kontrak antara pekerja sosial dengan klien, karena pada tahap ini dirumuskan persetujuan dan komitment antara mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan perubahan tingkah laku melalui kelompok.

b. Tahap assessment and planning for intervention. Pemimpin kelompok bersama dengan anggota kelompok mengidentifikasi permasalahan, tujuan-tujuan kelompok serta merancang rencana tindakan pemecahan

 

masalah. Dalam kenyataannya, tahap ini tidaklah definitif, karena hakekat kelompok senantiasa berjalan secara dinamis sehingga memerlukan penyesuaian tujuan-tujuan dan rencana intervensi.

c. Tahap selection of members. Penyeleksian anggota harus dilakukan terhadap orang-orang yang paling mungkin mendapatkan manfaat dari struktur kelompok dan keterlibatannya dalam kelompok

d. Tahap group development and intervention. Norma-norma, harapan- harapan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan kelompok akan muncul pada tahap ini, dan akan mempengaruhi serta dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas serta relasi-relasi yang berkembang dalam kelompok. Pekerja sosial pada tahap ini memainkan peran yang aktif dalam mendorong kelompok mencapai tujuan-tujuannya.

e. Tahap evaluation. Evaluasi pada hakekatnya merupakan proses yang dinamis dan berkelanjutan, karenanya evaluasi tidak selalu dilakukan pada tahap akhir suatu kegiatan. Namun untuk memudahkan pemahaman, evaluasi perlu dibedakan dengan monitoring. Evaluasi dapat diartikan sebagai pengidentifikasian atau pengukuran terhadap proses dan hasil kegiatan kelompok secara menyeluruh. Terminasi dilakukan dengan beberapa pertimbangan, yaitu: (1) tujuan individu maupun kelompok telah tercapai; (2) waktu yang ditetapkan telah berakhir; (3) kelompok gagal mencapai tujuan-tujuannya; dan (4) keberlangsungan kelompok dapat membahayakan satu atau lebih anggota kelompok.

4. Pekerjaan Sosial Masyarakat (PSM)

Pekerjaan sosial dengan masyarakat (PSM) secara luas dapat didefinisikan sebagai salah satu metode pekerjaan sosial yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial Suharto, (1997: 292). Sebagaimana dikatakan Netting (1993; 3), bahwa: ”macro practice is professionally directed intervention designed to bring about planned change in

organization and communities” (intervensi makro merupakan bentuk intervensi

langsung yang dirancang dalam rangka melakukan perubahan secara terencana pada tingkat organisasi dan komunitas).

Sehubungan dengan itu, PSM pada dasarnya merupakan perencanaan, pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek kemasyarakatan yang bertujuan meningkatkan tarap hidup atau kesejahteraan sosial masyarakat. Metode ini sangat memperhatikan keterpaduan antara sistem klien dengan lingkungannya.

Selanjutnya Rothman dan Tropman sebagaimana dikutip Adi (2001) mengemukakan bahwa intervensi makro mencakup berbagai metode profesional

 

 

27

yang digunakan untuk mengubah sistem sasaran yang lebih besar dari individu, kelompok dan keluarga, yaitu: organisasi, komunitas baik tingkat lokal, regional maupun nasional secara utuh. Praktik makro berhubungan dengan aspek pelayanan masyarakat yang pada dasarnya bukan hal yang bersifat klinis, tetapi lebih memfokuskan pada pendekatan sosial yang lebih luas dalam rangka meningkatkan kebidupan yang lebih baik di masyarakat.

Jack Rothman dalam Suharto, (1997: 293) mengembangkan tiga model yang berguna dalam memahami konsepsi tentang PSM, yaitu (a) pengembangan masyarakat lokal (locality development); (b) perencanaan sosial (social planning); dan (c) aksi sosial (social action). Paradigma ini dikembangkan terutama untuk tujuan analisis dan konseptual, tetapi dalam praktiknya ketiga model tersebut saling bersentuhan satu sama lain. Setiap komponen dapat digunakan secara kombinasi dan simultan sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang berkembang.

Dari ketiga metode di atas dapat dikatakan bahwa seorang pekerja sosial harus mampu merespon masalah dan kebutuhan manusia dalam masyarakat yang senantiasa berubah, meningkatkan keadilan dan hak asasi manusia, serta mengubah struktur masyarakat yang menghambat pencapaian usaha dan tujuan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu dalam praktiknya, pekerja sosial harus mau dan mampu menyelenggarakan kegiatan-kegiatan profesional dari, bagi dan bersama individu, keluarga, kelompok sosial, organisasi sosial dalam mencapai tujuan sosial dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai tujuan- tujuan tersebut.

Sehubungan dengan itu, terdapat dua fokus utama yang mewarnai pendekatan pekerjaan sosial, yaitu: pertama, pekerjaan sosial senantiasa melihat manusia dalam konteks sistem, yaitu interaksi antara individu dengan sistem lingkungannya. Pekerja sosial menyakini bahwa lingkungan fisik, sosial maupun organisasional mempengaruhi kemampuan orang dalam menjalankan peran dan fungsinya; dan kedua, sejalan dengan prinsip pekerjaan sosial, tujuan pekerjaan sosial senantiasa diarahkan sedemikian rupa agar klien mampu menolong dirinya sendiri. Dengan demikian peran yang perlu dilakukan oleh seorang pekerja sosial sebagaimana dikemukakan oleh Zastrow dalam Adi, (2001: 62) adalah:

 

Membantu keluarga miskin untuk dapat mengartikulasikan kebutuhan, mengidentifikasi masalah berkaitan dengan pemanfaatan sistem sumber, dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah sendiri. Peran ini merupakan peran klasik seorang pekerja sosial, yaitu

help people to help themselves. Adapun fungsi fungsi pekerja sosial dalam

mempercepat perubahan adalah (a) membantu keluarga miskin menyadari dan melihat kondisi mereka; (b) membangkitkan dan mengembangkan organisasi tempat keluarga miskin berada; (c) mengembangkan relasi interpersonal yang baik; dan (d) memfasilitasi perencanaan yang efektif. 2. Pekerja sosial sebagai perencana

Dalam hal ini pekerja sosial membuat suatu program tentang masalah yang dihadapi keluarga miskin, menganalisanya dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah tersebut. Setelah itu mengembangkan program, mencoba mencari alternatif sumber pendanaan, dan mengembangkan konsensus dalam kelompok.

3. Pekerja sosial sebagai motivator

Dengan cara memberikan dorongan dan bimbingan kepada mereka termasuk dukungan kepada keluarga miskin untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

4. Pekerja sosial sebagai perantara

Peranan yang perlu dilakukan adalah menghubungkan keluarga miskin kepada sistem sumber yang relevan dan belum diketahui dengan melibatkan mereka sehingga keluarga miskin benar-benar tahu cara mengakses sistem sumber dimaksud.

Dari uraian di atas maka jelas bahwa profesi pekerjaan sosial sebagai suatu profesi kemanusiaan memberikan sumbangan yang besar terhadap setiap upaya peningkatan peran dan fungsi keluarga miskin dalam mengembangkan dirinya di dalam lingkungan sekitar dan mampu memanfaatkan program Gerbang Dayaku sebagaimana paparan Syaukani HR dalam penyampaian visi dan misi calon bupati di depan anggota DPRD Kabupaten Kutai tahun 2004 adalah metode intervensi pekerjaan sosial, yakni pengembangan masyarakat dengan cara menyuntikkan nilai-nilai pembangunan.

Dokumen terkait